Pages - Menu

2014-11-15

[Even Surat Menyurat Fiksiana Community] Siluet Senja

Tanah Bauhinia, Oct 28th 2014


Hai, senja.

Aba kareba? Aku harap kamu senantiasa cerah ceria. Di sini sedang musim gugur. Kabut tipis menyelusup. Langitku pun berbingkai redup. Hangatku hampir lenyap, Senja. Tatkala kamu kembali ke cakrawala, siluet daun gugur pun meraja.

Bila kangen kamu, aku akan pulang kerja lebih awal. Kemudian keluar stasiun kereta dengan langkah tergesa menuju balkon rumah. Waktu-waktu seperti inilah yang menyatukan kebersamaan kita. Masih ingat ceritamu waktu itu?

“Nenek bilang, senja itu waktu yang ajaib. Waktu dimana para malaikat melesat ke langit. Malaikat membawa buku amalan. Malaikan membuat laporan kepada Tuhan.”

“Kakek bilang senja itu anugrah. Bias-bias cahaya bermain-main di petala raya. Ada melodi keheningan yang samar-samar menghapus lelah. Dalam hitungan singkat, jubah malam dibentangkan hingga fajar tiba.”

“Apa makna senja bagimu?” tanyamu waktu itu.

“Menurutku, senja itu kamu. Iya, kamu.” Lalu kamu mengerling nakal. Sorot matamu malu-malu selayaknya matari yang bermain petak umpet di antara gerombolan awan. Gemasku ingin mencubitmu, mencubit Senjaku yang genit.

Kemarin malam aku bermimpi tentangmu. Kita berdiri di pinggir dermaga, menatap lekat tergelincirnya matahari di garis horizon. Kita berjarak sedepa. Namun, kulihat dengan jelas tatap matamu. Di sana tersimpan rindu yang beku. Ada keluh yang lupa terseduh. Ada getir yang enggan terlincir. Ada airmata yang mulai mengalir.

“Ada apa?” tanyaku.

“Aku bosan dengan keadaan seperti ini, membiarkan waktu  hilang sia-sia hingga cahaya sirna?”
Ketahuilah, Senja. Aku telah lupa dengan rasa bosan. Bosan telah bosan membuatku bosan. Karena aku memilih setia. Setia dengan suasana senja.

“Ayo pulang bersama,” ajakmu. Aku menggeleng lalu memunggungimu, memainkan harmoni kelu. Dengan diam, kamu melangkah pergi hingga matahari tenggelam di ujung samudra. Hingga hari ini aku hanya punya alamat rumahmu. Harapku kamu belum pindahan sehingga kamu bisa menerima suratku ini.

Benar, saat itu aku sedang jatuh. Aku merutuki diri sendiri. Percayalah, aku tidak pernah menyalahkan keputusanmu. Cepat atau lambat, kita akan berada di jalan masing-masing. Tapi satu hal yang ingin kukatakan padamu.

Hal-hal yang membuatku mampu bangkit adalah kemauanku untuk bangkit itu sendiri. Manakala sang surya hilang, bulan dan bintang akan menuntun langkahku. Toh esok masih ada fajar. Dulu kamu bilang apa?

“Setiap hari adalah keajaiban, setiap saat adalah harapan”.

Terimakasih room mateku. Terimakasih atas waktu kebersamaan kita waktu itu. Maafkanlah atas segala khilafku. Sesama generasi 90-an, kamu paham ‘kan arti 4x4=16? Keluarga di Tanah Bauhinia merindukanmu. C U.


Peluk erat, Siluet.


NB:
Masih ingat dengan topeng ini? Ini adalah pemberianmu di ultahku yang ke-20, 6 tahun lalu. Salam hangat dari Teater Bauhinia.

No comments:

Post a Comment