Pages - Menu

2015-03-21

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan


Minggu pagi di bulan Maret itu cuaca sangat bersahabat. Matahari bersinar terang. Langit mengamini indahnya alam Indonesia dengan membentangkan warna biru yang memesona. Jarum jam baru saja bergeser dari angka tujuh. Saya mengayuh sepeda ontel menuju terminal bus Seloaji (terminal baru)-Ponorogo. Hanya perlu 10 menit saya telah sampai di sana.

Setelah menitipkan sepeda di utara terminal dengan biaya Rp 1000/hari, saya bergegas membeli bekal makanan kemudian menyeberang jalan untuk mencari bus jurusan Pacitan. Keberuntungan masih berada di pihak saya ketika bus yang saya maksud sudah ngetem di ruas jalan. Sebenarnya bukan pemandangan rapi selayaknya terminal bus di Hong Kong. Tetapi saya diuntungkan karena tidak perlu berjalan terlalu jauh ke bagian dalam terminal. Saya mengeluarkan uang RP 14.000 untuk biaya perjalanannya.

Kengerian bermula dari sini ketika bus yang saya tumpangi harus menunggu penumpang hingga 30-an menit. Ada rasa bosan ketika menunggu begitu lama terlebih handphone saya kehabisan pulsa, tidak ngerti cara ngisi pulasanya pula (hahaha kampungan!) dan saya tidak membawa buku. Komplitlah.

Hingga akhirnya bus itu berangkat juga. Di beberapa pinggir jalan, sesekali bus berhenti untuk menaikkan penumpang. Saya lega. Akhirnya "pecah telur" di tahun 2013 lalu. Perjalanan jomblo ... eh solo pertama saya dimulai. Namun, hanya berjalan beberapa km, tepatnya di daerah Paju-Ponorogo, bus itu ngetem lagi. Saya fikir ini tidak lama. Nyatanya pak sopir malah turun dari bus dan mampir di sebuah warung kopi. Ia hanya duduk-duduk di bangku depan warung dan berbincang dengan beberapa lelaki di sana. Beberapa penumpang mengeluh tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Ibaratnya, perjalanan ini kan ada dalam kuasa pak sopir.

Bus pun berjalan lagi. Di sepanjang perjalanan antara Ponorogo dan Pacitan, mata ini disuguhi pemandangan yang luar biasa. Rumah-rumah penduduk banyak yang berada di bukit atau tanah yang lebih tinggi dari ruas jalan. Sawah-sawah terlihat berwarna hijau segar. Terasiring nampak seperti tangga berundak. Nyiur pohon kelapa dan gubug di tengah sawah membuat hati menjadi adem ketika memandang. Jalan sempit dan berkelok yang penuh dengan turunan maupun tikungan tajam, sedikit membuat hati berdesir, ngeri. Tapi inilah seni perjalanan di Indonesia. Maka, bila Anda yang saat ini merantau dan berencana kembali ke kampung halaman, jangan sampai heran dengan pelayanan transportasinya.

Belum puas mata ini dibuai alam yang masih perawan, bus berhenti, ngetem lagi. Kali ini sudah masuk daerah Tegal Ombo-Pacitan. Beberapa waktu sebelumnya, baliho selamat datang di kabupaten Pacitan dengan gambar wajah presiden menyambut bus yang saya tumpangi. Amboi, keren sekali.

Yang membuat tidak keren adalah ulah sopir. Sembari menurunkan dan menaikan penumpang, ia turun dari jok lalu memesan secangkir kopi di warung seberang jalan. Tak hanya itu, seusai menikmati coffee time-nya, ia berjalan di beberapa lapak buah. Mata saya terus mengawasi gerak-geriknya yang sesekali memetik rambutan yang menjadi komoditi pedagang. Bila mengingat hal itu, saya hanya terkekeh dan merasa geli.

Bus non-AC yang saya tumpangi terasa pengap. Aroma bensin, keringat, dan bau ayam yang dibawa masuk oleh pedangan bercampur menjadi satu. Panas yang menyengat membuat kelembaban semakin tinggi. Mendung putih pucat mulai mewarnai langit biru. Sepertinya mau hujan.

Tibalah saya di terminal Pacitan. Dengan kondisi transportasi yang seperti itu, perjalanan yang seharusnya hanya membutuhkan waktu 3 jam harus molor hingga pukul 11:30-an. Beberapa tukang ojek menawarkan tumpangan. Saya pun menerimanya untuk mempercepat perjalanan saya menuju pantai Teleng Ria dengan biaya Rp 5000 meski saya bisa ke sana dengan jalan kaki.

Memasuki area pantai, setiap kepala dan kendaraan pribadi dikenai karcis masuk sebesar Rp 5000. Namun, ojek tetap bisa mengantar saya hingga ke bagian dalam di dekat arena penjual makanan, aneka olahan hasil laut, sale pisang (pisang yang dikeringkan), maupun sovenir. Terdengar musik dangdut dan campursari mengalun. Rupanya ada orkes live di sana. Tak menunggu tempo, saya berjalan ke arah pantai, mengenang masa-masa bermain bersama teman-teman saat masih berseragam abu-abu.


Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan. Saya sempat kepikiran untuk camping di sini, hehehe.

Begitu sampai di lokasi, saya tidak buru-buru menceburkan kaki dalam air. Dulu, saya suka mengejar kepiting atau mencari kulit kerang-kerang kecil yang banyak bertebaran di sana. Sayangnya, saat ini semuanya seperti tertimbun oleh banyaknya sampah reranting pohon dan botol bekas minuman. Para pengunjung nampak cuek dengan sampah-sampah ini. Mereka sangat menikmati berbasah-basahan, berkejaran dan bermain air di sini. Mereka seperti terbiasa, terbiasa berdampingan dengan sampah. Miris.


Teleng Ria yang berada di jalan Pramuka ini memiliki bibir pantai yang lumayan panjang sekitar 3 km. Sebagaimana pantai selatan Jawa pada umumnya, pantai ini juga berombak besar. Sangat tidak disarankan untuk berenang di sana. Meski demikian, saya sempat melihat seorang penjaga pantai (life guard) berkostum merah yang baru saja menepi dari kegiatannya berselancar. Beberapa penjaga pantai lainnya berpatroli menggunakan sepeda motor.

Lalu saya berniat mencari kampung nelayan tradisional dengan menyusuri separuh pantainya ke arah barat karena di bagian timur tertulis 'danger area'. Warna pasirnya kuning kehitaman karena mengandung granit/ pasir besi dan teksturnya lembut. Berjalan ke arah barat, nampaklah sebuah muara, pertemuan air sungai dan air laut.



Di ujung muara yang berair dalam, terlihat bangkai kapal yang teronggok di perairan air tawar. Bangkai kapal ini seperti mengisahkan kerasnya kehidupan penduduk pesisir. Aroma ikan dan asinnya laut memenuhi udara. Aih, sedap sekali.

Selain pantai, Teleng Ria juga menyediakan arena permainan anak yakni Kampoeng Air (water park) yang berada di dekat pintu masuk. Dari jalur aspal itu terlihat beberapa kolam dan perosotan penuh dengan pengunjung. Di dekat pintu gerbang juga ada 'badut' tokoh kartun berkostum warna warni dan lucu menyambut pengunjung. Ini tentu menjadi kelebihan dari arena ini yang memang ditujukan untuk anak-anak.

Cuaca yang tidak menentu dan gelap yang hampir pekat, membuat saya harus kembali pulang. Kali ini saya tidak menggunakan ojek atau bus tetapi berjalan kaki menuju terminal bus Pacitan sembari menikmati suasana asli sana. Di ruas jalan Pacitan-Solo, di sekitar makam Kucur itu terpampang baliho besar dengan gambar putra presiden SBY berikut tulisan "Pacitan Kota 1001 Goa".

Meski kondisi perjalanan pulang menuju Ponorogo diisi dengan kengerian-kengerian ketika berpapasan dengan kendaraan yang berlawanan arah terutama pada bagian jalan yang sedang dalam perbaikan, tetapi pesona alam Pacitan sangat membekas dalam ingatan. Jika Anda berencana ke pantai Teleng Ria, lakukan bersama pasangan, keluarga atau teman-teman. Setidaknya ada yang mengawasi ketika kita kecapaian dan tertidur di atas kendaraan. Atau ... ingin mbackpaker solo seperti saya? Selamat mbolang.

Sinna Hermanto

No comments:

Post a Comment