2019-09-28

Sepenggal Cerita dari Singaraja



Saat menulis ini, list di Sportify sedang mengalun lagu Hanya rindunya Andmesh, yang ternyata pengaturannya diulang satu lagu itu saja. Yaaa, gimana ya, lagu ini menusuk banget buat backsong nulis. Secara saya sedang rindu mengingat kembali kisah perjalanan saya ke Singaraja bulan lalu, hahaha. Eit, jangan negatif dulu. Kalo tidak nge-flashback, gimana saya bercerita, gimana saya mengisi lembar-lembar cerita nekad yang sudah lama tidak saya tengok?

Jadi, gini. Minggu sore itu ada pesan di Whatsapp, yang ketika saya buka ternyata dari Paijo, demikian saya memanggilnya. Ia berbasa-basi sedikit, menanyakan waktu longgar saya dan mengajak saya ke Singaraja. Saya tidak mengiyakan atau pun menolak. Galau, cuy. Siapa sih saya kok tiba-tiba diajak ke Singaraja, berdua saja. Lagipula, Paijo itu orangnya kek mana kan saya juga nggak tau. Gimana kalo dia suka nggigit? Bisa-bisa saya kena rabies!!! Padakno asyiu wae, Cuk.

Sebenarnya ke Singaraja itu dalam ‘rangka tugas negara’, cuman ... perjalanan ke sana yang kira-kira perlu waktu 5-6 jam pulang pergi harus molor hingga 16 jam. What the fff... Iya, kami mlipir dulu, jelong-jelong, menikmati sudut Bali yang belum pernah saya injak. Itulah kenapa dia ngajak saya seorang. Jangan-jangan dia cuma mau bayar janji tiga hari sebelumnya yang tidak dia tepati? Eh, nggak juga sih. Dia udah ‘bayar’ kok janjinya di daerah Pererenan. Ketika saya interogasi pun jawabnya hanya sebatas formalitas saja. Perempuan itu Maha Tahu pada hal-hal yang tidak beres macam ini, Ferguso.

Setelah nego sana-sini, tukar jadwal shift, sebuah teka-teki kenapa perjalanan kami berdua harus disembunyikan, identitas saya juga harus disamarkan serta serangkaian ketegangan urat syaraf, akhirnya jadwal kami ke Singaraja diundur dua hari ke depan dari awal chat di WA, tepatnya hari Rabu mendatang.


Semesta Tidak Merestui (?)

Dari hari Minggu hingga Selasa, cuaca sangat bersahabat. Matahari bersinar dengan mocernya. Tapi Semesta berkehendak lain. Rabu pagi yang masih sangat dini, pada jam yang disepakati, tanpa kabar-kabar dulu, hujan tiba-tiba turun. Deras pula. Saya harus berdiri di tempat penjemputan yang telah kami sepakati dalam keadaan langit yang masih gelap gulita, basah, sendirian pula. Paket lengkap. Saya auto menghubunginya. Ya iyalah, enak aja anak orang dicengar sendirian di pinggir jalan tanpa kepastian? Perempuan itu butuh kepastian, Mas.

Akhirnya kami hujan-hujanan menuju gerai 24 jam. Sambil menikmati roti dan kopi yang tidak terlalu panas, kami berdiskusi sedikit dan menyinggung destinasi yang akan kami datangi. Hujan bukan mereda tetapi makin deras. Mau balik kucing pun tidak bisa karena alat yang akan kami ambil akan dipakai Kamis malam. Seandainya perjalanan diundur sehari kemudian, rasanya saya tidak bisa tukar shift lagi pun dia bakal dicecar habis-habisan sama big bosnya.

Jam terus berjalan. Mau nggak mau kami menerobos hujan yang sebentar deras sebentar mereda.

Tapi itulah ajaibnya, belum juga kami melewati area kecamatan Kediri, hujan sudah tidak tampak lagi. Sisa-sisa hujan hanya serupa sisa embun semata. Lalu, bagaimana dengan kondisi sekian menit lalu ketika kami basah kuyup? Kami? Dia aja yang basah, saya sih enggak. Ya kan saya berlindung di balik punggungnya hahaha.

Saya sempat berfikir, semesta sepertinya tidak merestui. Tuhan pun sedang mengajak bercanda. Ya, ya, ya, lucu, lucu.

Langit yang masih menyisakan warna kelabu, udara pagi yang menusuk, dan sisa-sisa hujan barusan benar-benar perpaduan yang pas ketika kami ... emmm, nganu. Nggak jadi ah, biar saya, dia, Tuhan dan malaikat yang tahu.

Nggak deh, saya nggak nge-prank. Jadi, dia itu lagi flu. Ada sebuah tragedi yang lucu sekaligus menjijikkan menggelikan. Nah, dia bilang pada saya agar minggir ke kanan dikit dari jok motor tempat saya duduk. Ketika itu saya kurang ngeh sih yang dia bilang karena laju angin menyamarkan instruksinya.

Dia melambatkan motornya untuk mengeluarkan ingus. Apa lacur, si ingus malah menempel di lengan jaketnya. Bayangkan, gaez, bayangkan. Wadefakkk. Saya memintanya menepi dan menghentikan motor di sembarang tempat, toh saat itu lalu lintas tidak terlalu padat. Kemudian saya ambil tisu dan menyerahkan padanya untuk membersihkan diri dari tragedi barusan. Dan sebelum tragedi ini hilang dari labirin-labirin memori otak, saya menuliskannya di sini, kalau toh dia menemukan tulisan ini, biarlah dia misuh-misuh istighfar berkali-kali.


Kebun Raya Bali

Cuaca mulai normal. Suhu udara masih saja dingin. View perjalanan menampakkan wajah alam Bali yang asri, sawah dan pohon-pohon kelapa melambai, kebun-kebun sayur dan setroberi sejauh mata memandang, pun nampak orang-orang berselendang yang memanggul canang serta keriuhan di beberapa spot pasar yang kami lewati. Dia bilang, Singaraja ada di balik bukit itu. Saya hanya mengiayakan toh selama ini saya hanya mendengar nama Ibu Kota Kabupaten Buleleng itu tanpa pernah numpang pipis menginjakkan kaki di sana. Ya maklum, selama ini jalan-jalan saya kurang jauh, hanya antara kamar mes dan kamar mandi doang. Itu pun sambil sa’i (berlari-lari kecil) karena kebelet ‘panggilan alam’. Bila saya ingin membandingkan, perjalanan menuju destinasi pertama ke Kebun Raya Bali ini serupa (meski tak sama) dengan perjalanan menuju telaga Ngebel, Ponorogo atau Telaga Sarangan, Magetan.

Motor berjalan dengan kecepatan di atas rata-rata. Saya mengepalkan kedua tangan di depan dada sambil bersembunyi di balik punggungya untuk menghindarkan diri dari dinginnya tiupan angin. Jaket yang saya pakai ternyata tidak banyak membantu. Ya maklum, boleh dibilang, ini bukan jaket yang pas buat perjalanan pakai motor dengan medan seperti itu. Kalo sudah begini saya jadi kangen jaket parasut kesayangan yang sekarang ada di Bengkulu, heuheuheu.

Usaha saya untuk menghangatkan badan masih gagal. Saya bilang padanya bahwa saya kedinginan. Dia meminta saya memasukkan tangan ke kantong depan jaketnya. SEKALI LAGI, SAYA HANYA MEMASUKKAN TANGAN KE KANTONG JAKETNYA. Suer, malu tauk posisi meluk kek gitu. Tapi, dipikir-pikir, anggap aja ini keadaan darurat. Boleh kan ya hukumnya, hahaha. Daripada tar pulang dari Singaraja malah kerokan?

Jaket tebelnya yang udah kayak jaket musim dingin itu berangsur-angsur mengusir dingin yang menggigit. Secara posisi sopir yang rawan berhadapan langsung dengan angin dan benda-benda terbang lainnya, tentu sudah siap-siap perlindungan ekstra. Tuh kan, tubuh sendiri aja dijagain baik-baik, apalagi penumpang di belakangnya. Jadi makin sayang deh sama sopir satu ini. Eh. Plakkk self.

Sampai di sana, kami segera berkeliling, mencari spot foto yang uploade-able. Keinginan saya untuk ngevlog terpaksa saya pendam dalam-dalam karena asing dengan medan.

“Bukannya sudah aku kasih tau destinasinya,” protesnya. Ehhh, iya ya. Mungkin saat dia ngomong, saya lagi nggak konsen. Raga di mana, jiwa di mana. Duh, pengen jedotin kepala ke tembok bantal.

Akhirnya saya memintanya sekrol-sekrol HP, searching. OK, dalam hati kecil saya, saya berjanji akan membuat tulisan perjalanan ini dengan dua versi, untuk blog dan untuk media. Semoga.

Kembali ke Kebun Raya, pohon-pohon menjulang, bunga-bunga, patung-patung, hamparan rumput, flying fox ala-ala, kolam dan beberapa tempat lainnya begitu menarik untuk disambangi apalagi bagi bajingan syariah macam kami penikmat alam yang masih perawan. Hanya saja, otak saya yang gedenya tak sebesar batok kelapa ini hanya mampu merekam sekian persen saja. Lainnya serahkan saja pada kamera. Itu pun banyak fotoselfie/ wefie. Pun waktu yang terbatas dan tugas negara masih menanti, membuat kami hanya bisa menghabiskan waktu sekitar tiga jam di sana. Tiga jam itu kurang? Ya kuranglah secara kebun raya, Cuy, bukan kebun singkong belakang rumah. Suer, ini perjalanan yang benar-benar dilakukan dengan berjalan kaki. Untunglah selama ini saya nge-treat tubuh dengan lari di lapangan Beraban seminggu satu atau dua kali. Sehingga ketahanan fisik masih terjaga. Kalo enggak? Pasti deh: ora los njuk rewel!

Singaraja dan Sepiring Tipat Daging

Sebagaimana tipe-tipe di area pegunungan lainnya, ketika siang, matahari malah bersembunyi di balik awan. Padahal, saya menunggu cahayanya untuk mendapatkan efek bayangan dalam beberapa foto yang ingin saya buat karena spot foto yang saya cari baru ketemu pada perjalanan kembali ke area parkiran. Belum jodoh, belum rejeki, dan mungkin lain waktu harus diulangi!!!

Keluar dari Kebun Raya, kami segera ke Singaraja karena dari tadi HP dia berdering berkali-kali, baik telefon dari Tabanan maupun dari Buleleng, menanyakan posisinya secara dari sebelum jam 6 pagi dia sudah keluar rumah. Suer, pengen ketawa tapi takut dosa. Ya kan emang perjalanan kami berdua ini hanya orang-orang tertentu saja yang tau, khususnya rekan kerja saya (untuk masalah perijinan). Baginya, keluar dengan ‘teman’ macam saya ini adalah dosa besar yang tidak perlu diumbar apalagi sampai ketahuan teman atau keluarganya. Malulah sama almamater.

Mungkin karena efek usia kelelahan, lapar, ditambah udara dingin plus posisi pundak sopir yang lebar dan masih kosong, kepala ini dengan mudahnya bersandar di sana. Tidur pula. Kurang ajar betul kepala ini. Apa kepala ini tidak tahu bahwa pundak sopir di depan saya ini pundaknya mantan anak P*nd*k P*s*ntr*n yang (casingnya) lurus-lurus saja (tapi nggak tau dalemannya)? Kepala siapa sih ini? Pasti deh kepala mantan anak pondok Ramadan. Bedebah betul, kamu!

Saya memaki-maki dalam hati. Tapi ya gimana, dia yang ngasih kesempatan hahaha, hawong dia yang nyuruh thoat alias nurut. Saya sih iyes-iyes saja, daripada diturunin di tengah jalan. Takuuut.

Saya terbangun dengan sedikit kaget saat helmnya dibenturkan dengan helm saya. Dia mengeluh. Ngantuk, katanya. Kami pun menepi di warung kecil di pinggir jalan, di daerah Singaraja. Dia memesan segelas kopi hitam sedangkan saya segelas jeruk hangat. Niat hati ingin berhenti dan tiduran sejenak, namun kandang babi yang terletak di dekat warung mengeluarkan aroma tidak sedap.

Tak perlu berlama-lama, kami segera meneruskan perjalanan guna mengambil alat di rumah ... A. Sampai di sana sudah masuk waktu dzuhur. Sebelumnya, seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, saya diwanti-wanti agar begini-begini dan begitu-begitu. OK, saya mendengar dan saya taat hahaha, demi keamanan kan ya.

Saya baru merasakan cuaca panas dan gerah ketika masuk daerah Singaraja tadi. Ternyata panas ini dikarenakan tempat yang kami sambangi itu berdempetan langsung dengan laut. Pantas saja rasanya kek neraka bocor alus. Tapi jangan salah, ketika di dalam rumah, adem banget kok. Saya aja (kalo nggak malu) udah tidur di kasur yang digelar di ruang tamu. Duh, mata ini memang sialan, nggak bisa buat ngeliat punggung kasur nganggur. Maunya tidur mulu.

Selesai dia sholat, giliran saya setor muka sama yang ngasih hidup. Seporsi tipat (ketupat) yang dimakan sama kuah daging sudah menunggu. Duh, godaan apa lagi ini! Mau makan kok sungkan, mau dibiarkan kok mubadzir. Dilema!!! Mana dia makan duluan. Kan kampret. Pengen banget ngomelin dia saat itu juga. Dipikirnya saya ini siapa? Saya ini cuman tamu yang masih punya rasa sungkan. Masa udah ditinggal sholat, ditinggal makan pula. Hey, you, lain kali kalo kamu bawa tamu (terutama cewek), kamu harus antar dia sholat dulu, abis itu kalo emang dikasih makan, makannya pun barengan. Kalo cewek lain udah pasti rewel! You beruntung banget karena yang you ajak ini manusia setengah cewek setengah embuh.

Diantara dilema itu, saya mengikuti teriakan-teriakan cacing kremi di dalam perut saya yang minta disuapi. Seporsi tipat daging kuah pun tandas, tinggal tulangnya saja. Mau ngabisin snack dan sejimbeng teh hangat kok malu. Ya udah, saya bantu clear up sekalian nyupir (nyuci piring) tapi untuk masalah nyupir dilarang sama tuan rumah yang baik itu. Jurus apalagi yang dikeluarkan selain jurus SMP (Setelah Makan Pulang). Mau pamit sama nenek kok beliaunya nggak keliahatan. Padahal kalo ngeliat beliau, saya keingat peristiwa sekian menit sebelumnya dimana, saking pengennya menjamu tamu ‘dari Badung’, beliau grogi. Sehingga saat membuka toples, snacknya sampai tumpe-tumpe.

Untuk perjalanan kembali ke Tabanan kali ini tidak ada adegan TANGAN MASUK KE KANTONG JAKET. Gerah, cuy. Dia menggendong ransel saya di dada sedangkan saya menggendong alat di punggung. Ketika mengingat ini, saya sempat berfikir, kenapa waktu itu dia nggak gendong ransel di punggung aja ya?

Kan saya bisa meluk pegangan ranselnya aja. Daripada saya narik bagian ransel yang membuatnya berasa seperti tercekik.

Sesampainya di area Bedugul, kami mampir di sana, menikmati view sejuta umat tepatnya mencari spot foto yang ada di uang percahan 50.000 ribu rupiah lama. Bagi dia sih dua destinasi yang kami kunjungi hari ini adalah perulangan dua tiga tahun yang lalu. Lain halnya bagi saya. Ini adalah remake kenangan yang saking lamanya sulit sekali saya korek-korek. Oya, sebelumnya dia menyinggung bahwa "Bro Mantab"nya sedang mengantar krucil-krucil berwisata ke destinasi yang kami kunjungi juga. 

Kalau memang sudah jodoh, tanpa janjian pun bisa bertemu. Mereka jumpa di dekat Pura Ulun Danu yang penuh dengan kekhusukan ibadah (kalo saya ketemunya di P*r* D*l*m, biar ada creepy-creepynya). 

"Te, tunggu sini, aku mau nyapa Broku. Nanti aku bilang kalo kamu kakakku." 

Saya sih ao-ao saja secara saya tidak diajak menemui Bronya itu. Saya minggir dari kerumunan di area danau sambil menyaksikan betapa crowdednya kesibukan di situ secara sedang ada ibadah juga. Mood untuk foto sudah tidak 100%, feelnya nggak nemu, sehingga gambar yang dimaui 'nggak dapet'. Tapi life must gogon go on. Jadi, shutter tetep aja dihajar_sampai ngeheng. 

Menyingkir dari tempat itu, saya berdiri di sembarang tempat. Saat saya ditinggal olehnya, saya sempat berfikir yang enggak-enggak. Namun, hal itu segera saya urungkan mengingat aura negatif malah sering jadi kenyataan. Untuk satu ini, saya sering pula mengutuk diri sendiri. 

Tak berapa lama, dia muncul di hadapan saya yang sedang bengong memerhatikan tingkah orang-orang yang berwisata. Dia mengajak saya bertemu temannya tadi. Sialnya si teman tidak percaya kalo saya adalah kakaknya. Ya iyeslah, Cuk, secara si Bro tadi udah 'satu atap' dengannya sekian tahun bahkan explore timur Jawa bersama. Kakak dari mana, hawong dia anak sulung, kakak dari Hongkong? Tapi bener dari Hongkong sih, eh. Beberapa istilah 'araf' dipakai dalam ngobrol kali ini. Saya auto loading secara saya hanyalah remah-remah rengginang di dalam blek Khong Guan sisa lebaran bukan CAH PONDOK yang mana saya lemah ilmu agama sehingga saat ini belum juga rampung belajarnya.


"Tulang punggung" yang nempel di punggung

Sebelum kembali pulang, kami setor muka di Alhidayah, Bedugul. Rencana menikmati view sekian meter di atas permukaan laut pun gagal karena kabut sudah turun. Saya diprotes karena kelamaan. Hello young man, sini saya jelaskan, yes. Untuk nyari tempat saja, saya kudu muter dulu secara kamar mandi wanita di sebelah kanan. Lain halnya untuk pria yang sejak dari parkiran saja sudah nampak tempatnya. Trus, kalo mau ngencehkami saya kudu buka kancing, tarik resleting dan melorotin celana dulu sebelum jongkok. Kalo kamu mungkin tinggal buka resleting aja sudah beres. Ketika sholat pun, aurat kami saya berbeda dengan Anda. Ibarat tinggal niat, takbir, cuzzz deh salam. Lah saya? Kan kudu nyari mukena dulu. Seusai wudlu saya masih bisa menyampirkan kerudung. Dan selesai sholat saya tinggal pasang lagi sambil berjalan menuju tempat sepatu. Coba cek mamak-mamak rempong sebelah saya. Mereka kudu ngelap dulu air wudlunya. Seusai sholat, kudu touch-up lagi make-upnya, kudu ditebelin lagi lipennya. Risiko ngajak cewek ya gitu. As you know, saya sudah mencoba meminimalkan hal-hal berlebihan kecuali ransel. Untuk satu itu saya mohon maaf. Itu ranselnya aja yang melendung gede. Padahal isinya mah ga ada. Saya list ya: kamera dan tasnya, baterai kamera, hp, dompet dan isinya (ini pun beberapa kartu, nota pembelian/ pembayaran dan sampah bungkus ciki sudah saya tinggal di mes), tissue, permen, biskuit, air, mantel plastik (ngambilnya last minute sebelum berangkat karena pagi harinya hujan). Isinya ini sudah tidak termasuk mukena yang saya keluarkan lagi saat packing. Kalo saya nyoliter a.k.a nyolo a.k.a jalan sendirian ke kecamatan pun kadang pakai ransel ini. Bisa dibilang, saya ini tipe-tipe well-prepared yang yahhh... masih sering ada hit & missednya juga. Jadi, kalo suruh pakai tas kecil apalagi yang diselempang di samping kayak dedek-dedek gemes itu, maaf, maaf, saya nggak punya. Solusinya ya kamu beliin saya dulu hahaha. Lagian, ada hikmahnya juga to? Kamu bisa naruh oleh-oleh makanan di ransel! Saya saja yang kepengen beli oleh-oleh saja sampai nggak sempet kan? 

Sudah jelas atau babar blas? Uwis dong apa blong

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, saya hanya bisa menempelkan kepala di punggungnya, lagi. Pegel pegel dah tuh punggung besoknya hahaha. Dia sih... nganggurin punggung gitu. Kalo sudah ada stempel "bukan milik umum", sah secara hukum dan agama, saya nggak bakal senaked senekad itu. Yaaa, namanya juga cerita naked nekad. Kalo nggak naked nekad nggak ada seninya. 

Pada perjalanan motor sebelum-sebelumnya, saya selalu stay awake. Pinggang capek, berasa patah. Tapi beban hidup saya yang saya titipkan sebentar di bahunya bukan di bahu jalan, lumayan melegakan hahaha, makasih, yes. Akhirnya, saya yang menjadi tulang punggung keluarga ini bisa nitipin bentar di punggung anak orang. Itu artinya saya memercayakan perjalanan ini 100% ke dia. Mati urip, seneng sara, slamet cilaka, wareg luwe... sik, sik... Untuk urusan perut, maaf, saya ini masuk dalam pasukan wani perih tapi wedi luwe. Jadi, kudu nyetok makanan secara saya dalam program penggemukan badan yang sempat drop 5 kg usai sakit kemarin. Bukan tanpa alasan sih, emang mau nyampe batas BMI (Body Mass Index)  tertentu agar bisa donor darah. 

Tapi saya paham, betapa berat beban hidupnya untuk menghidupi dirinya sendiri (ini belum termasuk beban hidup anak sendiri dan anak mertua loh). Makanya saya berterimakasih sekali lagi ketika dia membangunkan saya saat punggungnya kelelahan.

Dan sebagaimana yang saya ungkapkan di atas, pasukan wani perih wedi luwe ini meluncur ke Puputan untuk satu hal yang sia-sia karena destinasi yang kami datangi sudah tutup 15 menit sebelumnya. Kasihan juga sih saat melewati daerah macet di sepanjang Canggu. Entahlah, saya merasakan ketidaknyamanan sepanjang perjalanan. Auranya beda banget dengan perjalanan ke barat mencari kitab suci Singaraja pagi tadi. 

Saya memintanya berhenti di sembarang tempat makan tapi dia nggak mau mengingatkan saya bahwa kami ada janji ngopi di Dalung. Saya thoat-thoat saja toh acara ngopi ini sekedar membunuh waktu agar jarum jam segera beranjak menuju angka 9 dan 12 secara jam segitu 'green' area di Beraban sudah sepi dari dedek-dedek lucuk plus makhluk aneh dan unik-unik. 

Jangan dikira dia tidak dimonitor. HPnya masih saja berdering. "Pak Bos" menanyakan posisinya dan perintah untuk segera pulang samar-samar terdengar pasalnya masih ada 'tugas negara' yang harus dia kerjakan sebagai bentuk pengabdian seusai keluar dari kawah candradimuka. Apakah dia nurut? Ya enggak lah, untuk hari itu, dia bukan lagi santri garis keras tapi santri garis mbliyut, yang yaaahhhh walau begitu, ajaran-ajaran yang dilanggar dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan ketika kembali ke habitatnya, semua tampak baik-baik saja, tampak normal-normal saja. Begitu pun saya, seolah-seolah tidak pernah terjadi apa-apa, tidak pernah ada perjalanan kemana-mana dan 'alat' yang kami ambil pun saya perlakukan serupa belum pernah melihat sebelumnya. What the he.... Demi apa coba? Demi_kianlah adanya, hahaha. 

Trus trus, kami sepakat mengumpulkan receh untuk perjalanan selanjutnya. Dia yang ngejanjiin ngajak saya ke Teluk Ijo dan Pandawa. Saya cukup mengiyakan. Kalo toh hutang janji di dunia nggak di bayar, mau nyari di sebelah mana tuh Teluk Ijo dan Pandawa ketika sudah di akhirat. 

Dan insya Allah akan share lagi cerita-cerita nekad saya selama di Bali yang kemungkinan lebih banyak solo daripada gerudukan. Budget, dude, budget. Hahaha.

***


0 comments:

Post a Comment