Nomor: 77
Di Tsuen Wan bagian utara, hiduplah sekawanan monyet liar. Mereka
hidup tenang tanpa gangguan limbah asap dari kebakaran hutan, kekurangan air
dan makanan karena kemarau berkepanjangan ataupun penangkapan ilegal untuk
pertunjukan topeng monyet. Mereka biasa bermain di bendungan Shing Mun atau
bergelanyut di pepohonan Hong Yip yang daunnya berubah warna menjadi kemerahan
pada bulan Desember dan Januari. Sesekali mereka berkejaran dari pokok
pohon-pohon Chong Guo hingga pohon Pak Shu lalu duduk-duduk istirahat ataupun
mencari kutu. Meski ada hiking track di sana, monyet-monyet itu tidak diganggu
manusia yang melewati tempat itu.
Di antara mereka, ada sepasang saudara bernama Ongkey dan Onyet yang
nampak bersedih lantaran ditinggal mati induknya. Mereka menyusuri bendungan
dengan lunglai.
“Kak Ongkey, Onyet lapar.”
“Tunggu sebentar ya, Dik Onyet. Di seberang bendungan sana ada pohon
Lam Ji. Mama Unyuk pernah mengajak kita ke sana.”
“Aku capek, Kak.”
“Ya sudah, kita istirahat. Minum dulu di pinggir bendungan itu. Tapi
jangan pipis dan eek di sana ya. Ini airnya buat minum seluruh monyet di daerah
sini.”
Onyet segera minum dan kembali menuju kakaknya yang duduk di sisi
bendungan. Dilihatnya kakaknya sedang berbincang dengan seekor monyet.
“Oh, ini adikmu?” kata monyet itu. Ongkey mengangguk. “Kenalkan, aku
monyet pendatang di daerah ini. Namaku Alo. Bosen muter-muter di kampungku terus, di
ALosan sana. Lagi ada asap.”
“Loh, di tempatmu ada kebakaran hutan juga?”
“Enggak sih, kadang-kadang kena asap manusia yang lagi BBQ, kadang
kena asap manusia yang sedang sembahyang, kadang asap dikremasi juga.”
“Asap kretek juga dong, Al?”
“Hahaha.”
Mereka bertiga beristirahat bersama dan ngobrol macam-macam. Alo
menggelosor saja di tanah sedangkan Onyet mencari kutu-kutu yang ada di tubuh
Ongkey. Setelah agak lama, mereka memutuskan untuk ke seberang bendungan memetik
buah Lam Ji. Musim gugur seperti sekaramg, banyak sekali buah Lam Ji yang ranum di pohon.
Warna kuning pekat atau oranye dengan rasa yang manis membuat buah Lam Ji
menjadi rebutan monyet-monyet di sini.
“Enak ya bangsa monyet di sini. Aku tadi lihat manusia yang hiking,
memotret, bahkan piknik. Tapi nggak satu pun yang ganggu bangsa kita.”
“Yang ada malah kita yang merebut makanan mereka, hahaha” sahut
Ongkey. “Buah-buahan yang mereka bawa segar-segar. Kadang kita dikasih kacang,
pisang, apel, jeruk bahkan cupcake.”
“Bukannya di ujung sana ada gambar manusia yang ngasih makanan ke
kita tapi dilingkari dan disilang dengan warna merah? Itu kan artinya manusia
nggak boleh ngasih makanan ke kita.”
“Manusia mah gitu. Aturan itu dibuat untuk dilanggar. Biarin aja,
daripada kelaparan kayak si Onyet.”
“Ih, kak Ongkey gitu.”
Tak terasa Ongkey, Onyet dan Alo sampai di seberang bendungan, tepat
di bawah pohon Lam Ji yang mereka maksud. Namun, mereka harus kecewa karena
buahnya telah habis. Hanya tinggal sisa-sisa yang membusuk di tanah.
“Gimana ini?”
“Terpaksa, kita harus jalan lagi ke ujung sana. Di sana ada tempat
sampah, aku tadi melewati daerah itu. Barangkali ada buahan-buahan atau sisa
makanan.”
“Kita makan sampah, Al?”
“Apalah itu namanya. Yang penting nggak kelaparan.”
Dari dahan satu ke dahan lain, dari pohon satu ke pohon lain, tiga
monyet ini menuju tempat sampah yang dimaksud Alo. Sesekali Onyet hampir
tergelincir, pegangannya kurang kuat karena kelaparan. Ongkey menjaga
adiknya itu dengan tetap berada pada posisi yang agak dekat. Sesekali ia
berteriak ‘huhu hakhak’ agar Alo tidak bergerak terlalu cepat. Pepohonan bergerak
hebat saat dahannya berayun-ayun. Telisik daun berisik beradu dengan gemericik
yang samar-samar tercipta dari permukaan air bendungan Shing Mun yang ditiup
angin.
“Nah, ini dia tempat sampahnya. Ayo serbu, huhu hakhakhak” teriak
Alo kegirangan.
Mereka bertiga segera mengais sisa-sisa makanan di sana. Mulut
Ongkey penuh dengan makanan. Alo masih saja berteriak-teriak sambil berjaga
kalau-kalau ada kawanan monyet lain yang juga menuju tempat ini. Sedangkan
Ongkey, monyet terkecil dari ketiganya, duduk tenang di atas sampah sambil
ngemil buah.
“Sudah kenyang semuanya?”
“Kok perutku sakit banget, ya.”
“Kak Ongkey sih makan kebanyakan kayak kesurupan manusia tamak.”
“Perutku juga mulas, padahal aku makan dikit,” sahut Alo.
“Aku juga, perutku tiba-tiba sakit.”
Mereka bertiga saling pandang lalu menoleh ke tempat sampah, sumber
makanan mereka.
“Jadi ini penyebabnya?”
“Aduh, maaf ya. Gara-gara aku, kalian jadi sakit perut.” Alo
menunduk, merasa bersalah.
“Nggak papa, Alo. Toh kami juga setuju. Lalu, gimana ini biar
sakitnya nggak tambah parah?”
“Kita ke tempatku di Alosan, yuk. Di sana banyak pohon Shek Lau.
Pucuk daunnya bisa sebagai obat sakit perut. Tapi ya, gitu. Harus tahan asap.
Toh nggak separah kayak di tempatnya sepupuku, si Otan, di pulau Borneo sana. Gimana?”
“Gimana, Onyet? Kamu masih kuat jalan jauh, nggak?”
“Ayolah, Kak.”
Ongkey, Onyet dan Alo bergegas menuju Alosan bersama berpacu dengan
matahari yang tenggelam di sebelah barat. Semburat oranye di langit Tsuen Wan
yang biru bermagenta, mengingatkan buah Lam Ji yang gagal mereka dapatkan. Ah,
semoga mereka mendapatkan gantinya dengan buah-buah Shek Lau di Alosan.
Semoga.
***
Untuk membaca karya peserta lain, silakan menuju ke sini atau gabung
di FB Fiksiana Community. Juga diposting di sini.
![]() |
Ongkey |
![]() |
Onyet |
![]() |
Alo |
![]() |
Onyet dan Ongkey |
0 comments:
Post a Comment