[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2019-09-07

Sensasi Ngeteng “Asyique” Jawa – Bali

Live every moment.” 
“Live every moment.” Bepergianlah dan pijaklah tanah-tanah asing sendirian. Kamu akan menemukan kejutan-kejutan yang tidak pernah kamu ekspektasikan.


Taman Pintar.
Bahwasanya akan ada perjalanan-perjalanan asyique meski sendirian.

Nekad. Itulah kata yang tepat untuk meringkas solo trip saya kemarin. Memang, rencana perjalanan ini sudah ada sejak beberapa waktu lalu. Hanya saja, saya benar-benar berani mengambilnya setelah terjadi pergulatan panjaaaaang dan sebuah peristiwa yang benar-benar mengaduk emosi saya. Lebay, lebay.

Menyesuaikan judul, saya hanya akan bercerita perjalanan dari Jawa ke Bali, sedangkan perjalanan dari Bali ke Jawa, biarlah saya simpan rapat-rapat. Cukup segitiga antara saya, Tuhan dan malaikat yang tau, hehehe.

Nah, mudik singkat selama enam hari itu saya manfaatkan untuk menyelesaikan urusan pribadi, silaturrahim serta sebuah acara yang diluar rencana adalah mendadak menjadi wali santri. Dan yang pasti, saya menjadi perempuan jalanan, pergi pagi pulang petang. Itu motor kalo bisa ngomong udah pasti teriak-teriak minta dipijitin knalpotnya. Ikut capek juga dia.

Selesai urusan di rumah, saya segera persiapan kembali ke tempat nguli. Cuzzzlah saya ke Surabaya menggunakan bus ekonomi tarif dibawah 30 ribu. Dan yang bikin deg-degan, pas dianter ‘papa anas’ (papa muda anak satu) ke terminal Seloaji, dia cerita ngalor ngidul tentang mimpi dan rencana maha besarnya dengan laju motor berkecepatan siput. Sebagai kakak yang selalu baik, tidak sombong dan mendukung penuh cita-cita adek yang gantengnya hanya bisa disaingi sama bapak dan cucu kesayangan bapak, saya mendengarkan dengan seksama dan sebaik-baiknya. Alhasil, abis nempelin pantat di bangku, bus langsung tancap gas. Saya yang akan turun di terminal Bungurasih, segera memejamkan mata. Saya masih ingat ketika masuk tol Ngawi – Nganjuk, soalnya nunggu mbak-mbak di kanan saya buat turun bus. Setelah doksi turun, saya nempelin tangan di kaca buat bersuci kemudian setor muka sama yang bikin hidup.

Cerita Asyique Dimulai dari Sini.

Setelah mbak-mbak tadi turun di Nganjuk, saya geser, pindah ke tempat duduknya. Cerita asyique mulai dari sini. Ada mas-mas yang berpenampilan rapi jali dan wangi duduk di tengah, di tempat duduk saya tadi. Ah, ketemu mas-mas mah biasa. Yang bikin luar biasa adalah saat saya mulai memejamkan mata. Dan bisa ditebak, kebiasaan pelor (nempel langsung molor) pun kambuh. Saya langsung tidur. Itu lengan kanannya udah empuk, wangi lagi hahaha (iya, iya, wanginya diulang-ulang). Memang, saya tersadar karena merasa lengannya bergerak, mungkin menggeser kepala saya biar bersandar di kaca sebelah kanan. Tapi balik lagi balik lagi kepala ini nempel di lengannya.

Entah sampai di mana, saya terbangun. Saya mendapati mas-mas di kiri saya sudah tidak ada. Mas... yang kamu lakukan ke saya itu jahat! Udah ngasih kenyamanan lalu ... meninggalkan. Kamu tuh udah kayak yang itu tuh, yang juga ngasih kenyamanan lalu meninggalkan tanpa pamitan tanpa pesan. Saya tuh nggak bisa digituin. Drama... Drama....

Bomat (bodo amat) dah, melihat suasana luar masih gelap gulita dan mata kayak dipulut, saya udah nggak ingat apa-apa. Kalo diapa-apakan pun mungkin saya tidak tahu. Woiii jangan halu, siapa juga yang mau mengapa-apakan kamu. Digratisin buat ngapa-ngapain plus dibonusin odol, sabun, sampo, kulkas, lemari, mesin cuci, atau pesawat tempur sekalipun juga gak bakal ada yang mau.

Sampai di Bungurasih, saya dibangunkan seseorang. Untung masih ada penumpang lain yang peduli. Pan keneknya mantau aja sambil berdiri di pintu belakang. Bisa dipastikan, saya adalah penumpang terakhir yang turun. Rencana turun di Ramayana biar jalan ke halte ojek online nggak terlalu jauh pun gagal total.

Seperti pejalanan sebelum-sebelumnya, saya sok-sokan tau jalan, sok angkuh dengan tawaran babang taksi dan babang ojek pangkalan lalu meluncur dengan gagah perkakas perkasa keluar terminal. Saya order ojek online menuju tempat kerja bocil, temu kangen di sana dan menikmati secangkir jahe hangat yang rutin saya konsumsi sejak dua minggu terakhir karena tenggorokan sakit bahkan suara saya parau cenderung hilang. Ini nih oleh-olehnya mblangkrak dari subuh sampai subuh lagi, eh.

Sehari di Surabaya, saya tiduran aja di kamar bocil. Rencana A ke Fuji Center gagal. Plan B buat jalan-jalan kalah sama ragu. Bukankah harus meninggalkan sesuatu yang meragukan? Antara iya dan tidak, saya memencet pesanan ojek online ke area balkot Surabaya. Sialnya, motor babang ojek tidak bersahabat, lajunya tidak maksimal. Perjalanan yang seharusnya bisa ditempun 30an menit akhirnya molor hampir satu jam. Percuma juga sih sampai tempat tujuan ternyata tidak bisa foto-foto senja. 

Nasi udah telanjur jadi bubur, akhirnya saya motret kelap-kelip lampion di sekitar destinasi yang saya tuju. Duh, kalo dulu jalan sendiri rasanya udah biasa. Tapi hari itu rasanya aneh. Hahaha, kadung pernah merasakan jalan bareng-bareng sih. Ada yang kuraaaang gitu. Tangan saya gatel pengen jahilin, cubitin atau tonjokin partner jalan. Salah sendiri, harusnya pas ada partnernya nggak usah dinikmatin, nggak usah dibiasain. Kalo akhirnya jalan nyolo gini, yang oleng siapa, Kapten? Saya, Komandan!

Balkot.
"Dan sekisah pekerja keras".

Ketempelan Omom.

Berhubung kemarin itu adalah malam 1 Suro, yang bagi sebagian orang dimanfaatkan untuk berkegiatan di lapangan, saya segera balik agar tidak terkena macet. Saya yang semula janjian jam 6 sore akhirnya harus molor tiga jam kemudian. Ya gimana, emang  sih rencananya mau dianter beli sesuatu, yang ternyata barang yang saya butuhkan sudah dibelikan, saya tinggal ambil saja.

Nah, pas nyampe TKP (tempat kejadian perkara), saya tidak pernah menyangka akan bertemu omom itu di halaman parkir. Hawong info yang saya dapet tuh omom lagi di kota sebelah. Dan memang tidak ada rencana bertemu beliau. Saya disuruh masuk tapi saya tolak halus. Sambil menunggu barang saya dibawa turun, saya berbincang sebentar dengan beliau. Lalu sekalian pamit kalo subuh besok saya balik nguli.

“Nih buat beli bekal di perjalanan.”

Jederrrr.

Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba dalam hati saya terdengar suara petir. Ketempelan omom, eh maksudnya ketempelan salam dari omom itu asyique. Apalagi nempelinnya pakek dolar. Ini bukan hanya lumayan tapi lumayan bangettt bagi pekerja kasta sudra macam saya ini.

Stasiun yang namanya sudah saya kenal sebelum saya menginjakkan kaki di sini, berjuta-juta tahun lalu.
"Dan sebuah cinta yang terhalang kasta, tahta, harta dan kuota. Duh!"

Pertautan Takdir dengan Orang Jember Part I.

Subuh belum menunjukkan tanda-tanda ketika motor yang saya tumpangi menuju stasiun Wonokromo, membelah jalanan Surabaya yang lumayan lengang. Cacak-cacak yang seyogyanya nganter saya sudah standby sejak pukul 3 dini hari, yang artinya, dia udah markir motornya di depan pagar ketika saya mandi. Padahal kami janjian pukul 3.30.

Sampai di stasiun kereta, saya pikir dia akan menurunkan saya di sekitar gate. Ternyata dia malah parkir motor kemudian ikut saya masuk ruang tunggu. Kami berbincang masalah maha besar menyangkut masa depan keluarga besar kami berdua. Saya hanya bisa minta maaf ketika merangkum semua obrolan dan saya tidak berani janji apa-apa setelah saya menjelaskan beberapa rencana jangka pendek hidup saya.

“Nggak papa, Mbak. Tapi usahakan, ya.”

Kami berpisah 15 menit sebelum jadwal kereta datang. Kalo jaman dulu, mungkin dia masuk peron kemudian nunggu saya hingga kereta benar-benar berangkat kemudian melambaikan tangan, dadadada. Tapi kebijakan sekarang berbeda, pengantar hanya bisa masuk hingga ruang tunggu dan kalaupun ingin dadadada, cukup dari balik kaca atau pagar besi saja.

Mushola di area tunggu bagian dalam lumayan ramai dengan para jamaah subuh rahimahullah. Kereta datang usai para jamaah beramiin-amiin, menyapukan kedua tangan dan membaca ummul kitab. Tidak seperti Selasa kemarin, di mana kereta masih lengang, kali ini gerbong sudah lumayan penuh. Etdah, nih orang-orang berhari Minggu kemana yak, dari subuh udah ramai gini, pikir saya dalam hati.

Saya segera mencari tempat duduk kemudia melakukan ritual ... pelor!!! Namun, ritual itu tidak berjalan mulus semulus pipi babang-babang Korea lantaran tiga orang tante-tante di depan saya ngobrolnya tanpa spasi plus pakai nada tinggi macam bicara pakai TOA. Yaaa, begitulah kebiasaan sebagian warga negara berflower, kalo udah asyique ngobrol, dunia hanya milik komunitasnya, yang lain mah ngontrak atau menyewa.

Sampai di Jember, seorang bapak-bapak datang. Harusnya sih beliau duduk di seat B, sebelah saya yang berada di seat C. Hanya saja, tante-tante itu kadung nyaman ngobrol plus si bapak juga puyeng kalo duduk berlawanan dengan arah kereta, maka beliau duduk di depan saya. Tidak ada obrolan apa-apa sampai tante-tante tadi turun. Meski sadar, saya tetap memejamkan mata dan sesekali mengecek HP kalau-kalau ada yang nyari (ternyata nggak ada).

Sampai di stasiun ...tettt, sensor..., tripel seat yang berhadap-hadapan itu hanya tinggal saya dan bapak-bapak itu. Beliau membuka obrolan dengan ghibah ... hahaha, bahwasanya ketiga tante-tante tadi ngobrol tanpa henti. Beliau yang hanya menikmati obrolan mereka separuh perjalan aja protes, lah saya yang full fare apa kabar?

Entah kenapa, saya yang kadang suka nyaut obrolan, kali ini mencoba ngerem untuk tidak banyak bicara. Saya mendengarkan kisah hidupnya, kesuksesannya sebagai petani jeruk (Jember terkenal dengan jeruknya, yekan?) yang membawanya naik haji di tahun 2016, kesuksesan anak-anaknya yang juga bekerja di jawatan kereta api, dan seorang bayi yang dihadiahkan Tuhan di usianya yang tak lagi muda (itung aja dah usianya jika anak sulungnya lulusan S1 dan sudah bekerja sekitar empat tahunan, anak kedua masih SMP, anak ketiga baru tiga tahun).

Yang namanya komunikasi, tentu ada perbincangan dua arah. Kalo hanya satu orang aja yang ngomong, namanya monolog. Gara-gara kejujuran saya tentang status saya, tuh bapak mulai mengorek-ngorek kisah hidup saya yang nggak kayak le mineral (nggak ada manis-manisnya). Padahal dari tadi saya sudah ngerem banget buat bicara. Tapi ya gimana, saya orangnya susah bohong. Lagipula, bila ada satu kebohongan maka akan ada kebohongan-kebohongan selanjutnya. Kalo saya bilang saya sudah punya anak gitu mungkin lebih aman kali ya. Tapi orang banyak yang nggak percaya sih kalo saya punya anak, pasti dibilangnya anak kucing. Dan emang bener sih, di rumah saya ada lima anak kucing.

“Oh, adik-adiknya sudah lulus ** semua? Berarti usia mbaknya udah ** tahun dong. Jadi ini yang bikin mbaknya ***** sampai sekarang?” Setdah, gara-gara bapaknya ngomong nggak pakek saringan, banyak sensor nih tulisan. Saya ngangguk kalem. Duhkah, diskakmat sama analisa bapak ini.

“Pesan saya, kalo nyari jodoh jangan hanya lihat gantengnya saja. Orang ganteng itu nyakitin.”

Jederrr.

Jederrr.

Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba dalam hati saya terdengar suara petir dua kali. Badan saya rasanya seperti terbakar, gosong kemudian abunya rontok, hancur berkeping-keping lalu diterbangkan angin.


Stasiun BWI baru, diambil pas perjalanan dari Bali ke Jawa, lima hari sebelumnya.
"Fahimti? La fahim! Jederrr."


Akang-akang Banyuwangi yang Ngangeni

Begitulah, ketika tidak ada teman di kereta, tiba-tiba Tuhan mengirimkan bapak-bapak yang menemani perjalanan solo saya. Bahkan bapak itu sempat menyalami saya ketika beliau turun di Karangasem - Banyuwangi. Etdah, sampai segitunya gara-gara kasihan kali ya mendengar kisah hidup saya yang kayak jus pare ini. Paitttt. 

Sampai di stasiun ini berarti kurang satu stasiun lagi saya sampai di tujuan, di Banyuwangi baru. Dua atau tiga kursi di depan saya ada dedek-dedek dengan kostum casual sedang menurunkan tas bawaannya. Sepertinya dia duduk satu deret dengan saya tapi setelah menurunkan tasnya itu dia duduk di deretan seberang dan menghadap ke depan sesuai lajur kereta, yang artinya kami berhadap-hadapan.

Saya sempat menganggapnya ini hanya pertalian takdir yang biasa. Ternyata tangan Tuhan bekerja dengan cara lain. Sesampainya di stasiun terakhir, semua penumpang pun turun. Saya masih sempat melihat dedek-dedek tadi turun duluan tapi ketika keluar gate, dia berjalan di belakang saya. Lalu dia menyapa saya, menanyakan arah penyeberangan kapal di Ketapang.

Jiwa kepahlawan saya kumat. Saya yang baru pengalaman kedua nyebrang pakai kapal sok-sokan paham lalu mengajaknya jalan bareng. Eit, jalan bareng ini maksudnya jalan bareng calon penumpang kapal lain yang menuju penyeberangan di Ketapang.

Melewati Alfamart, saya teringat kejadian enam hari lalu saat melakukan transaksi pembayaran tiket kereta. Tengah malam itu saya menunggu jadwal keberangkatan kereta Probowangi lalu mencari toko 24 jam guna membeli makanan. Perpaduan susu bantal dan roti kasur bakal bikin saya tidur. 10 jam ke depan bakal bikin perjalanan terasa panjang tanpa makanan. Kan di dalam kereta bisa beli nasi box, snack, mie gelas, minuman panas / dingin. Yaelah, udah dibilang ini nyolo asyique, kalo nggak ekonomis nggak asyique.

Berdasarkan pengalaman berangkat, saya kehabisan tiket kereta ekonomi yang membuat perjalanan saya ditunda sehari kemudian. Saya nggak mau ketika ke Bali nanti, saya juga kehabisan tiket. Saya mikir cepat kemudian segera booking tiket kereta arah Banyuwangi Baru yang ternyata tinggal tiga seat saja. Langsung... eksekusi karena dalam hitungan 30 menit ke belakang, bookingan itu akan hangus jika tidak segera dibayar. Lagipula saya masih di Alfamart, transaksi akan lebih mudah karena dekat.

Masalah muncul. Saya bawa cash dikit, pun transaksi sebelumnya saya bayar pakai Gopay. Ketika saya hendak melakukan pembayaran tiket, saya menyodorkan kartu debet yang ternyata mesin ATM Alfamart sedang ada gangguan. Saya menawarkan pembayaran pakai Gopay yang ternyata Gopay tidak bisa melakukan pembayaran tertentu. Saya korek-korek isi dompet, saya keluarkan semua isinya, mulai dari KTP, KTM, ATM, SIM, paspor, kartu Ponta, kartu diskon toko pakaian – toko make up – toko elektronik – toko minuman dan makanan – toko bahan bangunan – dan nota-nota pembayaran maupun tagihan. Biar dah tuh meja kasir udah kayak kapal pecah. Yang ternyata, uang tunai saya masih saja kurang untuk melakukan pembayaran.

Akang-akang di Alfamart Banyuwangi itu akhirnya nombokin saya. Untung nombokinnya nggak banyak. Sebenarnya bisa saja sih si akang nyuruh saya melakukan tarik tunai atau mencari ATM di sekitaran situ. Nyatanya, hal itu tidak dia lakukan. Ya... saya percaya, beginilah tangan Tuhan bekerja.

Akang, kamu benar-benar ngangeni.


Langit dan laut lagi kompakan cakepnya
Nggak kayak kita yang yahhh...begitulah. Loh!

Pertautan takdir dengan orang Jember part II.

Kembali ke dedek-dedek di kereta tadi, semula dia tanya apakah saya punya e-toll. Saya loading. Yang ternyata, per 15 Agustus 2019 ini, pembayaran tiket kapal menggunakan e-money. Duhkah... Horang mhacam hapah syayah hinih, horak uph-dhate syama syekali!!!

Saya ditawari agar ngikut dia saja. Yang semula saya dikuntit dia, kini terbalik, saya yang nguntit dia. Inilah bukti: dunia itu berputar, Bambang. Dia nalangin saya. Dan ketika sudah di atas kapal, saya tulus ingin mengembalikan uang tersebut.

“Nggak usah, Mbak. Nggak seberapa ini.” Tapi pertolonganmu sangat seberapa buat saya, Dedek. Ini namanya kamu nggak nalangin tetapi bayarin. Dek, kamu love-able banget, sih. Lebay, lebay.

Bahkan saat kami naik bus mini jurusan Gilimanuk-Denpasar, dia yang duduk tepat di belakang saya, ternyata dia juga ngejagain saya. Saat itu bus sudah berhenti di perempatan Soekarno - Kediri. Saya yang turun di masjid Kediri, siap-siap beresin barang bawaan. Dia menyapa saya dari belakang.

“Udah sampai Soekarno, Mbak.” Duhdek, nais anet cih amu.

Untungnya pas bus ngetem tadi, kami sempat ngobrol dengan sesama penumpang, baik  mengenai tujuan maupun tarif bus_yang menurut dedek Gojek hanya 30 ribu ternyata ketika di lapangan, kami pada kenak 40 ribu. Kami berkenalan, saling melontarkan pertanyaan basa-basi yang menurut saya nggak basi-basi amatlah.

Saya menuliskan kebaikan dedek itu bukan untuk menyaingi tugas malaikat Raqib tapi karena di dunia ini masih perlu banyak orang-orang baik. Ohya, dedek itu bernama Bobby, masih kuliah tahun pertama di Udayana, ambil jurusan manajemen perhotelan. Hahaha, cari dah cari tuh orangnya. Kalo ketemu, tolong kasih link tulisan ini padanya sebagai ucapan terimakasih, yes.

Hmmm, hmmm, pertautan takdir dengan orang Jember part II ini sungguh asyique.

Dipantau Dedek Gojek

Fix, yes. Paragraf ini untuk melengkapi informasi yang sempat saya tulis di atas mengenai dedek Gojek. Saya pernah menjadi pelanggan Gojeknya sehingga doksi memantau perjalanan solo saya dari Bali ke Jawa. Bukan apa, ini untuk memastikan kalo saya waras wiris, sluman slumun slametLebay, lebay.

Hahaha, saya merasa jadi orang penting deh ketika saya update info dan share loc ke dia. Mulai dari penjemputan pertama di depan mes di Tabanan hingga kembali lagi ke Tabanan. Inisial dedek Gojek itu R A M A. Etdah, itu bukan inisial lagi, itu udah sebuah nama, cuy. Pas ngeride, kami sempat ngobrol. Saya cerita kalo nanti bakal nyolo Jawa-Bali. Dedek itu juga cerita kalo sering touring bareng NMAX Rider Tabanan (NARITA). Cari dah cari tuh orangnya. Kalo ketemu, tolong kasih link tulisan ini padanya sebagai ucapan terimakasih, yes. Dan semingguan ini saya sempat melihat beberapa WA statusnya yang merekam perjalanan Touring bersama NARITA.

Karena Tuhan Maha Asyique

Demikianlah kebaikan itu ada di mana-mana. Saya sempat pesimis, buat apa saya berbaik-baik kalo lingkungan saya selalunya memberikan balasan yang sebaliknya. Tapi dengan begini, saya harus selalu khusnudzon, bahwasanya apa yang kita tanam itu pula yang kita petik. Ketika kita menanam kebaikan akan tumbuh kebaikan. Tapi ketika kita menanam mayat?

Percayalah, Tuhan itu Maha Asyique. Dia akan membalas kebaikan meski sebiji zarrah, yang walaupun balasan itu tidak mesti akan diterima saat itu juga. Karena Tuhan itu Maha Tahu tapi Dia menunggu.

***

Note:
Penyebutan merk tidak ada unsur promosi.

2019-08-17

Kau, Aku dan Senja



Pada suatu masa, kau dan aku berdiam di sana 
Menatap petala raya
Memandang matari senja kembali ke peraduannya

Kau diam membisu
Membiarkan angin memainkan anak-anak rambutmu
Sesekali ombak menyeringai
Menjilati bibir pantai dengan mesra
Aku cemburu
Senja merampas perhatianmu
Jarak sehasta menjadi tirai
Karena kebersamaan kita hanya fana

Perahu ini akan membawaku kembali
Entah padamu
Atau ke lain hati

Kau dan aku adalah sepotong kisah dalam karut marut kehidupan
Dan senja adalah penanda sebuah perpisahan
Ia memang indah
Tetapi singkat
Karena gelap mendekat dan semakin pekat

Kutitipkan duka sekaligus gembira pada senja
Biarlah ia mengobati segalanya tanpa airmata
Aku berdiri dengan gagah
Aku mengalah
Aku (mungkin) kalah
***

Foto & doc : by me

2019-08-10

Tips Membuat Flatlay Fotografi


Seperti biasa, saya kemana-mana diantar babang Gojek. Dan untuk menuju acara lokakarya fotografi kali ini pun saya sampai sana berkat babang Gojek. Terimakasih ya, Bang. Iya, sih, saya datangnya telat karena emang rada molor pas jam pulang kerja. Udah gitu, babang Gojeknya kenak macet pas jemput, yang seharusnya lima menit (sesuai apps) tapi molor sekian menit. Jangan salahkan si babang, jam-jam segitu di area Canggu (jalan Bypass Tanah Lot) emang macet-macetnya loh. Begitu pula ketika sudah masuk area Kuta di sekitar jalan Sunset road. Macet dan panas yang menyambut membuat saya harap-harap cemas bakalan menjadi peserta terakhir yang datang.




Untunglah saya hanya telat sekitar 15 menit, yang artinya saya melewatkan sesi pembuka acara, yang artinya lagi, saya sudah mulai masuk sesi materi.

Nah, materi kali ini diberikan oleh mas Alex Setiawan, yang udah malang melintang di dunia flatlay sejak beberapa tahun terakhir. Pria asal Malang ini kemudian menjelaskan bahwa flatlay fotografi bisa diartikan sebagai top shot angel (motret dari atas objek) dengan flat suface (alas foto datar). Atau kalo mau lebih jelaskan, bisa search sendiri di mesin pencari.

Gimana sih cara motretnya?
  •  Objek diletakkan pada alas datar
  • Sudut pengambilan antara 80-90 derajat
  • Pastikan cahaya/ lighting yang cukup
  • Bisa menggunakan gaya (penataan) bebas / freestyle, garis/ grid (dengan objek terbesar sebagai POI, yang lain mendukung), ruang kosong/ empty space 50:50 dan atau kombinasi (freestyle + grid + empty space).
Tips Flatlay.
  • Props adalah 80% dari materi utama
  •  Pakai natural light (boleh harsh untuk efek bayangan atau soft dari pantulan)
  •  Jangan bandingkan hasil kita dengan orang lain
  • Cari inspirasi (ATM: Amati, Tiru, Modifikasi)
  • Berlatih, berlatih dan terus berlatih
Ia juga menambahkan, ia sering menggunakan  flatlay harian ala-ala coffee shop. Dengan cara:
  • Gunakan props yang simple 
  • Perhatikan arah cahaya (khususnya natural light)
  • Gunakan F5-F6
  • Editing pakai Lightroom (khusus foto BW; hilangkan warna biru / aqua)

Note: agar tidak memantulkan cahaya, pakai alas yang dove, sedangkan alas glossy untuk produk kaca.

Nah, itu tadi sedikit tips dan catatan yang sempat masuk dalam buku saya. Setelah satu jam pertama untuk sesi materi, satu jam selanjutnya lokakarya fotografi yang diadakan oleh Fujifilm yang bertempat di Fujishopid-Bali, tepatnya di Urbanlife, jalan Dewi Sri No.168 A-B, Legian, Kuta, ini dipakai untuk sesi tanya jawab sekaligus praktik langsung.

Kembali pulang dari lokakarya saya segera bergegas ke mes (yang jaraknya sekitar 16 km dari Kuta) karena saya ada rencana ngeluyur di malam Minggu. Iya, dong, punya cem-ceman selalu sibuk. Shhhtttt, Sultan mah bebas.




*** Foto-foto: doc pri, jepret by: phone camera

2019-04-03

Germo Trip Part I :  Accidentally Trip & Air Terjun Jagir Banyuwangi



* Accindentally trip

Accindentally trip. Itulah kalimat yang tepat untuk saya tekankan atas keikutsertaan saya ngetrip bareng Germo Tour ke Banyuwangi. Kenapa? Karena, saya menyatakan keikutsertaan dalam rombongan ini pada saat detik-detik terakhir persiapan, sekitar enam jam sebelum perjalanan dimulai. Mepet banget, kan?

Akhirnya, satu-satunya bekal yang saya bawa adalah bawa diri! Pssttt, jangan ditiru, ya. Segala sesuatu yang kurang persiapan, bakal ada hit & miss. Tapi e tapi, kalo kebanyakan rencana, biasanya malah mangkrak karena tidak segera dieksekusi. Lagipula, trip ini sudah ada yang memersiapkan, sudah ada yang mengatur. Aing mah tinggal duduk manis dan sendika dhawuh.


Germo Tour goes to Banyuwangi. 

Ohya, tim kami ini terdiri dari delapan pria germo dan seorang perempuan-setengah-daun-beluntas-setengah-pinggiran-upil. May I mention their names? OK, then. Mereka adalah Alvin, Brahm, Chandra, Dangan, Eddy, Hafid, Hari, dan Mugi. Germo Tour meninggalkan pulau dewata dalam rangka liburan Hari Raya Nyepi pada tanggal 6-8 maret 2019 pada pukul 4 pagi. Yup, tujuan utama kami melakukan perjalanan ke barat adalah mencari kitab suci ke Kawah Ijen. Kalo saya pribadi  sih nyari vitamin sea.

Di waktu menjelang subuh itu, kendaraan berjalan lumayan galak. Mobil yang kami tumpangi berzig-zag di atas jalan yang sedikit bergelombang, melaju kencang, beradu cepat dengan waktu dan kemacetan yang diperdiksi bakal parah di penyeberangan Gilimanuk. Sampai-sampai, mobil yang dikendarai oleh Alvin dan Dangan itu terasa mengambang. Ah, jadi ingat mobil terbangnya Ron Weasly saat ‘menculik’ Harry Potter.

Efeknya, perut seperti kena Tornado. Dalam hati berdoa, Tuhan... jangan sampai saya muntah di depan mereka. Bisa-bisa, runtuhlah kebakohan saya. Luckily, usai istirahat di SPBU, semua rasa yang pernah ada hilang musnah. Perjalanan selanjutnya Brahm mengambil alip kemudi. Jalur lumayan bersahabat, ditambah kondisi jalan sudah masuk daerah macet. Maka, tak ada yang bisa dilakukan selain menikmati kemacetan itu sendiri.

Dan benar, melewati gate penyeberangan, beuhggg, macet parah. Ya maklum, baru pertama ini saya terkena macet. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kemacetan arus mudik dan arus balik lebaran. Itulah mengapa ketika saya berada di rantau, saya memilih menikmati suasana lebaran di tanah asing ketimbang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Bukan apa, saya tidak kuat menghadapi macetnya, cuy!

Sialnya, dua mobil yang menjadi bagian dari Germo trip ini harus menyeberang ke Banyuwangi dengan dua kloter berbeda. Gerimis hujan mengiringi perjalanan kami menuju tanah Jawa, tanah leluhur kami, tanah tumpah darah kami. Mobil yang saya tumpangi menjadi kloter pertama menjejak tanah Jawa. Kami harus menunggu mobil satunya di luar Ketapang sambil membuka bekal nasi plus lauk pauknya. Untuk minum, kami memesan di kedai tenda tak jauh dari parkir  mobil. Bila diperhatikan dengan teliti tepatnya dilihat dari kejauhan, mobil kami sudah mirip mobil penjual makanan di dekat danau Unesa, Surabaya.

Begitu seluruh rombongan trip sudah kenyang, kami menuju Osingdeles, pusat oleh-oleh khas Banyuwangi, yang terletak di jalan KH. Agus Salim. Semua memborong makanan dan kaos seperti orang khilaf. Itulah ciri khas orang Indonesia. Kemana pun perjalanannya, oleh-oleh adalah hal utama, yang mana budaya ini belum tentu berlaku bagi traveller bule.

Destinasi selanjutnya adalah ke Ijen Farmer Homestay. Bagi saya yang terbiasa tidur ngemper di hotel berbintang-di-langit-biru, Ijen Farmer Homestay sudah cukup memadai. Apa sih yang dibutuhkan pejalan receh seperti saya selain tempat tidur nyaman, ada kamar mandi plus bonus kompor gas buat bikin mie dan atau kopi? 

Sebagai perempuan satu-satunya dalam trip ini, saya mendapatkan keistimewaan dengan fasilitas satu kamar untuk saya tempati seorang diri. Ahikk. Hanya saja, untuk urusan mandi, si Hari sempat numpang mandi di kamar saya. Alhasil, kamar mandi banjir (yang ternyata saluran pembuangan mampet), airnya meluber ke kamar hingga kasur yang tergeletak di lantai ikutan basah. Saya sempat mikir, nih orang mandinya kek mana coba? Kan kampret!

Air Terjun Jagir


The Germos setor muka. 

Sebelumnya, tepatnya setelah gerimis mereda, kami direkomendasi oleh pemilik Homestay untuk menikmati keindahan Air Terjun Jagir yang terletak di Dusun Kampung Anyar, Desa Taman Suruh, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Kami dikenai tiket perkepala sebesar Rp 5.000,- belum termasuk parkir kendaraan. Untuk mencapai air terjun Jagir, tidak begitu memerlukan usaha yang ngos-ngosan.

Lokasi air terjun Jagir bisa terlihat dari jalan raya. Di sini kita bisa menikmati tiga air terjun sekaligus dalam satu tempat. Begitu melihat air terjun yang jernih, tim Germo segera menceburkan diri dalam air, yang sebelumnya mereka lebih dulu melucuti pakaian dan asesoris yang menempel di badan kecuali kancut atau celana pendek. Memang, air yang jernih dipadu dengan suasana alam yang masih asri benar-benar membuat kami sedikit rileks dari rutinitas. Bahkan, ada aliran sungai yang membelah antara dua air terjun kembar dan satu air terjun sebelahnya.

Air terjun (single) plus penunggunya. 

Hanya saja ketika kami sampai di sana, akses menuju air terjun tunggal di sebelah air terjun kembar itu terhalang ranting berduri. Saya yang kadung nyeker sudah kepalang tanggung ciut nyali, takut ketusuk duri. Apalagi kondisi jalur setapak yang licin akibat hujan yang baru saja reda. Cukuplah menikmatinya dari jarak sepelemparan batu atau sambil mandi di kali dan berendam di bawah air terjun kembar.

When someone talk behind u, they talk with your ass.

Oh ya, di pinggir jalan dekat parkiran dan di area air terjun terdapat warung makanan ringan. Jadi, pengunjung bisa menghangatkan badan sembari ngopi dan ngunyah gorengan. 


Bonus spot foto (false colour) : swirl bridge.  

Yakin nggak tertarik ke sini? 


Twin Waterfall / air terjun Jagir _ bonus putra duyung mandi (zoom in mode on). 

Usai di destinasi pertama, kami kembali ke homestay, mandi, nyuci, dan makan malam sisa bekal tadi pagi. Sebelumnya, ada breafing dari pemilik homestay tentang “do & don't“ serta secuil kisah perjalanan hidupnya sebagai anak penambang belerang yang kini sukses memiliki beberapa penginapan serta keahliannya berbahasa Inggris dan Prancis. 

Oke, sekarang markiti, mari kita tidur. Soalnya, perjalanan ke Kawah Ijen akan dimulai pada dini hari.

***

2019-03-10

Di Bali: Gila Bersama Majelis Lucu Indonesia

Gila Bersama Majelis Lucu Indonesia



Doc: Jimmy KVB 


Sebenarnya saya baru mendengar nama Majelis Lucu Indonesia hari ini. Iya, iya, saya nggak update. Secara saya kan pekerja keras, yang mana hidup saya seutuhnya saya dedikasikan untuk kerja kerja kerja, siapapun presidennya (apa sih ini?). FYI, kalender saya tuh semua tanggalnya berwarna hitam a.k.a tidak libur. Miapah coba? Demi nabung libur yang sewaktu-waktu saya pakai buat mudik, gitchu.

Kembali ke Majelis Lucu Indonesia, saya memang belum hafal nama mereka satu-persatu. Dan lalu saya masuk ke mesin pencari, mengeklik laman mereka. Ternyata mereka ada acara di Guest Hotel, Denpasar, hari ini, 10 Maret 2019 yang dikemas dengan highlite “Dewa Komedi Indonesia”. Cuman, dari beberapa personil itu saya kenal sama Tretan Muslim dan Rigen (tapi mereka tidak kenal saya. Kan nyesek!!! Emang loe siapa?)

Rombongan mereka mampir ke tempat saya mengais rejeki, di Kurnia Village Resto, Bali. Tidak hanya dalam rangka makan siang yang kesorean tapi juga untuk menikmati sensasi berfoto ala masyarakat Bali tempo doeloe. Nah, studio foto Kurnia Village Resto ini menyediakan aneka kostum, mulai dari kebaya jadul, kebaya brukat, kemben, kamen jadi, jarit, bahkan banyak tamu restoran yang berfoto secara berpasangan dengan konstum pernikahan.  Juga tersedia delapan set latar. Pojok menenun, melukis, topeng dan tari yang berada di ruang pertama. Di ruang kedua ada pojok pementasan wayang, dapur jadul, gudang padi dan balai malas. Sedangkan di ruang ketiga ada satu set latar sembahyang. So, cucok meong lah yau buat tamu yang butuh ngeksis di sosial media ataupun tamu yang ingin menikmati sensasi the ancient Bali. Jangan takit gerah saat sesi foto berlangsung. Studio foto plus ruang ganti full AC, Air Con bukan Angin Cendela. Paragraf ini mengandung iklan.

Nah, di sesi foto tersebut, tingkah dan tolah mereka gila banget. Mereka itu seperti terlahir jebrot langsung bikin orang ngakak. Adaaa aja yang dibecandain. Saya salut loh sama orang-orang yang punya kemampuan seperti itu, terlebih mereka yang bisa menertawakan kemalangan, kesedihan, kepahitan, dan kelemahan diri sendiri. Itulah seniman (jika boleh dibilang begitu sih). Bahkan dark joke_yang bagi sebagian orang pasti bikin gerah-kuping-gerah-hati, ternyata mampu mereka bungkus menjadi sebuah hiburan (bagi orang-orang selow sih). Karena bagi saya, karya apapun yang dibuat dari hati akan sampai ke hati penerimanya. 

Tapi monmaap, jika penyambutan fans Majelis Lucu Indonesia di Kurnia Village Resto ini tidak seheboh artis/ seniman lain, Bowo tiktok misalnya, eh! Ya maklum, tamu Kurnia Village kan sebagian besar tamu mancanegara (etdah sombong), yang walaupun banyak juga tamu lokal. Toh kehadiran rombongan Majelis Lucu Indonesia bikin studio foto Kurnia Village Resto jadi heboh dengan gema tawa yang tercipta. Pun, stand demo masak untuk chef masakan India, yang memang ditempatkan di luar dapur restoran tepatnya di dekat main resto, sempat ramai juga dengan kehadiran mereka. Menurut saya itu adalah hal wajar, pan mereka butuh foto maupun video dokumentasi untuk akun sosial mereka.

Eniwe, baswe, sabwe, kepada Majelis Lucu Indonesia, saya ucapkan terimakasih atas kedatangannya di Kurnia Village Resto, wabil khususon sudah menggemparkan studio foto KVB, yang meskipun saya datangnya telat lantaran saya baru kembali dari jam istirahat (halah... Alibi). Semoga lain waktu (harus ini mah) mampir lagi ke sini, bawa pasukan Majelis Lucu Indonesia yang lebih banyak lagi, bikin acara kecil-kecilan (gede-gedean juga boleh) semacam: open mic, stand up comedy dan atau sejenisnya di Kurnia Village Resto. Biar kita selalu bersinergi. Ya kali saya ada kesempatan belajar nulis materi yang pantas dibawakan atau malah dipentaskan. Kan gokil (woy, cita-citanya ketinggian, awas-awas kesampluk pesawat, pesawat televisi). Bosen tauk bikin konten curcolan mulu kek gini. Greget sih greget tapi kurang nendang.

Saya juga mohon maaf jika ada kekurangan. Dan bila ada kelebihan, mohon segera dikembalikan. Coz I’m only an ordinary girl, not a super girl. 

***

Note: Tulisan ini mengandung bahan-bahan berbahaya. Jauhkan dari jangkauan orang-orang tersayang.

2018-11-30

[Homey Bali] Perayaan Maulud Nabi Muhammad saw di Tanah Lot

Acara Maulud Nabi Muhammad saw di Tanah Lot 

Tanggal 24 November 2018 ini, Taman Pendidikan Alquran Al Hidayah, yang berada di desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, sekitar 10 menit dari Tanah Lot - Bali, ngadain acara peringatan maulud Nabi Muhammad saw. Sebenarnya acara dimulai setelah sholat isya, tapi santri-santri cilik yang berjumlah sekitar 117 ini sejak sore sudah ramai memenuhi TKP. Gemes aja sih ngeliat antusias mereka yang sedari sore sudah kece badai memakai baju gamis atau koko. Saya bisa dengan jelas melongok tingkah mereka karena posisi saya berada tepat di arah jam 12, dengan jarak hanya sepelemparan batu.
 
Sebagaimana kegiatan mauludan lainnya yang melibatkan TPQ_berikut pengasuhnya, acara dibuka dengan unjuk kebolehan para santri. Entah itu hafalan doa-doa, asmaul husna, bacaan sholat, bahkan ada hiburan hadroh. Khusus tim hadroh ini adalah kolaborasi usia - dari remaja hingga ABG (Angkatan Babe Gue).

Gemesin kan adik-adik santrinya? 

Sedangkan acara inti yakni tausyiyah, diisi oleh Ketua GP Ansor Tabanan sekaligus salah satu imam Masjid Kediri - Tabanan, ustadz Antoni. Dalam kesempatan itu, beliau mengajak para jamaah agar senantiasa bersyukur atas segala fasilitas yang Allah sediakan di dunia ini, semuanya untuk kemudahan terselenggaranya kehidupan manusia itu sendiri. Termasuk surga yang diciptakan sebagai apresiasi atas amal baik selama di dunia dan neraka untuk membersihkan amal buruk manusia sehingga bisa menikmati surga setelah proses "pembersihan" itu.

Meski kondisi ustadz sedang tidak fit tetapi totalitas dan profesionalisme beliau patut diacungi jempol.

Ustadz sedang bertausyiyah. 

Beberapa pernak pernik hiasan /dekorasi, terbuat dari bunga-bunga kertas yang ditancapkan pada pohon pisang, sebagiannya berisi door prize telur rebus & uang dua ribuan. Begitu acara selesai, para santri berebut hadiah itu. Lucu sekaligus geregetan dengan tingkah mereka, khas anak-anak banget.

Saya datang sudah sangat terlambat. Begitu "turun", saya balik ke mes dan melakukan "ritual", lalu ambil kamera & monopod, kemudian cuzzz ke TKP. Mendokumentasikan acara seperti ini membuat saya kembali ke masa-masa menjadi relawan... tuh kan jadi baper. Sayangnya ketika hendak membuat video hadroh, ada beberapa masalah yang membuat saya harus menunda. Insya Allah, next event, yessss.

Sebenarnya pengen bantuin be bersih sampai selesai tapi sudah telanjur kena doktrin "biar mas-mas saja yang membersihkan", ya sudah lah. Begitu pulang, saya langsung dibawain bontrot (nasi berkat), hahaha. Saya menerima tetapi saya letakkan kembali di meja agar dimakan oleh jamaah lain yang lebih membutuhkan. Biasanya, jam segitu saya usahakan tidak makan malam, takut gemuk perutnya doang ngokkk. Lagian, habis makan trus tidur itu bisa bikin asam lambung naik. Kalo besok sakit perut, kan saya sendiri yang repot. Begitu sih TEORI-nya.

Nyatanya, yang namanya rejeki, meski ditolak, bakal datang juga. Nasi berkat dari acara mauludan yang tidak saya bawa pulang, begitu sampai di halaman tempat kerja, yang kebetulan saat itu teman-teman shift malam tinggal nunggu scan sidik jari, saya malah dikasih Pak GM nasi berkat. Kata beliau, itu nasi miliknya dari acara mauludan yang tidak dimakan, beliau sudah kenyang. Busyet, dah. Nyatanya, ketika saya meninggalkan nasi saya di TKP, saya dapat nasi dari Pak GM.

BTW, saya sangat salut dengan kegiatan di TPQ tersebut.

FYI, itu bukan sekolahan atau bangunan yang bisa disebut sebuah madrasah tapi sebuah bengkel yang ketika sore/petang, "disulap" menjadi arena belajar agama. Jadi, komunitas muslim minoritas di sini masih punya "wadah" buat meningkatkan ilmu agama, khususnya anak-anak. Jangan tanya sama saya siapa pengasuhnya utamanya. Foto beliau yang sempat saya ambil pun blur. Saya hanya mengenal salah satunya, yang merupakan rekan kerja saya di sini, yang juga calon menantu dari pengasuh TPQ. Eaaakkk, fahimtiiiiii?

Tim hadroh. 

Saya merasa,  ketika bersinggungan dengan hal-hal begini, saya tidak merasa sedang merantau. Boleh saya bilang, di sinilah sebagai homey Bali.

***