2014-03-04

Halal Pork, Please?

Halal Pork, Please?
1393957104815285007
ching can (halal)
Minggu kemarin (2/3), saya, Anik dan Asti pergi ke Wanchai untuk melihat tempat memesen kaos sablon. Kebetulan tempatnya berdekatan dengan masjid Ammar dan kebetulan lagi kami memang sengaja untuk makan siang di daerah ini. Meski ada warung cepat saji (Mc. D), kami sepakat tidak ke sana.

Kemudian saya mengusulkan untuk yam cha. Yam cha (yang berarti minum teh) ini merupakan budaya khas masyarakat Kanton yang tumbuh subur di Hong Kong. Pelaku yam cha ngobrol sambil minum teh dan aneka menikmati tim sum.

Lalu kami menuju kantin halal di lantai 5 masjid Ammar-Wanchai yang hanya berjarak 5 menit jalan kaki dari posisi kami tadi. Meski kami sudah lama di Hong Kong, tetapi ini adalah kali pertama kami pergi yam cha. Yam cha di kantin ini memang sangat diminati, baik pelancong muslim maupun masyarakat muslim di Hong Kong lantaran menyediakan menu halal. Hari itu kami menemukan wajah-wajah China, Timur Tengah, Indonesia dan Filipina yang mengelilingi meja bundar berisi dua cerek berisi teh dan air panas beserta menu yang dipesan. Mereka berbicara dan ngobrol dengan bahasa ibu masing-masing. Benar-benar ramai.

Dasar perut kami perut Indonesia yang tidak aci kalo tidak makan nasi, tetap saja diantara tim sum, kami pesan tiga mangkuk nasi dan sayur selera pedas. Ada kelegaan dan kenyamanan tersendiri hanya gara-gara melihat label halal itu.

“Kata temenku yang biasa yam cha sama bobo(nenek)nya, dim sum di luar lebih enak daripada di sini,” kata Anik. Benarkan? Kenapa bisa begitu? Apa karena yam cha sama bobo merknya merk ratu (ratuku alias gratis?). Entahlah.

Terlepas cerita Minggu itu, ada beberapa kisah menggelitik yang dialami beberapa teman saya. Sebut saja namanya Sri. Nah, Sri ini bekerja pada majikan asli Hong Kong dan mengasuh seorang anak usia SD. Hubungan antara Sri dan momongannya ini sudah sangat dekat. Sehingga, momongannya bebas bertanya apa saja. Termasuk kenapa Sri tidak makan babi.

Sri mencoba menjelaskan dengan bahasa yang dia bisa bahwa dalam agama Sri (Islam) dilarang makan babi. Si anak tak rela. Dia bilang, selama ini keluarganya mengkonsumsi bahan makanan organik termasuk daging babi organik.

“And see, we are so health because organic pork.” Gubrak!

13939569041874027396
Penjual babi pasar lama Taipo.
Lain lagi dengan Siti (panggil saja begitu). Ia bekerja pada majikan India yang juga muslim. Suatu hari momongan Siti merengek pada orang tuanya kenapa selama ini tidak ada menu daging babi dalam daftar makannya. Padahal, teman-temannya pada makan.

“Mama, aku ingin makan halal pork, please.” Anak usia SD itu memohon pada ibunya. Kontan, Siti yang mendengar dari dapur ikut tertawa.

Memang, menjadi BMI dan bekerja stay in dengan majikan non muslim harus pintar-pintar mencari celah. Selain halal, makanan juga harus toyyibah, demikian yang diucapkan seorang narasumber dalam meminar thibbun nabawi Oktober lalu.

Untuk menyiasati dan mencari aman, saya pribadi memilih memperbanyak makan sayur dan buah. Sedangkan ‘musuh’ di atas meja makan yang harus saya habisi adalah ikan dan telur. Sebisa mungkin saya mengurangi konsumsi daging. Bila ada label halal pada kemasan, baru deh disikat! Bukan sok-sokan sih. Setidaknya menjaga diri sendiri. Juga harus jeli melihat label kemasan pada makanan.

Saya akui, dulu saya makan apa saja asal bukan daging babi. Tetapi seiring banjirnya informasi yang dengan mudah didapatkan di era digital ini, termasuk informasi kode E yang ternyata mengandung unsur babi, saya lebih hari-hati. Untunglah majikan saya memberi kelonggaran menu yang saya makan. Dan mereka sendiri juga sadar bahwa mengonsumsi daging terlalu banyak juga khawatir dengan ancaman kolesterol, obesitas dan lainnya.

Meski demikian, beberapa kali bertandang ke rumah teman majikan atau saudara majikan, saya tetap saja ditanyai, kenapa tidak makan babi?

“Islam tidak makan babi.”

“Kenapa?”

“Aduh, gimana ya ngomong Kantonisnya?”

Akhirnya majikan saya membantu menjawab. Bahwa: babi itu tidak halal, kotor dan jorok. Saya hanya nyengir pada jawaban majikan saya.

Memang, halal ‘hanya’ sebuah label. Tetapi hal ini sangat membantu saya yang berada di daerah yang mayoritas non label... eh non muslim.

13939570461323382692

0 comments:

Post a Comment