[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2014-11-30

[Curcol] Ngantuk? Cuci Muka Pakai Kopi, Dooooong.

Ngantuk? Cuci Muka Pakai Kopi, Dooooong.

Tersebutlah Bunga, bukan nama sebenarnya, hanya nama di jejaring sosial saja. Ia sahabatku sejak pindah ke daerah pucuk MTR line ungu. Kami biasa bertemu saat libur atau saat antri suttle bus ketika pergi belanja. Maklum, di daerah sini tidak ada pasar, hanya dua supermarket yang kata juragan, apa-apanya mahal banget. Jadi, kami harus belanja ke 'desa' sebelah, di Tseung Kwan O sana, yang berjarak 10 menit dari rumah.

Papasan tanpa sengaja itu terjadi lagi ketika antri suttle bus. Terka saja apa yang terjadi jika dua orang yannei cece bersua. Mereka selalunya membuat polusi suara lantaran nggedubus tanpa sela tanpa jeda. Terlebih volume maksimal dipasang pada pita suara. Seolah-olah dunia milik berdua, yang lain tidak dihiraukannya. Pun mereka suka ngakak-ngakak kalau tertawa. Dan itu pulalah yang terjadi pada diriku dan Bunga.

Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, kata Bunga, ia mencoba sarapan dengan menu baru. Ia sengaja menyeduh kopi instan kopi sachetan dengan alasan kurang tidur karena ada lemburan. Ah, apalagi kalau bukan ngreyen hape baru dengan nglembur video-chat semalaman. Buktinya, di tangannya kedapatan memeluk hape baru, yang katanya hape gratisan hasil kiriman dari kekasih idaman, yang tinggal di negeri sebelah, yang terpisah daratan dan lautan!

Huwaow... Mendengar kata 'hape gratisan', daku sedikit iri dan sedikit dengki. Dipikir-pikir, kok nggak ada yang kirim buatku, gitu! Walau dikasih hape sebiji pun pasti akan daku terima dengan lapang dada dengan tangan terbuka. Daku kan termasuk golongan fii sabiilillah, yang sedang berjuang di perantauan dan layak mendapat hape gratisan. Kenapa cuma TKI formal G to G saja yang disangoni hape oleh pemerintah? Lah TKI non formal ini jangan dianak tirikan dong. Ah, embuhlah, karep-karepmu.

Kembali ke Bunga, ritual ngopi pagi yang tidak biasa ini memberi efek luar biasa padanya. Maklum, ia adalah peminum kopi pemula, kopi lover amatir, yang apabila cairan kopi itu berdiam di dalam lambung, ia akan merasakan sensasi derita tiada tara. Perut menjadi mulas dan kembung disertai degup jantung yang lebih cepat dari keadaan normal. Dada pun berdebar-debar. Eh, malah dikiranya itu efek jatuh cinta. Owalah, Bunga, Bunga ...

Bunga sadar akan efek tak mengenakkan itu bakal menimpanya. Yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana mengusir kantuk yang ogak minggat dari matanya. Bahkan, ketika sedang menyeduh kopi tersebut, matanya setengah tertutup setengah terbuka. Ia mengambil sendok teh lalu mulai mengaduk kopi-gula-krimer itu menjadi larutan hitam kecoklatan. Entah karena masih kriyip-kriyip atau separuh jiwanya pergi dan bermigrasi ke hati sang kekasih, ia lupa mengontrol kecepatan adukan tangannya.

Lhadalah, biyungalah! Cairan itu muncrat sampai sudut mata kiri Bunga. Dengan sebelah mata yang masih terpicing, ia meraba-raba tisu dapur kemudian mengeringkan cairan itu dari matanya. Dan ajaib, kantuknya sirna seketika sebelum cairan kopi masuk dalam tubuhnya.

Akhirnya daku percaya bahwasanya cairan kopi itu adalah penawar kantuk, terlebih jika diperlakukan selayaknya cairan pencuci muka. Silakan dicoba.

Sinna Hermanto

2014-11-21

[Curcol] Sagu yang Mirip Sagon

Sagu yang Mirip Sagon

Orang bilang, putus cinta atau patah hati  itu sakitnya setengah mati. Tetapi, pernyataan itu tidak berlaku untuk teman saya, Adeka Sari. Kata Sari, sakit paling sakit itu adalah sakit gigi. Maklum, si Sari ini adalah remaja yang menginjak dewasa yang ditandai dengan tumbuhnya gigi. Itu loh, empat gigi geraham paling belakang. Konon, apabila tulang rahang tidak cukup tempat untuk gigi baru, maka gigi baru itu akan mendesak gigi geraham sebelahnya sehingga terasa sakit luar biasa. Nah kan, nah kan, menjadi dewasa itu menyakitkan!

Bagaimana tidak, jika sakit gigi (terlebih ditambah membengkaknya gusi) maka ketika kita mengkonsumsi makanan apapun, rasanya tidak enak. Mau makan kering tempe, makan sate, makan rempeyek, makan rengginang hingga makan nasi pun bagai jauh di mata dekat di hati. Yang bisa dilakukan hanya makan bubur, agar-agar atau jeli.

Tetapi, perempuan asal Malang ini mengobati rasa bosan dan menuruti naluri kulinernya dengan pergi ke toko "Februari-Maret" yang menjual aneka produk Indonesia. Niatnya hanya melihat-lihat. Namun, saat matanya menangkap jajaran sagu berbentuk batangan, ia langsung membayangkan sepotong sagon yang ketika masuk mulut, serpihan-serpihan sagon itu langsung mabyur awur-awur, lumer di lidah. Lalu, ia mengambil sebungkus sagu dan menanyakan pada kasir, apakah sagu tersebut bisa langsung di makan?

Si kasir pun menjawab iya. Maka, sesampainya di rumah, segera setelah membereskan barang belanjaan dan mencuci tangan, sagu itu segera digigit dengan gigi serinya. Namun, apa yang terjadi, Saudara-Saudara?

Sagu yang mirip sagon itu ternyata keras sekali seperti cuwilan kuwali. Sudah gigi geraham sakit, gigi seri pun menambah penderitaannya. Duh Gusti ...

Ah, bukan Sari namanya kalo gampang nyerah. Dengan gigi senut-senut, ia mengambil ponsel pintarnya, bertanya resep dan cara menaklukkan sagu itu pada mbah gukgel. Dan benar, ia sukses membuat bubur sagu bersantan manis gurih semacam papeda untuk bekal libur mingguan yang telah direncanakan mbolang di salah satu sudut liar Hong Kong keesokan harinya.

Ternyata sakit giginya makin parah ketika mengkonsumsi papeda buatannya sendiri. Ia menyerah kemudian dada-dada dan melambai ke kamera. Hari Minggi itu ia putuskan untuk pulang cepat lalu wadul kepada sang lopan tentang gigi-giginya.

Selang dua hari, ia mewek-mewek hampir nangis darah di hadapan dokter gigi agar giginya dicabut paksa. Semula si dokter menolak lantaran gusinya masih bengkak. Tapi airmata perempuan hitam manis ini mampu meluluhkan pendirian dokter. Dan hingga kisah ini selesai ditulis, si Sari harus menerima kenyataan bahwa seusai cabut gigi, pipi kirinya melembung seperti ngemut es loli.

Cepet sembuh, ya, Sari.

2014-11-15

[Even Surat Menyurat Fiksiana Community] Siluet Senja

Tanah Bauhinia, Oct 28th 2014


Hai, senja.

Aba kareba? Aku harap kamu senantiasa cerah ceria. Di sini sedang musim gugur. Kabut tipis menyelusup. Langitku pun berbingkai redup. Hangatku hampir lenyap, Senja. Tatkala kamu kembali ke cakrawala, siluet daun gugur pun meraja.

Bila kangen kamu, aku akan pulang kerja lebih awal. Kemudian keluar stasiun kereta dengan langkah tergesa menuju balkon rumah. Waktu-waktu seperti inilah yang menyatukan kebersamaan kita. Masih ingat ceritamu waktu itu?

“Nenek bilang, senja itu waktu yang ajaib. Waktu dimana para malaikat melesat ke langit. Malaikat membawa buku amalan. Malaikan membuat laporan kepada Tuhan.”

“Kakek bilang senja itu anugrah. Bias-bias cahaya bermain-main di petala raya. Ada melodi keheningan yang samar-samar menghapus lelah. Dalam hitungan singkat, jubah malam dibentangkan hingga fajar tiba.”

“Apa makna senja bagimu?” tanyamu waktu itu.

“Menurutku, senja itu kamu. Iya, kamu.” Lalu kamu mengerling nakal. Sorot matamu malu-malu selayaknya matari yang bermain petak umpet di antara gerombolan awan. Gemasku ingin mencubitmu, mencubit Senjaku yang genit.

Kemarin malam aku bermimpi tentangmu. Kita berdiri di pinggir dermaga, menatap lekat tergelincirnya matahari di garis horizon. Kita berjarak sedepa. Namun, kulihat dengan jelas tatap matamu. Di sana tersimpan rindu yang beku. Ada keluh yang lupa terseduh. Ada getir yang enggan terlincir. Ada airmata yang mulai mengalir.

“Ada apa?” tanyaku.

“Aku bosan dengan keadaan seperti ini, membiarkan waktu  hilang sia-sia hingga cahaya sirna?”
Ketahuilah, Senja. Aku telah lupa dengan rasa bosan. Bosan telah bosan membuatku bosan. Karena aku memilih setia. Setia dengan suasana senja.

“Ayo pulang bersama,” ajakmu. Aku menggeleng lalu memunggungimu, memainkan harmoni kelu. Dengan diam, kamu melangkah pergi hingga matahari tenggelam di ujung samudra. Hingga hari ini aku hanya punya alamat rumahmu. Harapku kamu belum pindahan sehingga kamu bisa menerima suratku ini.

Benar, saat itu aku sedang jatuh. Aku merutuki diri sendiri. Percayalah, aku tidak pernah menyalahkan keputusanmu. Cepat atau lambat, kita akan berada di jalan masing-masing. Tapi satu hal yang ingin kukatakan padamu.

Hal-hal yang membuatku mampu bangkit adalah kemauanku untuk bangkit itu sendiri. Manakala sang surya hilang, bulan dan bintang akan menuntun langkahku. Toh esok masih ada fajar. Dulu kamu bilang apa?

“Setiap hari adalah keajaiban, setiap saat adalah harapan”.

Terimakasih room mateku. Terimakasih atas waktu kebersamaan kita waktu itu. Maafkanlah atas segala khilafku. Sesama generasi 90-an, kamu paham ‘kan arti 4x4=16? Keluarga di Tanah Bauhinia merindukanmu. C U.


Peluk erat, Siluet.


NB:
Masih ingat dengan topeng ini? Ini adalah pemberianmu di ultahku yang ke-20, 6 tahun lalu. Salam hangat dari Teater Bauhinia.

2014-11-09

[Curcol] Kantong Maksiat

Kantong Maksiat


Lantaran bekerja di area domestik, terutama di Hong Kong, otomatis kita ikut-ikutan ritme/pola hidup nyonya majikan. Ada tipe majikan yang super ketat memberi aturan kepada Cece kungnyan-nya. Nah, Cece ini harus mematuhi tata tertib alias term of condition yang berlaku di rumah itu. Mulai dari bangun pagi hari ini hingga bangun pagi esok hari, semua pekerjaan harus beres. Debu sebesar tengu pun dilarang nempel pada perkakas rumah.
Namun, ada juga nyonya majikan yang memberi kelonggaran kepada Cecenya. Urusan rumah dan segala tetek bengeknya, termasuk mengasuh dan mendidik anak, diserahkan sepenuhnya kepada si Cece. Entah di tengah-tengah hari si Cece jungkril balik, koprol atau salto, entah si Cece bekerja 3 jam tapi online 7 jam, si majikan tidak peduli. Yang nyonya majikan tahu hanya menransfer gaji Cece tiap tanggal 1 atau berangkat pagi-pagi sudah ada sarapan dan ketika pulang kerja sudah ada makanan di atas meja.
Kalo sudah begini, yang kepedean tentulah si cece. Bagaimana tidak, rumah berbentuk villa di sekitar Taipo itu sudah mirip rumah miliknya sendiri, nyonya juragan dan suami hanya mengontrak. Asyiknya, tiap bulan cece pun dibayar sebesar HKD 4100,- sebagaimana kenaikan gaji buruh di Hong Kong untuk kontrak kerja per 1 Oktober 2014, versi aturan baru tentunya.
Inilah gambaran job desk Ani. Dia mengurus keluarga ‘cemara’, campuran antara bule Amerika dan Republik China plus Jawa (Jawa ini maksudnya si Ani tadi). Meski tiap hari selalu keminggris, tetapi Ngapakers medok ini tidak melupakan bahasa ibu/mother language-nya. Kata dia: nyong ora ngapak ora kepenak (ucapkan dengen menambah intonasi/penekanan pada huruf ‘k’).
Sepulang libur Minggu itu, dia mampir ke supermarket ‘Parkir & Belanja’. Kebiasaannya sejak dulu adalah membeli oleh-oleh untuk si anak asuh. Dengan disogok alias disuap dengan jajanan, si anak bakal nurut. Toh dengan adanya anak itulah ia dikontrak selama dua tahun ke depan. Ibaratnya, si anak inilah ‘ATM’ selama satu kontrak mendatang.
Nah, di tengah-tengahnya antri kasir, sepasang muda-mudi usia belasan tahun, bermata sipit, bergandengan sembari mendorong kereta belanja berisi kentang goreng dan air soda, memamerkan kemesraan di depan Ani. Ada rasa dongkol bercokol di hati Ani lantaran mereka mengingatkan Ani kepada lokung tercintanya di Endonesya sana. Sebongkah rindu berdegup kencang di dadanya. Ia sempat berujar dalam hati bahwa sekeluarnya dari supermarket itu, ia akan segera menelefon gandholane ati.
Saat si pemudi menyerahkan semua belanjaannya di depan kasir dan terdengar suara ‘tuut’, si pemuda mengambil kemasan karton berwarna dasar biru yang dilapisi plastik transparan dengan ukuran sebesar telapak tangan, lalu meletakkannya diantara belanjaan. Sialnya, uang untuk membayar seluruh belanjaan kurang! Akhirnya ia membatalkan pembelian kemasan karton tadi dan meletakkan kembali ke tempat semula yang berjajar dengan aneka kemasan permen karet, agar uangnya cukup untuk membayar belanjaan.
Ani memperhatikan bagaimana pemuda itu cengar-cengir nggak keruan sambil tengak-tengok ke arah antrian pembeli. Bahkan, mata Ani pun bersirobok dengan mereka sebelum akhirnya mereka melenggah jauh keluar.
“Syukurlah mereka gagal membeli kantong maksiat,” begitu tulis Ani saat berbincang dengan penulis. Tentu saja penggunaan kata kias seperti itu membuat tanda tanya besar yang muncul dalam kepala.
Menurut analisa Ani, ia hafal bagaimana gerak gerik pasangan yang ‘halal’ atau tidak. Ia manyatakan rasa kekinya tatkala muda mudi itu tidak jadi membeli sekotak k*nd*m. Whuatttt???
Oalah, Ni … Ani, sekotak kantong maksiat itu ternyata kantong maksiut toh. Eh!

***