
Saat menulis ini, list
di Sportify sedang mengalun lagu Hanya rindunya Andmesh, yang
ternyata pengaturannya diulang satu lagu itu saja. Yaaa, gimana ya, lagu ini
menusuk banget buat backsong nulis. Secara saya sedang rindu mengingat
kembali kisah perjalanan saya ke Singaraja bulan lalu, hahaha. Eit, jangan
negatif dulu. Kalo tidak nge-flashback, gimana saya bercerita, gimana saya
mengisi lembar-lembar cerita nekad yang sudah lama tidak saya tengok?
Jadi, gini. Minggu sore
itu ada pesan di Whatsapp, yang ketika saya buka ternyata dari Paijo,
demikian saya memanggilnya. Ia berbasa-basi sedikit, menanyakan waktu longgar
saya dan mengajak saya ke Singaraja. Saya tidak mengiyakan atau pun
menolak. Galau, cuy. Siapa sih saya kok tiba-tiba diajak ke
Singaraja, berdua saja. Lagipula, Paijo itu orangnya kek mana kan saya juga nggak
tau. Gimana kalo dia suka nggigit? Bisa-bisa saya kena rabies!!! Padakno
asyiu wae, Cuk.
Sebenarnya ke Singaraja
itu dalam ‘rangka tugas negara’, cuman ... perjalanan ke sana yang kira-kira
perlu waktu 5-6 jam pulang pergi harus molor hingga 16 jam. What the fff...
Iya, kami mlipir dulu, jelong-jelong, menikmati sudut Bali yang
belum pernah saya injak. Itulah kenapa dia ngajak saya seorang. Jangan-jangan
dia cuma mau bayar janji tiga hari sebelumnya yang tidak dia tepati? Eh, nggak
juga sih. Dia udah ‘bayar’ kok janjinya di daerah Pererenan. Ketika saya
interogasi pun jawabnya hanya sebatas formalitas saja. Perempuan itu
Maha Tahu pada hal-hal yang tidak beres macam ini, Ferguso.
Setelah nego sana-sini,
tukar jadwal shift, sebuah teka-teki kenapa perjalanan kami berdua harus
disembunyikan, identitas saya juga harus disamarkan serta serangkaian
ketegangan urat syaraf, akhirnya jadwal kami ke Singaraja diundur dua hari ke
depan dari awal chat di WA, tepatnya hari Rabu mendatang.
Semesta Tidak Merestui (?)
Dari hari Minggu hingga
Selasa, cuaca sangat bersahabat. Matahari bersinar dengan mocernya. Tapi
Semesta berkehendak lain. Rabu pagi yang masih sangat dini, pada jam yang
disepakati, tanpa kabar-kabar dulu, hujan tiba-tiba turun. Deras pula. Saya
harus berdiri di tempat penjemputan yang telah kami sepakati dalam keadaan
langit yang masih gelap gulita, basah, sendirian pula. Paket lengkap. Saya auto
menghubunginya. Ya iyalah, enak aja anak orang dicengar sendirian di
pinggir jalan tanpa kepastian? Perempuan itu butuh kepastian, Mas.
Akhirnya kami
hujan-hujanan menuju gerai 24 jam. Sambil menikmati roti dan kopi yang
tidak terlalu panas, kami berdiskusi sedikit dan menyinggung destinasi
yang akan kami datangi. Hujan bukan mereda tetapi makin deras. Mau balik kucing
pun tidak bisa karena alat yang akan kami ambil akan dipakai Kamis malam.
Seandainya perjalanan diundur sehari kemudian, rasanya saya tidak bisa tukar
shift lagi pun dia bakal dicecar habis-habisan sama big bosnya.
Jam terus berjalan. Mau
nggak mau kami menerobos hujan yang sebentar deras sebentar mereda.
Tapi itulah ajaibnya,
belum juga kami melewati area kecamatan Kediri, hujan sudah tidak tampak lagi.
Sisa-sisa hujan hanya serupa sisa embun semata. Lalu, bagaimana dengan kondisi
sekian menit lalu ketika kami basah kuyup? Kami? Dia aja yang
basah, saya sih enggak. Ya kan saya berlindung di balik punggungnya hahaha.
Saya sempat berfikir,
semesta sepertinya tidak merestui. Tuhan pun sedang mengajak bercanda. Ya,
ya, ya, lucu, lucu.
Langit yang masih
menyisakan warna kelabu, udara pagi yang menusuk, dan sisa-sisa hujan barusan
benar-benar perpaduan yang pas ketika kami ... emmm, nganu. Nggak jadi ah, biar
saya, dia, Tuhan dan malaikat yang tahu.
Nggak deh, saya nggak nge-prank.
Jadi, dia itu lagi flu. Ada sebuah tragedi yang lucu sekaligus menjijikkan menggelikan.
Nah, dia bilang pada saya agar minggir ke kanan dikit dari jok motor tempat
saya duduk. Ketika itu saya kurang ngeh sih yang dia bilang karena
laju angin menyamarkan instruksinya.
Dia melambatkan motornya
untuk mengeluarkan ingus. Apa lacur, si ingus malah menempel di lengan
jaketnya. Bayangkan, gaez, bayangkan. Wadefakkk. Saya memintanya menepi dan menghentikan
motor di sembarang tempat, toh saat itu lalu lintas tidak terlalu padat.
Kemudian saya ambil tisu dan menyerahkan padanya untuk membersihkan diri dari
tragedi barusan. Dan sebelum tragedi ini hilang dari labirin-labirin memori
otak, saya menuliskannya di sini, kalau toh dia menemukan tulisan ini, biarlah
dia misuh-misuh istighfar berkali-kali.
Kebun Raya Bali
Cuaca mulai normal. Suhu
udara masih saja dingin. View perjalanan menampakkan wajah alam Bali yang asri,
sawah dan pohon-pohon kelapa melambai, kebun-kebun sayur dan setroberi sejauh
mata memandang, pun nampak orang-orang berselendang yang memanggul canang serta
keriuhan di beberapa spot pasar yang kami lewati. Dia bilang,
Singaraja ada di balik bukit itu. Saya hanya mengiayakan toh selama ini saya
hanya mendengar nama Ibu Kota Kabupaten Buleleng itu tanpa pernah numpang
pipis menginjakkan kaki di sana. Ya maklum, selama ini jalan-jalan
saya kurang jauh, hanya antara kamar mes dan kamar mandi doang. Itu pun
sambil sa’i (berlari-lari kecil) karena kebelet ‘panggilan alam’.
Bila saya ingin membandingkan, perjalanan menuju destinasi pertama ke Kebun
Raya Bali ini serupa (meski tak sama) dengan perjalanan menuju telaga Ngebel,
Ponorogo atau Telaga Sarangan, Magetan.
Motor berjalan dengan
kecepatan di atas rata-rata. Saya mengepalkan kedua tangan di depan dada sambil
bersembunyi di balik punggungya untuk menghindarkan diri dari dinginnya tiupan
angin. Jaket yang saya pakai ternyata tidak banyak membantu. Ya maklum, boleh
dibilang, ini bukan jaket yang pas buat perjalanan pakai motor dengan medan
seperti itu. Kalo sudah begini saya jadi kangen jaket parasut kesayangan yang
sekarang ada di Bengkulu, heuheuheu.
Usaha saya untuk
menghangatkan badan masih gagal. Saya bilang padanya bahwa saya kedinginan. Dia
meminta saya memasukkan tangan ke kantong depan jaketnya. SEKALI LAGI,
SAYA HANYA MEMASUKKAN TANGAN KE KANTONG JAKETNYA. Suer, malu tauk posisi meluk kek
gitu. Tapi, dipikir-pikir, anggap aja ini keadaan darurat. Boleh kan ya
hukumnya, hahaha. Daripada tar pulang dari Singaraja malah kerokan?
Jaket tebelnya yang udah
kayak jaket musim dingin itu berangsur-angsur mengusir dingin yang menggigit.
Secara posisi sopir yang rawan berhadapan langsung dengan angin dan benda-benda
terbang lainnya, tentu sudah siap-siap perlindungan ekstra. Tuh kan, tubuh
sendiri aja dijagain baik-baik, apalagi penumpang di belakangnya. Jadi makin
sayang deh sama sopir satu ini. Eh. Plakkk self.
Sampai di sana, kami
segera berkeliling, mencari spot foto yang uploade-able. Keinginan saya untuk ngevlog terpaksa
saya pendam dalam-dalam karena asing dengan medan.
“Bukannya sudah aku kasih
tau destinasinya,” protesnya. Ehhh, iya ya. Mungkin saat dia ngomong, saya lagi
nggak konsen. Raga di mana, jiwa di mana. Duh, pengen jedotin kepala ke tembok bantal.
Akhirnya saya memintanya
sekrol-sekrol HP, searching. OK,
dalam hati kecil saya, saya berjanji akan membuat tulisan perjalanan ini dengan
dua versi, untuk blog dan untuk media. Semoga.
Kembali ke Kebun Raya,
pohon-pohon menjulang, bunga-bunga, patung-patung, hamparan rumput, flying
fox ala-ala, kolam dan beberapa tempat lainnya begitu menarik untuk
disambangi apalagi bagi bajingan syariah macam kami penikmat
alam yang masih perawan. Hanya saja, otak saya yang gedenya tak sebesar batok
kelapa ini hanya mampu merekam sekian persen saja. Lainnya serahkan saja pada
kamera. Itu pun banyak fotoselfie/ wefie. Pun waktu yang terbatas dan tugas
negara masih menanti, membuat kami hanya bisa menghabiskan waktu sekitar tiga
jam di sana. Tiga jam itu kurang? Ya kuranglah secara kebun raya, Cuy, bukan
kebun singkong belakang rumah. Suer, ini perjalanan yang benar-benar
dilakukan dengan berjalan kaki. Untunglah selama ini saya nge-treat tubuh
dengan lari di lapangan Beraban seminggu satu atau dua kali. Sehingga ketahanan
fisik masih terjaga. Kalo enggak? Pasti deh: ora los njuk rewel!
Singaraja dan Sepiring Tipat Daging
Sebagaimana tipe-tipe di
area pegunungan lainnya, ketika siang, matahari malah bersembunyi di balik
awan. Padahal, saya menunggu cahayanya untuk mendapatkan efek bayangan dalam
beberapa foto yang ingin saya buat karena spot foto yang saya cari baru ketemu
pada perjalanan kembali ke area parkiran. Belum jodoh, belum rejeki, dan
mungkin lain waktu harus diulangi!!!
Keluar dari Kebun Raya,
kami segera ke Singaraja karena dari tadi HP dia berdering berkali-kali, baik
telefon dari Tabanan maupun dari Buleleng, menanyakan posisinya secara dari sebelum
jam 6 pagi dia sudah keluar rumah. Suer, pengen ketawa tapi takut dosa. Ya
kan emang perjalanan kami berdua ini hanya orang-orang tertentu saja yang tau,
khususnya rekan kerja saya (untuk masalah perijinan). Baginya, keluar dengan
‘teman’ macam saya ini adalah dosa besar yang tidak perlu diumbar apalagi
sampai ketahuan teman atau keluarganya. Malulah sama almamater.
Mungkin karena efek usia kelelahan,
lapar, ditambah udara dingin plus posisi pundak sopir yang lebar dan masih
kosong, kepala ini dengan mudahnya bersandar di sana. Tidur pula. Kurang ajar betul kepala ini. Apa kepala ini tidak
tahu bahwa pundak sopir di depan saya ini pundaknya mantan anak P*nd*k
P*s*ntr*n yang (casingnya) lurus-lurus saja (tapi nggak tau dalemannya)?
Kepala siapa sih ini? Pasti deh kepala mantan anak pondok Ramadan. Bedebah
betul, kamu!
Saya memaki-maki dalam
hati. Tapi ya gimana, dia yang ngasih kesempatan hahaha, hawong dia
yang nyuruh thoat alias
nurut. Saya sih iyes-iyes saja, daripada diturunin di tengah jalan. Takuuut.
Saya terbangun dengan
sedikit kaget saat helmnya dibenturkan dengan helm saya. Dia mengeluh. Ngantuk,
katanya. Kami pun menepi di warung kecil di pinggir jalan, di daerah Singaraja.
Dia memesan segelas kopi hitam sedangkan saya segelas jeruk hangat. Niat hati
ingin berhenti dan tiduran sejenak, namun kandang babi yang terletak di dekat
warung mengeluarkan aroma tidak sedap.
Tak perlu berlama-lama,
kami segera meneruskan perjalanan guna mengambil alat di rumah ... A. Sampai di
sana sudah masuk waktu dzuhur. Sebelumnya, seperti yang sudah saya utarakan
sebelumnya, saya diwanti-wanti agar begini-begini dan begitu-begitu. OK, saya
mendengar dan saya taat hahaha, demi keamanan kan ya.
Saya baru merasakan cuaca
panas dan gerah ketika masuk daerah Singaraja tadi. Ternyata panas ini
dikarenakan tempat yang kami sambangi itu berdempetan langsung dengan laut.
Pantas saja rasanya kek neraka bocor alus. Tapi jangan salah, ketika di dalam
rumah, adem banget kok. Saya aja (kalo nggak malu) udah tidur di kasur yang
digelar di ruang tamu. Duh, mata ini memang sialan, nggak bisa buat
ngeliat punggung kasur nganggur. Maunya tidur mulu.
Selesai dia sholat,
giliran saya setor muka sama yang ngasih hidup. Seporsi tipat (ketupat)
yang dimakan sama kuah daging sudah menunggu. Duh, godaan apa lagi ini! Mau
makan kok sungkan, mau dibiarkan kok mubadzir. Dilema!!! Mana dia makan
duluan. Kan kampret. Pengen banget ngomelin dia saat itu juga. Dipikirnya
saya ini siapa? Saya ini cuman tamu yang masih punya rasa sungkan. Masa udah
ditinggal sholat, ditinggal makan pula. Hey, you, lain kali kalo kamu bawa
tamu (terutama cewek), kamu harus antar dia sholat dulu, abis itu kalo emang
dikasih makan, makannya pun barengan. Kalo cewek lain udah pasti rewel! You beruntung
banget karena yang you ajak ini manusia setengah cewek setengah embuh.
Diantara dilema itu, saya
mengikuti teriakan-teriakan cacing kremi di dalam perut saya yang minta
disuapi. Seporsi tipat daging kuah pun tandas, tinggal tulangnya saja. Mau
ngabisin snack dan sejimbeng teh hangat kok malu. Ya udah,
saya bantu clear up sekalian nyupir (nyuci
piring) tapi untuk masalah nyupir dilarang sama tuan rumah yang baik
itu. Jurus apalagi yang dikeluarkan selain jurus SMP (Setelah Makan Pulang).
Mau pamit sama nenek kok beliaunya nggak keliahatan. Padahal kalo ngeliat
beliau, saya keingat peristiwa sekian menit sebelumnya dimana, saking pengennya
menjamu tamu ‘dari Badung’, beliau grogi. Sehingga saat membuka toples, snacknya
sampai tumpe-tumpe.
Untuk perjalanan kembali
ke Tabanan kali ini tidak ada adegan TANGAN MASUK KE KANTONG JAKET. Gerah,
cuy. Dia menggendong ransel saya di dada sedangkan saya menggendong alat di
punggung. Ketika mengingat ini, saya sempat berfikir, kenapa waktu itu dia
nggak gendong ransel di punggung aja ya?
Kan saya bisa meluk pegangan
ranselnya aja. Daripada saya narik bagian ransel yang membuatnya berasa seperti
tercekik.
Sesampainya di area
Bedugul, kami mampir di sana, menikmati view sejuta umat tepatnya mencari spot
foto yang ada di uang percahan 50.000 ribu rupiah lama. Bagi dia sih
dua destinasi yang kami kunjungi hari ini adalah perulangan dua tiga tahun yang
lalu. Lain halnya bagi saya. Ini adalah remake kenangan yang saking
lamanya sulit sekali saya korek-korek. Oya, sebelumnya dia menyinggung bahwa
"Bro Mantab"nya sedang mengantar krucil-krucil berwisata ke destinasi
yang kami kunjungi juga.
Kalau memang sudah jodoh,
tanpa janjian pun bisa bertemu. Mereka jumpa di dekat Pura Ulun Danu yang penuh
dengan kekhusukan ibadah (kalo saya ketemunya di P*r* D*l*m, biar ada
creepy-creepynya).
"Te, tunggu sini, aku
mau nyapa Broku. Nanti aku bilang kalo kamu kakakku."
Saya sih ao-ao saja secara saya tidak
diajak menemui Bronya itu. Saya minggir dari kerumunan di area danau sambil
menyaksikan betapa crowdednya
kesibukan di situ secara sedang ada ibadah juga. Mood untuk foto sudah tidak
100%, feelnya nggak nemu, sehingga gambar yang dimaui 'nggak dapet'. Tapi life
must gogon go
on. Jadi, shutter tetep aja dihajar_sampai ngeheng.
Menyingkir dari tempat
itu, saya berdiri di sembarang tempat. Saat saya ditinggal olehnya, saya sempat
berfikir yang enggak-enggak. Namun, hal itu segera saya urungkan mengingat aura
negatif malah sering jadi kenyataan. Untuk satu ini, saya sering pula mengutuk diri sendiri.
Tak berapa lama, dia
muncul di hadapan saya yang sedang bengong memerhatikan tingkah orang-orang
yang berwisata. Dia mengajak saya bertemu temannya tadi. Sialnya si teman tidak
percaya kalo saya adalah kakaknya. Ya iyeslah, Cuk, secara si Bro tadi
udah 'satu atap' dengannya sekian tahun bahkan explore timur Jawa bersama. Kakak
dari mana, hawong dia anak sulung, kakak dari Hongkong? Tapi bener dari
Hongkong sih, eh. Beberapa istilah 'araf' dipakai dalam ngobrol kali ini.
Saya auto loading secara saya hanyalah remah-remah rengginang
di dalam blek Khong Guan sisa lebaran bukan CAH PONDOK yang mana saya lemah ilmu agama sehingga saat ini belum
juga rampung belajarnya.
"Tulang punggung" yang nempel di punggung
Sebelum kembali pulang,
kami setor muka di Alhidayah, Bedugul. Rencana menikmati view sekian meter di
atas permukaan laut pun gagal karena kabut sudah turun. Saya diprotes karena
kelamaan. Hello young man, sini
saya jelaskan, yes. Untuk
nyari tempat saja, saya kudu muter dulu secara kamar mandi wanita di sebelah
kanan. Lain halnya untuk pria yang sejak dari parkiran saja sudah nampak
tempatnya. Trus, kalo mau ngenceh, kami saya
kudu buka kancing, tarik resleting dan melorotin celana dulu sebelum jongkok.
Kalo kamu mungkin tinggal buka resleting aja sudah beres. Ketika sholat pun,
aurat kami saya berbeda dengan Anda. Ibarat tinggal niat,
takbir, cuzzz deh salam. Lah saya? Kan kudu nyari mukena dulu. Seusai wudlu
saya masih bisa menyampirkan kerudung. Dan selesai sholat saya tinggal pasang
lagi sambil berjalan menuju tempat sepatu. Coba cek mamak-mamak rempong sebelah
saya. Mereka kudu ngelap dulu air wudlunya. Seusai sholat, kudu touch-up lagi make-upnya, kudu ditebelin lagi
lipennya. Risiko ngajak cewek ya gitu. As you know, saya sudah mencoba meminimalkan hal-hal
berlebihan kecuali ransel. Untuk satu itu saya mohon maaf. Itu ranselnya aja
yang melendung gede. Padahal isinya mah ga ada. Saya list ya: kamera dan
tasnya, baterai kamera, hp, dompet dan isinya (ini pun beberapa kartu, nota
pembelian/ pembayaran dan sampah bungkus ciki sudah saya tinggal di mes),
tissue, permen, biskuit, air, mantel plastik (ngambilnya last minute sebelum berangkat
karena pagi harinya hujan). Isinya ini sudah tidak termasuk mukena yang saya
keluarkan lagi saat packing. Kalo
saya nyoliter a.k.a nyolo a.k.a jalan sendirian ke kecamatan pun kadang pakai
ransel ini. Bisa dibilang, saya ini tipe-tipe well-prepared yang yahhh... masih
sering ada hit & missednya juga.
Jadi, kalo suruh pakai tas kecil apalagi yang diselempang di samping kayak
dedek-dedek gemes itu, maaf, maaf, saya nggak punya. Solusinya ya kamu beliin
saya dulu hahaha. Lagian, ada hikmahnya juga to? Kamu bisa naruh oleh-oleh
makanan di ransel! Saya saja yang kepengen beli oleh-oleh saja sampai nggak
sempet kan?
Sudah jelas atau babar blas? Uwis dong apa blong?
Sepanjang perjalanan
pulang ke rumah, saya hanya bisa menempelkan kepala di punggungnya, lagi. Pegel
pegel dah tuh punggung besoknya hahaha. Dia sih... nganggurin punggung
gitu. Kalo sudah ada stempel "bukan milik umum", sah secara
hukum dan agama, saya nggak bakal senaked senekad itu. Yaaa,
namanya juga cerita naked nekad. Kalo nggak naked nekad
nggak ada seninya.
Pada perjalanan motor
sebelum-sebelumnya, saya selalu stay awake. Pinggang capek, berasa patah. Tapi beban
hidup saya yang saya titipkan sebentar di bahunya bukan di bahu jalan, lumayan
melegakan hahaha, makasih, yes.
Akhirnya, saya yang menjadi tulang punggung keluarga ini bisa nitipin bentar di
punggung anak orang. Itu artinya saya memercayakan perjalanan ini 100% ke
dia. Mati urip, seneng sara, slamet cilaka, wareg luwe... sik, sik... Untuk
urusan perut, maaf, saya ini masuk dalam pasukan wani perih tapi wedi luwe. Jadi, kudu nyetok makanan
secara saya dalam program penggemukan badan yang sempat drop 5 kg usai sakit
kemarin. Bukan tanpa alasan sih, emang mau nyampe batas BMI (Body Mass
Index) tertentu agar bisa donor darah.
Tapi saya paham, betapa
berat beban hidupnya untuk menghidupi dirinya sendiri (ini belum termasuk beban
hidup anak sendiri dan anak mertua loh). Makanya saya berterimakasih sekali
lagi ketika dia membangunkan saya saat punggungnya kelelahan.
Dan sebagaimana yang saya
ungkapkan di atas, pasukan wani
perih wedi luwe ini meluncur ke Puputan untuk satu hal yang
sia-sia karena destinasi yang kami datangi sudah tutup 15 menit sebelumnya.
Kasihan juga sih saat melewati daerah macet di sepanjang Canggu. Entahlah, saya
merasakan ketidaknyamanan sepanjang perjalanan. Auranya beda banget
dengan perjalanan ke barat mencari kitab suci Singaraja pagi
tadi.
Saya memintanya berhenti
di sembarang tempat makan tapi dia nggak mau mengingatkan saya bahwa kami
ada janji ngopi di Dalung. Saya thoat-thoat saja toh acara ngopi ini sekedar
membunuh waktu agar jarum jam segera beranjak menuju angka 9 dan 12 secara jam
segitu 'green' area di Beraban sudah sepi dari dedek-dedek lucuk plus makhluk
aneh dan unik-unik.
Jangan dikira dia tidak
dimonitor. HPnya masih saja berdering. "Pak Bos" menanyakan posisinya
dan perintah untuk segera pulang samar-samar terdengar pasalnya masih ada
'tugas negara' yang harus dia kerjakan sebagai bentuk pengabdian seusai keluar
dari kawah candradimuka. Apakah dia nurut? Ya enggak lah, untuk hari itu, dia bukan lagi santri garis keras tapi santri
garis mbliyut, yang yaaahhhh walau begitu, ajaran-ajaran yang
dilanggar dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan ketika kembali ke habitatnya,
semua tampak baik-baik saja, tampak normal-normal saja. Begitu pun saya,
seolah-seolah tidak pernah terjadi apa-apa, tidak pernah ada perjalanan
kemana-mana dan 'alat' yang kami ambil pun saya perlakukan serupa belum pernah
melihat sebelumnya. What the he.... Demi apa coba? Demi_kianlah adanya, hahaha.
Trus trus, kami sepakat
mengumpulkan receh untuk perjalanan selanjutnya. Dia yang ngejanjiin ngajak
saya ke Teluk Ijo dan Pandawa. Saya cukup mengiyakan. Kalo toh hutang janji di
dunia nggak di bayar, mau nyari di sebelah mana tuh Teluk Ijo dan Pandawa
ketika sudah di akhirat.
Dan insya Allah akan share
lagi cerita-cerita nekad saya selama di Bali yang kemungkinan lebih banyak
solo daripada gerudukan. Budget, dude, budget. Hahaha.
***
![]() |
0 comments:
Post a Comment