[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2015-03-21

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan


Minggu pagi di bulan Maret itu cuaca sangat bersahabat. Matahari bersinar terang. Langit mengamini indahnya alam Indonesia dengan membentangkan warna biru yang memesona. Jarum jam baru saja bergeser dari angka tujuh. Saya mengayuh sepeda ontel menuju terminal bus Seloaji (terminal baru)-Ponorogo. Hanya perlu 10 menit saya telah sampai di sana.

Setelah menitipkan sepeda di utara terminal dengan biaya Rp 1000/hari, saya bergegas membeli bekal makanan kemudian menyeberang jalan untuk mencari bus jurusan Pacitan. Keberuntungan masih berada di pihak saya ketika bus yang saya maksud sudah ngetem di ruas jalan. Sebenarnya bukan pemandangan rapi selayaknya terminal bus di Hong Kong. Tetapi saya diuntungkan karena tidak perlu berjalan terlalu jauh ke bagian dalam terminal. Saya mengeluarkan uang RP 14.000 untuk biaya perjalanannya.

Kengerian bermula dari sini ketika bus yang saya tumpangi harus menunggu penumpang hingga 30-an menit. Ada rasa bosan ketika menunggu begitu lama terlebih handphone saya kehabisan pulsa, tidak ngerti cara ngisi pulasanya pula (hahaha kampungan!) dan saya tidak membawa buku. Komplitlah.

Hingga akhirnya bus itu berangkat juga. Di beberapa pinggir jalan, sesekali bus berhenti untuk menaikkan penumpang. Saya lega. Akhirnya "pecah telur" di tahun 2013 lalu. Perjalanan jomblo ... eh solo pertama saya dimulai. Namun, hanya berjalan beberapa km, tepatnya di daerah Paju-Ponorogo, bus itu ngetem lagi. Saya fikir ini tidak lama. Nyatanya pak sopir malah turun dari bus dan mampir di sebuah warung kopi. Ia hanya duduk-duduk di bangku depan warung dan berbincang dengan beberapa lelaki di sana. Beberapa penumpang mengeluh tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Ibaratnya, perjalanan ini kan ada dalam kuasa pak sopir.

Bus pun berjalan lagi. Di sepanjang perjalanan antara Ponorogo dan Pacitan, mata ini disuguhi pemandangan yang luar biasa. Rumah-rumah penduduk banyak yang berada di bukit atau tanah yang lebih tinggi dari ruas jalan. Sawah-sawah terlihat berwarna hijau segar. Terasiring nampak seperti tangga berundak. Nyiur pohon kelapa dan gubug di tengah sawah membuat hati menjadi adem ketika memandang. Jalan sempit dan berkelok yang penuh dengan turunan maupun tikungan tajam, sedikit membuat hati berdesir, ngeri. Tapi inilah seni perjalanan di Indonesia. Maka, bila Anda yang saat ini merantau dan berencana kembali ke kampung halaman, jangan sampai heran dengan pelayanan transportasinya.

Belum puas mata ini dibuai alam yang masih perawan, bus berhenti, ngetem lagi. Kali ini sudah masuk daerah Tegal Ombo-Pacitan. Beberapa waktu sebelumnya, baliho selamat datang di kabupaten Pacitan dengan gambar wajah presiden menyambut bus yang saya tumpangi. Amboi, keren sekali.

Yang membuat tidak keren adalah ulah sopir. Sembari menurunkan dan menaikan penumpang, ia turun dari jok lalu memesan secangkir kopi di warung seberang jalan. Tak hanya itu, seusai menikmati coffee time-nya, ia berjalan di beberapa lapak buah. Mata saya terus mengawasi gerak-geriknya yang sesekali memetik rambutan yang menjadi komoditi pedagang. Bila mengingat hal itu, saya hanya terkekeh dan merasa geli.

Bus non-AC yang saya tumpangi terasa pengap. Aroma bensin, keringat, dan bau ayam yang dibawa masuk oleh pedangan bercampur menjadi satu. Panas yang menyengat membuat kelembaban semakin tinggi. Mendung putih pucat mulai mewarnai langit biru. Sepertinya mau hujan.

Tibalah saya di terminal Pacitan. Dengan kondisi transportasi yang seperti itu, perjalanan yang seharusnya hanya membutuhkan waktu 3 jam harus molor hingga pukul 11:30-an. Beberapa tukang ojek menawarkan tumpangan. Saya pun menerimanya untuk mempercepat perjalanan saya menuju pantai Teleng Ria dengan biaya Rp 5000 meski saya bisa ke sana dengan jalan kaki.

Memasuki area pantai, setiap kepala dan kendaraan pribadi dikenai karcis masuk sebesar Rp 5000. Namun, ojek tetap bisa mengantar saya hingga ke bagian dalam di dekat arena penjual makanan, aneka olahan hasil laut, sale pisang (pisang yang dikeringkan), maupun sovenir. Terdengar musik dangdut dan campursari mengalun. Rupanya ada orkes live di sana. Tak menunggu tempo, saya berjalan ke arah pantai, mengenang masa-masa bermain bersama teman-teman saat masih berseragam abu-abu.


Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan. Saya sempat kepikiran untuk camping di sini, hehehe.

Begitu sampai di lokasi, saya tidak buru-buru menceburkan kaki dalam air. Dulu, saya suka mengejar kepiting atau mencari kulit kerang-kerang kecil yang banyak bertebaran di sana. Sayangnya, saat ini semuanya seperti tertimbun oleh banyaknya sampah reranting pohon dan botol bekas minuman. Para pengunjung nampak cuek dengan sampah-sampah ini. Mereka sangat menikmati berbasah-basahan, berkejaran dan bermain air di sini. Mereka seperti terbiasa, terbiasa berdampingan dengan sampah. Miris.


Teleng Ria yang berada di jalan Pramuka ini memiliki bibir pantai yang lumayan panjang sekitar 3 km. Sebagaimana pantai selatan Jawa pada umumnya, pantai ini juga berombak besar. Sangat tidak disarankan untuk berenang di sana. Meski demikian, saya sempat melihat seorang penjaga pantai (life guard) berkostum merah yang baru saja menepi dari kegiatannya berselancar. Beberapa penjaga pantai lainnya berpatroli menggunakan sepeda motor.

Lalu saya berniat mencari kampung nelayan tradisional dengan menyusuri separuh pantainya ke arah barat karena di bagian timur tertulis 'danger area'. Warna pasirnya kuning kehitaman karena mengandung granit/ pasir besi dan teksturnya lembut. Berjalan ke arah barat, nampaklah sebuah muara, pertemuan air sungai dan air laut.



Di ujung muara yang berair dalam, terlihat bangkai kapal yang teronggok di perairan air tawar. Bangkai kapal ini seperti mengisahkan kerasnya kehidupan penduduk pesisir. Aroma ikan dan asinnya laut memenuhi udara. Aih, sedap sekali.

Selain pantai, Teleng Ria juga menyediakan arena permainan anak yakni Kampoeng Air (water park) yang berada di dekat pintu masuk. Dari jalur aspal itu terlihat beberapa kolam dan perosotan penuh dengan pengunjung. Di dekat pintu gerbang juga ada 'badut' tokoh kartun berkostum warna warni dan lucu menyambut pengunjung. Ini tentu menjadi kelebihan dari arena ini yang memang ditujukan untuk anak-anak.

Cuaca yang tidak menentu dan gelap yang hampir pekat, membuat saya harus kembali pulang. Kali ini saya tidak menggunakan ojek atau bus tetapi berjalan kaki menuju terminal bus Pacitan sembari menikmati suasana asli sana. Di ruas jalan Pacitan-Solo, di sekitar makam Kucur itu terpampang baliho besar dengan gambar putra presiden SBY berikut tulisan "Pacitan Kota 1001 Goa".

Meski kondisi perjalanan pulang menuju Ponorogo diisi dengan kengerian-kengerian ketika berpapasan dengan kendaraan yang berlawanan arah terutama pada bagian jalan yang sedang dalam perbaikan, tetapi pesona alam Pacitan sangat membekas dalam ingatan. Jika Anda berencana ke pantai Teleng Ria, lakukan bersama pasangan, keluarga atau teman-teman. Setidaknya ada yang mengawasi ketika kita kecapaian dan tertidur di atas kendaraan. Atau ... ingin mbackpaker solo seperti saya? Selamat mbolang.

Sinna Hermanto

2015-03-14

[Curcol] Kantuk Menyerang, Asti pun Terjengkang

Kantuk Menyerang, Asti pun Terjengkang

Teman-teman, sebelum melanjutkan baris demi baris tulisan ini, saya mohon seandainya Anda mengenal makhluk setengah waras dan setengah gila (tetapi bukan makhluk setengah jadi) bernama Asti, tolong segera sembunyikan koran SUARA ini. Lalu lanjutkan bacanya setelah Asti pergi. Nei wui lam em do fa sang mey si (Anda tidak akan bisa membayangkan apa yang bakal terjadi).

Si Asti ini kan salah satu makhluk yang dikutuk imut seumur hidup. Ia akan senantiasa selalu dan always terlihat poreper sepentin alias serupa remaja berusia 17 tahun jalan (sisanya lari marathon 10K). Namun siapa sangka, pemikirannya sangatlah dewasa. Ia sadar, ngungyan di Hong Kong adalah sepotong puzle kehidupan. Di sini hanya mampir ngombe alias dringking (plus eating, shopping, hiking, dan -ing lainnya). Bahwasanya ia akan merangkai masa depan di tanah kelahiran, di Endonesyah sana.

Oleh karenanya, ia gabung dengan kelas entrepreneurship. Baik yang diadakan secara gratis atau berbayar hingga yang memakai sistem tatap muka atau pun kelas online. Kelas-kelas kursus juga dijajaki. Mulai dari menjahit, merangkai manik-manik, fotografi, dan memasak. Oleh karenanya, buku-buku modul pun tumpah ruah di kamarnya. Ia senantiasa mengisi waktu luangnya untuk membaca (dan fesbukan, beybeyeman, wosapan, maupun instagaraman). Alasan lain sih emang ndoro juragannya tidak mengijinkannya nongtong tipih. Jadi, jangan heran jika ia diajak ngomong Kantonis, dia hanya paham setengah-setengah (ya itu tadi, setengah waras dan setengah gila .... eh!).

Siang itu, bersama mendung dan kabut yang menyelimuti Hong Kong sejak minggu ketiga Februari lalu (bahkan hingga awal Maret), ia menunggu waktu masak makan malam dengan membaca buku di dapur. Lazimnya, membaca buku akan lebih afdhol bila disandingkan dengan secangkir kopi hitam legam nan pahit. Dan untuk mendapatkan afdhol kuadrat pangkat empat masih pakai akar sin cos tangen dan bilangan variabel x yang dikombinasi kalkulus dan logaritma, ia mengambil bebeb hengpun (HP) kesayangannya lalu memotret betapa serasinya persahabatan antara buku dan secangkir kopi kemudian mengunggahnya di instagaram.

Di situ kadang saya merasa huwaooow. Perjuangan untuk mendapatkan modal usaha di Endonesyah kelak juga diimbangi dengan ilmu. Ya ya, bolehlah sekolah berhenti sampai SMK tetapi belajar haruslah terus menerus dan tidak boleh putus, begitu sedikit gambaran tentangnya.

Rahasia umum, mata kita akan moncer serupa mbulan ndadari bila melototi fesbuk. Tetapi tiba-tiba lengket serupa kena pulut jika diajak membaca buku terutama buku-buku 'berat'. Jadi sepertinya, kopi itu tadi hanya alibi untuk mempercantik penampakan di instagaramnya Asti.

Sekira satu jam kemudian, Asti mengunggah lagi sebuah foto pojok dapur dengan kursi kosong. Captionnya membuat siapapun yang membacanya bakal terharu. Asal jangan menertawakannya loh, ya. Soalnya ia baru saja jatuh terjengakang dari kursi itu. Handle/pegangan pembuka pintu oven yang terletak di dekat tempat duduknya ikut-ikutan patah terkena hantaman kursi. Itu artinya ia sedang teraniaya. Bukankah doa orang yang teraniaya itu diijabah Gusti? Awas-awas ya kalo menertawakannya. Bisa-bisa Anda dikutuk kaya raya seumur hidup!

Olala ... Rupanya ia terjengkang karena kantuk yang tiba-tiba menyerangnya tidak mempan dihajar secangkir kopi. Dan ... Sampai tulisan ini dibuat, belum ada kelanjutan nasib handle oven. Tetapi yang bisa saya kabarkan adalah, Asti masih baik-baik sayang ... eh baik-baik saja, ding.

Sinna Hermanto/ Koran SUARA, Maret 2015. 

***

Artikel terkait.

2015-03-12

[Curcol] Langgar Aturan, Kena Semprit deh!

Aturan Itu Dibuat Untuk Dilanggar. Demikianlah! Entah pepatah keluaran mana, saya pernah mendengar 'mak semriwing' bahwasanya aturan itu dibuat untuk dilanggar. Namun, hal ini pernah saya baca dalam salah satu 'pelajaran komposisi fotografi' yakni break the rule(s). Ketika berbicara seni, kadang kala aturan itu adalah tidak ada aturan itu sendiri. Di luar seni, hati-hati saja jika berani melanggarnya.

Seperti Minggu keempat bulan Januari lalu, trio A (Anik, Asti, Asinn_sebut saja begitu) pergi ke Shatin untuk melihat pameran foto. Ketiga perempuan yang kadung kepincut dengan fotografi ini rela jauh-jauh dari kampung Jawanya Hong Kong hanya untuk membuktikan dengan mata mereka sendiri bahwa karya foto mereka dipajang di lobby salah satu kampus besar di Hong Kong.

Gimana ceritanya kok foto mereka bisa sampai di sana?

Begini, beberapa tahun lalu, sebuah organisasi non pemerintah (NGO) yang berkonsentrasi memberdayakan perempuan melalui fotografi, menggandeng organisasi pekerja migran, fotografer profesional dan beberapa sponsor untuk mengadakan workshop fotografi. Tidak tanggung-tanggung, workshop pertama bulan Oktober 2013 dan yang kedua Februari-Mei 2014 itu berbayar nol dolar alias gratis. 

Peserta tidak hanya berasal dari penduduk lokal Hong Kong tetapi juga pekerja migran Indonesia dan Filipina. Peserta workshop tidak hanya diajari jatuh cintrong pada foto dan fotografi tetapi dituntun untuk 'bermain-main' dengan negativ film (klise foto) di ruang gelap. Ya, mereka diajari mencuci cetak foto. Tidak hanya itu, mereka juga diberi pembekalan bagaimana menyiapkan pameran foto.

Kesempatan untuk memamerkan karya pun datang. Hasil foto-foto 'asal jepret' (karena tidak ada tema khusus yang dibebankan kepada peserta) itu dicetak. Kemudian semua pihak yang terlibat dalam workshop itu berdiskusi menentukan judul dan tema pameran. NGO sengaja mengajak peserta untuk lebur bersama saat pra dan pasca pameran.

Ketika hari H tiba, trio A makin penasaran, kira-kira karya mereka yang mana saja yang sesuai dengan tema pameran. Tak lupa, mereka bertanya kepada NGO, apakah memungkinkan bila datang ke pameran pada hari Minggu yang menjadi satu-satunya hari kebebasan trio A dari kungkungan pekerjaan. Nyatanya, kabar itu datang setelah melewati tengah malam pada hari Minggu dengan kalimat pemberitahuan yang isinya bahwa pameran esok hari akan dibuka pukul 8 pagi hingga  sore.

Entah karena terlalu exited atau apa, trio A mengasumsi bahwa esok yang dimaksud adalah hari Minggu (padahal, jika mau menelaah lebih teliti, saat pemberitahuan dikirim hari Minggu maka esok yang dimaksud adalah Senin, kan?). Maka, naked-lah ... eh nekadlah trio A ke tempat pameran.

Sesampainya di Shatin, trio A muter-muter kampus untuk mencari pintu masuk_yang semuanya terbuat dari kaca transparan, yang ternyata ditempeli tulisan closed. FYI, kampus itu berdampingan dengan hotel HYATT. Oleh karenanya, trio A keukeuh mencari jalur belakang kalau-kalau ada celah yang bisa disisipi. Pencarian 'jalur tikus' itu menuntun trio A hingga ke pelataran hotel. Dan nyatanya, celah itu sama sekali tidak ada bin nihil.

Menghibur diri dari kekecewaan itu, trio A segera selfie berbackground hotel itu. Sekali jepret dua jepret kurang puas, trio A mencari background dengan tulisan iconic hotel HY. Nahas, mereka kesulitan selfie karena tidak memiliki tongsis. Mereka hanya menggunakan tangsis (tangan untuk narsis). Tidak kurang akal, ketika menarsiskan wajah mengalami kesulitas, trio A rela glosoran di lantai demi motret kaki mereka di depan hotel itu. Tentu saja pemandangan nggilani ini mengusik ketentraman pihak hotel. Trio A didatangi sekuriti dan meminta mereka agar meninggalkan tempat sesegera mungkin. Yau jhe aa, hou ngai him. Ya iyalah, mereka dlosoran di jalur kendaraan!

Dalam perjalanan kembali pulang, trio A melewati kampus lagi. Salah satu dari mereka melihat beberapa orang bisa masuk-keluar dengan sebuah kartu. Aha ... ide nebeng orang agar bisa masuk bareng pun muncul. Perlu kesabaran ekstra menunggu momen itu. Dengan bahasa kanton yang lumayan memelas dan tangan menunjuk-nunjuk lokasi pameran, salah satu dari trio A memohon-mohon agar diijinkan masuk. Pasalnya, dari pintu kaca transparan itu foto-foto yang dipamerkan sudah nampak dari luar seolah-olah melambai-lambai minta disambangi.

Dan ... yihaaa, trio A diijinkan masuk. Dasar yannei kungyan yang kadang lepas kontrol kalau bicara, trio A pun kelewat berisik mengenali mana saja karya-karya mereka_tentu sambil narsis di dekat foto-foto itu. Tiba-tiba seorang ah sam (mbokdhe) tukang bersih-bersih menghampiri trio A.

"Kalian tau nggak kalo berisik. Suara kalian terdengar sampai atas. Siong bin yau yan siong kan tong aa. Lei tei em in koi yap lei, ming ci closed maa! (Di atas ada orang lagi belajar. Kalian tidak seharusnya masuk, kan sudah tau tutup!)"

Nah loh! Trio A hanya ingah-ingih prengas-prenges kayak monyet ketulup lalu keluar dari area kampus. Bukannya menyesal ataupun jera, ketiganya malah ngakak berjamaah. Tidak hanya sampai di situ, ketika hendak naik KCR pun, salah satu dari mereka berdiri terlalu dekat dengan pembatas 'selokan' rel kereta. Padahal ada garis kuning penanda maksimal 'parkir' kaki. Maka, terdengarlah 'halo-halo' dalam tiga bahasa (Kantonis-Inggris-Mandarin) dari pengeras suara yang memeringatkan penumpang KCR agar berdiri di belakang garis kuning. Nah loh, kena semprit deh.

Fiuhhh, bener-bener partner in crime.

Sinna Hermanto. 

***
Artikel terkait.