[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2015-12-15

[Fiksisme] Ngegres

Ngegres




1. Hai, apa kabar?



Aku hanya ngegres aja kok. Kalo dibales ya syukur, enggak ya gapapa. Aslinya aku ini kesepian, butuh perhatian. Dan kamu … beugh, tetep aja ga jelas, absurd dan ga nyambung. Tapi itu yang bikin aku kangen kamu. Kamu perhatian banget samaku. Biasanya teman-temanku hanya bilang "GWS" aja. Jadinya aku butuh penyemangat sepertimu.



Kamu sih nggak ngaku. Ditanyain anu aja nggak jawab. Aku suka sih kamu berprinsip gitu. Bagus. Tapi gimana dengan balasanku? Kamu suka kan?



Ada hal-hal yang sebenarnya tidak masuk dalam logika. Banyak sekali yang tidak bisa kupercaya dari ucapanmu. Jujur. Aku ga tau apa-apa tentangmu. Yang kutahu kamu hanya pejalan yang suka motret. Bahkan, jika kamu cowok pun aku juga ga tau (kalo sedang kamu bohongi). Dan bila kamu bener lahir serta tumbuh berkembang di kota itu, kenapa nggak pernah sekalipun kamu menyinggung tempat asal usulmu? 



Lihat aku. Semua aku buka. Semua aku tunjukkan. Bahkan ID card pun aku kasih. Aku merasa asing denganmu. Kamu egois, pengen menang sendiri. Kamu tua, kan? Pasti udah usia senja, bau tanah pula. Hampir ketemu malaikat maut. Tapi kamu betah dengan kondisimu sekarang? Kenapa?



Aneh. Kamu manusia aneh.



2. Hai, apa kabar?



Aku rada sesak dengan segala tuduhanmu. Kamu mengerti makna sebuah privasi? Aku paham bila kamu masih banyak tanya. Makanya, mikir itu pakai otak. Jangan-jangan kamu lupa naruh di mana otakmu. Kalo aku sih emang udah jelas mikir pake otak, tepatnya makek otak udang (tapi udang kan ga punya otak?). Jadi?



Kamu paham nggak bila selama ini aku selalu menunjukkan jelekku di depanmu? Kamu paham nggak bahwa kamu orang yang aku percaya melihat kekuranganku meski selama ini aku mati-matian menyembunyikannya (menguranginya)? Kamu paham nggak meski kamu kalah start tapi aku tak pernah mempermasalahkannya termasuk bencana yang kamu alami sekarang?



Kamu menuduhku aku orang ga jelas. Aku bisa saja membalasnya bahwa file pertama yang kamu kirim itu palsu. Kamu bisa saja mencomotnya di internet. Seharusnya 'tuduhan' pertamaku padamu waktu itu bisa membuka fikiranmu bahwa kehati-hatianku ini demi keamanku sendiri. Kamu mengerti insting? Itulah senjata perempuan yang mungkin tak pernah kamu mengerti karena kamu lelaki.



Gampang saja mencari jati diriku di internet. Cukup masukkan berbagai percobaan kata sandi. Maka kamu akan menemukan artikel, gambar bahkan video tentangku tanpa harus kujawab satu-satu. Lain halnya denganmu. Tak satu pun kudapat informasi tentangmu. Yang jadi pertanyaan, yang sebenarnya sedang bermain-main itu siapa? Aku atau kamu?



Aku sudah sangat bersabar menghadapimu yang kekolokan. Aku cukup merasakan sesak sendirian dengan sebuah kamuflase joke-joke atau iconic senyum. Seandainya kamu di depanku, kamu gak hanya aku tampar, tapi aku tinju tepat di kakimu pakai golok biar kamu bisa naik mobil gratis (baca: mobil jenazah).



Bisa saja aku jadi penyemangat kesembuhanmu yang amat panjang. Tapi, wani piro? Bila apa yanga telah aku lakukan pakai hati dan 'susu tante' (suka-suka tanpa tekanan) saja masih kamu sangsikan? Itulah mengapa aku merasa tak perlu terbuka padamu. Kamu hanya jual omongan, kan? Kenapa? Aku orangnya nggak tegaan, gampang trenyuh, dan pastinya aku mudah percaya sama orang. Gampang percaya padamu juga.



Kamu bilang aku kepo dan cerewet parah. Emang kamu nggak kepo juga? Dan sebagai signal kekisruhan yang selalu terjadi, seharusnya kita sama-sama bercermin bahwa masing-masing kita punya privasi. Bukankah tidak semua pertanyaanku kamu jawab? Lalu, ketika hal itu aku terapkan pada pertanyaanmu, kenapa kamu dongkol? Ya ya, kadang memang superioritas lelaki terhadap perempuan itu minta dilanggengkan. Aku paham, sangat paham.



Memang, aku merasa sesak malam itu. Juga tentang '8 hal' yang kutahu saat aku masuk ke daerah teritorimu (atas seijinmu). Hanya itu yang mampu membuatku paham bahwa kita berada pada perahu yang sama. Meski kamu pura-pura pilon tapi aku bersyukur melihat topeng yang kamu gunakan. Sehingga keputusanku mengikuti instingku untuk tetap menjaga privasiku adalah hal benar.


Satu hal simpel saja tidak bisa kamu lakukan. Namaku Risma tetapi kamu memanggilku 'Risna'.

2015-12-12

[Curcol] Ada-Ada Saja: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga

Gaes, judul di atas bukan hanya sebuah peribahasa. Tetapi, ini menjadi hal nyata yang dialami rekan kita yang bekerja di daerah Kowloon sana.
Adalah Tata, seorang perempuan kebanyakan, yang ngungyan ke Hong Kong demi sebuah perbaikan ekonomi dan pendidikan bagi keluarganya di Endonesa. Rencananya untuk bekerja dua tahun saja di tanah Bauhinia ini ternyata harus dikalikan beberapa kontrak, dari adiknya mulai masuk esempe sampai lulus kuliyah hingga diterima bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah perusahaan.
Nyatanya, rekan kita ini masih betah ngluru dolar, yang di awal September ini, nilai tukar terhadap rupiah naiknya gila-gilaan hingga tembus di angka 1800. Jangankan dia, penulis pun ikut klepek-klepek melihat dolar yang melesat tinggi. Di satu sisi, naiknya nilai dolar berarti menaikkan pula gaji BMI tapi di sisi lain juga menggambarkan naiknya harga kebutuhan pokok di tanah air untuk beberapa prodak. Gek piye jal? Sudahlah, ndak usah  jero-jero nek mikir. Ndak edyan.
Suatu hari, entah kerasukan memedi saka ngendi, nyonyah majikannya bangun tidur dalam keadaan ekspresi wajah dan cuaca hati yang sama seperti cuaca Hong Kong awal bulan ini, sebentar panas, sebentar hujan lalu mendung datang. Benar-benar susah diprediksi.
Mungkin karena hal inilah, kadar cerewet yang disemburkan bibir nyonya majikan serupa nasi bungkusan berkaret 3, pedasnya nendang! Soalnya, bungkusan yang ndak pake karet itu ndak pedas sama sekali.
Nah, kondisi seperti ini membut ritme kerja Tata ikut-ikutan berubah. Yang semula tenang seperti alunan 'Kiss the Rain'nya Yiruma lalu nadanya mencelat menjadi 'Goyang Dumang'nya Cita Citaku. Tiba-tiba, di mata nyonya majikan, lantai yang sudah kinclong itu nampak ngeres dan berdebu, tembok dapur chi nap nap, kaca jendela buram, tembok berjamur, bahkan jamur segar / tungku yang dibelinya di pasar beberapa hari yang lalu ikut-ikutan berjamur. Ada ya, jamur yang jamuran?
Kerja capek-capek, cucian numpuk, setrikaan menggunung, tempat jemuran baju yang digantung di langit-langit balkon macet dan tidak bisa diturunkan, hingga masalah dengan keluarga di Endonesa ditambah komplin yang datang bertubi-tubi membuatnya tertekan. Jadwal berangkat kerja nyonya majikannya yang seharusnya sejak pagi, harus molor hingga melewati Dzuhur hanya untuk menceramahi rekan kita ini.
Makanya, sebagai pelampiasian, isi piu bak shui, tik lo, sai tau shui, sai kit ching dan tetek bengek cairan pembersih, ia tumpahkan ke dalam toilet dan menge-flushnya serupa saat ia selesai buang hajat. Giliran hendak mencuci baju kloter terakhir, ternyata sabunnya habis. Nah loh, kalo sudah begini, trus piye jal? Ini jangan ditiru ya, gaes. Sai sai ye, sayang banget kan? (cieee, belum apa-apa sudah sayang banget, apalagi kalo sudah kenal dekat_dan lalu gagal paham karena beda makna 'sayang').
Terpaksalah tokoh kita ini menjemur baju dulu sebelum turun ke supermarket untuk belanja makan malam sekaligus beli sabun cuci yang habis karena ditumpahkan ke toilet tadi. Kalo penulis gambarkan, kondisi rekan kita saat itu adalah sebagai berikut: hati sedang piknik ke Lebanon sedangkan otaknya jalan-jalan ke Zimbabwe. Kalo sudah begitu, apa yang bakal terjadi? Badannya yang tertinggal di rumah majikan tentu melakukan pekerjaan yang tidak sikron dengan perintah komputer alami yang tertanam dalam otaknya. Ketika kakinya naik tangga untuk menjemur baju, keseimbangannya oleng. Melesetlah dari instruksi si otak.
Sruuttt, ia pun jatuh. Tangga yang terbuat dari kayu itu terkena sedikit senggolan tubuh Tata. Kini giliran tangga yang oleng. Tak perlu menunggu lama, brukkkk... tangga itu jatuh mengenai kaki kirinya. Pengen tau bagaimana rasanya?
Sakitnya tuh di sini (nunjuk kaki dan hati).
***

2015-12-10

[Fiksisme] FRIENDZONE: from nothing be nothing


Doc.pri: illusion

Hai, kamu. Apa kabar?
Lagi apa sekarang?
Pasti lagi bahagia, ya.

Ini aku. Masih inget?
Aku rindu …
Aku rindu kamu melebihi rinduku yang lalu.

Kamu tahu alasannya?
Karena kamu yang buat aku tersenyum ^^
Hehehe…

Eh… ternyata kita cuman temenan, ya?
Iya, FRIENDZONE!
Aku kok ngerasa kehilangan gini.
Meskipun ga pernah memiliki kamu, sih.
Sakit …

Tapi, tenang!
Aku akan baik-baik aja.
Aku hanya ga mau jadi pemberhentian sementara.
Aku udah berdamai, kok.
Toh, awalnya kita ga saling kenal, kan?
Bila akhirnya berpisah ... itu hanya masalah waktu.

Dan hari ini kamu datang lagi... dengan senyum yang hangat.
Aku meleleh…
Ini seperti
DÉJÀ VU

Rasa di hatiku kok aneh, ya.
Rada-rada panas gimanaaa, gitu.
Lucuk, tauk!

Tapi … engga deh!!!
Aku ga mau kek kemarin.
Aku ga mau FRIENDZONE-FRIENDZONE-an lagi.
Ga usah ngegres, deh.

Apa???
Kamu minta aku jadi …
P-A-C-A-R?
Iyes!
Pacar yang nanti diputusin abis kamu jadian ama gebetan?
Ini yang kamu bilang komitmen?
Iya, sih, komitmen yang jelas-jelas bikin...
Sedih!

Makasih.

Daripada HTS-an, katamu?
Kamu tau?
Aku memang butuh kepastian.
Tapi kenapa kepastian yang kamu kasih adalah putus di tengah jalan?
Itu sama aja kek membangun impian dan lalu mengancurkan.
Nyesek, tauk!

Meski kamu bilang: setelah kamu nyesek, aku bakal nyesek kemudian.
Kamu manusia aneh.
Sekali lagi:
ENGGA!!!
Aku ga mau kek gitu.

Ya… berat sih ngejauhin kamu
Aku dan kamu emang beda!
Maaf, ya, udah gangguin kamu.
Besok-besok ga lagi-lagi, kok.
Makasih atas waktu kamu buat aku.
Jaga diri.
Jangan ada baper, ya, antara aku dan kamu.


Dha … ^^


2015-11-28

[Fiksisme] Fikber 2: kumparan Waktu


Zzzzpppp.

Aku seperti dihisap kumparan angin. Tulang-tulangku melunak. Tubuhku melayang. Di sini hangat. Aroma melati semerbak. Berganti bunga kantil. Samar-samar terdengar tawa tergelak. Itu tawa bapak.

Bola mataku mencari sumber suara itu. Tubuhku tak bisa kukendalikan, ia melayang sesukanya. Aku berteriak. Namun, aku tercekat. Mulutku ternganga tanpa suara. Terus kupanggil suara bapak. Hening terasa.

Kali ini kumparan waktu makin cepat. Aku tak mampu merasakan apa-apa hingga seberkas cahaya menyedotku semakin kuat. Aku terlempar di rerumputan, terjatuh di bawah gubug. Aku mengaduh.

"Sukma, kamu ndak apa-apa tho, Nduk?" tangan kekar itu memapah gadis kecil berkepang dua, bajunya merah muda meski agak pudar warnanya. Gadis itu bangun. Lelaki itu mengangkat dan mendudukkannya di bibir gubuk. "Sudah Bapak bilang, habis hujan begini jalanan licin. Mbokya hati-hati. Lihat, bajumu kena lumpur."

Mataku jelas-jelas melihat anak-bapak itu sama-sama terkena lumpur. Aku ingin mendekat ke arah mereka. Namun segera kuurungkan tatkala kakiku seperti terpatri di bumi. Aku seperti arca yang tiada bisa berpindah raga, mampuku hanya menghela udara.

"Bapak, lihat tangan Sukma," suaranya parau, hendak menangis. Wajah dan bibirnya pucat, sebagian rambutnya basah. Matanya meminta belas kasihan.

Kulihat seekor lintah menempel di jempol kiri gadis kecil itu. Bentuknya menggembung, gendut, kemerahan. Darah.

"Sukma jangan takut ya, Nduk. Sini Bapak obati."

Aku terus mengamati mereka. Nampak lelaki itu merogoh saku celana hitamnya, mengambil sebungkus rokok. Ia mengambil sebatang dan memenggal sekitar satu senti. Selanjutnya, ia meremas potongan rokok itu hingga tembakau kering berjatuhan ke dalam cawan. Air kendi dituangkannya kemudian.

"Ini air sakti,"senyumnya pun mengembang. "Perhatikan, Sukma."
Iya, Bapak, aku juga memperhatikannya. Tiba-tiba sesak memenuhi rongga dada, naik hingga ke tenggorokan. Mataku panas, pedih menahan sesuatu di sana agar tak menuruni pipi-pipiku.

Lelaki itu mengaduk-ngaduk sebentar air tembakau itu dengan telunjuk kanannya. Kemudian, disiramkannya air itu tepat di jempol Sukma yang dihisap lintah. Tak menunggu lama, lintah gendut itu jatuh di rerumputan berlumpur.

Lintah gendut tadi pecah. Derah bersimbah, melahirkan bayi-bayi lintah, merah. Satu, dua, empat, delapan, enam belas, beratus-ratus, mungkin. Mereka lebih gesit, merayap sandal jepit bapak lalu naik ke betis dengan cepat seperti ulat. Permukaan tubuh bapak dipenuhi lintah. Aku sempat mendengar tangis dan jeritan Sukma. Telingaku masih merekam teriakan bapak. Dan mataku menemukan mbok Minah berdiri di ujung pematang sawah dengan tatapan dingin. Tangannya menggendong lintah sebesar labu di dadanya, mengelus-ngelus tubuhnya yang licin dan gendut berwana hitam kemerahan.

"Bapakkk, Bapakkk," teriakanku beradu dengan suara-suara dua sosok di gubuk itu. Tanganku menggapai-gapai.

Lagi, kumparan waktu menyedotku. Semua di depan mataku mengabur.

Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]

*
Zzzpppp.

Aku merasakan udara hangat. Lorong ini terang. Tak ada aroma. Kelopak mawar merah bertaburan. Satu dua menempel di bibirku. Aku menjilatnya. Rasanya seperti gula-gula kapas. Manis.

Gelegak tawa bersahutan. Suara muda mudi. Aku terlempar di jajaran pohon cemara. Aku mengatur napas, mencari-cari di mana aku berada. Seorang perempuan muda seusiaku mendekat. Aku kerjap-kerjapkan mata. Aku didatangi diriku sendiri. Kebaya kutu baru warna putih polos begitu pas di badannya. Tubuhnya padat. Ia tersenyum. Bibirnya merekah, terlihat gigi-giginya serupa biji mentimun, rapi. Aku membalas senyuman itu dan bersiap-siap untuk bertanya. Agak tergesa, tubuhnya menabrak tubuhku. Dan hey, ia menembusku.

Tiba-tiba langkah terhenti tepat tiga langkah di depanku. Ia membelakangiku. Sanggulnya berhias tusuk konde, sepertinya terbuat dari kuningan. Ada ukiran bunga di sana.

Kuikuti arah pandangnya. Dua muda mudi berdiri di ujung jajaran cemara. Itu bapak. Satunya lagi mbok Minah. Mereka seusiaku.

"Weton kita ndak cocok, Minah. Arah rumah kita juga, kalo ditarik garis lurus, arahnya ke barat laut. Kedua orang tua kita bilang ndak elok. Nanti bisa menarik bala." Kalimat itu terdengar dengan jelas
dari tempatku berdiri.

Bapak meninggalkan perempuan itu. Mendung jatuh di kedua wajah muda-mudi itu. Seketika dedaun cemara berubah kecoklatan, berjatuhan. Cemara meranggas.

Diujung sana terdengar isak. Di kedua matanya tumpah airmata berwarna merah, darah, deras, makin mengucur serupa air bah, mengejar bapak yang menjauh darinya. Aku ingin menjauh dari air itu. Namun, kakiku kembali terpaku.

Perempuan yang wajahnya mirip aku segera menyongsong bapak, menggandeng tangannya erat. Air mata merah darah menerjang, menggulung keduanya hingga aku ikut terseret ke dalamnya.

Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]


*

Zzzppp.

Hitam. Gelap. Hangat. Aku memeluk tubuhku sendiri, menghalau kelam yang mencekam.

Aku meraba-raba udara. Null. Mataku mencari-cari cahaya. Ah, di sana, kecil sekali. Aku bergegas. Cahaya itu membesar seperti obor,melayang sepertiku dan lalu menggerakkanku mengikutinya.

Nampak kepala-kepala tanpa raga. Rupa-rupa seringainya. Kami bertabrakan, saling terpental. Lalu bertabrakan lagi dengan tubuh-tubuh lainnya yang tanpa kepala. Aroma anyir menguar bercampur bau busuk. Bulu kuduku meremang.

Cahaya serupa obor itu bertambah satu, bertambah satu lagi, bertambah lagi hingga gelap malam menjadi benderang. Teriakan penduduk bersahutan. Tangan mereka mengepal, tangan lainnya mengangkat obor tinggi-tinggi.

Suara kentongan dipukul dua ketuk, bersahutan. Penanda sedang ada pencurian di desa itu. Mereka berhenti di depan pagar bambu bercat putih. Rumah Kades Sadikin. Awasku memerhatikan mereka.

Lelaki tambun itu keluar. Ia bersarung kotak-kotak dan kaos oblong hijau. Keramaian hilang keriuhannya. Hanya suara jangkrik yang lantang menantang cahaya obor itu.

Benar, seseorang melaporkan bahwa Temon, kucing kampung berambut hitam, telah hilang. Bulan lalu si Heli, anjing Labrador hitam, juga tiba-iba menghilang. Beberapa waktu sebelumnya, 3 ekor ayam kampong hilang, semua berwarna hitam, berturut-turut tiga purnama.

"Mungkin hewan peliharaan kalian itu kabur. Nanti juga kembali lagi."

"Yang jadi masalah adalah kenapa semua yang berwarna hitam, Pak Kades?"

"Iya, Pak Kades. Semua itu terjadi sejak kebakaran di rumah Pak Danang."

"Baiklah, besok pagi kita kumpul di halaman kantor desa."

Suara keributan itu pelan-pelan menghilang. Satu persatu obor pun padam.

Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]


*

Zzzzpppp.

Kembali aku diselimuti gelap. Lebih pekat. Dingin menusuk. Aku terduduk, meringkuk. Sungguh, aku tak kuat menahan hawa seperti ini. Aku biarkan udara menerbangkanku ke mana ia mau. Aku lelah.

Sebuah tangan menarik lenganku. Tangan itu terasa kekar. Kasar. Aku tak mampu melihat wajahnya dalam gulita. Dalam hitungan detik, lorong ini benderang. Entah ini cahaya apa.

Wajah itu nampak asing. Ada aroma akar dan rempah menyeruak, berganti dengan wewangian bunga, beraneka. Ia menatap ke depan, terus menarikku tanpa satu pun kata terucap.

"Jangan menoleh,"ucapnya ketika di hatiku terbersit keinginan menengok lorong di belakangku. Bersamaan dengan itu, wajahku telanjut menoleh. Tangan sosok itu tiba-tiba berubah transparan dan hilang dalam kabut hitam.

Zzzzppp

*

“Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]”

Tubuhku seperti digoyang-goyangkan seseorang. Pelan, mataku mulai terbuka.

“Bangun, Nak. Kamu sering mengigau. Bangun.”

Mataku menemukan wajah sepertiku, tepat di depan hidungku.


***
[*]