Kantong Maksiat
Lantaran bekerja di area domestik,
terutama di Hong Kong, otomatis kita ikut-ikutan ritme/pola hidup nyonya
majikan. Ada tipe majikan yang super ketat memberi aturan kepada Cece kungnyan-nya. Nah, Cece ini harus mematuhi tata tertib
alias term of condition yang berlaku
di rumah itu. Mulai dari bangun pagi hari ini hingga bangun pagi esok hari,
semua pekerjaan harus beres. Debu sebesar tengu
pun dilarang nempel pada perkakas rumah.
Namun, ada juga
nyonya majikan yang memberi kelonggaran kepada Cecenya. Urusan rumah dan segala tetek bengeknya, termasuk mengasuh
dan mendidik anak, diserahkan sepenuhnya kepada si Cece. Entah di tengah-tengah
hari si Cece jungkril balik, koprol
atau salto, entah si Cece bekerja 3
jam tapi online 7 jam, si majikan tidak peduli. Yang nyonya majikan tahu hanya
menransfer gaji Cece tiap tanggal 1
atau berangkat pagi-pagi sudah ada sarapan dan ketika pulang kerja sudah ada
makanan di atas meja.
Kalo sudah
begini, yang kepedean tentulah si cece. Bagaimana tidak, rumah berbentuk villa
di sekitar Taipo itu sudah mirip rumah miliknya sendiri, nyonya juragan dan
suami hanya mengontrak. Asyiknya, tiap bulan cece pun dibayar sebesar HKD
4100,- sebagaimana kenaikan gaji buruh di Hong Kong untuk kontrak kerja per 1
Oktober 2014, versi aturan baru tentunya.
Inilah gambaran
job desk Ani. Dia mengurus keluarga ‘cemara’,
campuran antara bule Amerika dan Republik China plus Jawa (Jawa ini maksudnya
si Ani tadi). Meski tiap hari selalu keminggris, tetapi Ngapakers medok ini
tidak melupakan bahasa ibu/mother
language-nya. Kata dia: nyong ora
ngapak ora kepenak (ucapkan dengen menambah intonasi/penekanan pada huruf
‘k’).
Sepulang libur
Minggu itu, dia mampir ke supermarket ‘Parkir & Belanja’. Kebiasaannya
sejak dulu adalah membeli oleh-oleh untuk si anak asuh. Dengan disogok alias
disuap dengan jajanan, si anak bakal nurut. Toh dengan adanya anak itulah ia
dikontrak selama dua tahun ke depan. Ibaratnya, si anak inilah ‘ATM’ selama
satu kontrak mendatang.
Nah, di
tengah-tengahnya antri kasir, sepasang muda-mudi usia belasan tahun, bermata
sipit, bergandengan sembari mendorong kereta belanja berisi kentang goreng dan
air soda, memamerkan kemesraan di depan Ani. Ada rasa dongkol bercokol di hati
Ani lantaran mereka mengingatkan Ani kepada lokung
tercintanya di Endonesya sana. Sebongkah rindu berdegup kencang di dadanya. Ia
sempat berujar dalam hati bahwa sekeluarnya dari supermarket itu, ia akan
segera menelefon gandholane ati.
Saat si pemudi menyerahkan
semua belanjaannya di depan kasir dan terdengar suara ‘tuut’, si pemuda
mengambil kemasan karton berwarna dasar biru yang dilapisi plastik transparan dengan
ukuran sebesar telapak tangan, lalu meletakkannya diantara belanjaan. Sialnya,
uang untuk membayar seluruh belanjaan kurang! Akhirnya ia membatalkan pembelian
kemasan karton tadi dan meletakkan kembali ke tempat semula yang berjajar
dengan aneka kemasan permen karet, agar uangnya cukup untuk membayar belanjaan.
Ani
memperhatikan bagaimana pemuda itu cengar-cengir nggak keruan sambil tengak-tengok
ke arah antrian pembeli. Bahkan, mata Ani pun bersirobok dengan mereka sebelum
akhirnya mereka melenggah jauh keluar.
“Syukurlah mereka
gagal membeli kantong maksiat,” begitu tulis Ani saat berbincang dengan
penulis. Tentu saja penggunaan kata kias seperti itu membuat tanda tanya besar
yang muncul dalam kepala.
Menurut analisa
Ani, ia hafal bagaimana gerak gerik pasangan yang ‘halal’ atau tidak. Ia
manyatakan rasa kekinya tatkala muda mudi itu tidak jadi membeli sekotak k*nd*m.
Whuatttt???
Oalah, Ni …
Ani, sekotak kantong maksiat itu ternyata kantong maksiut toh. Eh!
***
0 comments:
Post a Comment