[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2015-08-25

[Curcol] Senjata Makan Tuan



Senjata Makan Tuan


Entah harus mengucapkan syukur atau syukurin tatkala bu bos mbak Siti kena getah atas ulahnya sendiri. Sebagai bos besar yang memiliki beberapa lapak di sebuah pasar basah / pasar tradisional, ndoro juragan ini agak hiperbola alias berlebihan dalam urusan makanan. Puo-puo kalo dalam istilah Jawa.

Bagaimana tidak, untuk sekali jam makan saja yang hanya untuk empat makhluk pemakan segala, Siti ini musti nyuci sang choi dan bak choi masing-masing dua kati. Padahal, menu ini belum termasuk daging, ikan dan kuah hingga pencuci mulut, baik berupa irisan buah, jus, atau es krim. Kalo dipikir-pikir, itu perut atau karung goni, ya, bisa muat segitu banyak.

Suatu waktu, sahabat kita yang gajinya dinaikkan sembilan puluh dolar atas kesepakatan tau sama tau alias dari mulut ke telinga (kalo dari mulut ke mulut kok kesannya jorok ya!), ia mendapat tugas bikin jus jeruk. Bagi kita sih bikin jus jeruk mah enteng, tinggal dipotong jadi dua, diperas, tuang dalam gelas, beres! Lain halnya dengan sahabat kita ini, bu bos memberinya mandat yang tidak tanggung-tanggung. Ngejus sebanyak 35 buah hanya untuk empat orang.

Bayangkan, banyangkan!

Untuk ukuran sedang, satu cangkir 150 ml itu kira-kira membutuhkan 3 buah jeruk. Bila 4 cangkir, maka memerlukan 12 jeruk. Jika 3 buah jeruk seharga 12 dolar, maka 12 jeruk seharga 48 dolar. Tapi, buat apa bikin jus dari 35 buah itu? Ah, biarin nggak nyambung, emang sengaja buat nambahin paragraf aja kok. Plis, hargailah usaha penulis yang harus melakukan eksperimen dan observasi dulu sebelum menuliskan bagian ini.

Maka, bisa diprediksi secara terang benderang macam batu akik usai digosok dan ditahtakan pada cincin emas 24 karat, sisa air perasan jeruk itu harus diinapkan dalam botol – bekas – air mineral sebelum dimasukkan dalam lemari sejuk aka kulkas.

Bagi pecinta makanan atau minuman asem manis sebagai peluntur lemak-lemak di perut, jus ini adalah menu wajib sehari-hari. Lain halnya bagi Siti yang udah dari sononya dianugerahi tubuh seksi meski makan banyak sekali. Entahlah kemana perginya lemak-lemak itu. Kondisi ini akan membuat kita mikir, dia lagi kena busung lapar atau penyakit gizi buruk? Jus jeruk yang udah asem ini makin asem apabila melihat wajah Siti yang juga asem. Belum lagi peluh kerja keras dan rajin yang menjadi ciri khas yannei cece menambah keasemannya pada tingkat maksimal.

Anyway busway subway, penyerapan lemak pada system metabolism tubuh Siti yang zero persen ini sebenarnya idaman banyak wanita terutama para mahmud anas (mamah muda anak satu) yang mengalami kenaikan berat badan secara signifikan serupa nilai kurs dolar HK terhadap rupiah akhir Juli ini. Banyak dari mereka yang mengeluh, minum air bening saja bisa jadi lemak, apalagi minum jus buah atau air putih (baca: susu / milk)?

Minggu pun berganti, stok jus jeruk dalam botol-botol – bekas – air mineral itu pun menyusut secara pelan namun pasti. Hingga tibalah pada stok terakhir yang menjadi inti dari kisah ini.

Bu bos yang baru pulang dari sidak lapak-lapaknya di pasar bawah rumah, tanpa babibu langsung nyucup botol jus jeruknya tanpa mengetes dulu kelaikan untuk dikonsumsi. Siti yang sibuk beberes sayuran menu makan malam tidak memperhatikan lebih detail lagi bu bosnya itu. Dipikirnya, bu bos akan membantu beberes isi kulkas yang mirip gudang penyimpanan stok orang mantu ketimbang kulkas rumah tangga pada kondisi tiap hari belanja. Yaaa, siapa tahu saja bu bos sedang kerasukan jin ifrit yang baik hati dan tidak puo-puo sehingga sukarela meringankan pekerjaan kungyannya. Tapi ini adalah hal mustahil, buru-buru Siti menambahkan.

Betapa kagetnya Siti manakal bu bosnya gibas-gibas macam kambing kena flu seusai nyucup botol jus jeruk tadi. Rupanya, jus itu pin co laa alias berubah jadi merek kadal (iya, kadaluarsa). Ah yang namanya kungyan, yang meskipun benar, tetapi akan tetap salah. Tragedi jus jeruk yang sudah kadaluarsa itu adalah salah kungyang yang tidak membuangnya. Padahal, gaes¸Siti sudah mengingatkan agar segera menghabiskan jus itu sesaat setelah selesai dibuat untuk mempertahankan kesegarannya.

Kalo sudah begini, solusi terbaiknya memang harus bikin jus sesuai kebutuhan atau sesuai besar kecilnya ukuran lambung masing-masing spesies. Jangan sampai malah jadi bumerang yang menyerang balik kita sendiri. Senjata makan tuan, deh.

Risna O *Apakabar+, Agustus 2015


Artikel terkait.

2015-08-21

[Blog Competition: Lebaran #Lebihbaik] Tuhan Sayang Aku

Hingga lebaran tahun 2015 ini, setidaknya aku telah merasakan 13 kali lebaran jauh dari keluarga. 12 diantaranya di Hong Kong, sisanya di sebuat PJTKI di Bekasi.

Dulu, tahun 2002, selepas menamatkan SMA, aku langsung pergi ke Hong Kong dengan harapan bisa mendapatkan uang agar bisa kuliah. Lebaran di PJTKI terpaksa aku pilih karena tidak punya uang jaminan. Peraturannya, calon TKI tidak diperkenankan meninggalkan penampungan tanpa seijin pihak PT. Semisal mau pulang kampung, harus ada uang jaminan sekaligus jaminan tidak hamil apabila kembali ke PT.

Bila mereka yang pulang bisa menikmati kebersamaan dengan keluarga, aku hanya bisa menikmatinya dengan 9 orang CTKI yang sengaja disisakan untuk.tugas piket bersih-bersih. Dan saat itu, aku manut saja ketika dilarang keluar ketika ingin sholat ied. Maklum, aku masih cupu.

Di PJTKI, tidak ada makanan khas lebaran. Menunya tetap sama seperti hari-hari biasa. Sayur kangkung, oyong, dan sayur asem Jakarta yang dirolling tiap hari, begitu terus selama 5 bulan di sana. Perbaikan gizi adalah saat ada syukuran teman yang mau terbang dengan menu "sambel tomat lele goreng lalap mentimun".

Begitu di Hong Kong, tahun-tahun pertama terasa sangat kehilangan momen lebaran. Malam takbir hanya diisi dengan kegiatan nyupir (nyuci piring) dan lamat-lamat gema takbir yang aku lantunkan pelan, lirih, seolah hanya aku saja yang boleh mendengarnya. Begitu terus hingga bertahun-tahun kemudian.

Namun, di sebaliknya, aku bersyukur karena kelurga majikan membolehkanku puasa atau pun sholat. Yang mereka pahami, puasa itu tidak makan dan minum di siang hari. Mereka tidak mengenal sahur sehingga aku selalu menyisipkan "zhu tsai bao" alias salted bun di balik selimut. Jika tengah malam aku bangun, roti itulah menu sahurku ditambah sebotol air minum. Aku sahur di bawah selimut. Jangan sampai aku membuat suara / berisik. Bisa-bisa membangunkan orang serumah. Maka, ketika di tanah air umat Muslim teriak-teriak agar menghormati orang puasa, aku malah kasihan sama mereka. Di Hong Kong sini malah orang puasa yang harus menghormati yang tidak puasa.

Makin ke sini, aku makin kebal dengan kesendirianku melewati lebaran di tanah rantau. Ketidaknyamanan ini saling berbenturan sehingga menimbulkan kebiasaan, terbiasa sakit, terbiasa sendiri, terbiasa sepi dan jauh dari keluarga. Namun, aku tidak sendiri. Masih banyak teman-teman BMI lain yang senasib. Bahkan, tak jarang kondisi mereka lebih buruk dari aku. Di antara mereka ada yang harus lebaran di shelter ataupun di penjara. Mereka terjerat ketidakberuntungan.

Tetapi, tahun ini aku dituntun oleh Tuhan. Dia menulis sepenggal perjalananku di Hong Kong ini semakin berwarna. Pertengahan Ramadhan, majikan sekeluarga pergi traveling ke Eropa. Aku ditinggal sendirian di rumah sendirian meski harus menjalankan tugas-tugas tertentu agar pembantunya ini tidak nganggur. Hal ini membuatku memiliki sedikit banyak waktu untuk melebarkan kreativitas.

Ya, aku menyiapkan materi/ bahan untuk 'SOUL EXHIBITION' yang diadakan pertengahan Agustus 2015 ini. Bahkan, awal Juli lalu, aku disodorkan sebagai salah satu kandidat kontributor sebuah video CJ (Citizen Journalism). Ada tiga kandidat yang akhirnya akulah yang terpilih setelah sang produser melihat contoh video yang aku unggah di youtube. Aku yang kadung jatuh cinta dengan fiksi, fotografi danvideografi seperti menemukan 'rumah'.

Aku bertemu dengan orang-orang hebat, muda, panuh semangat dan selalu menularkan enegri positif. Entah dari sebuat TV di Indonesia, tim wartawan koran berbahasa Inggris di Hongkong dan majalah dari Spanyol hingga para fotografer andal yang asli Hong Kong serta teman-teman dekatku sesama mahasiswa atau sesama fotografer. Lebaran penuh kejutan di mana aku harus menunggunya selama lebih dari 12 tahun dan jauh dari keluarga.

Tuhan sayang sama aku tapi Dia menunggu waktu yang tepat untuk menunjukkannya padaku.  Mimpikudijawab hampir bersamaan. Menulis, memotret, membuat video CJ, kuliah, pameran foto ... ada dalam pelukanku.

Aku tidak malu mempercayai mimpi-mimpiku. Akuterlalu gila untuk membuatnya menjadi nyata. Biarlah aku menggantungkan cita-citaku setinggi langit. Jikalau aku jatuh, pasti jatuhnya di salah satu bintang bersinar terang di atas sana.

Tuhan memelukku.

*


[Curcol] Bistik Sapi dan Korban PHP

Bistik Sapi dan Korban PHP

Oke, yang namanya pemberi harapan palsu (PHP), pasti bikin hati gondok nggak ketulungan. Eit, PHP bukan hanya untuk hubungan cinta, spesial cewek-cowok, tetapi bisa ditempatkan pada masalah kompleks dan universal. Termasuk ulah ndoro juragan saya yang ternyata salah satu penganut PHP garis keras.

Bulan Juni ini sudah masuk bulannya liburan anak sekolah. Tapi, kakak yang sudah esempe itu mencuri start libur lebih dulu ketimbang adek yang masih esde. Alasan tidak masuk sekolah sama seperti alasan saya ketika masih berseragam abu-abu putih dulu: tidak ada pelajaran. Ya iyalah nggak ada pelajaran, hawong masih nunggu tahun ajaran baru di bulan September nanti kok. Guru-guru juga masih nyusun nilai rapot.

Untuk mengisi hari-hari sepi itu, ndoro juragan sekeluarga mudik ke kampung halaman mendiang kakek di Tailok sana. Emangnya cuman kita aja yang kenal mudik? Mereka juga punya tradisi ini loh. Lebih-lebih menjelang konin atau tahun baru imlek.

Entah mendadak atau bijimana, saya baru tahu acara mudik ini sehari sebelum keberangkatan setelah diberi mandat untuk beberes isi koper kakak dan adik. Beragam acara menari-nari dalam pikiran saya untuk menaksir kira-kira tugas apa yang bakal dibebankan kepada saya agar tidak leha-leha selama 2 malam 1 hari saat mereka meninggalkan Hongkong. Ah, kawan, saya ini kan kungyan teladan. Mana berani saya macem-macem di rumah ndoro juragan. Camkan itu.

Pada waktu yang telah ditentukan, tepatnya seusai makan malam, ndoro juragan sekeluarga pergi. Tentu dengan titah maha dahsyat mengiringi kepergian mereka. Padahal, bekas mereka makan saja belum saya bereskan. Ah, jangankan bekas mereka makan, hawong saya sendiri belum makan kok. Saya segera mengantar kepergian mereka hingga depan pintu. Lalu menutup rapat, menguncinya dari dalam, sehingga tak ada kecoak seekor pun yang saya ijinkan masuk.

Begitu gembrengeng suara mereka di depan pintu hilang bersamaan dengan bunyi tiiing sebagai penanda lift telah datang, saya segera balik badan. Maklum, pintu rumah hanya berjarak dua langkah dari pintu lift sehingga kuping ndeblengi saya bisa mengakap sinyal berfrekuensi rendah sekalipun apalagi disekat beton cor-coran.

Setelah itu, saya bergegas ke dapur untuk memanjakan lidah dengan menggoreng bistik sapi. Khidmat sekali prosesi memasak malam itu. Seolah-olah saya ini chef andalan yang sangat cucok disandingkan dengan Farah Quinn. Saya tak peduli dengan korah-korahan yang menggunung. Prioritas saya malam itu telah mengalami pergeseran.

Meski suasana makan bistik sapi itu tidak seromantis candle light dinner seperti di teve-teve, tapi saya memperlakukan menu makan malam saya selayaknya ningrat Eropa. Table manner puts ahead (apasih ini?). Oleh karenanya, saya tidak lagi makan secara nyeker tetapi menggunakan garpu dan silet eh maksud saya, garpu dan pisau cukur (gimana sih salah ketik terus. Ahsudahlah). Untuk menyerasikannya, minuman pendampingnya bukan air putih, es teh manis, kopi sachetan 3in1 atau lo fo tong tetapi air tajin yang saya sajikan di dalam gelas wine. Sudah, jangan ferotez!

Saya memilih menikmati dinner yang skaral itu sambil nonton channel wild life ala natgeo. Aihhh, damai nian. Gaes, nikmat mbabu manalagi yang didustakan?

Namun, manusia memang hanya mampu berencana. 100% Tuhan yang menentukan. Di tengah asyiknya gigi taring saya menyobek-nyobek bistik yang ulet seperti mengunyah ban truk gandeng itu, tiba-tiba bel rumah ber-tingtong ria. Pikiran saya berkecamuk, hati saya tidak nyaman. Jangan-jangan pak sekuriti mau ada urusan? Ah tidak mungkin, ini kan sudah kelewat jam 9 malam. Setan? Plis deh, ini bulan Ramadhan, setan-setan dibelenggu, iblis- iblis dirantai, warteg-warteg ditirai, hotel-hotel kelas melati digerebeg efpeiy. Hellowww?

Saya bergegas menuju pintu lalu mengintip dari cermin yang ditempel menyatu pada daun pintu. Namun, usaha ini gagal karena saya kurang tinggi. Kan sudah jadi rahasia umum bahwa pertumbuhan saya ini dihambat gara-gara kekurangan pulsa.

Akhirnya saya buka pintu. Dan astaganaga! Yang tingtong tadi ternyata ndoro juragan sekeluarga. Matilah saya dengan segala hal yang masih berantakan di rumah ini. Apalagi bistik saya masih tersaji indah di atas meja plus gelas wine berisi tajin tadi.

Sebelum borok saya mendapat omelan, buru-buru saya membuat pengakuan dosa dan meminta maaf karena masih makan malam. Dengan wajah ditekuk-tekuk, ndoro juragan hanya ber-ohh dan masuk rumah sambil menarik koper dengan kasar. Wajah-wajah mereka kusut masai. Saya bergegas membereskan makan malam saya yang baru saja dimulai agar terhindar dari gencatan senjata. Bukankah mulut manusia itu lebih tajam dari pedang? Sama pedang saja saya koid, apalagi sama kalimat-kalimat yang menusuk ulu hati?

Lalu kakak masuk dapur untuk mengambil air minum, yang entah karena ia haus atau sekedar menghindar ceracau ndoro juragan yang sayup-sayup terdengar dari dapur.

Co me si, aa?” tanya saya.

Wui heung ching milikku kan belum jadi. Pasporku juga hampir kedaluarsa. Makanya aku nggak bisa masuk Shenzhen. Kata mami sih bisa aja aku pakai visa turis. Tapi jalur yang pakai visa dan wui heung ching kan lain. Mereka tak mungkin membiarkankanku ko kwan sendirian. Sebenernya aku mau balik ke Hongkong sendirian dan mereka semua pergi Tailok. Tapi mereka nggak tega. Aku kan cewe, jelas kakak panjang lebar.

2015-08-14

[Octivity] 'Soul' Exhibition, kado HUTRI dari BMI



Hongkong, 15/8/2015


Bagi kita-kita yang tidak berada di Indonesia, hari ini adalah awal dari liburan akhir pekan yang panjang. Tapi tidak dengan saya, Anik dan Asti. Tiga Buruh Migran Indonesia di Hong Kong ini malah sedang memulai babak baru. Ya, tanggal 15-17 Agustus 2015 ini, kami menyelenggarakan pameran foto yang diprakarsai oleh Lensational dan Simon Wan (founder of The Photocrafers). Pameran ini diadakan di Hong Kong Cultural Center, Tsim Sha Tsui (berada di sekitar Star Ferry dan Avenue of star) dan dibuka mulai pukul 10:00 sampai 19:00 WHK. Maka, bagi teman-teman yang sedang liburan ke Hong Kong, jangan lupa mampir, ya. Tiket masuknya gratis tapi tiket pesawat booking sendiri-sendiri.


Kami sengaja mengepaskan tanggal 17 Agustus adalah untuk memberi hadiah kepada Indonesia yang berulang tahun ke-70. Ketika banyak kalimat yang menanyakan, apa yang telah kamu lakukan untuk negerimu? Kami lebih memilih untuk tidak menjawab tapi menunjukkan.

Sedangkan Lensational sendiri merupakan organisasi non profit yang berkonsentrasi memberdayakan perempuan melalui fotografi.

Pada saat persiapan dan pengumpulan foto, Simon Wan mengasah kembali kemampuan menulis kami yang selama ini hanya tersalurkan via (status) facebook. Ia meminta kami mulai menuliskan keseharian kami pada diary. Menurutnya, menulis dan memotret adalah dua hal yang berhubungan. Ketika kami menanyakan lebih jauh, ia menjawab bahwa dahulu, saat ia masih berstatus sebagai pelajar, dipikirnya bahwa dengan cukup mengeklik kamera maka semua selesai. Tapi ternyata tidak.

Ia kemudian menunjuk sebuah poster anak lelaki berpakaian khas Nepal dengan latar belakang reruntuhan bangunan, yang tersandar di salah satu dinding studionya.

“Kalian lihat ini. Maka akan muncul komentar, oh iya, fotonya bagus, pencahayaannya tepat. Trus apa? Ini kan poster penggalangan dana untuk Nepal. Dengan mengetahui kisah di balik foto ini, maka foto ini kan semakin kuat. Anak ini adalah satu-satunya yang masih hidup saat gempa di Nepal beberapa bulan lalu. Seluruh keluarganya meninggal. Dengan kita mengetahui kisah di sebaliknya, hati kita terketuk, menilai sesuatu tidak hanya yang nampak di mata kita.”

Dalam suatu postingan di grup fotografi online, saya pernah membaca bahwa fotografer professional atau penulis andal sudah banyak di luar sana. Tetapi fotografer sekaligus penulis atau penulis yang fotografer masih belum sebanyak dua kategori sebelumnya. Demikian juga dengan jalan-jalan online. Mereka juga menginsiprasi saya untuk menuliskan destinasi-destinasi cantik dan ganteng di Hong Kong, lalu mengabarkannya kepada dunia, “kesinilah … tanah asing ini menunggu jejak kaki kalian”, kira-kira begitu. Jadi, kloplah ketika saya gothak gathik gathuk runtutan potongan perjalanan memotret saya selama ini. Saya bisa cuek ketika ada orang yang mengatakan saya confuse memilih antara menulis atau memotret. Kalo memang menyukai dua-duanya, nggak apa-apa kan? Atau … saya yang kemaruk? Ya, ada kalanya saya condong ke motret. Tetapi, akan tiba masanya saya akan lebih fokus ke nulis.

Mengenai persahabatan kami, memang, saya, Anik dan Asti saling mengenal satu sama lain lantaran fotografi. Tetapi persahabatan kami lebih dari itu. Kami biasa hiking bersama dalam komunitas Indohikers (Indonesian Hikers), pun dalam satu wadah Indograferhk (Indonesian Photographer in HK). Maka, ketika Asti pulang seterusnya ke Malang sana pada tanggal 3 Agustus lalu, saya dan Anik merasa sangat kehilangan. Seperti ada yang kosong di sini. Persahabatan kami lumayan aman dari riak-riak karena kami tau diri untuk tidak menginjak daerah privasi masing-masing terutama dengan pasangan. Terlebih, kami tidak pernah berurusan dengan utang piutang. Prinsipnya, ada makanan kita makan bersama, tidak ada pun kita menggila bersama. Sesimpel itu saja.

Dan bulan depan, Anik pun akan menyusul Asti kembali ke kotanya di Malang juga. Ah tidak apa, semoga sebelum akhir tahun bisa mudik dan menggila bersama (colek kakak Fera juga ah).

Kembali ke masalah pameran, kami sadar, kami memang belum menjadi fotografer profesional. Karya kami bukanlah karya yang menggemparkan dunia. Tapi kami berkarya dengan sepenuh hati, bahkan kami membuatnya di tengah-tengah ketatnya kondisi kerja ataupun saat kami libur seminggu sekali. Cukup dinikmati saja foto-foto dalam pamerannya, ya.

Mengutip prolog Simon Wan, ada tiga tipe manusia dalam fotografi;
  1. Orang yang terlalu berambisi dalam misi penyelamatan dunia
  2. Orang yang terlalu sibuk membuat foto sempurna atau berselfie ria
  3. Orang yang menganggap dirinya seniman dan fotografi adalah seni
Kira-kira, kita ada pada kriteria yang mana?

Well, saya ucapkan terimakasih kepada seluruh kru Lensational (Bonnie, Peggy, Sunnie, Amy, Yuen Sin, Chloe, Michael, Tony, etc), The Photocrafters (Simon Wan), Indograferhk (pak Ari, Pak Iman, Pak Andi, Bu Tasha, dll), Indohikers (babe Bardiat, pak Yolvis, dan kambing-kambing lainnya_maya, bee, onie, juminten, riani, ega, jean, dll) dan grup-grup online yang menyediakan ilmu bagi silent reader seperti saya. Saya juga ucapkan terimakasih kepada NetTV (Mas Adrian dan mbak Luky) yang telah menggandeng saya sehingga bisa belajar tentang video citizen journalism.

Di tahun kambing ini (yeong nin), semoga kambing-kambing indohikers “yiu yeong yau ko yeoung, yiu mey yau mey, hei hei yeoung yeoung”.





Foto dan video milik Lensational.

*Salam Mbolang
*Salam jepret

2015-08-11

[Nekad Blusukan] Tseung Kwan O: Gowes Pangkal Tahes





Masih ingat dengan pribahasa mens sana in corpore sano? Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Menjaga kesehatan memang bukan perkara mudah, meski bukanlah hal susah. Caranya, kita harus senantiasa menjaga pola makan yang baik, cukup istirahat, tidak stres, tidak merokok atau mengkonsumsi alkohol, serta rajin berolahraga, minimal seminggu sekali.
Gowes atau bersepeda bisa menjadi pilihan olahraga agar tubuh senantiasa tahes (bugar). Kita bisa melakukannya sendirian maupun beramai-ramai dengan teman di akhir pekan atau hari libur lainnya. Dan, jalur bersepeda di Tsueng Kwan O bisa menjadi salah satu pilihan.
Tseung Kwan O 2
Dari MTR Tseung Kwan O exit A2, kita menuju Tong Chun Street, tepatnya di lantai dasar Bauhinia Garden. Di sana kita bisa menyewa sepeda dengan tarif HK$20/jam atau HK$100/hari. Kita langsung gowes ke Lohas Park Bike Trail. Namun, kita bisa juga menggenjot sepeda ke arah Tiu Keng Leng atau Po Lam, cukup dengan mengikuti jalur sepeda.
Bersepeda menuju Lohas Park adalah jalur yang baru dibuka tahun 2014 dan hingga saat ini pun masih dalam proses pengurukan bibir laut untuk mencegah abrasi atau menghalau ombak besar bila taifung tiba. Sesekali, bulan Juli-Agustus, ada ‘kiriman’ badai dari Samudera Pasifik yang biasanya mampir di Taiwan atau Filipina terlebih dulu sebelum sampai ke Hong Kong.
Di sini kita akan merasakan perpaduan kemajuan kota dan hijaunya alam secara bersamaan. Hijaunya bukit di pet garden, jajaran apartemen yang menjulang, laut dan gunung menjadi alasan mengapa tempat ini menjadi salah satu destinasi akhir pekan yang patut diperhitungkan. Jalur bersepeda yang mulus, rambu-rambu penunjuk jalan, tempat parkir yang unik, jalur pedestrian yang lebar, serta bebungaan di pinggir jalan menambah daftar ‘yes’ untuk mengamini keberangkatan kita.
Tseung Kwan O 1
Sayangnya, di sini tidak ada pohon-pohon besar nan rindang. Sehingga, sinar matahari akan sangat terasa menyengat kulit kita. Maka dari itu, pakai pakaian lengan panjang yang nyaman dan menyerap keringat dan kaca mata atau topi untuk mengurangi paparan matahari. Meski demikian, hembusan angin laut akan segera mengusir panas yang kita rasa.
Ada kalanya kita berpapasan dengan penduduk lokal yang bermain dengan anjingnya di sepanjang jalur pedestrian. Kita tidak perlu khawatir, karena mereka paham kebersihan lingkungan dan membuang kotoran di tempat-tempat sampah di sepanjang jalur serta menyiram bekas kencing anjing. Ada pula kita temukan orang jogging, anak-anak bermain skuter, atau remaja yang bermain skate board.
Tseung Kwan O 4
Ketika lelah, kita bisa berhenti dan meminggirkan sepeda di dekat pagar pembatas. Ilalang yang telah berbunga, yang tumbuh menjulang di beberapa tempat akan menyapa kita. Bila diperhatikan secara seksama, ia seperti meliuk-liuk menari zumba.
Sttt! Banyak loh orang Hong Kong yang memancing ikan di sana. Katanya, memancing itu bisa melatih kesabaran. Tapi kalau memancing masalah, hadeww… jangan, ya!
Saya paham mengapa tempat ini selalu ramai dengan pemancing. Rupanya, air lautnya jernih sehingga mata kita bisa melihat ikan-ikan kecil yang berenang di dalam air, banyak sekali. Ada juga penyewaan sampan dan petahu berkapasitas sekitar 8 orang. Ketika saya bertanya, seorang pemancing malah memberi info yang membuat saya mikir keras.
Tseung Kwan O 5
Dikatakannya, perahu ini akan membawa penumpangnya ke Filipina, terlebih melihat wajah saya yang sama sekali tidak ada ciri-ciri wajah orang lokal. Padahal, saya bukan berasal dari Filipina. Untunglah penumpang lain yang juga baru mendarat itu mengatakan bahwa mereka patungan menyewa perahu seharga seribu dolar lebih. Bila ingin murah, sewa saja sampan seharga sekian ratus dolar, lanjutnya tanpa menjelaskan lebih rinci.
Memang, di laut ini memancing di malam hari adalah hal lumrah. Kadang-kadang, kita akan menikmati kelip-kelip lampu di kegelapan. Mendengar perbincangan orang di sana, saya baru tahu bahwa target mereka memancing di malam hari adalah mat yiu (cumi-cumi).
Ketika berlibur di Lohas Park ini tidak afdhal bila kita tidak menikmatinya hingga senja tiba. Sebagai pecinta senja, saya sangat terpana dengan suasana sore hari di sini. Ketika matahari benar-benar pergi, kita jangan beranjak kaki. Tunggu hingga 30-60 menit kemudian. Pada satu jam setelah senja itulah kita akan menikmati langit malam yang tidak hitam tetapi berwarna kebiruan, yang bercampur dengan sisa-sisa senja yang jingga. Oi… Cantik banaaa!
DSC_0163
Sebelum pulang, pastikan kita mencicipi kulinernya. Berjarak hanya dua-tiga kios dari penyewaan sepeda tadi, kita bisa menikmati aneka dim pan, tong shui, kolak hangat atau dingin hingga es gunung. Saat itu saya memilih es gunung yang terbuat dari serutan es balok rasa mangga. Toppingnya, ada coklat leleh, meises warna-warni, mini marshmallow, kacang mede tumbuk kasar, dan oreo yang diremuk. Percayalah, satu porsi ini bisa dimakan berdua. Namanya juga es gunung.
Namun, jika kita ingin makan nasi atau mie, kita bisa kembali ke MTR Tseung Kwan O exit B. Di dekat lorong exit, kita akan menemukan sebuah ‘warung makan’ ala Hong Kong yang menyediakan nasi lemak lauk rendang, mie laksa, mie instan, roti bakar dan menu lainnya yang bisa dipadu dengan kopi, teh panas hingga nai cha.
Liburan tidak harus selalu diisi dengan duduk-duduk di taman. Dengan gowes, tidak hanya tubuh saja yang tahes tetapi otak dan mata kita juga dimanjakan dengan keindahan alam.
Oleh karenanya, di setiap perjalanan, di setiap destinasi yang kita jejak, jangan lupa mengabadikannya untuk kita bagi keindahan itu dengan orang lain. Dan yang terpenting, kita menikmati liburan itu sendiri. Jangan hanya tertarik pada benda-benda matinya tetapi kita juga berinteraksi dengan penduduk dan budayanya.
Gowes, yuk! [Risna]