Kalo sudah mudik gini, hanya rasa seneng doang yang bercokol di hati Raisa. Kenapa? Secara gitu loh, doksi bisa ketemu lagi sama ebes emes setelah hampir setahun tidak pulang. Maklum, sejak merantau sambil kuliah dan berlanjut hingga bekerja, rutinitas mudik lebaran selalu menjadi menu utama.
Namun, ada yang berbeda lebaran kali ini. Raisa seperti enggan berlama-lama di rumah. Padahal, jatah liburnya cuma lima hari. Itu pun belum dipotong waktu perjalanan antara Malang dan Ponorogo. Pasal punya perkara, ternyata kejombloan eh … kesendiriannya yang abadi membuat paman-paman dan bibi-bibinya sedikit punya senjata untuk menggodanya.
“Sandal sama sepatu aja punya pasangan, masa kamu enggak? Truk aja gandengan, masa kamu enggak?”
Asal kalian tau aja, sandal ma sepatu emang berpasangan tapi tak pernah bersama. Lagipula, sekarang sandal ‘selingkuh’ alias warna kiri dan kanan tidak sama sedang tren! Demikian juga truk, kalian semestinya memerhatikan bahwa truk itu meskipun kelihatannya bersama tetapi selalu jaga jarak, teriak Raisa dalam hati.
Itu dulu, sekarang sindirannya lebih nusuk lagi. “Ra, si Anu sudah nikah loh, kamu kapan? Si Ini sudah gendong anak loh, kamu nggak pingin?”
Oh, help! Kadang hati Raisa menjerit, ebes emes saja adem ayem, kenapa kalian bertanya kapan, kapan dan kapan?
Raisa menatap TV yang menyala tanpa memperhatikan acaranya. Terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Raisa menengok. Ditatapnya dua sosok lelaki yang turun dari kendaraan roda dua keluaran Jepang. Ia bukannya menyambut tamu tetapi malah masuk, memanggil ebesnya yang sedang menikmati gelondongan tembakau di ruang belakang.
“Siapa?” Tanya ebes. Raisa hanya mengangat bahu. Ia bukannya tidak tahu tetapi malas menemui ketika ia tahu bahwa salah satu tamunya itu adalah pamannya sendiri yang paling getol mencarikan jodoh untuknya. Ebes pun berdiri sambil mengamit rokok dengan dua bibirnya. Tak berapa lama ebes kembali ke belakang.
“Kenapa, Bes?”
“Dicari Lik Warno.”
Setengah ogah dan setengah ogah banget, Raisa tetap mengikuti langkah ebesnya. Toh ada urusan apa seorang perempuan dengan sekumpulan lelaki gitu. Bukankah nantinya hanya sebagai pendengar setia.
Setelah duduk di ruang tamu, mata Raisa langsung tertuju pada sosok di samping pamannya. Ia hafal betul siapa sosok itu. Sosok itulah yang setiap hari datang ke rumah Raisa pada musim mudik kali ini. Ridwan.
“Kok kamu nggak ikut emesmu ke rumah simbah?”
“Hehehe, tadi masih beberes, Lik. Nanti juga nyusul.”
Perbincangan basa-basi selanjutnya pun berlanjut. Ajakan meminum air mineral gelasan, mencicipi cemilan lebaran hingga ketawa-ketawa yang entah kenapa malah membuat Raisa seperti duduk di kursi bara. Panas. Beberapa kali Raisa menguap.
Tiba-tiba …
“Kamu tanya sendiri sama anaknya,” ucap ebes Raisa. Raisa jadi kaget karena missed percakapan sebelumnya. Ia terbangun paksa seperti saat berhadapan dengan dosen killer.
“Gimana, Dik Raisa?”
“Hah, gimana apanya?”
“Sudah, berangkat aja, Ra,” sela lik Warno.
Dengan sedikit kegeraman dan bejibun tanda tanya memenuhi kepala Raisa_serta izin berikut wanti-wanti ebesnya, Raisa dan Ridwan pergi bersama. Lagak Ridwan memerlakukan Risa seperti pasangan kekasih. Ia membawa Raisa ke telaga Ngebel yang terletak di bagian timur Ponorogo, yang berjarak sekitar 8 kilo meter dari pusat kota.
Begitu masuk area wisata, mereka berputar di jalur kendaraan yang mengitari telaga. Sebelum akhirnya Ridwan memarkir motornya di dekat lapak penjual durian yang juga bersebelahan dengan warung makan.
“Makan yuk? Nila bakar di tempat ini endang bambang loh?” Mendengar kata ‘endang bambang’ dari mulut Ridwan, tiba-tiba perut Raisa seperti diaduk-aduk. Kok ngetril, cyinnn?
“Aku nggak lapar.”
“Ayolah, pasti kamu lapar.” Ei, nih orang maksa pake banget, batin Raisa.
“Ya udah, aku minum jus jeruk saja.”
Kebetulan hari itu pengunjung agak sepi. Hanya ada dua tiga orang lain di sana. Tanpa menunggu lama, pesanan mereka datang juga. Seporsi bakso kikil, seporsi nila bakar dan dua gelas jus.
Sebenarnya penolakan ajakan makan dari Ridwan itu punya alasan khusus. Ya iyalah, secara orang bakal ketahuan aslinya kalo lagi makan. Nah, Raisa ini yang memang aslinya masih dalam keadaan kenyang, alasan utamanya sebenarnya ia tidak mau mengumbar keasliannya.
Dan… ajegile! Bola mata Raisa sedikit melotot tatkala melihat nafsu makan Ridwan yang seperti orang kena busung lapar akut. Saking semangatnya, ia sampai tersedak-sedak. Mulut Raisa melongo sebelum akhirnya seorang pengunjung mengeluarkan suara.
“Pelan-pelan to, Mas. Ndak usah grogi gitu, kan ditunggui pacar.” Disambung gelak tawa tepatnya tawa mengejek pengunjung lain. Lelaki pemilik warung pun ikut tersenyum. Ridwan menenggak jusnya dengan susah payah.
Whuattt, tunggu? Dia bilang apa tadi? Pacar? Pacar dari Hong Kong? Dan …
“Dik, dompetku ketinggalan …” ucap Ridwan sambil berbisik.
Hah? Raisa meminta Ridwan mengulangi kalimatnya. Lagi-lagi kalimat sama terdengar di telinga Raisa. Maka, sukseslah Raisa melunasi bon makan hari itu. Mood Raisa hilang. Ia segera meminta Ridwan mengantarnya pulang.
“Kenapa buru-buru? Kita kan belum ke naik. Dari atas pemadangannya bagus loh.”
“Tadi sudah janjian ke rumah simbah, sepupu-sepupu pada kumpul. Bisa kan, Mas?”
Tanpa ba bi bu, mereka keluar warung. Namun, alangkah terkejutnya manakala motor yang ganteng itu tak seganteng nasib kedua insan berinisial R ini. Motor Ridwan bensinnya hampir mendekati huruf E. Dan ketika starter dinyalakan, motor malah mogok!
Hohoho, perfect!
*
“Lik Warno kenal Ridwan dari mana sih?”
“Dari mana, ya? Dari tadi.”
“Nggak lucu tau!”
“Gimana kencannya kemarin? Sukses nggak?”
“Sukses banget sialnya!” Kemudian Raisa menceritakan A sampai Z kejadian kemarin dipenuhi dengan semangat yang berapi-api dan emosi tingkat tinggi. Pamannya itu mendengarkan dengan seksama.
“Ya sudah kalo ternyata kamu nggak berjodoh dengan Ridwan, ya nggak masalah. Berarti orang itu bukan jodohmu. Ia hanya pencitraan. Tenang, Ra, tenang. Besok akan Lik kenalkan dengan kandidat lainnya.”
“Whuaattt?”
***
Untuk membaca karya lain, klik di sini atau gabung ke grup Fiksiana Community.
0 comments:
Post a Comment