Gaes-gaesque yang baper baca perjalanan
cerita dari Singaraja kemarin, mohon siapkan napas, segebog tisu, secangkir
kopi serta setoples hati cemilan agar gaes-gaes sekalian
tetep tatag/ tegghes dan bakoh seusai baca
postingan ini. Tidak ada jaminan apa-apa sih dari isi
trip perpisahan ini kecuali ... (tar deh, biar gaes-gaes
sendiri yang menyimpulkan).
Sebenarnya waktu itu aque pengen jujur
pada partner tripque bahwa trip kali ini bisa jadi adalah trip perpisahan kami
sebelum aque balik ke tempat kelahiranque. Aque sendiri tidak tahu kapan aque
akan balik ke Bali, entah sebagai pekerja, sebagai juragan atau sebagai turis.
Hanya saja aque nggak tega bilang padanya. Dia itu kolokan, kekanak-kanakan. Seringnya sih terlalu
jujur, terlalu polos, terlalu percaya pada sembarang orang dan terlalu nurut.
Atau... sejatinya dia itu bego? Ya kan polos ama bego beti (beda
tipis). Iya sih, dari segi usia memang udah tua lebih
banyak darique. Yang yahhh... semua juga tahu bahwasanya usia hanyalah angka dan
tidak menjamin kedewasaan seseorang. Bisa dibilang, dewasa adalah pilihan,
tua adalah keniscayaan. Ya nggak sih. Udahhh, iyain aja napa.
Masih dengan jawaban yang sama ketika aque
mengajaknya ngetrip pertama dulu.
"Pokok e metu," ucapnya.
"Pokok e metu apa pokok e karo aku?" sahutque menggodanya.
"Trus aku kudu jawab apa?"
Aque sih
Biar dia tidak ngegantungin semuanya ke
aque, aque minta dia browsing destinasi yang ingin dia kunjungi. Dia sih
ngode-ngode ingin santuy di pantuy. Makanya
quetawarkan pantai di Kuta yang free tiket masuk. Tapi dia menolak
mentah-mentah. Bahkan khusus hari itu, Kuta menjadi redzone yang
haram kami kunjungi.
"Cieceku di sana,
nge-BBQ sama kawan-kawannya. Nginep sejak dua hari lalu."
OK. Fix.
Kuta kucoret dari list. Sebagaimana aque yang enggan menunjukkan kebersamaan di
depan rekan-rekan, quehargai juga ketika dia khawatir kalau-kalau kepergok
kakaknya yang di kabupaten sebelah itu.
Dia menawarkan sunset di pantai. Aque menawarkan Uluwatu. Tiba-tiba dia labil dan
bilang mau nunggu sunrise di danau,
di Bangli. Gila! Bangli, cuy. Berangkat dari sini jam berapa? Dua jam belum
tentu nyampai sana. Aque sih mengiyakan karena aque nggak mau berdebat
dengannya. Aque akan menuruti semua maunya karena ini adalah harinya.
Namun, praktik tak selalu sama seperti
rencana. Pagi itu aque menelefonnya untuk memastikan bahwa ia telah terjaga
sepenuhnya. Aque tak menjawab salamnya karena saudaraque dari Buleleng sedang
berkunjung dan tidur di tempatque sehingga aque tak mau mengganggu waktu
istirahatnya. Lagipula citra jomblo garis lurus fii sabilillah yang
quebangun selama lebih dari dua dasawarsa ini bakal ambyarrrr kalau-kalau
sampai ada yang mendengar aque sedang telefon dengan kaum hawa. Mana
tante-tante pula.
Aque menjemputnya di depan pura, tempat
kami janjian. Kemudian motor melaju di atas legamnya aspal. Tiba-tiba dia
ngeluh lapar. Heran juga sih sama sosok satu ini, kok nggak ada malu-malunya
bilang lapar, bilang capek, bilang ngantuk, bahkan bilang suka atau tidak suka
pada sesuatu. Dia itu ekspresif sih kalo menurutque. Mungkin
ini efek psikologis atau didikan kebiasaan yang dia
dapatkan setelah sekian waktu tinggal في الصِّينِ. Aque mengiyakan
sekalian mencari tempat makan ekonomis. Ya kalik dia doang yang lapar, aque
juga.
Setelah perjalanan memakan waktu sekitar
satu jam, aque menghentikan kendaraan di lapak nasi jinggo. Bagi gaes-gaes yang
nggak paham apa itu nasi jinggo, sini aque jelaskan. Jadi, tuh nasi berbungkus
kertas minyak tapi dalemnya dilapisi daun pisang dan porsinya mini selayaknya
nasi kucing di angkringan-angkringan, di Jogjes. Ya, yang
murmerlah, goceng ga masalah, yang
penting 'kan kebersamaannya makannya. Aque memintanya
mengambil dua porsi. Melihat tubuhnya yang mungil aque nggak tega, persis kayak
penderita gizi buruk, padahal aque aja udah one
pack gini. Lah dia? Kayak iwak peyek balur,
depan belakang rata. Bukan maksudque mengajaknya menggendut bersama tetapi aque mengajarinya makan dengan baik dan
benar sesuai porsi manusia dewasa, bukan porsi kucing.
Filosofi Kopi Sachetan
Saat aque membayar makanan, dia melesat ke toko
24 jam. Sebentar, katanya. Nyatanya dia lumayan lama. Heran, kenapa sih
perempuan selalu lama kalau belanja? Ya udah, akhirnya aque membuka dua bungkus
makanan, mengoplosnya mencampurnya menjadi satu porsi kemudian
mulai memasukkan satu dua suap ke mulut. Ketika nasique sudah 60% habis, dia
baru muncul dengan segelas moccachino dan air mineral. Kalo boleh milih, saya
lebih suka cappucinta cappuchino, secara moccachino itu lebih
pekat rasa coklatnya sehingga rasa kopinya kurang nendang (siniiii tak
tendang biar kerasa, Kang). Kata dia sih nggak ada cappucinta cappuchino dan nggak banyak pilihan kopi sachetan.
"Kamu tahu filosofi kopi..."
"Oh... film yang dibintangi oleh Chicco Jerikho, Rio Dewantara dan Julie Estele ya?" Buru-buru kupotong kalimatnya. "Itu kan diangkat dari Kumcernya Dee. Dia dapet penghargaan sebagai karya sastra terbaik tahun 2005 dari majalah Tempo loh." Jawabque jumawa.
"Etdah, komplit bener infonya. Bukan tentang film itu. Tapi tentang filosofi kopi sachetan, Dedekkk." Apalagi sih maksudnya, mana didedek-dedekin pula. "Jadi, filosofi kopi sachetan itu mirip kayak aku. Kadang menghangatkan, kadang memuakkan." #plakkk
Dia tertawa penuh kemenangan atas
Aque sih diam aja sambil ngunyah nasi. Kemudian mataque memerhatikan kelakuannya. Kalo bisa digambarkan dalam satu kata, dia itu FREAK. Jadi pantas saja kalau kelakuannya aneh-aneh. Lah gimana nggak aneh, segelas
"Mau?" tanganque menyodorkan moccachnino tadi. Dia menggeleng. Ekspresi antara kekenyangan dan sayang membuang makanan tergambar jelas di wajahnya. Ciyaaaan deh. Aque hanya memerhatikan dia yang susah payah menghabiskan makanannya.
Eat, Pray, Love
Sekian menit kemudian, kami meluncur ke
Uluwatu hingga melewati jalan Labuansait, Aque auto melambatkan laju kendaraan
ketika dia memekik kata pantai. Aque putar haluan, putar arah ke Padang-Padang
Beach.
Karena kepagian, penjaga tiket belum ada sehingga kami masuk tanpa biaya. Lagipula, di pantainya juga belum banyak orang. Kami puasss banget menikmati alamnya, udaranya, ombaknya, pantainya, suasananya, viewnya, semuanya. Jadi gini, gaes-gaes sekalian. Padang-padang beach yang juga dikenal sebagai Labuansait ini pernah jadi tempat syuting film Hollywood dengan judul Eat, Pray, Love yang dibintangi oleh Julia Robert, yang diangkat dari novel best seller karya Elisabeth Gilbert. Novel ini menceritakan tentang perjalanan pencarian jati diri seorang perempuan, Liz (Julia Robert), ke Italia, ke India lalu ke Bali, sehingga ia menemukan cinta sejatinya, Felipe, seorang pria Brazil. Gitu. Fiuhhh, cepek juga mendongeng buat gaes-gaesque semua.
Mentari yang meninggi dan gerah yang mulai melanda, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke pura Uluwatu. Karena tidak ada kepentingan di pura dan kami juga bukan penganut agama Hindu, kami hanya berkeliling-keliling saja. Nah, ketika di rest area yang menyediakan tempat untuk duduk-duduk, dia mulai mengeluarkan snack dari dalam ranselnya, seekor
Aque sempat mendengar turis berbicara bahasa China. Dia memperjelas bahwa turis tadi berbicara bahasa Kantonis, bahasa keduanya setelah bahasa Indonesia. Hanya saja dia enggan show off kemampuannya.
"Akan ada waktunya kamu mendengar aku ngomong pakai Kantonis. Di tempat mbakku, di kampung Kantonis, mungkin."
Ah, epret.
Ya udah, kalo kamu nggak mau, biar aque aja. Mumpung ketemu orang Arab dan aque sendiri juga orang 'arap' (arap maklum, arappati nggenah), ya udah, ngobrol ngalor ngidul nggak jelas. Yaaa, sekalian tes mental dan tes 'grammar'. Hawong kadang aque selingi obrolan pakai bahasa Arab sama dia, dianya nggak paham. Makanya, memanfaatkan momen ketemu native Arabic. Yaaa, azaz kebermanfaatan gitulah. Memanfaatkan ilmu untuk disampaikan walau satu kata atau satu kalimat. Nyatanya, dia nggak kuat mendengar obrolan dalam 'bahasa planet'. Akhirnya dia mlipir dan menjauh dari rumpun bougenfil tempat kami berteduh dari teriknya matahari, kemudian membuat dokumentasi/ stok foto tebing Uluwatu. Saking asyiknya, dia sampai tidak sadar ketika aque kageti. Haha, skor 1:0.
Selanjutnya, kami menuju
masjid Palapa, setor muka sebelum ngasih makan cacing-cacing kremi di dalam
lipatan-lipatan jonjot di dalam perut. Biasalah... tempat makan manalagi yang
ekonomis di area wisata begini selain warung-warung pinggir jalan
atau gerai Circle K, Indomaret, Alfamart, dan sejenisnya.
Dan gara-gara tadi pagi
cuman nyeruput cappucinta
chococino, siang ini aque bayar dengan segelas cappucinta cappucino, kritik kripik,
roti sisir dan banana cake. Kenyang? Iya, tapi sementara.
Secara perut Indonesiaque nggak aci kalo nggak makan nasi, berasa belum makan
kalo nggak pakai nasi.
Dari sana kami meluncur
ke pantai Balangan. OMEGOTTT, banyak kali anjing di sini. Mana tebing dan
karangnya bolong-bolong. Aque auto merinding disko secara aku kan CynophobiaI* dan juga Trypophobia*. Demi apa cobak
kuterabas semua fobiaque itu? Demi nyai (auto nyanyi).
Untunglah semua itu
terbayar dengan view yang memikat dan hasil foto yang lumayan. Terutama stok
foto sama bule agar aque bisa pamer sama Risk atau Wild, dua cecunguk sahabat
baik saya yang ‘lurus’ di dalam tapi mbliyut
di alam.
Destinasi terakhir
adalah Dreamland beach. Sebelum ke sana, kami balik lagi ke masjid Palapa.
Sengaja sih nyari destinasi yang
searah atau seputaran Uluwatu supaya efisien waktu, tenaga, dan bensinnya haha.
Ya kan pejalan retjeh macam kami ini sudah
seharusnya memertimbangkan 'cost dan biaya operasional' lainnya. Hawong cashback yang
hanya seribu duaribu aja dikejar. Dan memang kami bisa halan-halan begini
dari seribu duaribu itu tadi. Etdah, tjurhatttt. Hei... sebagai
manusia dewasa, kita kudu tau kapan harus irit kapan harus loyal. Nawang?
Nah, di dreamland ini,
aque menikmati banget debur ombak dan sensasi senjanya sembari melihat mentari
berwarna oranye seperti kuning telur asin, meski hanya dalam ketinggian seujung
tombak di atas penderitaan orang lain garis horizon. Dan
ketika kuning telur asin itu mencumbu bumi, aque bergegas pergi. Dia? Dia yang
tergila-gila dengan senja sepertinya enggan beranjak. Entah alasan bikin photo stock, night shot, slow speed,
atau apalah itu. Bodo amat.
"Nanti aja di
jalan kan juga bisa." Aque berjalan pergi.
Mau nggak mau dia ikut.
Apa iya mau aque tinggal sendiri di sini? Padahal aque mbujuki.
Gampang aja kok ngebodohi cewek. Dikasih 'harapan' dikit aja, pasti deh hidupmu
aman sentosa. Ya gimana, secara waktu sholat maghrib itu pendek. Belum lagi
perjalanan balik ke rumah bisa satu hingga dua jam plus macetnya.
Sialnya, makan malam
yang rencananya di warung seblak, ternyata gagal total. Muter-muter daerah
Tengku Umar, hampir sebanyak jumlah jari tangan ternyata alamat yang kami
cari tidak ada. Dia sih ngakunya udah pernah ke sini. Kalo
memang iya, mana mungkin tiba-tiba nggak ada. BIANGKEL, aque!!!
Sensasi Asyique berduaan di atas Motor
Aque ngegas-ngopling dengan rasa lapar dan kesal yang mendera. Ya kan dari tadi aque belum makan nasi dan perut Indonesiaque masih meronta-ronta minta diisi. Ditambah dia baca petanya 'yaaa, gitu deh' alias terlalu lambat instruksinya. Malah cepetan aque liat rambu lalulintas! BIANGKEL kuadrat.
Tapi, ya udahlah. Suasana mencair lagi dengan seketika saat aque bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Aque memintanya mendoakanku bisa beli mobil
"Ngapain beli mobil? MOBILang apaaaa akunyaaa?" Nah kan, nah kan, kumat lagi alaynya.
"Wisto, Mbok. Dongakne aku."
"Tau nggak, sensasi naik motor itu asyique. Sini saya kasih contoh.
- Coba deh elus-elus dengkul
cewekmu pas macet atau saat nunggu lampu merah. Kelihatan modus sih tapi
bikin cewek berdebar-debar loh. Belum lagi gas-kopling-gas-kopling,
ngegas-selaaawww-ngegas-selaaawww, yang bikin tangan kejang itu membuat
helm jedot-jedotan. Nggak marah, kan? Malah romantis. Belum lagi kalo kamu
beruntung punya cewek yang 'massa depan'nya
besarberat. Beuggghhh, menang banyak kamu. Pasti kamu menikmati banget sensasi ngganjel itu. Awas aja tanya: "Ganti ukuran bra, ya? Kok beda?" #plak - Nih misalnya lagi berantem dan
ngambeg-ngambegan di atas motor, cewekmu duduknya munduuur sampai ujung
jok, di atas plat motor, trus kamunya duduk majuuu sampai depan stang,
pasti kalian ketawa bareng. Ngambeg selesai dengan indah. #ngakakkejang
- Ini yang sering kamu keluhkan
ketika aku hanya menjawab ha-he-ha-he saat kita ngobrol. Padahal kamu udah
kenceng ngomongnya. Itu loh aku udah ngedeketin kupingku di wajahmu
biar aku jelas dengernya. Udah, yang ini jangan tanya sensasinya. #eakk
- Apalagi cewekmu berukuran mini
yang apabila mau naik, kudu pegangan pundak atau pinggang. Kalo dia udah
naik, kamu bisa tanya: "Udah? Kalo udah, kayuk turun".
Becanda retjeh gini udah bikin kembut-kembut,
taukkk. #ngakakkejang
- Belum lagi semesta mendukungmu
dengan memberi cuaca yang lumayan dingin. Kamu bisa nge-treat cewekmu
dengan menarik tangannya lalu kamu masukkan ke kantong jaket atau hoodie
yang kantongnya nyambung itu. Udah, nggak usah tanya lagi endingnya.
Anget. Angetnya sampai ke hati. #eh
Gitu, Dedek. Iya, aku
doain asal aku bisa ikut menikmati mobilnya. Eh. Tapi etapi, kalo mau sesuatu
itu harus dipikir masak-masak, beli sesuatu itu harus ada keberwkwkwkannya kebermanfaatannya."
Bisa ae nih tutup dandang cilok ngebucin. Tapi, emang bener sih yang dia omongin. Beli sesuatu apalagi barang beginian kalo cuma ngejar gengsi biar diliat strata / status sosial naik mah buat apa? Cuman... karena kita udah sampai warung langganan, aque nggak menanggapi cerita-cerita asyique boncengan sama cewek di atas motor.
Begitu turun, dia minta menu yang sama denganku. Dia sendiri nyebrang ke toko depan untuk membeli jepitan baju.
Dari sini aque mulai paham kalau dia itu sebenarnya makannya gampang cumin kadang agak picky alias milih-milih. Begitu juga minumnya. Saat dia menghadap piringnya, dia menaruh telur goreng di piringque.
"Kamu aja yang makan. Udah ada ikan (teri). Telur dan ikan sama-sama sumber protein. Aku nggak mau berlebihan." Gila, gini aja dihitung. Ribet amat hidupmu, mbok.
"Minum apa?" tanyaque.
"Jerman."
"Nggak pakai es?" Dia menggeleng.
OK, akhirnya aque memesan jus alpukat dan segelas jerman (jeruk manis) hangat. Dia bilang, jarang-jarang minum es karena khawatir bakal kena batuk atau pilek bahkan demam. Dia hanya minum es kalau es batunya buatan sendiri.
Begitu waktu makan selesai, terlihat piringnya bersih dari nasi serta sayur dan hanya menyisakan sambel teri. Aque cemilin dah tuh sambel. Aque ketawa aja liat ekspresi kagetnya. Di sana seolah-olah tertulis kalimat :
Hey, ini 'hanya' sambel teri sisa. Kamu nggak
harus memakannya. Masa kamu mau sih makan sisaku. Aku loh bukan apa-apamu. Kalo
dari awal sebelum makan aku memintamu mengambilnya, itu masih wajar. Lah ini...
sisaaaa. Apa aku harus menikah samamu agar kamu bebas makan bekasku dan aku bebas
makan bekasmu? #Eh. Mana kamu santai gitu nyemilnya.
Akhirnya, aque tatap aja balik. Biar mataku ini menjawab voice overnya :
Halah, ribet amat, Mbok. Menghabiskan makanan
itu bagi aque sih kewajiban. Karena kita tidak tau pada suapan keberapa berkah
makanan itu berada. Lagian, kalo dibuang kan mubadzir. Sayang duitnya (tuh kan, belum apa-apa udah sayang).
Aque mengantarnya kembali di tempat kita ketemu tadi pagi. Sepertinya dia enggan pulang secara dia pengen makan roti bakar. Gimana mau nuruti kemauan dia, lah saudaraque sudah menunggu di rumah dengan perut
Dia turun dengan terpaksa. Kami berpisah. Dan entah kapan lagi momen seperti ini akan ada lagi. Doakan saja ya, gaesss.
Note:
Cynophobia = fobia anjing
Trypophobia = fobia lubang-lubang kecil
***
0 comments:
Post a Comment