Pages - Menu

2014-08-31

[Curcol] Mulutmu Harimaumu

Mulutmu Harimaumu

Nah lo, teman-teman seantero Hong Kong semua, hati-hatilah menjaga mulut kita. Judul di atas bukan iklan layanan masyarakat tetapi himbauan untuk teman-teman semua dan khususnya untuk saya sendiri agar senantiasa berhati-hati menjaga ucapan. Lidah tak bertulang gitu loh. Ia bisa lincah bergerak hingga misuh-misuh dan atau bualan berbusa-busa pun sering muncrat di sana.

Seperti yang dialami Ani (sebut saja begitu), teman seperjuangan kita yang berasal dari Banjarnegara ini. Hari itu dia menikmati hari liburnya yang jatuh di hari Sabtu bersama seorang rekan satu kampunnya dari Banjarnegara juga. Aksen ngapak terdengar khas, meluber di mana-mana. Setelah seharian mengelilingi pasar sayur, akhirnya mereka berdua menemukan pasar baju yang sedang obral. Maklum, mau konin, jadi dia ikut-ikutan ribet belanja pakaian lebaran. Apalagi, katanya, dia harus menemani majikannya tau laisi dengan dalih menjaga anak asuhnya keliling ke tempat-tempat saudara. Lumayan kan, biar isi dompet makin bahenol!

Sebagai sosok yang senantiasa lihai beradaptasi dengan tuntutan profesi, hal ini seolah-olah menggerakkannya untuk memperbaiki penampilan. Bukankah ajining raga ana ing busana, ajining dhiri ana ing lathi? Maka, dalam waktu kurang dari 4 jam, sekantong kresek bertuliskan huruf China berisi kostum lebaran kini di tangan.

Lelah keliling pasar, akhirnya keduanya memutuskan untuk makan siang di warung cepat saji dengan simbul 3 huruf kapital berwarna dasar biru dan merah (maaf, penulis tidak mau menyebut merk, bukan tukang iklan jew!) Seperti warung cepat saji umumnya yang selalu berjubel dan antri pembeli, maka keduanya kena getahnya.

Setelah order dua set menu makan siang_meski sudah kelewat lunch dan sudah masuk teatime, mereka putar-putar isi warung untuk mencari tempat duduk agar bisa makan dengan leluasa. Sayangnya, tetap saja mereka tak menemukannya. Meski akhirnya Ani menemukan 3 kursi kosong.

"(Lito) yau mo yan, aa" ucapnya pada seorang mui-mui yang duduk di dekat 3 kursi kosong itu.

"Yau aa."

Akhirnya mereka berdua muter-muter warung lagi sembari membawa baki berisi makanan. Lagi-lagi langkahnya terhenti pada 3 kursi kosong tadi. Kali ini yang menduduki salah satu dari 3 kursi di dekat mui-mui tadi adalah seorang mbak Indonesia (yang juga berprofesi sebagai kungyang juga). Sedangkan kursi yang diduduki mui-mui tadi ditempati tas ransel kecil bergambar tokoh kartun.

"Ana wong e, Mbak?" tanya Ani. Rekannya tadi hanya berdiri di dekat Ani.

"Oh, 2 kursi di sebelah sana kosong, Mbak," jawab mba Indonesia tadi.

"Walah, dasar bocah gendheng. Mau nyong takon ning bocah, jare ana wong e. Nyong wes kencot kie, mandan diapusi." Ani masih saja nggerundel sembari mengingsutkan bokongnya pada kursi kosong tadi diikuti oleh rekannya. "Kok, rika ura mangan, Mbak?" lanjutnya berbasa-basi melihat ada seporsi makanan di depan Mbak Indonesia itu.

"Lagi nunggu anak saya yang ke toilet."

What? Ternyata bocah yang digendheng-gendhengkan Ani tadi adalah anak asuh si Mbak tersebut. Pantas saja wajah si Mbak berubah masam ketika Ani mengumpat.

"Ya nyong ora weruh mbok anak e si Mbak kie," sanggah Ani ketika rekannya menasehati. Lain kali hati-hati ya, Mbak. Mulutmu harimaumu, loh!

***

No comments:

Post a Comment