Zzzzpppp.
Aku seperti dihisap kumparan angin.
Tulang-tulangku melunak. Tubuhku melayang. Di sini hangat. Aroma melati
semerbak. Berganti bunga kantil. Samar-samar terdengar tawa tergelak.
Itu tawa bapak.
Bola mataku mencari sumber suara itu. Tubuhku
tak bisa kukendalikan, ia melayang sesukanya. Aku berteriak. Namun,
aku tercekat. Mulutku ternganga tanpa suara. Terus kupanggil suara
bapak. Hening terasa.
Kali ini kumparan waktu makin cepat. Aku tak
mampu merasakan apa-apa hingga seberkas cahaya menyedotku semakin kuat.
Aku terlempar di rerumputan, terjatuh di bawah gubug. Aku
mengaduh.
"Sukma, kamu ndak apa-apa tho, Nduk?"
tangan kekar itu memapah gadis kecil berkepang dua, bajunya merah muda meski
agak pudar warnanya. Gadis itu bangun. Lelaki itu mengangkat dan
mendudukkannya di bibir gubuk. "Sudah Bapak bilang, habis hujan
begini jalanan licin. Mbokya hati-hati. Lihat, bajumu kena lumpur."
Mataku jelas-jelas melihat anak-bapak itu
sama-sama terkena lumpur. Aku ingin mendekat ke arah mereka. Namun segera
kuurungkan tatkala kakiku seperti terpatri di bumi. Aku seperti
arca yang tiada bisa berpindah raga, mampuku hanya menghela udara.
"Bapak, lihat tangan Sukma," suaranya
parau, hendak menangis. Wajah dan bibirnya pucat, sebagian rambutnya basah.
Matanya meminta belas kasihan.
Kulihat seekor lintah menempel di jempol kiri
gadis kecil itu. Bentuknya menggembung, gendut, kemerahan. Darah.
"Sukma jangan takut ya, Nduk. Sini Bapak
obati."
Aku terus mengamati mereka. Nampak lelaki itu
merogoh saku celana hitamnya, mengambil sebungkus rokok. Ia
mengambil sebatang dan memenggal sekitar satu senti. Selanjutnya, ia
meremas potongan rokok itu hingga tembakau kering berjatuhan ke dalam
cawan. Air kendi dituangkannya kemudian.
"Ini air sakti,"senyumnya pun
mengembang. "Perhatikan, Sukma."
Iya,
Bapak, aku juga memperhatikannya. Tiba-tiba sesak memenuhi rongga dada, naik hingga ke tenggorokan. Mataku panas,
pedih menahan sesuatu di sana agar tak menuruni pipi-pipiku.
Lelaki itu mengaduk-ngaduk sebentar air
tembakau itu dengan telunjuk kanannya. Kemudian, disiramkannya air itu tepat
di jempol Sukma yang dihisap lintah. Tak menunggu lama, lintah
gendut itu jatuh di rerumputan berlumpur.
Lintah gendut tadi pecah. Derah bersimbah,
melahirkan bayi-bayi lintah, merah. Satu, dua, empat, delapan, enam
belas, beratus-ratus, mungkin. Mereka lebih gesit, merayap sandal
jepit bapak lalu naik ke betis dengan cepat seperti ulat. Permukaan
tubuh bapak dipenuhi lintah. Aku sempat mendengar tangis dan jeritan
Sukma. Telingaku masih merekam teriakan bapak. Dan mataku menemukan
mbok Minah berdiri di ujung pematang sawah dengan tatapan dingin.
Tangannya menggendong lintah sebesar labu di dadanya, mengelus-ngelus
tubuhnya yang licin dan gendut berwana hitam kemerahan.
"Bapakkk, Bapakkk," teriakanku beradu
dengan suara-suara dua sosok di gubuk itu. Tanganku menggapai-gapai.
Lagi, kumparan waktu menyedotku. Semua di depan
mataku mengabur.
Semilir
angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir
angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir
angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]
*
Zzzpppp.
Aku merasakan udara hangat. Lorong ini terang.
Tak ada aroma. Kelopak mawar merah bertaburan. Satu dua menempel di
bibirku. Aku menjilatnya. Rasanya seperti gula-gula kapas. Manis.
Gelegak tawa bersahutan. Suara muda mudi. Aku
terlempar di jajaran pohon cemara. Aku mengatur napas, mencari-cari
di mana aku berada. Seorang perempuan muda seusiaku mendekat. Aku
kerjap-kerjapkan mata. Aku didatangi diriku sendiri. Kebaya kutu baru
warna putih polos begitu pas di badannya. Tubuhnya padat. Ia
tersenyum. Bibirnya merekah, terlihat gigi-giginya serupa biji
mentimun, rapi. Aku membalas senyuman itu dan bersiap-siap untuk
bertanya. Agak tergesa, tubuhnya menabrak tubuhku. Dan hey, ia
menembusku.
Tiba-tiba langkah terhenti tepat tiga langkah
di depanku. Ia membelakangiku. Sanggulnya berhias tusuk konde,
sepertinya terbuat dari kuningan. Ada ukiran bunga di sana.
Kuikuti arah pandangnya. Dua muda mudi berdiri
di ujung jajaran cemara. Itu bapak. Satunya lagi mbok Minah.
Mereka seusiaku.
"Weton
kita ndak cocok, Minah. Arah rumah kita juga, kalo ditarik garis lurus, arahnya ke barat laut. Kedua orang
tua kita bilang ndak elok. Nanti bisa menarik bala." Kalimat itu terdengar dengan jelas
dari
tempatku berdiri.
Bapak meninggalkan perempuan itu. Mendung jatuh
di kedua wajah muda-mudi itu. Seketika dedaun cemara berubah
kecoklatan, berjatuhan. Cemara meranggas.
Diujung sana terdengar isak. Di kedua matanya
tumpah airmata berwarna merah, darah, deras, makin mengucur serupa air
bah, mengejar bapak yang menjauh darinya. Aku ingin menjauh dari air itu. Namun, kakiku kembali terpaku.
Perempuan yang wajahnya mirip aku segera
menyongsong bapak, menggandeng tangannya erat. Air mata merah
darah menerjang, menggulung keduanya hingga aku ikut terseret ke dalamnya.
Semilir
angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir
angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir
angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]
*
Zzzppp.
Hitam. Gelap. Hangat. Aku memeluk tubuhku
sendiri, menghalau kelam yang mencekam.
Aku meraba-raba udara. Null. Mataku
mencari-cari cahaya. Ah, di sana, kecil sekali. Aku bergegas. Cahaya itu membesar
seperti obor,melayang sepertiku dan lalu menggerakkanku mengikutinya.
Nampak kepala-kepala tanpa raga. Rupa-rupa
seringainya. Kami bertabrakan, saling terpental. Lalu bertabrakan
lagi dengan tubuh-tubuh lainnya yang tanpa kepala. Aroma
anyir menguar bercampur bau busuk. Bulu
kuduku meremang.
Cahaya serupa obor itu bertambah satu,
bertambah satu lagi, bertambah lagi hingga gelap malam menjadi
benderang. Teriakan penduduk bersahutan. Tangan mereka mengepal, tangan
lainnya mengangkat obor tinggi-tinggi.
Suara kentongan dipukul dua ketuk, bersahutan.
Penanda sedang ada pencurian di desa itu. Mereka berhenti di depan pagar bambu bercat
putih. Rumah Kades Sadikin. Awasku memerhatikan mereka.
Lelaki tambun itu keluar. Ia bersarung
kotak-kotak dan kaos oblong hijau. Keramaian hilang keriuhannya. Hanya
suara jangkrik yang lantang menantang cahaya obor itu.
Benar, seseorang melaporkan bahwa Temon, kucing
kampung berambut hitam, telah hilang. Bulan lalu si Heli, anjing
Labrador hitam, juga tiba-iba menghilang. Beberapa waktu sebelumnya,
3 ekor ayam kampong hilang, semua berwarna hitam, berturut-turut
tiga purnama.
"Mungkin hewan peliharaan kalian itu
kabur. Nanti juga kembali lagi."
"Yang jadi masalah adalah kenapa semua
yang berwarna hitam, Pak Kades?"
"Iya, Pak Kades. Semua itu terjadi sejak
kebakaran di rumah Pak Danang."
"Baiklah, besok pagi kita kumpul di
halaman kantor desa."
Suara keributan itu pelan-pelan menghilang.
Satu persatu obor pun padam.
Semilir
angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir
angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir
angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]
*
Zzzzpppp.
Kembali aku diselimuti gelap. Lebih pekat.
Dingin menusuk. Aku terduduk, meringkuk. Sungguh, aku tak kuat
menahan hawa seperti ini. Aku biarkan udara menerbangkanku ke mana ia
mau. Aku lelah.
Sebuah tangan menarik lenganku. Tangan itu
terasa kekar. Kasar. Aku tak mampu melihat wajahnya dalam gulita. Dalam
hitungan detik, lorong ini benderang. Entah ini cahaya apa.
Wajah itu nampak asing. Ada aroma akar dan
rempah menyeruak, berganti dengan wewangian bunga, beraneka. Ia
menatap ke depan, terus menarikku tanpa satu
pun kata terucap.
"Jangan menoleh,"ucapnya ketika di
hatiku terbersit keinginan menengok lorong di belakangku. Bersamaan dengan itu,
wajahku telanjut menoleh. Tangan sosok itu tiba-tiba berubah transparan
dan hilang dalam kabut hitam.
Zzzzppp
*
“Semilir angin yang
bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar
noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar
noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]”
Tubuhku
seperti digoyang-goyangkan seseorang. Pelan, mataku mulai terbuka.
“Bangun,
Nak. Kamu sering mengigau. Bangun.”
Mataku
menemukan wajah sepertiku, tepat di depan hidungku.