Pages - Menu

2016-02-06

[Fiksisme] Dee #3: Tertuduh Apalah-Apalah

D

Tertuduh Apalah-apalah
_________________________________

Dee, malam itu aku nyengir (pake ngenes) juga sih waktu kamu bilang aku gak suka laki_semacam Al. Hehehe. Yang katamu malah anggap aku ga doyan laki? Ih, gak lucu tauk jadi tertuduh semacam itu.

Mungkin bagi sebagian orang, hidup 'sendiri' adalah hal aneh. Bukan semata-mata mauku tapi lebih untuk menjaga diri (dan hati). Kenapa ga nyoba LDR? Karena ini hidupku. Ini keputusanku. Ini pilihanku dengan segala konsekuensinya, Dee. Termasuk bila kamu menganggap aku ini gak normal (*kalem). Kamu ga usah KASIHan ke aku, cukup KASIHSAYANG aja (*ngakak). Seenggaknya, aku menjaga kepercayaan orangtua bahwa meski jauh dari mereka, aku tetap baik-baik SAYANG (*by wali band).

Emang hal ini penting, ya, sampai KASIHtahu ke aku? Mungkin gitu pikirmu. Ya, terserah gimana anggapanmu ajalah.

Kalo kemarin malam chit chat kita lebih hangat, mood yang terbangun nggak seadem itu, mungkin kesannya ga sekedar menjawab basa basi. Bisa ada guyon dan lebih lumer. Seperti bukan kamu yang kemarin-kemarin deh rasanya. Atau emang dulu kamu sedang nyamar (jadi agen FBI) atau kesambet kakang kawah adi ari-ari?

Anu, aku tuh ga nyaman ngikut arus generasi jaman sekarang. Pun bila merunut percakapan kita ke belakang. Nggak enak kan dipanggil mantan (calon pacar)? Apalagi berkaca dengan sterotip mantan(mu) yang (katamu) jadi sombong ketika udah pisah (meski dulu udah tukeran ludah pake lidah)_aku paham kok model pacaran jaman sekarang, yang kek gitu-gitu udah dianggap wajar walaupun agak-agak wagu buat prinsipku. Juga ucapanmu, Dee, tentang memutus silaturrahmi itu dosa.

Entah karena aku pribadi atau prodi yang aku ambil, aku bisa loh merasakan jika teman bicaraku sedang tidak 100% untukku. Mungkin tidak semua orang merasakannya, mirip pasukan sosmed yang sering curcol (di beranda) : KTP_Kamu Tidak Peka!

Hal ini mengingatkan aku beberapa waktu lalu saat pindah jalur kereta api. Aku bertemu dengan perempuan usia 37 tahun, asal Lampung tapi menetap di Banyuwangi ikut suami. Awalnya sih aku cuman senyum ke dia. Dibalaslah senyumku tadi. Kalo dia laki, mungkin aku meleleh disenyumin gitu (*ketawa njengkang). Tapi SAYANGnya aku lupa tanya nama (maklum, faktor u, pikun detected *kidding). Tuh kan, baru ketemu sama emak-emak aja aku udah main SAYANG, apalagi ketemu kamu (*eh).

Dia cerita tentang anaknya yang sudah17 & 13 tahun gini gini, suaminya gini gini, dan lingkungan tempat tinggalnya yang gini gini. Berkali-kali dia ngeluh dan ngucap, "Saya sudah tua, Mbak".

"Ah enggak kok, Mbak. Masih cocok jadi mahmud anas_mamah muda anak satu," jawabku.

Apalah aku, aku hanya butiran debu. Makanya,aku mencoba mengimbangi 'masalahnya' dengan bekal pengalaman (sodara atau teman) atau artikel gugel (*senyum kalem), yang semampuku, kucoba membesarkan hatinya. Pun membelokkan cara pandang dia yang gini jadi gitu. Mungkin, mungkin loh ya, kalo dia emosi, udah dijitak pake hiheels nih mulutku.

Tau nggak respon dia?

"Mbak, sampeyan itu keibuan sekali."

Kyaaa, tertuduh yang apalah ini. Eit, sebentar, dia bilang keibuan?

"Tapi saya ini bukan ibu-ibu loh, mbak. Saya ini combro." *tertawa bareng emak-emak itu yang ternyata gaul juga.

"Maksudnya, sampeyan itu dewasa sekali." (*senyum kalem lagi).

Oke, tertuduh ini aku ceritakan ke temen-temen dan membuat mereka langsung ngakak guling-guling. Secara mereka tau gimana kolokannya aku (yosh……aib dah aib). Padahal kalo ketemu emak itu lagi, pasti aku lupa. Hawong cuman ngobrol 10-an menit.

Kejadian tertuduh lainnya terjadi baru-baru ini. Gegara pake gamis (syar'i) sederhana, polos,  yang ternyata bener-bener bisa ngerim polah dan ucapanku. Suer, ini gak bohong. Padahal bukan kerudung lebar. Bukan pula kerudung lilit apalagi ada kembang-kembang plus ditancepin jarum pentul, peniti, bros hingga pohon kelapa. Cukup kain panjang yang bisa menutup dada.

Kira-kira percakapannya gini.

"Ciye, hijrah nih?" 

"Amiin. Udah masanya pergi dari jaman kegelapan, waktunya datang ke jaman terang benderang." (mesem*)

"Kayak PLN aja, kamu, habis gelap terbitlah terang (wait……ini kan kumpulan surat-surat Kartini?). Ohya, Null, bukannya fotografer itu mahir di tempat-tempat gelap. If you know what i mean hahaha." (ini udah menjurus 20+).

"Ya iyalah. Kalo ga gelap-gelapan, gimana nyuci cetak dari negatif film. Ada lowkey, highkey, monkey… " (darkroom/ ruang gelap: tempat nyetak foto yang dikondisikan gelap banget. Hanya dengan penerangan bohlam 2,5 watt, maksimal 2 bohlam, warna merah, bukan kekuningan seperti bohlam normal. Hidung harus kuat bau asem_cairan cuka. Tapi ini udah banyak 'ditinggalkan' sejak jaman digital tiba).

"Bang sholeh mana nih yang berani-beraninya membuka hati kamu?" yang lain menimpali.

"Hahaha (*pura-pura tersipu, padahal mah……) doakan dan aminkan saja, Kak."

"Nggak segampang itu. Bang Sholeh itu harus melewati 3 tantangan yang telah sesepuh siapkan. Kalo nggak lolos, jangan harap palu digetok."

Emang pencuri? Perampok? Begal? Kesannya kok kayak aku desperate gitu ya di mata kalian (*nyengir asem).

"FYI, bukan karena bang soleh, bank mandiri, bang central asia, bank negara indonesia apalagi bank rakyat indonesia. Tapi karena aku sendiri yang mau."

"Ciye ciye… monik monik. Monikah ma akooohhh, Na?" (kalo obrolan sudah mentok ya gini!)

Dan tertuduh yang apalah-apalah begini ternyata cukup dilandasi anti nethink. Bahwasanya sebagian kita lebih melihat cover daripada bagasinya… eh daripada isi bukunya.

Feb 1st2016.

***
Doc.pri: stop it.

No comments:

Post a Comment