2014-11-09

[Curcol] Kantong Maksiat

Kantong Maksiat


Lantaran bekerja di area domestik, terutama di Hong Kong, otomatis kita ikut-ikutan ritme/pola hidup nyonya majikan. Ada tipe majikan yang super ketat memberi aturan kepada Cece kungnyan-nya. Nah, Cece ini harus mematuhi tata tertib alias term of condition yang berlaku di rumah itu. Mulai dari bangun pagi hari ini hingga bangun pagi esok hari, semua pekerjaan harus beres. Debu sebesar tengu pun dilarang nempel pada perkakas rumah.
Namun, ada juga nyonya majikan yang memberi kelonggaran kepada Cecenya. Urusan rumah dan segala tetek bengeknya, termasuk mengasuh dan mendidik anak, diserahkan sepenuhnya kepada si Cece. Entah di tengah-tengah hari si Cece jungkril balik, koprol atau salto, entah si Cece bekerja 3 jam tapi online 7 jam, si majikan tidak peduli. Yang nyonya majikan tahu hanya menransfer gaji Cece tiap tanggal 1 atau berangkat pagi-pagi sudah ada sarapan dan ketika pulang kerja sudah ada makanan di atas meja.
Kalo sudah begini, yang kepedean tentulah si cece. Bagaimana tidak, rumah berbentuk villa di sekitar Taipo itu sudah mirip rumah miliknya sendiri, nyonya juragan dan suami hanya mengontrak. Asyiknya, tiap bulan cece pun dibayar sebesar HKD 4100,- sebagaimana kenaikan gaji buruh di Hong Kong untuk kontrak kerja per 1 Oktober 2014, versi aturan baru tentunya.
Inilah gambaran job desk Ani. Dia mengurus keluarga ‘cemara’, campuran antara bule Amerika dan Republik China plus Jawa (Jawa ini maksudnya si Ani tadi). Meski tiap hari selalu keminggris, tetapi Ngapakers medok ini tidak melupakan bahasa ibu/mother language-nya. Kata dia: nyong ora ngapak ora kepenak (ucapkan dengen menambah intonasi/penekanan pada huruf ‘k’).
Sepulang libur Minggu itu, dia mampir ke supermarket ‘Parkir & Belanja’. Kebiasaannya sejak dulu adalah membeli oleh-oleh untuk si anak asuh. Dengan disogok alias disuap dengan jajanan, si anak bakal nurut. Toh dengan adanya anak itulah ia dikontrak selama dua tahun ke depan. Ibaratnya, si anak inilah ‘ATM’ selama satu kontrak mendatang.
Nah, di tengah-tengahnya antri kasir, sepasang muda-mudi usia belasan tahun, bermata sipit, bergandengan sembari mendorong kereta belanja berisi kentang goreng dan air soda, memamerkan kemesraan di depan Ani. Ada rasa dongkol bercokol di hati Ani lantaran mereka mengingatkan Ani kepada lokung tercintanya di Endonesya sana. Sebongkah rindu berdegup kencang di dadanya. Ia sempat berujar dalam hati bahwa sekeluarnya dari supermarket itu, ia akan segera menelefon gandholane ati.
Saat si pemudi menyerahkan semua belanjaannya di depan kasir dan terdengar suara ‘tuut’, si pemuda mengambil kemasan karton berwarna dasar biru yang dilapisi plastik transparan dengan ukuran sebesar telapak tangan, lalu meletakkannya diantara belanjaan. Sialnya, uang untuk membayar seluruh belanjaan kurang! Akhirnya ia membatalkan pembelian kemasan karton tadi dan meletakkan kembali ke tempat semula yang berjajar dengan aneka kemasan permen karet, agar uangnya cukup untuk membayar belanjaan.
Ani memperhatikan bagaimana pemuda itu cengar-cengir nggak keruan sambil tengak-tengok ke arah antrian pembeli. Bahkan, mata Ani pun bersirobok dengan mereka sebelum akhirnya mereka melenggah jauh keluar.
“Syukurlah mereka gagal membeli kantong maksiat,” begitu tulis Ani saat berbincang dengan penulis. Tentu saja penggunaan kata kias seperti itu membuat tanda tanya besar yang muncul dalam kepala.
Menurut analisa Ani, ia hafal bagaimana gerak gerik pasangan yang ‘halal’ atau tidak. Ia manyatakan rasa kekinya tatkala muda mudi itu tidak jadi membeli sekotak k*nd*m. Whuatttt???
Oalah, Ni … Ani, sekotak kantong maksiat itu ternyata kantong maksiut toh. Eh!

***

0 comments:

Post a Comment