[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2016-02-28

[Fiksisme] Surat Terbuka Untuk Mama

Doc. Pri

Dear, Ma.


Ma, tulisan ini aku buat untuk aku baca lima tahun yang akan datang. Aku mungkin akan tertawa, minimal tersenyum sambil bergumam dalam hati, kok bisa ya aku nulis gini?

Ini juga yang aku batin ketika buka-buka file di blog tahun 2012 lalu. Aku menulis tentang hal-hal tragis. Sebuah fiksi yang menjadi nyata dua bulan kemudian, Ma. Iya, Ma. Aku nulisnya Juli. Kejadiannya Agustus. Nggak sakit parah sih, Ma. Tapi dia langsung pergi hari itu juga. Itu salah satu sebab aku berhenti menulis fiksi. Oleh karenanya, hari ini aku akan menulis hal-hal manis. Biar nanti, fiksi ini menjadi kenyataan yang manis pula.

Ma, aku ini menulis dari hati (dan ampela). Saat ini aku tidak begitu lihai dalam memasak. Aku juga tidak begitu pandai macak. Tapi aku berusaha keras untuk menguasai dasar-dasarnya. Dan untuk urusan mendidik anak, aku belajar banyak dari ibu. Aku memang kewalahan, Ma. Tapi aku suka. Anak-anak itu membuatku jengkel dan kegum secara bersamaan. Mereka itu ajaib.

Sekian lama hidup di planet Namex, lidahku berubah. Indra perasaku berubah. Seleraku berubah. Orientasiku berubah. Termasuk penting tidaknya sebuah pernikahan. Tapi, berkat Mama, aku mengerti pentingnya anak-anak yang lahir dari rahimku jika aku tua nanti. Aku tak bisa mengandalkan kakak atau adik. Mereka akan berumah tanggga dan hidup dengan keluarga barunya. Dan untuk punya anak itu perlu menikah dulu kan, Ma?

Bila nanti ketemu aku, Mama jangan kaget. Aku tidak seperti perempuan-perempuan lainnya yang lihai memakai highheels, maskara, lipstik,eye shadow, blush on ataupun catok rambut. Aku cukup memakai flatshoes yang fleksibel di segala suasana. Dan seperti emak-emak di kampung lainnya, aku akan bangga memakai daster dan sandal jepit. Nggak apa-apa kan, Ma? Toh hanya buat ke sawah atau di rumah. Tenang, Ma, aku tetap dandan untuk anak Mama, menemaninya pergi kondangan barangkali.

Ma, aku minta Mama ikhlasin anak Mama buat aku. Nanti aku ganti cucu yang lucu-lucu. Aku akan bilang sama dia agar tetap memprioritaskan Mama. Mama nggak usah cemburu. Mama tetap menjadi ratu di hatinya. Tapi, Ma, aku nggak mau jadi pembantunya. Aku mau jadi partnernya. Karena aku dan dia setara, adil sesuai porsinya. Rumah tangga adalah milik bersama. Makanya harus ada toleransi, tolong menolong, saling dukung dan bukan arogansi semata. Tolong bilangin dia ya, Ma.

Ma, resep nastarnya kemarin sudah aku coba. Bentuknya hati. Bukan karena aku jatuh cinta, Ma, tapi aku membuatnya dari hati sebagaimana pesan Mama bahwa melakukan sesuatu harus ikhlas dari hati tanpa imbalan apa-apa. Iya sih, Ma, begitu itu nggak bikin kaya. Tapi kebahagiaan dan kepuasan itu yang bikin hati merasa kaya.

Ma, bila berkesempatan, aku akan membacakan ini untukmu. Semoga usiaku usiamu panjang sehingga kita bisa bertemu. Jodoh itu bukan hanya bersatunya sepasang muda-mudi. Tapi perjumpaan kita adalah salah satu bentuk jodoh itu. Aku menunggu waktu untuk sungkem di hadapanmu dengan mengisinya dengan segudang kegiatan di sini. Nggak akan lama kok, Ma.

Aku minta ijin untuk menyelesaikan studi dulu dan melanjutkannya sampai ke benua biru. Baik-baik di sana ya, Ma. Jewer saja bila anakmu itu bandel. Dia emang suka kolokan gitu. Sampai jumpa, Ma.

Best regard.


2016-02-13

[Octivity] Editing dan Proses Akhir dalam Fotografi

Causeway Bay. Bertempat di Wunsha Court, belasan Buruh Migran Indonesia mengikuti workshop fotografi yang diadakan atas kerjasama Lensational dan TCK Learning Center (31/5). Seorang fotografer Indonesia yang telah menetap di Hong Kong selama 7 tahun, Anastasia Darsono, tampil sebagai pembicara.

Menurutnya, dalam fotografi, ada dua hal yang dilakukan setelah memotret. Yakni: editing dan proses akhir. Editing merupakan langkah untuk menyortir foto. Kadang kala dari ratusan foto yang dihasilkan, kita hanya bisa mendapatkan beberapa lembar foto yang sesuai keinginan kita.

Sebagaimana yang kita tahu, jaman sekarang semua orang bisa menjadi fotografer dan kamera apapun bisa untuk memotret termasuk kamera HP.

Oleh karenanya, kita tidak cukup hanya membuat foto yang bagus tetapi juga foto yang bisa diingat atau yang mencuri perhatian. "Photograph must speaks for itself," jelasnya dalam bahasa Inggris.

Setelah melalui proses editing, kemudian foto masuk dalam tahap proses akhir. Yakni mengoreksi bagian foto yang ingin ditonjolkan. Para peserta workshop diajak belajar menggunakan Adobe Lightroom.

Ibu dari dua anak ini mengaku belajar fotografi sejak kecil dari kamera milik ayahnya meski tidak menekuni pendidikan resmi di bidang fotografi. Selama kuliah di Paris, tepatnya saat menekuni bidang 'fashion trend forecast', pengalamannya dalam menggunakan ribuan foto sebagai sumber inspirasi, akhirnya membawanya ke fotografi.


Teks: Sinna Hermanto. Edit: Tasha

2016-02-06

[Fiksisme] Dee #3: Tertuduh Apalah-Apalah

D

Tertuduh Apalah-apalah
_________________________________

Dee, malam itu aku nyengir (pake ngenes) juga sih waktu kamu bilang aku gak suka laki_semacam Al. Hehehe. Yang katamu malah anggap aku ga doyan laki? Ih, gak lucu tauk jadi tertuduh semacam itu.

Mungkin bagi sebagian orang, hidup 'sendiri' adalah hal aneh. Bukan semata-mata mauku tapi lebih untuk menjaga diri (dan hati). Kenapa ga nyoba LDR? Karena ini hidupku. Ini keputusanku. Ini pilihanku dengan segala konsekuensinya, Dee. Termasuk bila kamu menganggap aku ini gak normal (*kalem). Kamu ga usah KASIHan ke aku, cukup KASIHSAYANG aja (*ngakak). Seenggaknya, aku menjaga kepercayaan orangtua bahwa meski jauh dari mereka, aku tetap baik-baik SAYANG (*by wali band).

Emang hal ini penting, ya, sampai KASIHtahu ke aku? Mungkin gitu pikirmu. Ya, terserah gimana anggapanmu ajalah.

Kalo kemarin malam chit chat kita lebih hangat, mood yang terbangun nggak seadem itu, mungkin kesannya ga sekedar menjawab basa basi. Bisa ada guyon dan lebih lumer. Seperti bukan kamu yang kemarin-kemarin deh rasanya. Atau emang dulu kamu sedang nyamar (jadi agen FBI) atau kesambet kakang kawah adi ari-ari?

Anu, aku tuh ga nyaman ngikut arus generasi jaman sekarang. Pun bila merunut percakapan kita ke belakang. Nggak enak kan dipanggil mantan (calon pacar)? Apalagi berkaca dengan sterotip mantan(mu) yang (katamu) jadi sombong ketika udah pisah (meski dulu udah tukeran ludah pake lidah)_aku paham kok model pacaran jaman sekarang, yang kek gitu-gitu udah dianggap wajar walaupun agak-agak wagu buat prinsipku. Juga ucapanmu, Dee, tentang memutus silaturrahmi itu dosa.

Entah karena aku pribadi atau prodi yang aku ambil, aku bisa loh merasakan jika teman bicaraku sedang tidak 100% untukku. Mungkin tidak semua orang merasakannya, mirip pasukan sosmed yang sering curcol (di beranda) : KTP_Kamu Tidak Peka!

Hal ini mengingatkan aku beberapa waktu lalu saat pindah jalur kereta api. Aku bertemu dengan perempuan usia 37 tahun, asal Lampung tapi menetap di Banyuwangi ikut suami. Awalnya sih aku cuman senyum ke dia. Dibalaslah senyumku tadi. Kalo dia laki, mungkin aku meleleh disenyumin gitu (*ketawa njengkang). Tapi SAYANGnya aku lupa tanya nama (maklum, faktor u, pikun detected *kidding). Tuh kan, baru ketemu sama emak-emak aja aku udah main SAYANG, apalagi ketemu kamu (*eh).

Dia cerita tentang anaknya yang sudah17 & 13 tahun gini gini, suaminya gini gini, dan lingkungan tempat tinggalnya yang gini gini. Berkali-kali dia ngeluh dan ngucap, "Saya sudah tua, Mbak".

"Ah enggak kok, Mbak. Masih cocok jadi mahmud anas_mamah muda anak satu," jawabku.

Apalah aku, aku hanya butiran debu. Makanya,aku mencoba mengimbangi 'masalahnya' dengan bekal pengalaman (sodara atau teman) atau artikel gugel (*senyum kalem), yang semampuku, kucoba membesarkan hatinya. Pun membelokkan cara pandang dia yang gini jadi gitu. Mungkin, mungkin loh ya, kalo dia emosi, udah dijitak pake hiheels nih mulutku.

Tau nggak respon dia?

"Mbak, sampeyan itu keibuan sekali."

Kyaaa, tertuduh yang apalah ini. Eit, sebentar, dia bilang keibuan?

"Tapi saya ini bukan ibu-ibu loh, mbak. Saya ini combro." *tertawa bareng emak-emak itu yang ternyata gaul juga.

"Maksudnya, sampeyan itu dewasa sekali." (*senyum kalem lagi).

Oke, tertuduh ini aku ceritakan ke temen-temen dan membuat mereka langsung ngakak guling-guling. Secara mereka tau gimana kolokannya aku (yosh……aib dah aib). Padahal kalo ketemu emak itu lagi, pasti aku lupa. Hawong cuman ngobrol 10-an menit.

Kejadian tertuduh lainnya terjadi baru-baru ini. Gegara pake gamis (syar'i) sederhana, polos,  yang ternyata bener-bener bisa ngerim polah dan ucapanku. Suer, ini gak bohong. Padahal bukan kerudung lebar. Bukan pula kerudung lilit apalagi ada kembang-kembang plus ditancepin jarum pentul, peniti, bros hingga pohon kelapa. Cukup kain panjang yang bisa menutup dada.

Kira-kira percakapannya gini.

"Ciye, hijrah nih?" 

"Amiin. Udah masanya pergi dari jaman kegelapan, waktunya datang ke jaman terang benderang." (mesem*)

"Kayak PLN aja, kamu, habis gelap terbitlah terang (wait……ini kan kumpulan surat-surat Kartini?). Ohya, Null, bukannya fotografer itu mahir di tempat-tempat gelap. If you know what i mean hahaha." (ini udah menjurus 20+).

"Ya iyalah. Kalo ga gelap-gelapan, gimana nyuci cetak dari negatif film. Ada lowkey, highkey, monkey… " (darkroom/ ruang gelap: tempat nyetak foto yang dikondisikan gelap banget. Hanya dengan penerangan bohlam 2,5 watt, maksimal 2 bohlam, warna merah, bukan kekuningan seperti bohlam normal. Hidung harus kuat bau asem_cairan cuka. Tapi ini udah banyak 'ditinggalkan' sejak jaman digital tiba).

"Bang sholeh mana nih yang berani-beraninya membuka hati kamu?" yang lain menimpali.

"Hahaha (*pura-pura tersipu, padahal mah……) doakan dan aminkan saja, Kak."

"Nggak segampang itu. Bang Sholeh itu harus melewati 3 tantangan yang telah sesepuh siapkan. Kalo nggak lolos, jangan harap palu digetok."

Emang pencuri? Perampok? Begal? Kesannya kok kayak aku desperate gitu ya di mata kalian (*nyengir asem).

"FYI, bukan karena bang soleh, bank mandiri, bang central asia, bank negara indonesia apalagi bank rakyat indonesia. Tapi karena aku sendiri yang mau."

"Ciye ciye… monik monik. Monikah ma akooohhh, Na?" (kalo obrolan sudah mentok ya gini!)

Dan tertuduh yang apalah-apalah begini ternyata cukup dilandasi anti nethink. Bahwasanya sebagian kita lebih melihat cover daripada bagasinya… eh daripada isi bukunya.

Feb 1st2016.

***
Doc.pri: stop it.