[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe
"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.
[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan
Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.
[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong
Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.
[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan
Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.
[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada
Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.
2019-09-28
Sepenggal Cerita dari Singaraja
2019-09-07
Sensasi Ngeteng “Asyique” Jawa – Bali
Live every moment.” |
Taman Pintar. Bahwasanya akan ada perjalanan-perjalanan asyique meski sendirian. |
Nekad. Itulah kata yang tepat untuk meringkas solo trip saya kemarin. Memang, rencana perjalanan ini sudah ada sejak beberapa waktu lalu. Hanya saja, saya benar-benar berani mengambilnya setelah terjadi pergulatan panjaaaaang dan sebuah peristiwa yang benar-benar mengaduk emosi saya. Lebay, lebay.
Nah, mudik singkat selama enam hari itu saya manfaatkan untuk menyelesaikan urusan pribadi, silaturrahim serta sebuah acara yang diluar rencana adalah mendadak menjadi wali santri. Dan yang pasti, saya menjadi perempuan jalanan, pergi pagi pulang petang. Itu motor kalo bisa ngomong udah pasti teriak-teriak minta dipijitin
Berhubung kemarin itu adalah malam 1 Suro, yang bagi sebagian orang dimanfaatkan untuk berkegiatan di lapangan, saya segera balik agar tidak terkena macet. Saya yang semula janjian jam 6 sore akhirnya harus molor tiga jam kemudian. Ya gimana, emang sih rencananya mau dianter beli sesuatu, yang ternyata barang yang saya butuhkan sudah dibelikan, saya tinggal ambil saja.
Nah, pas nyampe TKP (tempat kejadian perkara), saya tidak pernah menyangka akan bertemu omom itu di halaman parkir. Hawong info yang saya dapet tuh omom lagi di kota sebelah. Dan memang tidak ada rencana bertemu beliau. Saya disuruh masuk tapi saya tolak halus. Sambil menunggu barang saya dibawa turun, saya berbincang sebentar dengan beliau. Lalu sekalian pamit kalo subuh besok saya balik nguli.
“Nih buat beli bekal di perjalanan.”
Jederrrr.
Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba dalam hati saya terdengar suara petir. Ketempelan omom, eh maksudnya ketempelan salam dari omom itu asyique. Apalagi nempelinnya pakek dolar. Ini bukan hanya lumayan tapi lumayan bangettt bagi pekerja kasta sudra macam saya ini.
Stasiun yang namanya sudah saya kenal sebelum saya menginjakkan kaki di sini, berjuta-juta tahun lalu. "Dan sebuah cinta yang terhalang kasta, tahta, harta dan kuota. Duh!" |
Pertautan Takdir dengan Orang Jember Part I.
Subuh belum menunjukkan tanda-tanda ketika motor yang saya tumpangi menuju stasiun Wonokromo, membelah jalanan Surabaya yang lumayan lengang. Cacak-cacak yang seyogyanya nganter saya sudah standby sejak pukul 3 dini hari, yang artinya, dia udah markir motornya di depan pagar ketika saya mandi. Padahal kami janjian pukul 3.30.
Sampai di stasiun kereta, saya pikir dia akan menurunkan saya di sekitar gate. Ternyata dia malah parkir motor kemudian ikut saya masuk ruang tunggu. Kami berbincang masalah
“Nggak papa, Mbak. Tapi usahakan, ya.”
Kami berpisah 15 menit sebelum jadwal kereta datang. Kalo jaman dulu, mungkin dia masuk peron kemudian nunggu saya hingga kereta benar-benar berangkat kemudian melambaikan tangan, dadadada. Tapi kebijakan sekarang berbeda, pengantar hanya bisa masuk hingga ruang tunggu dan kalaupun ingin dadadada, cukup dari balik kaca atau pagar besi saja.
Mushola di area tunggu bagian dalam lumayan ramai dengan para jamaah subuh rahimahullah. Kereta datang usai para jamaah beramiin-amiin, menyapukan kedua tangan dan membaca ummul kitab. Tidak seperti Selasa kemarin, di mana kereta masih lengang, kali ini gerbong sudah lumayan penuh. Etdah, nih orang-orang berhari Minggu kemana yak, dari subuh udah ramai gini, pikir saya dalam hati.
Saya segera mencari tempat duduk kemudia melakukan ritual ... pelor!!! Namun, ritual itu tidak berjalan mulus semulus pipi babang-babang Korea lantaran tiga orang tante-tante di depan saya ngobrolnya tanpa spasi plus pakai nada tinggi macam bicara pakai TOA. Yaaa, begitulah kebiasaan sebagian warga negara berflower, kalo udah asyique ngobrol, dunia hanya milik komunitasnya, yang lain mah ngontrak atau menyewa.
Sampai di Jember, seorang bapak-bapak datang. Harusnya sih beliau duduk di seat B, sebelah saya yang berada di seat C. Hanya saja, tante-tante itu kadung nyaman ngobrol plus si bapak juga puyeng kalo duduk berlawanan dengan arah kereta, maka beliau duduk di depan saya. Tidak ada obrolan apa-apa sampai tante-tante tadi turun. Meski sadar, saya tetap memejamkan mata dan sesekali mengecek HP kalau-kalau ada yang nyari (ternyata nggak ada).
Sampai di stasiun ...tettt, sensor..., tripel seat yang berhadap-hadapan itu hanya tinggal saya dan bapak-bapak itu. Beliau membuka obrolan dengan ghibah ... hahaha, bahwasanya ketiga tante-tante tadi ngobrol tanpa henti. Beliau yang hanya menikmati obrolan mereka separuh perjalan aja protes, lah saya yang full fare apa kabar?
Entah kenapa, saya yang kadang suka nyaut obrolan, kali ini mencoba ngerem untuk tidak banyak bicara. Saya mendengarkan kisah hidupnya, kesuksesannya sebagai petani jeruk (Jember terkenal dengan jeruknya, yekan?) yang membawanya naik haji di tahun 2016, kesuksesan anak-anaknya yang juga bekerja di jawatan kereta api, dan seorang bayi yang dihadiahkan Tuhan di usianya yang tak lagi muda (itung aja dah usianya jika anak sulungnya lulusan S1 dan sudah bekerja sekitar empat tahunan, anak kedua masih SMP, anak ketiga baru tiga tahun).
Yang namanya komunikasi, tentu ada perbincangan dua arah. Kalo hanya satu orang aja yang ngomong, namanya monolog. Gara-gara kejujuran saya tentang status saya, tuh bapak mulai mengorek-ngorek kisah hidup saya yang nggak kayak le mineral (nggak ada manis-manisnya). Padahal dari tadi saya sudah ngerem banget buat bicara. Tapi ya gimana, saya orangnya susah bohong. Lagipula, bila ada satu kebohongan maka akan ada kebohongan-kebohongan selanjutnya. Kalo saya bilang saya sudah punya anak gitu mungkin lebih aman kali ya. Tapi orang banyak yang nggak percaya sih kalo saya punya anak, pasti dibilangnya anak kucing. Dan emang bener sih, di rumah saya ada lima anak kucing.
“Oh, adik-adiknya sudah lulus ** semua? Berarti usia mbaknya udah ** tahun dong. Jadi ini yang bikin mbaknya ***** sampai sekarang?” Setdah, gara-gara bapaknya ngomong nggak pakek saringan, banyak sensor nih tulisan. Saya ngangguk kalem. Duhkah, diskakmat sama analisa bapak ini.
“Pesan saya, kalo nyari jodoh jangan hanya lihat gantengnya saja. Orang ganteng itu nyakitin.”
Jederrr.
Jederrr.
Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba dalam hati saya terdengar suara petir dua kali. Badan saya rasanya seperti terbakar, gosong kemudian abunya rontok, hancur berkeping-keping lalu diterbangkan angin.
Stasiun BWI baru, diambil pas perjalanan dari Bali ke Jawa, lima hari sebelumnya. "Fahimti? La fahim! Jederrr." |
Akang-akang Banyuwangi yang Ngangeni
Begitulah, ketika tidak ada teman di kereta, tiba-tiba Tuhan mengirimkan bapak-bapak yang menemani perjalanan solo saya. Bahkan bapak itu sempat menyalami saya ketika beliau turun di Karangasem - Banyuwangi. Etdah, sampai segitunya gara-gara kasihan kali ya mendengar kisah hidup saya yang kayak jus pare ini. Paitttt.
Sampai di stasiun ini berarti kurang satu stasiun lagi saya sampai di tujuan, di Banyuwangi baru. Dua atau tiga kursi di depan saya ada dedek-dedek dengan kostum casual sedang menurunkan tas bawaannya. Sepertinya dia duduk satu deret dengan saya tapi setelah menurunkan tasnya itu dia duduk di deretan seberang dan menghadap ke depan sesuai lajur kereta, yang artinya kami berhadap-hadapan.
Saya sempat menganggapnya ini hanya pertalian takdir yang biasa. Ternyata tangan Tuhan bekerja dengan cara lain. Sesampainya di stasiun terakhir, semua penumpang pun turun. Saya masih sempat melihat dedek-dedek tadi turun duluan tapi ketika keluar gate, dia berjalan di belakang saya. Lalu dia menyapa saya, menanyakan arah penyeberangan kapal di Ketapang.
Jiwa kepahlawan saya kumat. Saya yang baru pengalaman kedua nyebrang pakai kapal sok-sokan paham lalu mengajaknya jalan bareng. Eit, jalan bareng ini maksudnya jalan bareng calon penumpang kapal lain yang menuju penyeberangan di Ketapang.
Melewati Alfamart, saya teringat kejadian enam hari lalu saat melakukan transaksi pembayaran tiket kereta. Tengah malam itu saya menunggu jadwal keberangkatan kereta Probowangi lalu mencari toko 24 jam guna membeli makanan. Perpaduan susu bantal dan roti kasur bakal bikin saya tidur. 10 jam ke depan bakal bikin perjalanan terasa panjang tanpa makanan. Kan di dalam kereta bisa beli nasi box, snack, mie gelas, minuman panas / dingin. Yaelah, udah dibilang ini nyolo asyique, kalo nggak ekonomis nggak asyique.
Berdasarkan pengalaman berangkat, saya kehabisan tiket kereta ekonomi yang membuat perjalanan saya ditunda sehari kemudian. Saya nggak mau ketika ke Bali nanti, saya juga kehabisan tiket. Saya mikir cepat kemudian segera booking tiket kereta arah Banyuwangi Baru yang ternyata tinggal tiga seat saja. Langsung... eksekusi karena dalam hitungan 30 menit ke belakang, bookingan itu akan hangus jika tidak segera dibayar. Lagipula saya masih di Alfamart, transaksi akan lebih mudah karena dekat.
Masalah muncul. Saya bawa cash dikit, pun transaksi sebelumnya saya bayar pakai Gopay. Ketika saya hendak melakukan pembayaran tiket, saya menyodorkan kartu debet yang ternyata mesin ATM Alfamart sedang ada gangguan. Saya menawarkan pembayaran pakai Gopay yang ternyata Gopay tidak bisa melakukan pembayaran tertentu. Saya korek-korek isi dompet, saya keluarkan semua isinya, mulai dari KTP, KTM, ATM, SIM, paspor, kartu Ponta, kartu diskon toko pakaian – toko make up – toko elektronik – toko minuman dan makanan – toko bahan bangunan – dan nota-nota pembayaran maupun tagihan. Biar dah tuh meja kasir udah kayak kapal pecah. Yang ternyata, uang tunai saya masih saja kurang untuk melakukan pembayaran.
Akang-akang di Alfamart Banyuwangi itu akhirnya nombokin saya. Untung nombokinnya nggak banyak. Sebenarnya bisa saja sih si akang nyuruh saya melakukan tarik tunai atau mencari ATM di sekitaran situ. Nyatanya, hal itu tidak dia lakukan. Ya... saya percaya, beginilah tangan Tuhan bekerja.
Akang, kamu benar-benar ngangeni.
Langit dan laut lagi kompakan cakepnya Nggak kayak kita yang yahhh...begitulah. Loh! |
Kembali ke dedek-dedek di kereta tadi, semula dia tanya apakah saya punya e-toll. Saya loading. Yang ternyata, per 15 Agustus 2019 ini, pembayaran tiket kapal menggunakan e-money. Duhkah... Horang mhacam hapah syayah hinih, horak uph-dhate syama syekali!!!
Saya ditawari agar ngikut dia saja. Yang semula saya dikuntit dia, kini terbalik, saya yang nguntit dia. Inilah bukti: dunia itu berputar, Bambang. Dia nalangin saya. Dan ketika sudah di atas kapal, saya tulus ingin mengembalikan uang tersebut.
“Nggak usah, Mbak. Nggak seberapa ini.” Tapi pertolonganmu sangat seberapa buat saya, Dedek. Ini namanya kamu nggak nalangin tetapi bayarin. Dek, kamu love-able banget, sih. Lebay, lebay.
Bahkan saat kami naik bus mini jurusan Gilimanuk-Denpasar, dia yang duduk tepat di belakang saya, ternyata dia juga ngejagain saya. Saat itu bus sudah berhenti di perempatan Soekarno - Kediri. Saya yang turun di masjid Kediri, siap-siap beresin barang bawaan. Dia menyapa saya dari belakang.
“Udah sampai Soekarno, Mbak.” Duhdek, nais anet cih amu.
Untungnya pas bus ngetem tadi, kami sempat ngobrol dengan sesama penumpang, baik mengenai tujuan maupun tarif bus_yang menurut dedek Gojek hanya 30 ribu ternyata ketika di lapangan, kami pada kenak 40 ribu. Kami berkenalan, saling melontarkan pertanyaan basa-basi yang menurut saya nggak basi-basi amatlah.
Saya menuliskan kebaikan dedek itu bukan untuk menyaingi tugas malaikat Raqib tapi karena di dunia ini masih perlu banyak orang-orang baik. Ohya, dedek itu bernama Bobby, masih kuliah tahun pertama di Udayana, ambil jurusan manajemen perhotelan. Hahaha, cari dah cari tuh orangnya. Kalo ketemu, tolong kasih link tulisan ini padanya sebagai ucapan terimakasih, yes.
Hmmm, hmmm, pertautan takdir dengan orang Jember part II ini sungguh asyique.
Dipantau Dedek Gojek
Fix, yes. Paragraf ini untuk melengkapi informasi yang sempat saya tulis di atas mengenai dedek Gojek. Saya pernah menjadi pelanggan Gojeknya sehingga doksi memantau perjalanan solo saya dari Bali ke Jawa. Bukan apa, ini untuk memastikan kalo saya waras wiris, sluman slumun slamet. Lebay, lebay.
Hahaha, saya merasa jadi orang penting deh ketika saya update info dan share loc ke dia. Mulai dari penjemputan pertama di depan mes di Tabanan hingga kembali lagi ke Tabanan. Inisial dedek Gojek itu R A M A. Etdah, itu bukan inisial lagi, itu udah sebuah nama, cuy. Pas ngeride, kami sempat ngobrol. Saya cerita kalo nanti bakal nyolo Jawa-Bali. Dedek itu juga cerita kalo sering touring bareng NMAX Rider Tabanan (NARITA). Cari dah cari tuh orangnya. Kalo ketemu, tolong kasih link tulisan ini padanya sebagai ucapan terimakasih, yes. Dan semingguan ini saya sempat melihat beberapa WA statusnya yang merekam perjalanan Touring bersama NARITA.
Karena Tuhan Maha Asyique
Demikianlah kebaikan itu ada di mana-mana. Saya sempat pesimis, buat apa saya berbaik-baik kalo lingkungan saya selalunya memberikan balasan yang sebaliknya. Tapi dengan begini, saya harus selalu khusnudzon, bahwasanya apa yang kita tanam itu pula yang kita petik. Ketika kita menanam kebaikan akan tumbuh kebaikan. Tapi ketika kita menanam mayat?
Percayalah, Tuhan itu Maha Asyique. Dia akan membalas kebaikan meski sebiji zarrah, yang walaupun balasan itu tidak mesti akan diterima saat itu juga. Karena Tuhan itu Maha Tahu tapi Dia menunggu.
***
Note:
Penyebutan merk tidak ada unsur promosi.