[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2019-09-28

Sepenggal Cerita dari Singaraja



Saat menulis ini, list di Sportify sedang mengalun lagu Hanya rindunya Andmesh, yang ternyata pengaturannya diulang satu lagu itu saja. Yaaa, gimana ya, lagu ini menusuk banget buat backsong nulis. Secara saya sedang rindu mengingat kembali kisah perjalanan saya ke Singaraja bulan lalu, hahaha. Eit, jangan negatif dulu. Kalo tidak nge-flashback, gimana saya bercerita, gimana saya mengisi lembar-lembar cerita nekad yang sudah lama tidak saya tengok?

Jadi, gini. Minggu sore itu ada pesan di Whatsapp, yang ketika saya buka ternyata dari Paijo, demikian saya memanggilnya. Ia berbasa-basi sedikit, menanyakan waktu longgar saya dan mengajak saya ke Singaraja. Saya tidak mengiyakan atau pun menolak. Galau, cuy. Siapa sih saya kok tiba-tiba diajak ke Singaraja, berdua saja. Lagipula, Paijo itu orangnya kek mana kan saya juga nggak tau. Gimana kalo dia suka nggigit? Bisa-bisa saya kena rabies!!! Padakno asyiu wae, Cuk.

Sebenarnya ke Singaraja itu dalam ‘rangka tugas negara’, cuman ... perjalanan ke sana yang kira-kira perlu waktu 5-6 jam pulang pergi harus molor hingga 16 jam. What the fff... Iya, kami mlipir dulu, jelong-jelong, menikmati sudut Bali yang belum pernah saya injak. Itulah kenapa dia ngajak saya seorang. Jangan-jangan dia cuma mau bayar janji tiga hari sebelumnya yang tidak dia tepati? Eh, nggak juga sih. Dia udah ‘bayar’ kok janjinya di daerah Pererenan. Ketika saya interogasi pun jawabnya hanya sebatas formalitas saja. Perempuan itu Maha Tahu pada hal-hal yang tidak beres macam ini, Ferguso.

Setelah nego sana-sini, tukar jadwal shift, sebuah teka-teki kenapa perjalanan kami berdua harus disembunyikan, identitas saya juga harus disamarkan serta serangkaian ketegangan urat syaraf, akhirnya jadwal kami ke Singaraja diundur dua hari ke depan dari awal chat di WA, tepatnya hari Rabu mendatang.


Semesta Tidak Merestui (?)

Dari hari Minggu hingga Selasa, cuaca sangat bersahabat. Matahari bersinar dengan mocernya. Tapi Semesta berkehendak lain. Rabu pagi yang masih sangat dini, pada jam yang disepakati, tanpa kabar-kabar dulu, hujan tiba-tiba turun. Deras pula. Saya harus berdiri di tempat penjemputan yang telah kami sepakati dalam keadaan langit yang masih gelap gulita, basah, sendirian pula. Paket lengkap. Saya auto menghubunginya. Ya iyalah, enak aja anak orang dicengar sendirian di pinggir jalan tanpa kepastian? Perempuan itu butuh kepastian, Mas.

Akhirnya kami hujan-hujanan menuju gerai 24 jam. Sambil menikmati roti dan kopi yang tidak terlalu panas, kami berdiskusi sedikit dan menyinggung destinasi yang akan kami datangi. Hujan bukan mereda tetapi makin deras. Mau balik kucing pun tidak bisa karena alat yang akan kami ambil akan dipakai Kamis malam. Seandainya perjalanan diundur sehari kemudian, rasanya saya tidak bisa tukar shift lagi pun dia bakal dicecar habis-habisan sama big bosnya.

Jam terus berjalan. Mau nggak mau kami menerobos hujan yang sebentar deras sebentar mereda.

Tapi itulah ajaibnya, belum juga kami melewati area kecamatan Kediri, hujan sudah tidak tampak lagi. Sisa-sisa hujan hanya serupa sisa embun semata. Lalu, bagaimana dengan kondisi sekian menit lalu ketika kami basah kuyup? Kami? Dia aja yang basah, saya sih enggak. Ya kan saya berlindung di balik punggungnya hahaha.

Saya sempat berfikir, semesta sepertinya tidak merestui. Tuhan pun sedang mengajak bercanda. Ya, ya, ya, lucu, lucu.

Langit yang masih menyisakan warna kelabu, udara pagi yang menusuk, dan sisa-sisa hujan barusan benar-benar perpaduan yang pas ketika kami ... emmm, nganu. Nggak jadi ah, biar saya, dia, Tuhan dan malaikat yang tahu.

Nggak deh, saya nggak nge-prank. Jadi, dia itu lagi flu. Ada sebuah tragedi yang lucu sekaligus menjijikkan menggelikan. Nah, dia bilang pada saya agar minggir ke kanan dikit dari jok motor tempat saya duduk. Ketika itu saya kurang ngeh sih yang dia bilang karena laju angin menyamarkan instruksinya.

Dia melambatkan motornya untuk mengeluarkan ingus. Apa lacur, si ingus malah menempel di lengan jaketnya. Bayangkan, gaez, bayangkan. Wadefakkk. Saya memintanya menepi dan menghentikan motor di sembarang tempat, toh saat itu lalu lintas tidak terlalu padat. Kemudian saya ambil tisu dan menyerahkan padanya untuk membersihkan diri dari tragedi barusan. Dan sebelum tragedi ini hilang dari labirin-labirin memori otak, saya menuliskannya di sini, kalau toh dia menemukan tulisan ini, biarlah dia misuh-misuh istighfar berkali-kali.


Kebun Raya Bali

Cuaca mulai normal. Suhu udara masih saja dingin. View perjalanan menampakkan wajah alam Bali yang asri, sawah dan pohon-pohon kelapa melambai, kebun-kebun sayur dan setroberi sejauh mata memandang, pun nampak orang-orang berselendang yang memanggul canang serta keriuhan di beberapa spot pasar yang kami lewati. Dia bilang, Singaraja ada di balik bukit itu. Saya hanya mengiayakan toh selama ini saya hanya mendengar nama Ibu Kota Kabupaten Buleleng itu tanpa pernah numpang pipis menginjakkan kaki di sana. Ya maklum, selama ini jalan-jalan saya kurang jauh, hanya antara kamar mes dan kamar mandi doang. Itu pun sambil sa’i (berlari-lari kecil) karena kebelet ‘panggilan alam’. Bila saya ingin membandingkan, perjalanan menuju destinasi pertama ke Kebun Raya Bali ini serupa (meski tak sama) dengan perjalanan menuju telaga Ngebel, Ponorogo atau Telaga Sarangan, Magetan.

Motor berjalan dengan kecepatan di atas rata-rata. Saya mengepalkan kedua tangan di depan dada sambil bersembunyi di balik punggungya untuk menghindarkan diri dari dinginnya tiupan angin. Jaket yang saya pakai ternyata tidak banyak membantu. Ya maklum, boleh dibilang, ini bukan jaket yang pas buat perjalanan pakai motor dengan medan seperti itu. Kalo sudah begini saya jadi kangen jaket parasut kesayangan yang sekarang ada di Bengkulu, heuheuheu.

Usaha saya untuk menghangatkan badan masih gagal. Saya bilang padanya bahwa saya kedinginan. Dia meminta saya memasukkan tangan ke kantong depan jaketnya. SEKALI LAGI, SAYA HANYA MEMASUKKAN TANGAN KE KANTONG JAKETNYA. Suer, malu tauk posisi meluk kek gitu. Tapi, dipikir-pikir, anggap aja ini keadaan darurat. Boleh kan ya hukumnya, hahaha. Daripada tar pulang dari Singaraja malah kerokan?

Jaket tebelnya yang udah kayak jaket musim dingin itu berangsur-angsur mengusir dingin yang menggigit. Secara posisi sopir yang rawan berhadapan langsung dengan angin dan benda-benda terbang lainnya, tentu sudah siap-siap perlindungan ekstra. Tuh kan, tubuh sendiri aja dijagain baik-baik, apalagi penumpang di belakangnya. Jadi makin sayang deh sama sopir satu ini. Eh. Plakkk self.

Sampai di sana, kami segera berkeliling, mencari spot foto yang uploade-able. Keinginan saya untuk ngevlog terpaksa saya pendam dalam-dalam karena asing dengan medan.

“Bukannya sudah aku kasih tau destinasinya,” protesnya. Ehhh, iya ya. Mungkin saat dia ngomong, saya lagi nggak konsen. Raga di mana, jiwa di mana. Duh, pengen jedotin kepala ke tembok bantal.

Akhirnya saya memintanya sekrol-sekrol HP, searching. OK, dalam hati kecil saya, saya berjanji akan membuat tulisan perjalanan ini dengan dua versi, untuk blog dan untuk media. Semoga.

Kembali ke Kebun Raya, pohon-pohon menjulang, bunga-bunga, patung-patung, hamparan rumput, flying fox ala-ala, kolam dan beberapa tempat lainnya begitu menarik untuk disambangi apalagi bagi bajingan syariah macam kami penikmat alam yang masih perawan. Hanya saja, otak saya yang gedenya tak sebesar batok kelapa ini hanya mampu merekam sekian persen saja. Lainnya serahkan saja pada kamera. Itu pun banyak fotoselfie/ wefie. Pun waktu yang terbatas dan tugas negara masih menanti, membuat kami hanya bisa menghabiskan waktu sekitar tiga jam di sana. Tiga jam itu kurang? Ya kuranglah secara kebun raya, Cuy, bukan kebun singkong belakang rumah. Suer, ini perjalanan yang benar-benar dilakukan dengan berjalan kaki. Untunglah selama ini saya nge-treat tubuh dengan lari di lapangan Beraban seminggu satu atau dua kali. Sehingga ketahanan fisik masih terjaga. Kalo enggak? Pasti deh: ora los njuk rewel!

Singaraja dan Sepiring Tipat Daging

Sebagaimana tipe-tipe di area pegunungan lainnya, ketika siang, matahari malah bersembunyi di balik awan. Padahal, saya menunggu cahayanya untuk mendapatkan efek bayangan dalam beberapa foto yang ingin saya buat karena spot foto yang saya cari baru ketemu pada perjalanan kembali ke area parkiran. Belum jodoh, belum rejeki, dan mungkin lain waktu harus diulangi!!!

Keluar dari Kebun Raya, kami segera ke Singaraja karena dari tadi HP dia berdering berkali-kali, baik telefon dari Tabanan maupun dari Buleleng, menanyakan posisinya secara dari sebelum jam 6 pagi dia sudah keluar rumah. Suer, pengen ketawa tapi takut dosa. Ya kan emang perjalanan kami berdua ini hanya orang-orang tertentu saja yang tau, khususnya rekan kerja saya (untuk masalah perijinan). Baginya, keluar dengan ‘teman’ macam saya ini adalah dosa besar yang tidak perlu diumbar apalagi sampai ketahuan teman atau keluarganya. Malulah sama almamater.

Mungkin karena efek usia kelelahan, lapar, ditambah udara dingin plus posisi pundak sopir yang lebar dan masih kosong, kepala ini dengan mudahnya bersandar di sana. Tidur pula. Kurang ajar betul kepala ini. Apa kepala ini tidak tahu bahwa pundak sopir di depan saya ini pundaknya mantan anak P*nd*k P*s*ntr*n yang (casingnya) lurus-lurus saja (tapi nggak tau dalemannya)? Kepala siapa sih ini? Pasti deh kepala mantan anak pondok Ramadan. Bedebah betul, kamu!

Saya memaki-maki dalam hati. Tapi ya gimana, dia yang ngasih kesempatan hahaha, hawong dia yang nyuruh thoat alias nurut. Saya sih iyes-iyes saja, daripada diturunin di tengah jalan. Takuuut.

Saya terbangun dengan sedikit kaget saat helmnya dibenturkan dengan helm saya. Dia mengeluh. Ngantuk, katanya. Kami pun menepi di warung kecil di pinggir jalan, di daerah Singaraja. Dia memesan segelas kopi hitam sedangkan saya segelas jeruk hangat. Niat hati ingin berhenti dan tiduran sejenak, namun kandang babi yang terletak di dekat warung mengeluarkan aroma tidak sedap.

Tak perlu berlama-lama, kami segera meneruskan perjalanan guna mengambil alat di rumah ... A. Sampai di sana sudah masuk waktu dzuhur. Sebelumnya, seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, saya diwanti-wanti agar begini-begini dan begitu-begitu. OK, saya mendengar dan saya taat hahaha, demi keamanan kan ya.

Saya baru merasakan cuaca panas dan gerah ketika masuk daerah Singaraja tadi. Ternyata panas ini dikarenakan tempat yang kami sambangi itu berdempetan langsung dengan laut. Pantas saja rasanya kek neraka bocor alus. Tapi jangan salah, ketika di dalam rumah, adem banget kok. Saya aja (kalo nggak malu) udah tidur di kasur yang digelar di ruang tamu. Duh, mata ini memang sialan, nggak bisa buat ngeliat punggung kasur nganggur. Maunya tidur mulu.

Selesai dia sholat, giliran saya setor muka sama yang ngasih hidup. Seporsi tipat (ketupat) yang dimakan sama kuah daging sudah menunggu. Duh, godaan apa lagi ini! Mau makan kok sungkan, mau dibiarkan kok mubadzir. Dilema!!! Mana dia makan duluan. Kan kampret. Pengen banget ngomelin dia saat itu juga. Dipikirnya saya ini siapa? Saya ini cuman tamu yang masih punya rasa sungkan. Masa udah ditinggal sholat, ditinggal makan pula. Hey, you, lain kali kalo kamu bawa tamu (terutama cewek), kamu harus antar dia sholat dulu, abis itu kalo emang dikasih makan, makannya pun barengan. Kalo cewek lain udah pasti rewel! You beruntung banget karena yang you ajak ini manusia setengah cewek setengah embuh.

Diantara dilema itu, saya mengikuti teriakan-teriakan cacing kremi di dalam perut saya yang minta disuapi. Seporsi tipat daging kuah pun tandas, tinggal tulangnya saja. Mau ngabisin snack dan sejimbeng teh hangat kok malu. Ya udah, saya bantu clear up sekalian nyupir (nyuci piring) tapi untuk masalah nyupir dilarang sama tuan rumah yang baik itu. Jurus apalagi yang dikeluarkan selain jurus SMP (Setelah Makan Pulang). Mau pamit sama nenek kok beliaunya nggak keliahatan. Padahal kalo ngeliat beliau, saya keingat peristiwa sekian menit sebelumnya dimana, saking pengennya menjamu tamu ‘dari Badung’, beliau grogi. Sehingga saat membuka toples, snacknya sampai tumpe-tumpe.

Untuk perjalanan kembali ke Tabanan kali ini tidak ada adegan TANGAN MASUK KE KANTONG JAKET. Gerah, cuy. Dia menggendong ransel saya di dada sedangkan saya menggendong alat di punggung. Ketika mengingat ini, saya sempat berfikir, kenapa waktu itu dia nggak gendong ransel di punggung aja ya?

Kan saya bisa meluk pegangan ranselnya aja. Daripada saya narik bagian ransel yang membuatnya berasa seperti tercekik.

Sesampainya di area Bedugul, kami mampir di sana, menikmati view sejuta umat tepatnya mencari spot foto yang ada di uang percahan 50.000 ribu rupiah lama. Bagi dia sih dua destinasi yang kami kunjungi hari ini adalah perulangan dua tiga tahun yang lalu. Lain halnya bagi saya. Ini adalah remake kenangan yang saking lamanya sulit sekali saya korek-korek. Oya, sebelumnya dia menyinggung bahwa "Bro Mantab"nya sedang mengantar krucil-krucil berwisata ke destinasi yang kami kunjungi juga. 

Kalau memang sudah jodoh, tanpa janjian pun bisa bertemu. Mereka jumpa di dekat Pura Ulun Danu yang penuh dengan kekhusukan ibadah (kalo saya ketemunya di P*r* D*l*m, biar ada creepy-creepynya). 

"Te, tunggu sini, aku mau nyapa Broku. Nanti aku bilang kalo kamu kakakku." 

Saya sih ao-ao saja secara saya tidak diajak menemui Bronya itu. Saya minggir dari kerumunan di area danau sambil menyaksikan betapa crowdednya kesibukan di situ secara sedang ada ibadah juga. Mood untuk foto sudah tidak 100%, feelnya nggak nemu, sehingga gambar yang dimaui 'nggak dapet'. Tapi life must gogon go on. Jadi, shutter tetep aja dihajar_sampai ngeheng. 

Menyingkir dari tempat itu, saya berdiri di sembarang tempat. Saat saya ditinggal olehnya, saya sempat berfikir yang enggak-enggak. Namun, hal itu segera saya urungkan mengingat aura negatif malah sering jadi kenyataan. Untuk satu ini, saya sering pula mengutuk diri sendiri. 

Tak berapa lama, dia muncul di hadapan saya yang sedang bengong memerhatikan tingkah orang-orang yang berwisata. Dia mengajak saya bertemu temannya tadi. Sialnya si teman tidak percaya kalo saya adalah kakaknya. Ya iyeslah, Cuk, secara si Bro tadi udah 'satu atap' dengannya sekian tahun bahkan explore timur Jawa bersama. Kakak dari mana, hawong dia anak sulung, kakak dari Hongkong? Tapi bener dari Hongkong sih, eh. Beberapa istilah 'araf' dipakai dalam ngobrol kali ini. Saya auto loading secara saya hanyalah remah-remah rengginang di dalam blek Khong Guan sisa lebaran bukan CAH PONDOK yang mana saya lemah ilmu agama sehingga saat ini belum juga rampung belajarnya.


"Tulang punggung" yang nempel di punggung

Sebelum kembali pulang, kami setor muka di Alhidayah, Bedugul. Rencana menikmati view sekian meter di atas permukaan laut pun gagal karena kabut sudah turun. Saya diprotes karena kelamaan. Hello young man, sini saya jelaskan, yes. Untuk nyari tempat saja, saya kudu muter dulu secara kamar mandi wanita di sebelah kanan. Lain halnya untuk pria yang sejak dari parkiran saja sudah nampak tempatnya. Trus, kalo mau ngencehkami saya kudu buka kancing, tarik resleting dan melorotin celana dulu sebelum jongkok. Kalo kamu mungkin tinggal buka resleting aja sudah beres. Ketika sholat pun, aurat kami saya berbeda dengan Anda. Ibarat tinggal niat, takbir, cuzzz deh salam. Lah saya? Kan kudu nyari mukena dulu. Seusai wudlu saya masih bisa menyampirkan kerudung. Dan selesai sholat saya tinggal pasang lagi sambil berjalan menuju tempat sepatu. Coba cek mamak-mamak rempong sebelah saya. Mereka kudu ngelap dulu air wudlunya. Seusai sholat, kudu touch-up lagi make-upnya, kudu ditebelin lagi lipennya. Risiko ngajak cewek ya gitu. As you know, saya sudah mencoba meminimalkan hal-hal berlebihan kecuali ransel. Untuk satu itu saya mohon maaf. Itu ranselnya aja yang melendung gede. Padahal isinya mah ga ada. Saya list ya: kamera dan tasnya, baterai kamera, hp, dompet dan isinya (ini pun beberapa kartu, nota pembelian/ pembayaran dan sampah bungkus ciki sudah saya tinggal di mes), tissue, permen, biskuit, air, mantel plastik (ngambilnya last minute sebelum berangkat karena pagi harinya hujan). Isinya ini sudah tidak termasuk mukena yang saya keluarkan lagi saat packing. Kalo saya nyoliter a.k.a nyolo a.k.a jalan sendirian ke kecamatan pun kadang pakai ransel ini. Bisa dibilang, saya ini tipe-tipe well-prepared yang yahhh... masih sering ada hit & missednya juga. Jadi, kalo suruh pakai tas kecil apalagi yang diselempang di samping kayak dedek-dedek gemes itu, maaf, maaf, saya nggak punya. Solusinya ya kamu beliin saya dulu hahaha. Lagian, ada hikmahnya juga to? Kamu bisa naruh oleh-oleh makanan di ransel! Saya saja yang kepengen beli oleh-oleh saja sampai nggak sempet kan? 

Sudah jelas atau babar blas? Uwis dong apa blong

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, saya hanya bisa menempelkan kepala di punggungnya, lagi. Pegel pegel dah tuh punggung besoknya hahaha. Dia sih... nganggurin punggung gitu. Kalo sudah ada stempel "bukan milik umum", sah secara hukum dan agama, saya nggak bakal senaked senekad itu. Yaaa, namanya juga cerita naked nekad. Kalo nggak naked nekad nggak ada seninya. 

Pada perjalanan motor sebelum-sebelumnya, saya selalu stay awake. Pinggang capek, berasa patah. Tapi beban hidup saya yang saya titipkan sebentar di bahunya bukan di bahu jalan, lumayan melegakan hahaha, makasih, yes. Akhirnya, saya yang menjadi tulang punggung keluarga ini bisa nitipin bentar di punggung anak orang. Itu artinya saya memercayakan perjalanan ini 100% ke dia. Mati urip, seneng sara, slamet cilaka, wareg luwe... sik, sik... Untuk urusan perut, maaf, saya ini masuk dalam pasukan wani perih tapi wedi luwe. Jadi, kudu nyetok makanan secara saya dalam program penggemukan badan yang sempat drop 5 kg usai sakit kemarin. Bukan tanpa alasan sih, emang mau nyampe batas BMI (Body Mass Index)  tertentu agar bisa donor darah. 

Tapi saya paham, betapa berat beban hidupnya untuk menghidupi dirinya sendiri (ini belum termasuk beban hidup anak sendiri dan anak mertua loh). Makanya saya berterimakasih sekali lagi ketika dia membangunkan saya saat punggungnya kelelahan.

Dan sebagaimana yang saya ungkapkan di atas, pasukan wani perih wedi luwe ini meluncur ke Puputan untuk satu hal yang sia-sia karena destinasi yang kami datangi sudah tutup 15 menit sebelumnya. Kasihan juga sih saat melewati daerah macet di sepanjang Canggu. Entahlah, saya merasakan ketidaknyamanan sepanjang perjalanan. Auranya beda banget dengan perjalanan ke barat mencari kitab suci Singaraja pagi tadi. 

Saya memintanya berhenti di sembarang tempat makan tapi dia nggak mau mengingatkan saya bahwa kami ada janji ngopi di Dalung. Saya thoat-thoat saja toh acara ngopi ini sekedar membunuh waktu agar jarum jam segera beranjak menuju angka 9 dan 12 secara jam segitu 'green' area di Beraban sudah sepi dari dedek-dedek lucuk plus makhluk aneh dan unik-unik. 

Jangan dikira dia tidak dimonitor. HPnya masih saja berdering. "Pak Bos" menanyakan posisinya dan perintah untuk segera pulang samar-samar terdengar pasalnya masih ada 'tugas negara' yang harus dia kerjakan sebagai bentuk pengabdian seusai keluar dari kawah candradimuka. Apakah dia nurut? Ya enggak lah, untuk hari itu, dia bukan lagi santri garis keras tapi santri garis mbliyut, yang yaaahhhh walau begitu, ajaran-ajaran yang dilanggar dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan ketika kembali ke habitatnya, semua tampak baik-baik saja, tampak normal-normal saja. Begitu pun saya, seolah-seolah tidak pernah terjadi apa-apa, tidak pernah ada perjalanan kemana-mana dan 'alat' yang kami ambil pun saya perlakukan serupa belum pernah melihat sebelumnya. What the he.... Demi apa coba? Demi_kianlah adanya, hahaha. 

Trus trus, kami sepakat mengumpulkan receh untuk perjalanan selanjutnya. Dia yang ngejanjiin ngajak saya ke Teluk Ijo dan Pandawa. Saya cukup mengiyakan. Kalo toh hutang janji di dunia nggak di bayar, mau nyari di sebelah mana tuh Teluk Ijo dan Pandawa ketika sudah di akhirat. 

Dan insya Allah akan share lagi cerita-cerita nekad saya selama di Bali yang kemungkinan lebih banyak solo daripada gerudukan. Budget, dude, budget. Hahaha.

***


2019-09-07

Sensasi Ngeteng “Asyique” Jawa – Bali

Live every moment.” 
“Live every moment.” Bepergianlah dan pijaklah tanah-tanah asing sendirian. Kamu akan menemukan kejutan-kejutan yang tidak pernah kamu ekspektasikan.


Taman Pintar.
Bahwasanya akan ada perjalanan-perjalanan asyique meski sendirian.

Nekad. Itulah kata yang tepat untuk meringkas solo trip saya kemarin. Memang, rencana perjalanan ini sudah ada sejak beberapa waktu lalu. Hanya saja, saya benar-benar berani mengambilnya setelah terjadi pergulatan panjaaaaang dan sebuah peristiwa yang benar-benar mengaduk emosi saya. Lebay, lebay.

Menyesuaikan judul, saya hanya akan bercerita perjalanan dari Jawa ke Bali, sedangkan perjalanan dari Bali ke Jawa, biarlah saya simpan rapat-rapat. Cukup segitiga antara saya, Tuhan dan malaikat yang tau, hehehe.

Nah, mudik singkat selama enam hari itu saya manfaatkan untuk menyelesaikan urusan pribadi, silaturrahim serta sebuah acara yang diluar rencana adalah mendadak menjadi wali santri. Dan yang pasti, saya menjadi perempuan jalanan, pergi pagi pulang petang. Itu motor kalo bisa ngomong udah pasti teriak-teriak minta dipijitin knalpotnya. Ikut capek juga dia.

Selesai urusan di rumah, saya segera persiapan kembali ke tempat nguli. Cuzzzlah saya ke Surabaya menggunakan bus ekonomi tarif dibawah 30 ribu. Dan yang bikin deg-degan, pas dianter ‘papa anas’ (papa muda anak satu) ke terminal Seloaji, dia cerita ngalor ngidul tentang mimpi dan rencana maha besarnya dengan laju motor berkecepatan siput. Sebagai kakak yang selalu baik, tidak sombong dan mendukung penuh cita-cita adek yang gantengnya hanya bisa disaingi sama bapak dan cucu kesayangan bapak, saya mendengarkan dengan seksama dan sebaik-baiknya. Alhasil, abis nempelin pantat di bangku, bus langsung tancap gas. Saya yang akan turun di terminal Bungurasih, segera memejamkan mata. Saya masih ingat ketika masuk tol Ngawi – Nganjuk, soalnya nunggu mbak-mbak di kanan saya buat turun bus. Setelah doksi turun, saya nempelin tangan di kaca buat bersuci kemudian setor muka sama yang bikin hidup.

Cerita Asyique Dimulai dari Sini.

Setelah mbak-mbak tadi turun di Nganjuk, saya geser, pindah ke tempat duduknya. Cerita asyique mulai dari sini. Ada mas-mas yang berpenampilan rapi jali dan wangi duduk di tengah, di tempat duduk saya tadi. Ah, ketemu mas-mas mah biasa. Yang bikin luar biasa adalah saat saya mulai memejamkan mata. Dan bisa ditebak, kebiasaan pelor (nempel langsung molor) pun kambuh. Saya langsung tidur. Itu lengan kanannya udah empuk, wangi lagi hahaha (iya, iya, wanginya diulang-ulang). Memang, saya tersadar karena merasa lengannya bergerak, mungkin menggeser kepala saya biar bersandar di kaca sebelah kanan. Tapi balik lagi balik lagi kepala ini nempel di lengannya.

Entah sampai di mana, saya terbangun. Saya mendapati mas-mas di kiri saya sudah tidak ada. Mas... yang kamu lakukan ke saya itu jahat! Udah ngasih kenyamanan lalu ... meninggalkan. Kamu tuh udah kayak yang itu tuh, yang juga ngasih kenyamanan lalu meninggalkan tanpa pamitan tanpa pesan. Saya tuh nggak bisa digituin. Drama... Drama....

Bomat (bodo amat) dah, melihat suasana luar masih gelap gulita dan mata kayak dipulut, saya udah nggak ingat apa-apa. Kalo diapa-apakan pun mungkin saya tidak tahu. Woiii jangan halu, siapa juga yang mau mengapa-apakan kamu. Digratisin buat ngapa-ngapain plus dibonusin odol, sabun, sampo, kulkas, lemari, mesin cuci, atau pesawat tempur sekalipun juga gak bakal ada yang mau.

Sampai di Bungurasih, saya dibangunkan seseorang. Untung masih ada penumpang lain yang peduli. Pan keneknya mantau aja sambil berdiri di pintu belakang. Bisa dipastikan, saya adalah penumpang terakhir yang turun. Rencana turun di Ramayana biar jalan ke halte ojek online nggak terlalu jauh pun gagal total.

Seperti pejalanan sebelum-sebelumnya, saya sok-sokan tau jalan, sok angkuh dengan tawaran babang taksi dan babang ojek pangkalan lalu meluncur dengan gagah perkakas perkasa keluar terminal. Saya order ojek online menuju tempat kerja bocil, temu kangen di sana dan menikmati secangkir jahe hangat yang rutin saya konsumsi sejak dua minggu terakhir karena tenggorokan sakit bahkan suara saya parau cenderung hilang. Ini nih oleh-olehnya mblangkrak dari subuh sampai subuh lagi, eh.

Sehari di Surabaya, saya tiduran aja di kamar bocil. Rencana A ke Fuji Center gagal. Plan B buat jalan-jalan kalah sama ragu. Bukankah harus meninggalkan sesuatu yang meragukan? Antara iya dan tidak, saya memencet pesanan ojek online ke area balkot Surabaya. Sialnya, motor babang ojek tidak bersahabat, lajunya tidak maksimal. Perjalanan yang seharusnya bisa ditempun 30an menit akhirnya molor hampir satu jam. Percuma juga sih sampai tempat tujuan ternyata tidak bisa foto-foto senja. 

Nasi udah telanjur jadi bubur, akhirnya saya motret kelap-kelip lampion di sekitar destinasi yang saya tuju. Duh, kalo dulu jalan sendiri rasanya udah biasa. Tapi hari itu rasanya aneh. Hahaha, kadung pernah merasakan jalan bareng-bareng sih. Ada yang kuraaaang gitu. Tangan saya gatel pengen jahilin, cubitin atau tonjokin partner jalan. Salah sendiri, harusnya pas ada partnernya nggak usah dinikmatin, nggak usah dibiasain. Kalo akhirnya jalan nyolo gini, yang oleng siapa, Kapten? Saya, Komandan!

Balkot.
"Dan sekisah pekerja keras".

Ketempelan Omom.

Berhubung kemarin itu adalah malam 1 Suro, yang bagi sebagian orang dimanfaatkan untuk berkegiatan di lapangan, saya segera balik agar tidak terkena macet. Saya yang semula janjian jam 6 sore akhirnya harus molor tiga jam kemudian. Ya gimana, emang  sih rencananya mau dianter beli sesuatu, yang ternyata barang yang saya butuhkan sudah dibelikan, saya tinggal ambil saja.

Nah, pas nyampe TKP (tempat kejadian perkara), saya tidak pernah menyangka akan bertemu omom itu di halaman parkir. Hawong info yang saya dapet tuh omom lagi di kota sebelah. Dan memang tidak ada rencana bertemu beliau. Saya disuruh masuk tapi saya tolak halus. Sambil menunggu barang saya dibawa turun, saya berbincang sebentar dengan beliau. Lalu sekalian pamit kalo subuh besok saya balik nguli.

“Nih buat beli bekal di perjalanan.”

Jederrrr.

Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba dalam hati saya terdengar suara petir. Ketempelan omom, eh maksudnya ketempelan salam dari omom itu asyique. Apalagi nempelinnya pakek dolar. Ini bukan hanya lumayan tapi lumayan bangettt bagi pekerja kasta sudra macam saya ini.

Stasiun yang namanya sudah saya kenal sebelum saya menginjakkan kaki di sini, berjuta-juta tahun lalu.
"Dan sebuah cinta yang terhalang kasta, tahta, harta dan kuota. Duh!"

Pertautan Takdir dengan Orang Jember Part I.

Subuh belum menunjukkan tanda-tanda ketika motor yang saya tumpangi menuju stasiun Wonokromo, membelah jalanan Surabaya yang lumayan lengang. Cacak-cacak yang seyogyanya nganter saya sudah standby sejak pukul 3 dini hari, yang artinya, dia udah markir motornya di depan pagar ketika saya mandi. Padahal kami janjian pukul 3.30.

Sampai di stasiun kereta, saya pikir dia akan menurunkan saya di sekitar gate. Ternyata dia malah parkir motor kemudian ikut saya masuk ruang tunggu. Kami berbincang masalah maha besar menyangkut masa depan keluarga besar kami berdua. Saya hanya bisa minta maaf ketika merangkum semua obrolan dan saya tidak berani janji apa-apa setelah saya menjelaskan beberapa rencana jangka pendek hidup saya.

“Nggak papa, Mbak. Tapi usahakan, ya.”

Kami berpisah 15 menit sebelum jadwal kereta datang. Kalo jaman dulu, mungkin dia masuk peron kemudian nunggu saya hingga kereta benar-benar berangkat kemudian melambaikan tangan, dadadada. Tapi kebijakan sekarang berbeda, pengantar hanya bisa masuk hingga ruang tunggu dan kalaupun ingin dadadada, cukup dari balik kaca atau pagar besi saja.

Mushola di area tunggu bagian dalam lumayan ramai dengan para jamaah subuh rahimahullah. Kereta datang usai para jamaah beramiin-amiin, menyapukan kedua tangan dan membaca ummul kitab. Tidak seperti Selasa kemarin, di mana kereta masih lengang, kali ini gerbong sudah lumayan penuh. Etdah, nih orang-orang berhari Minggu kemana yak, dari subuh udah ramai gini, pikir saya dalam hati.

Saya segera mencari tempat duduk kemudia melakukan ritual ... pelor!!! Namun, ritual itu tidak berjalan mulus semulus pipi babang-babang Korea lantaran tiga orang tante-tante di depan saya ngobrolnya tanpa spasi plus pakai nada tinggi macam bicara pakai TOA. Yaaa, begitulah kebiasaan sebagian warga negara berflower, kalo udah asyique ngobrol, dunia hanya milik komunitasnya, yang lain mah ngontrak atau menyewa.

Sampai di Jember, seorang bapak-bapak datang. Harusnya sih beliau duduk di seat B, sebelah saya yang berada di seat C. Hanya saja, tante-tante itu kadung nyaman ngobrol plus si bapak juga puyeng kalo duduk berlawanan dengan arah kereta, maka beliau duduk di depan saya. Tidak ada obrolan apa-apa sampai tante-tante tadi turun. Meski sadar, saya tetap memejamkan mata dan sesekali mengecek HP kalau-kalau ada yang nyari (ternyata nggak ada).

Sampai di stasiun ...tettt, sensor..., tripel seat yang berhadap-hadapan itu hanya tinggal saya dan bapak-bapak itu. Beliau membuka obrolan dengan ghibah ... hahaha, bahwasanya ketiga tante-tante tadi ngobrol tanpa henti. Beliau yang hanya menikmati obrolan mereka separuh perjalan aja protes, lah saya yang full fare apa kabar?

Entah kenapa, saya yang kadang suka nyaut obrolan, kali ini mencoba ngerem untuk tidak banyak bicara. Saya mendengarkan kisah hidupnya, kesuksesannya sebagai petani jeruk (Jember terkenal dengan jeruknya, yekan?) yang membawanya naik haji di tahun 2016, kesuksesan anak-anaknya yang juga bekerja di jawatan kereta api, dan seorang bayi yang dihadiahkan Tuhan di usianya yang tak lagi muda (itung aja dah usianya jika anak sulungnya lulusan S1 dan sudah bekerja sekitar empat tahunan, anak kedua masih SMP, anak ketiga baru tiga tahun).

Yang namanya komunikasi, tentu ada perbincangan dua arah. Kalo hanya satu orang aja yang ngomong, namanya monolog. Gara-gara kejujuran saya tentang status saya, tuh bapak mulai mengorek-ngorek kisah hidup saya yang nggak kayak le mineral (nggak ada manis-manisnya). Padahal dari tadi saya sudah ngerem banget buat bicara. Tapi ya gimana, saya orangnya susah bohong. Lagipula, bila ada satu kebohongan maka akan ada kebohongan-kebohongan selanjutnya. Kalo saya bilang saya sudah punya anak gitu mungkin lebih aman kali ya. Tapi orang banyak yang nggak percaya sih kalo saya punya anak, pasti dibilangnya anak kucing. Dan emang bener sih, di rumah saya ada lima anak kucing.

“Oh, adik-adiknya sudah lulus ** semua? Berarti usia mbaknya udah ** tahun dong. Jadi ini yang bikin mbaknya ***** sampai sekarang?” Setdah, gara-gara bapaknya ngomong nggak pakek saringan, banyak sensor nih tulisan. Saya ngangguk kalem. Duhkah, diskakmat sama analisa bapak ini.

“Pesan saya, kalo nyari jodoh jangan hanya lihat gantengnya saja. Orang ganteng itu nyakitin.”

Jederrr.

Jederrr.

Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba dalam hati saya terdengar suara petir dua kali. Badan saya rasanya seperti terbakar, gosong kemudian abunya rontok, hancur berkeping-keping lalu diterbangkan angin.


Stasiun BWI baru, diambil pas perjalanan dari Bali ke Jawa, lima hari sebelumnya.
"Fahimti? La fahim! Jederrr."


Akang-akang Banyuwangi yang Ngangeni

Begitulah, ketika tidak ada teman di kereta, tiba-tiba Tuhan mengirimkan bapak-bapak yang menemani perjalanan solo saya. Bahkan bapak itu sempat menyalami saya ketika beliau turun di Karangasem - Banyuwangi. Etdah, sampai segitunya gara-gara kasihan kali ya mendengar kisah hidup saya yang kayak jus pare ini. Paitttt. 

Sampai di stasiun ini berarti kurang satu stasiun lagi saya sampai di tujuan, di Banyuwangi baru. Dua atau tiga kursi di depan saya ada dedek-dedek dengan kostum casual sedang menurunkan tas bawaannya. Sepertinya dia duduk satu deret dengan saya tapi setelah menurunkan tasnya itu dia duduk di deretan seberang dan menghadap ke depan sesuai lajur kereta, yang artinya kami berhadap-hadapan.

Saya sempat menganggapnya ini hanya pertalian takdir yang biasa. Ternyata tangan Tuhan bekerja dengan cara lain. Sesampainya di stasiun terakhir, semua penumpang pun turun. Saya masih sempat melihat dedek-dedek tadi turun duluan tapi ketika keluar gate, dia berjalan di belakang saya. Lalu dia menyapa saya, menanyakan arah penyeberangan kapal di Ketapang.

Jiwa kepahlawan saya kumat. Saya yang baru pengalaman kedua nyebrang pakai kapal sok-sokan paham lalu mengajaknya jalan bareng. Eit, jalan bareng ini maksudnya jalan bareng calon penumpang kapal lain yang menuju penyeberangan di Ketapang.

Melewati Alfamart, saya teringat kejadian enam hari lalu saat melakukan transaksi pembayaran tiket kereta. Tengah malam itu saya menunggu jadwal keberangkatan kereta Probowangi lalu mencari toko 24 jam guna membeli makanan. Perpaduan susu bantal dan roti kasur bakal bikin saya tidur. 10 jam ke depan bakal bikin perjalanan terasa panjang tanpa makanan. Kan di dalam kereta bisa beli nasi box, snack, mie gelas, minuman panas / dingin. Yaelah, udah dibilang ini nyolo asyique, kalo nggak ekonomis nggak asyique.

Berdasarkan pengalaman berangkat, saya kehabisan tiket kereta ekonomi yang membuat perjalanan saya ditunda sehari kemudian. Saya nggak mau ketika ke Bali nanti, saya juga kehabisan tiket. Saya mikir cepat kemudian segera booking tiket kereta arah Banyuwangi Baru yang ternyata tinggal tiga seat saja. Langsung... eksekusi karena dalam hitungan 30 menit ke belakang, bookingan itu akan hangus jika tidak segera dibayar. Lagipula saya masih di Alfamart, transaksi akan lebih mudah karena dekat.

Masalah muncul. Saya bawa cash dikit, pun transaksi sebelumnya saya bayar pakai Gopay. Ketika saya hendak melakukan pembayaran tiket, saya menyodorkan kartu debet yang ternyata mesin ATM Alfamart sedang ada gangguan. Saya menawarkan pembayaran pakai Gopay yang ternyata Gopay tidak bisa melakukan pembayaran tertentu. Saya korek-korek isi dompet, saya keluarkan semua isinya, mulai dari KTP, KTM, ATM, SIM, paspor, kartu Ponta, kartu diskon toko pakaian – toko make up – toko elektronik – toko minuman dan makanan – toko bahan bangunan – dan nota-nota pembayaran maupun tagihan. Biar dah tuh meja kasir udah kayak kapal pecah. Yang ternyata, uang tunai saya masih saja kurang untuk melakukan pembayaran.

Akang-akang di Alfamart Banyuwangi itu akhirnya nombokin saya. Untung nombokinnya nggak banyak. Sebenarnya bisa saja sih si akang nyuruh saya melakukan tarik tunai atau mencari ATM di sekitaran situ. Nyatanya, hal itu tidak dia lakukan. Ya... saya percaya, beginilah tangan Tuhan bekerja.

Akang, kamu benar-benar ngangeni.


Langit dan laut lagi kompakan cakepnya
Nggak kayak kita yang yahhh...begitulah. Loh!

Pertautan takdir dengan orang Jember part II.

Kembali ke dedek-dedek di kereta tadi, semula dia tanya apakah saya punya e-toll. Saya loading. Yang ternyata, per 15 Agustus 2019 ini, pembayaran tiket kapal menggunakan e-money. Duhkah... Horang mhacam hapah syayah hinih, horak uph-dhate syama syekali!!!

Saya ditawari agar ngikut dia saja. Yang semula saya dikuntit dia, kini terbalik, saya yang nguntit dia. Inilah bukti: dunia itu berputar, Bambang. Dia nalangin saya. Dan ketika sudah di atas kapal, saya tulus ingin mengembalikan uang tersebut.

“Nggak usah, Mbak. Nggak seberapa ini.” Tapi pertolonganmu sangat seberapa buat saya, Dedek. Ini namanya kamu nggak nalangin tetapi bayarin. Dek, kamu love-able banget, sih. Lebay, lebay.

Bahkan saat kami naik bus mini jurusan Gilimanuk-Denpasar, dia yang duduk tepat di belakang saya, ternyata dia juga ngejagain saya. Saat itu bus sudah berhenti di perempatan Soekarno - Kediri. Saya yang turun di masjid Kediri, siap-siap beresin barang bawaan. Dia menyapa saya dari belakang.

“Udah sampai Soekarno, Mbak.” Duhdek, nais anet cih amu.

Untungnya pas bus ngetem tadi, kami sempat ngobrol dengan sesama penumpang, baik  mengenai tujuan maupun tarif bus_yang menurut dedek Gojek hanya 30 ribu ternyata ketika di lapangan, kami pada kenak 40 ribu. Kami berkenalan, saling melontarkan pertanyaan basa-basi yang menurut saya nggak basi-basi amatlah.

Saya menuliskan kebaikan dedek itu bukan untuk menyaingi tugas malaikat Raqib tapi karena di dunia ini masih perlu banyak orang-orang baik. Ohya, dedek itu bernama Bobby, masih kuliah tahun pertama di Udayana, ambil jurusan manajemen perhotelan. Hahaha, cari dah cari tuh orangnya. Kalo ketemu, tolong kasih link tulisan ini padanya sebagai ucapan terimakasih, yes.

Hmmm, hmmm, pertautan takdir dengan orang Jember part II ini sungguh asyique.

Dipantau Dedek Gojek

Fix, yes. Paragraf ini untuk melengkapi informasi yang sempat saya tulis di atas mengenai dedek Gojek. Saya pernah menjadi pelanggan Gojeknya sehingga doksi memantau perjalanan solo saya dari Bali ke Jawa. Bukan apa, ini untuk memastikan kalo saya waras wiris, sluman slumun slametLebay, lebay.

Hahaha, saya merasa jadi orang penting deh ketika saya update info dan share loc ke dia. Mulai dari penjemputan pertama di depan mes di Tabanan hingga kembali lagi ke Tabanan. Inisial dedek Gojek itu R A M A. Etdah, itu bukan inisial lagi, itu udah sebuah nama, cuy. Pas ngeride, kami sempat ngobrol. Saya cerita kalo nanti bakal nyolo Jawa-Bali. Dedek itu juga cerita kalo sering touring bareng NMAX Rider Tabanan (NARITA). Cari dah cari tuh orangnya. Kalo ketemu, tolong kasih link tulisan ini padanya sebagai ucapan terimakasih, yes. Dan semingguan ini saya sempat melihat beberapa WA statusnya yang merekam perjalanan Touring bersama NARITA.

Karena Tuhan Maha Asyique

Demikianlah kebaikan itu ada di mana-mana. Saya sempat pesimis, buat apa saya berbaik-baik kalo lingkungan saya selalunya memberikan balasan yang sebaliknya. Tapi dengan begini, saya harus selalu khusnudzon, bahwasanya apa yang kita tanam itu pula yang kita petik. Ketika kita menanam kebaikan akan tumbuh kebaikan. Tapi ketika kita menanam mayat?

Percayalah, Tuhan itu Maha Asyique. Dia akan membalas kebaikan meski sebiji zarrah, yang walaupun balasan itu tidak mesti akan diterima saat itu juga. Karena Tuhan itu Maha Tahu tapi Dia menunggu.

***

Note:
Penyebutan merk tidak ada unsur promosi.