[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2015-05-31

[Octivity] Indohikers: Circle of Friendship

Indohikers: Circle of Friendship

Bertepatan dengan hari buruh, Indonesian Hikers (Indohikers) memperingati hari jadi yang ke-3(1/5). Acara yang bertema "circle of friendship" ini bertempat di Clear Water Bay, Saikung. 

Menurut ketua Indohikers, Asti Maria, tema ini dipilih karena memiliki makna khusus. Persahabatan diibaratkan seperti lingkaran yang saling sambung-menyambung dan satu kesatuan. Persahabatan di sini tidak hanya antar teman tetapi juga pada alam sebagaimana slogan Indohikers, "go green, back to nature", lanjutnya.

Ia berharap agar terjalin persahabatan yang indah antar sesama Indohikers, sesama teman hiking maupun dari organisasi lain.

Acara diisi dengan aneka hiburan dari tamu undangan maupun dari anggota Indohikers sendiri. Antara lain: menyanyi dengan iringan petikan ukulele, baca puisi, stand-up comedy, drama, menari massal, aneka perlombaan dan bagi-bagi hadiah.

Tidak hanya bersenang-senang, Indohikers juga mengadakan galang dana untuk korban bencana alam yang terjadi di Nepal. Sumbangan yang terkumpul mencapai HKD 1700.

Risna Okvitasari.

2015-05-30

[Octivity] Lensational & Voltra Workshop Photography

Lensational & Voltra Workshop Photography

Belasan Buruh Migran Indonesia (BMI) mengikuti workshop Photography yang diadakan oleh Lensational (Lens and Sensational), sebuah organisasi non profit yang memberdayakan perempuan melalui fotografi. Workshop kali ini Lensational menggandeng Voltra (Volunteerism and travel), sebuah organisasi non pemerintah yang menggabungkan kekuatan kesukarelaan dan pertukaran budaya selama berwisata.

Kegiatan yang dimulai pukul 13:00-17:00 ini diawali dengan perkenalan antar anggota dengan mendeskripsikan diri sendiri seperti buah-buahan. Canda dan tawa mewarnai perkenalan awal pada workshop ini. Acara dilanjutkan dengan hunting foto di Kowloon Park dengan membaurkan antara peserta dan penyelenggara serta membaginya dalam grup-grup kecil. Tidak adanya ketentuan khusus mengenai genre foto yang diambil membuat peserta lebih bebas membidikkan kamera pada objek-objek yang dianggap menarik. Entah itu memotret hewan, bunga, manusia hingga membuat foto dengan objek mengambang atau yang disebut levitasi.

Dua jam kemudian, peserta workshop diajak berwisata di salah satu destinasi wajib bagi pelancong yang datang ke Hong Kong. Lokasi hunting foto dilanjutkan di Star Ferry. Para peserta begitu antusias manakala tim Lensational meminta menunjukkan hasil foto sekaligus menjelaskan kenapa foto tersebut dipilih pada akhir workshop.

Asti, misalnya. Ia menunjukkan foto lelaki yang memakai masker yang sedang menggendong anak kecil. Foto lelaki itu memiliki tatapan mata begitu tajam di mana ia tahu kalo sedang dipotret seolah-olah berkata bahwa ia melindungi anaknya dari bidikan kamera.

Seusai workshop, baik dari Lensational maupun Voltra melakukan evaluasi kegiatan termasuk apa saja kekurangan workshop kali ini sehingga workshop mendatang berjalan lebih baik lagi. Menurut salah satu anggota Lensational, Amy, workshop kali ini tidak terkendala oleh bahasa meski berkomunikasi dalam bahasa kantonis lantaran para BMI begitu fasih berbahasa kantonis. Sedangkan Venus dari Voltra mengatakan bahwa ia melihat kegembiraan dalam kegiatan ini. Di mana para peserta tidak terbebani dengan tema foto. Mereka menikmati workshop serupa berwisata.

"Senang. Bisa berbaur, belajar dengan orang lokal dan tidak ada gap antara kita," ucap Asti saat menyatakan kesannya mengikuti workshop ini.

Workshop hari kedua akan diselenggarakan pada tanggal 10 Mei pukul 13:00-17:00 untuk melihat wajah Hong Kong tempo dulu di Shek Kip Mei.

Risna Okvitasari.

2015-05-23

[Octivity] UAS 2015.1 Mahasiswa UT di Hong Kong

UAS Mahasiswa UT di Hong Kong


Sekitar 250 mahasiswa Universitas Terbuka (UT) mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) tahun akademik 2015.1 di Bayanihan, Kennedy Town Center. UAS ini berlangsung dua hari, yakni tanggal 3 dan 10 Mei 2015. Sebagain besar peserta UAS adalah Buruh Migran Indonesia dari Hong Kong dan Macao.

UAS yang dimulai pukul 9:00 hingga 16:30 ini dihadiri oleh pemantau UAS sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Anto Hidayat. Dikatakannya, UAS berjalan lancar dan tertib. Peserta UAS pun begitu antusias dengan menaati tata tertib ujian serta mematangkan materi dari jauh-jauh hari.

"Kalau dikatakan kendala, ada beberapa mahasiswa yang tidak hadir. Sayang sekali, apakah (mahasiswa tersebut) sakit? Apakah tidak mendapat ijin dari majikan?" ucapnya.

Sehari sebelumnya (2/5), sembilan wisudawan mengikuti Upacara Penyerahan Ijazah di ruang Ramayana, KJRI-HK, yang dihadiri oleh Rektor Tian Belawati, Rektor Pembantu I Yuni Tri Hewindarti, dosen FISIP Anto Hidayat, pejabat KJRI dan tamu undangan.

UT merupakan universitas negeri yang memiliki sistem pendidikan jarak jauh. Dikatakan terbuka karena menjadi mahasiswa UT tidak mengenal seleksi masuk, perbedaan latar belakang ekonomi maupun letak geografis dan telah menjangkau hingga luar negeri. Setidaknya ada 38 Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) UT, dr Papua sampai Aceh plus UPBJJ Layanan Luar Negeri untuk mahasiswa yang berada di luar negeri, termasuk mahasiswa di Hong Kong dan Macau berada di UPBJJLLN ini.

Di UT ada skema layanan Sipas dan Non Sipas. Mahasiswa bebas memilih akses tersebut yang nantinya ada konsekuensi terhadap besaran biaya kuliah. Namun, mahasiswa tetap mendapatkan layanan inti yang sama. Karena, dalam pelaksanaan UAS nantinya tetap bersama. Dalam hal tertentu, pelaksanaan UPI misalnya, UT bermitra dengan dengan perwakilan Indonesia di luar negeri, salah satunya adalah KJRI.

Sedangkan untuk alumni, bisa bergabung dalam penyelenggaraan ujian sebagaimana pelaksanaan UAS tahun akademik 2015.1. Tetapi, mekanisme seleksi itu akan dibicarakan lebih lanjut.

Ketika ditanya mengenai ketidakhadiran peserta ujian, salah satu pengurus Pokjar, Wiwinda Harnanik, mengatakan bahwa tidak ada konfirmasi apapun dari mahasiswa yang bersangkutan. Namun, ia menyatakan memang ada seorang mahasiswa yang menumpang ujian di Bandung karena sedang dalam proses menunggu visa kerja.

Risna Okvitasari









2015-05-15

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

By: Sinna Her
Musim semi telah mengubah suhu udara di Hong Kong menjadi lebih hangat. Matahari yang beberapa waktu lalu sedikit malu dan bersembunyi di balik kabut, kini mulai menampakkan sinarnya lagi. Bila cuaca cerah, tak ada salahnya kita menikmati indahnya wisata di kampung nelayan, Lei Yue Mun.

Tugu Selamat Datang

Lei Yue Mun terletak di distrik Yau Tong. Dua tugu ikan koi (lei yue) yang menjadi maskot daerah itu akan menyambut kedatangan kita. Dari namanya saja: kampung nelayan, tentu di sana banyak sampan dan perahu, baik yang ditambatkan atau yang hilir mudik. Aroma laut semakin menusuk hidung bersama udara yang kadang bercampur bau amis ikan. Hal ini semakin membuat wisata kita makin menarik.
Lalu, apa saja yang ada di sana? Begitu memasuki kampung nelayan, kita akan disuguhi model rumah-rumah berlantai satu atau dua. Kita bahkan bisa menjumpai rumah panggung, terutama yang berada di bibir daratan. Letaknya pun berhimpitan. Jalanannya tidak lebar, serupa gang tikus, dan agak kumuh.



Apabila kita masuk ke area yang lebih dalam, kita akan menemukan reruntuhan rumah panggung. Sampah pun menggunung di sini. Pemandangan ini terlihat sangat berbeda dengan kondisi barian apartemen di jantung kota Hong Kong.
Kiri dan kanan jalan dijejali kios penjual makanan ringan (snack) tradisional. Beberapa diantaranya: biskuit gulung, biskuit almond, kue kacang merah, permen kacang tanah/wijen, hingga daging asap-madu. Selain jajaran restoran seafood, ada beberapa lapak penjual buah, penjual hasil laut yang masih segar ataupun yang sudah dikeringkan, dan penjual wine.

Ada hal unik jika kita melakukan wisata kuliner di restoran di sini. Sebelum makan, kita harus membeli dulu hasil laut apa saja yang akan menjadi menu kita. Entah itu udang, ikan, atau kerang yang jenis maupun harganya sangat variatif dan relatif mahal.
Setelah urusan nego bahan makanan segar ini beres, barulah si penjual akan menyerahkannya kepada restoran tempat kita makan. Jangan takut bila kita tidak tahu cara masaknya. Nanti si penjual akan merekomendasikan menu yang tepat untuk bahan makanan yang telah kita beli.
Nah, restoran inilah yang menjual jasa/tenaga memasak hasil laut tadi. Citarasa masakan akan terpelihara lantaran berasal dari bahan makanan yang segar dan penyajian yang masih panas alias baru keluar dari dapur. Akan tetapi, bila kita memesan nasi atau sayur, maka perhitungannya pun lain. Kerjasama model begini tentunya saling menguntungkan antara pihak restoran dan pemilik kios seafood. Penikmat wisata kuliner pun akan puas dengan rasa yang benar-benar menggoyang lidah.
Selain menyediakan kuliner seafood, di perkampungan ini juga terdapat lapangan basket yang berpagar kawat nan menjulang tinggi, mengitari luas lapangannya. Ketika saya ke sana, lapangan itu sepi.

Perjalanan kemudian dilanjutkan ke kuil Tin Hau, kuil milik pemeluk agama Tao, dewa pelindung para nelayan. Bisa ditebak, di setiap kampung nelayan pasti ada kuil Tin Hau. Tepat di depan kuil bagian kanan, ada bebatuan besar dengan aksara china. Tulisan itu merupakan puisi yang isinya disesuaikan dengan lokasi. Asap dupa pun menyembul.
Selain itu, ada sebuah mercusuar yang berdiri megah. Bila hari mulai gelap, lampunya akan menyala sebagai sinyal bahwa pelabuhan Sam Ka Tsuen sudah dekat. Para pengunjung banyak yang memanfaatkannya untuk memancing di area ini. Beberapa pengunjung lain sibuk dengan kamera untuk mengabadikan pemadangan pelabuhan yang menawan, terlebih panormaa saat senja hingga warna-warni gemerlap lampu pada malam hari.

Tepat berada di tengah-tengah lokasi antara restoran seafood, kuil, dan mercusuar, berdiri kokoh sebuah “pohon harapan”. Sebagaimana adat masyarakat China bila Imlek tiba, mereka akan melakukan ritual permohonan dengan cara menuliskan permohonannya pada kertas (warna merah) kemudian mengikatnya pada tali dan jeruk, lalu melemparnya ke pohon itu hingga jeruknya tadi tersangkut pada cabang pohon. Konon, hal ini dipercaya, akan menghadirkan keberuntungan.

Untuk ke sana, kita bisa menggunakan Mass Transit Railway (MTR) dan turun di exit A2 Yau Tong, kemudian ikuti arah penunjuk jalan menuju kampung nelayan Lei Yiu Mun. Kita juga bisa menggunakan kapal ferry, lantaran di kampung ini juga terdapat pelabuhan Sam Ka Tsuen Ferry Pier.



2015-04-29

[Curcol] Tragedi Biji Kedondong

Tragedi Biji Kedondong

Sudah kubilang, kawan, jangan melihat buku dari sampulnya, jangan melihat seseorang dari penampilannya. Kalau masih saja ngeyel, ya rasakan sendiri akibatnya. Rumangsamu penak?

Gitu deh. Akhir pekan adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu. Bagi sebagian orang, akhir pekan digunakan untuk menikmati 'family time' dengan berkumpul bersama keluarga atau teman. Sedangkan yang lain, lebih senang memanfaatkannya untuk kejar setoran atau  mencari lemburan.

Sahabat kita yang terjebak dalam rantai kehidupan di wilayah 853 alias Macau, Anis, memiliki ritme rutinitas yang beti-beti (beda tipis) dengan kita-kita yang berada di area 852. Yang namanya mbabu, pekerjaannya pastilah setipe, ngusek-ngusek jumbleng. Yang sedikit membedakan adalah pada aturan live-in dan stay-out. Sebagaimana kita baca berita fanasss yang sedang ramai digembar-gembarkon akhir-akhir ini agar menjadikan peraturan live-in dan stay-out tadi dijadikan sebagai pilihan, bukan paksaan.

Para pekerja rumah tangga di Hong Kong, dengan peraturan perburuhan yang mengikat antara majikan dan pekerja, nampaknya masih harus tunduk pada kertas 'ijo' kontrak kerja yang mengatur pekerja untuk tinggal sesuai pada alamat yang tertera di sana (live-in). Padahal, ada sebagian majikan yang tidak suka atau kurang nyaman jika tinggal seatap dengan pekerjanya. Alasan lainnya adalah tidak terpenuhinya kelayakan tempat istirahat (kamar) bagi pekerja. Nggak lucu kan lantaran sempitnya hunian majikan lalu pekerjanya dibikinkan petarangan (tempat tidur) di atas kulkas? Emang ada kasus begini? Ada! Rumangsamu penak kerja di Hong Kong?

Di sisi lain, pemerintah Hong Kong belum bisa menyediakan tempat yang cukup untuk pekerja domestik mengingat keterbatasan hunian di Hong Kong. Padahal, menurut asumsi aktivis, live-out dianggap bisa lebih memproteksi pekerja dari kasus kekerasan, pelecehan seksual hingga bekerja melebihi jamnya (over time). Bagi yang sudah menikmati sistem live-out, seharusnya hal itu dimanfaatkan untuk fokus mengumpulkan modal, ilmu atau ketrampilan sebagai bekal setelah pensiun dari pekerjaan ini, bukan mengagungkan besaran gaji atau kebebasan semata. Karena jika kebablasan, OS adalah momok yang sangat menghantui.

Si Anis ini, juga sebagian besar pekerja di Macau, adalah pekerja yang telah bisa menikmati sistem live-out. Makanya, ia pun nyambi bisnis online, di mana ia belum perlu membangun tokonya di dunia nyata, tetapi cukup membesarkannya di dunia maya.

Jumat itu ia pulang dari tempat kerjanya naik bus. Lelah, encok, pegal dan linu menyerangnya dari berbagai penjuru. Maklum, balung tuwa. Musim semi yang diselimuti kabut berhari-hari membuat susasana menjadi ngeri-ngeri sedap. Namun, perjalananan menyebalkan itu sedikit terhibur manakala di sampingnya duduk sesosok cantik memesona menemani perjalanannya. Ahay.

Ia pun ngobrol ngalor ngidul sambil memuji betapa bentuk tubuh sosok itu sesempurna gitar Espanyola, betapa cantik wajahnya serupa putri-putri dunia, betapa halus tutur katanya seperti terigu atau tepung tapioka bin singkong bin ketela. Namun, tatkala bus yang ditumpangi berbelok dan sinar lampu penerang jalan tepat menyinari dari arah jam tiga, siluet leher sosok itu membuat Anis sedikit menyesal dan banyak menganga.

Ia menemukan 'biji kedondong' alias jakun yang naik turun mengikuti irama kata-kata merdu yang mengalun. Pembaca SUARA tahu gimana perasaan Anis ketika menemukan kenyantaan itu? Mungkin seperti mencret dan anyang-anyangen yang terjadi dalam satu waktu. Sebenarnya ia ingin misuh-misuh. Tapi segera ingat pesan nenek dan emak di kampung. Yakni agar ia selalu menjaga nama dan martabat bangsa dengan tidak berbicara so rude (keren kan, nenek dan emak gahoool itu pesannya pakai bahasa Inggris). Kalo ia melanggar nasehat, tidak perlu heran jika ada bakiak melayang atau piring terbang. Hal itu jangan malah dianggap sulapan, ya!

Begitu mengetahui kenyataan tak seindah bayangan, pelan-pelan Anis menjaga jarak dengan pemilik biji kedondong yang ternyata dari Thailand ini. Ia berharap agar bisa sampai di kontrakannya dalam sekejap. Howalah, Nis, Nis. Mimpi apa kamu kok sampai terkecoh dengan biji kedondong yang nyangkut di leher wanita batangan begini. Eh.

Sinna Hermanto.

***

Artikel terkait.

2015-04-28

[Octivity] Rifa, mantan BMI HK yang Ikut Reboisasi Ungaran

Rifa, mantan BMI HK yang Ikut Reboisasi Ungaran

Salah satu gunung favorit bagi para pendaki di kawasan Jawa Tengah adalah Gunung Ungaran. Pada hari Sabtu-Minggu, 14-15 Februari 2015, ribuan pendaki dan pecinta alam (pala) di Indonesia mengadakan reboisasi "1001 Pendaki Tanam Pohon (Satu Pendaki Satu Pohon)" di lereng gunung Ungaran. Salah satu dari mereka adalah Rifa, mantan Buruh Migran Indonesia (BMI) Hong Kong asal Wonosobo yang juga tercatat sebagai anggota grup pendaki di Hong Kong, Indohikers.

Mengutip proposal yang diajukan kepada Indohikers, kegiatan ini merupakan upaya nyata serta memberi sedikit sumbangsih dalam pembangunan nasional khususnya di bidang pelestarian lingkungan. Di mana, kawasan hutan di Gunung Ungaran merupakan daerah serapan air yang sangat signifikan dan menjadi penopang kebutuhan air mineral utama di beberapa wilayah di Jawa Tengah, yaitu: Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kotamadya Semarang.

Pada hari pertama, menurut Rifa, acara dimulai dengan pendataan peserta sesuai jalur pendakian, yakni: jalur Promosan, Gedong Songo dan Mawar. Setelah itu dilanjutkan dengan pendirian tenda, sarasehan/pembekalan dan ramah tamah antar peserta maupun panitia.

Sedangkan acara inti pada hari kedua dimulai dengan sholat subuh berjamaah, senam pagi, hingga bongkar tenda. Pemberangkatan peserta diawali dengan uparaca bendera dan pembagian bibit pohon. Sebelum penanaman, para peserta menandatangani poster tentang janji untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Setelah rangkaian acara selesai, peserta dibebaskan untuk tetap berkemah ataupun pulang, lanjutnya. Panitia reboisasi mengungkapkan antusias atas wakil Indohikers dan rasa kebanggannya kepada BMI yang tetap mengibarkan bendera merah putih meski berada di negeri orang.

Perempuan yang memutuskan kembali ke Indonesia sejak Desember 2013 itu mengatakan sangat gembira dengan pengalaman, ilmu, dan teman-teman baru. "Jangan mengaku (sebagai) pecinta alam sebelum peduli dengan penghijauan, jaga kekompakan dengan komunitas hikers yang ada," pesannya untuk teman-teman di Hong Kong. Selain itu, Rifa juga menyerahkan bantuan dana dari Indohikers untuk kegiatan reboisasi ini.

Nah, meski mantan BMI, kepedulian Rifa terhadap kelestarian alam perlu diacungi jempol. Terimakasih telah mewakili Indohikers, ya, ah mui.

*ah mui= adik perempuan (panggilan sayang Indohikers pada Rifa).

2015-04-25

[Curcol] Tersesat Tak Selamanya Kiamat

Tersesat Tak Selamanya Kiamat

Malu bertanya sesat di jalan, kebanyakan tanya memalukan. Jika tersesat betulan, rasanya sungguh menegangkan.

Nah, seperti itulah yang saya alami beberapa waktu lalu. Sore itu, saya harus mengantar kedua krucil-krucil yang sudah saya asuh sejak satu windu terakhir ke tempat lesnya di daerah Tseung Kwan O. Mereka berdua memang agak lemot untuk urusan matematika. Untuk memacu daya kerja otak mereka terhadap mata pelajaran satu itu, ndoro majikan sengaja mengganjar mereka dengan soal-soal yang dijejalkan di hadapan mereka dari tempat les. Keadaan ini mengingatkan saya pada masa-masa sekolah dulu yang selalu keok jika diadu dengan angka-angka matematika_kecuali angka yang tertera dalam mata uang.

Biasanya, saya segera pulang setelah saya masukkan mereka dalam 'neraka' dunia itu, begitu mereka menyebut tempat lesnya lantaran muak dengan menu-menu soal matematika yang bejibun jumlahnya. Namun tidak dengan hari itu. Karena ada waktu satu jam menunggu les selesai, saya berniat untuk jalan-jalan di supermarket yang menyatu dengan tempat les di lantai 3. Tapi, fikiran saya malah tertuju ke warnet di toko Indonesia di lantai dasar guna mengecek UPS eh ... maksudnya USB saya yang error. Namun, rencana itu tidak saya ambil lantaran warnet sudah penuh. Teringat dengan ucapan teman bahwa ketika matahari terbenam adalah waktu yang tepat mengejar senja, maka saya segera keluar dari warnet itu.

Rencananya, saya akan ke Tseung Kwan O Sportground (TKO-S) untuk memanjakan kamera saku merk 'unyil' (ulehe nyilih) dengan jeprat-jepret di situ. Bila malam tiba, pijar lampu stadion yang menyala ribuan watt itu mampu menarik pesona pecinta photo. Biasanya sih pemandangan di stadion itu bisa saya nikmati dari balkon apartemen ndoro juragan bersama kelap kelip lampu gedung apartemen di seberang sana. Tetapi, sejak apartemen baru sebanyak 5 blok yang telah berdiri megah di sebelah tempat kerja saya, pemandangan itu hilanglah sudah. Dan ketika kesempatan memanfaatkan waktu itu tiba (bahasa halus dari mencuri waktu) maka saya ngeloyor ke TKO-S.

Bermodal nekad, saya telusuri apartemen dan pasar tradisional di TKO hingga akhirnya saya menemukan tempat yang saya tuju. Sial, undak-undakan utama yang menjadi pintu masuk stadion ternyata tutup. Saya segera putar otak dan putar langkah untuk mencari pintu masuk lainnya dengan bergerak ke jalan pintas di samping stadion. Benar, di sana saya menemukan sliding doors. Sayangnya, saya melihat ada tempelan kertas yang berisi tulisan gedheg alias aksara China dan tanda panah di pintu kedua dari kiri.

Sebenarnya saya ingin mendobrak saja pintu itu. Tapi melihat ruangan yang tembus pandang itu sunyi senyap membuat nyali saya menjadi ciut. Tak kurang akal, saya berusaha mencari jalan masuk lain. Maka, saya memilih jalur memutar hingga 180 derajad di belakang stadion. Di sana ada jalur sepeda dan jalur lari sehingga saya tak merasa takut meski di kiri kanan jalan terlihat seram dengan pohon-pohon yang agak menjulang ditunjang kondisi senja makin gelap dan lampu jalanan belum menyala. Toh saya masih berpapasan dengan beberapa orang yang sedang jogging dan cycling.

Anehnya, ketika saya telah menyelesaikan putaran sebanyak 3/4 stadion, saya malah terpesona dengan sebuah terowongan pendek yang merupakan jalan tol/jalur layang TKO-LOHAS park. Saya pun masuk hingga ke seberang sana. Keinginan untuk mencari pintu masuk alternatif stadion, saya abaikan. Padahal, petang benar-benar di depan mata. Suara binatang malam yang suka mengerik terdengar dari semak-semak di kiri kanan jalanan di seberang terowongan.

Saya terus maju. Saya fikir, setelah melewati jalur itu, saya akan menemukan area memancing sekaligus tempat parkir sampan-sampan kecil di TKO sebagaimana yang saya lihat dari balkon apartemen ndoro juragan (bentuknya semacam teluk tetapi tidak  luas). Nyatanya saya malah tersesat dari  tujuan awal, tersesat jauuuh sekali dari stadion.

Sudah kepalang tanggung, saya merunut saja trotoar di sepanjang jalur yang dilalui suttle bus untuk menuju apartemen. Padahal, jika memakai bus itu, perjalanan ke tempat les anak perlu ditempuh selama 10 menit. Dan sekarang, saya harus menempuhnya dengan jalan kaki!

Anehnya, saya malah menikmati jalan yang saya ambil. Saya bisa mengobati rindu kampung halaman yang riuh dengan suara jangkriknya. Pun di dekat sebuah studio production, saya menikmati jajaran ilalang yang tinggi menjulang seperti kebun tebu dengan bunganya. Saya membelokkan langkah untuk menikmati pemandangan di jalur sepeda TKO-LOHAS park. Meski terlihat dekat tapi bila ditempuh dengan jalan kaki ternyata bisa keringetan juga. Kaos oblong yang saya pakai jadi basah. Aroma 'wangi' tiba-tiba menyeruak. Kurang puas, saya ciumi ketiak saya sendiri. Kepala saya berkunang-kunang, rasanya mau pingsan.

Begitu sampai di lantai dasar apartemen, waktu hanya menyisakan sepuluh menit sebelum krucil-krucil yang saya asuh selesai waktu lesnya. Saya bukannya naik ke apartemen, tapi malah antri diantara calon penumpang suttle bus. Saya tak peduli bagaimana reaksi orang yang duduk di dekat saya ketika aroma tubuh saya tak beda jauh dengan kambing yang tak pernah mandi. Prengus sekali.

Untunglah saya tiba di tempat les tepat waktu. Sehingga si krucil tidak komplain dengan kebiasaan jam karet yang kadang masih saya pelihara di Hong Kong ini. 

Slamet, slamet. Ternyata, tersesat tak selamanya kiamat. Hati hati, jangan sampai Anda menjadi korban selanjutnya

Sinna Hermanto.

***
Artikel terkait.