[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2014-03-05

Karakter Pemotret Dikenali dari Karyanya (?)

Karakter Pemotret Dikenali dari Karyanya

Minggu 2-3-2014 adalah pertemuan keempat workshop fotografi yang diadakan oleh Lensational Hong Kong dan mengambil tempat di private studio, The Photocrafters, Sheung Wan. Selain peserta, beberapa tim dari Lensational dan fotografer sekaligus pengajar di salah satu universtas di Hong Kong, Simon Wan Chi-Chung, juga hadir wartawan dari Apple Daily (semoga tidak salah dengar). Sedangkan dari Indonesia sendiri hanya dihadiri oleh 5 peserta yang semuanya adalah para perempuan buruh migran (BMI).


Mr. Simon Wan Chi-Chung kiri. Sesi wawancara.
Pada pertemuan ketiga yang lalu(17/3), Simon Wan ‘mengoreksi’ karya para peserta yang memotret khusus memakai telefon genggam dengan memasukkan ‘feeling’ dalam karya. Koreksi di sini bukan mengenai teknik tetapi latar belakang atau cerita di balik foto tersebut. Canda dan apresiasinya terhadap karya-karya peserta membuat suasana menjadi lumer. Bahkan seperti tidak ada sekat antara guru-murid, warga lokal-migran, lelaki-perempuan, senior-junior meski hanya dihadiri oleh beberapa peserta asal Indonesia saja.

Hingga pada pertemuan keempat. Di mana peserta lebih universal, kali ini ‘PR’ dari pertemuan ketiga pun dinilai. Hanya empat peserta yang menyetor karya dan semuanya adalah BMI. Kurasi foto ini (sekali lagi) bukan untuk menghakimi foto bagus-jelek, tetapi lebih melihat karakter fotografernya dari kecenderungan karyanya. Dengan begitu, bibit-bibit fotografi yang ada pada peserta bisa dimunculkan. Setidaknya, Simon Wan telah menunjukkan bahwa fotografi tidak melulu teknik tetapi praktek.

Terhadap karya saya contohnya. Hal ini bermula dari keisengan saya ketika saya bebas tugas dari masak lantaran majikan makan di luar. Mulailah saya menggelar studio mini dadakan di ruang tamu. Saya keluarkan barang-barang dari lemari hias. Saya gelar kain hitam untuk latar belakang. Tidak hanya itu, saya juga mengeluarkan mainan yang saya koleksi. Sebenarnya, alasan utama saya adalah tidak adanya kesempatan keluar rumah untuk hunting foto pada hari kerja. Mau tidak mau dan demi mengumpulkan PR, jadilah saya memotret di dalam rumah. Tapi ingat, ini tidak untuk ditiru! Kontrak kerja jadi taruhannya. Bayangkan, jika tengah asyik memotret tiba-tiba majikan pulang dan melihat rumah berantakan, waduh… bisa diPHK dadakan. Ingat itu.

Foto saya memang hanya menampilkan beberapa objek saja. Itu pun masih trial dan error. Saya bermain-main di setting, white-balance (WB) dan angle untuk membuat perbandingan. Ketika sudah tidak ada sinar matahari, saya bermain-main dengan senter dan candelier untuk bermain pencahayaan.

Bila dalam suatu forum fotografer akan ‘menghajar’ habis-habisan foto-foto gagal, under atau over exposure, tidak begitu dengan Simon Wan. Melihat foto-foto saya, ia bilang saya cenderung ke still life. Ia melihat saya seperti sedang bertutur. Ia malah meminta saya untuk menuliskan jalan cerita dulu barulah mengambil fotonya. Hahaha, saya sendiri memang ingin ‘mendongeng’ dengan foto yang saya anggap sebagai foto ilustrasi. Sedangkan hasil permainan WB, ia menyarankan untuk mencoba dengan monochrome. Benar, semua foto saya berwarna. Saya sendiri cenderung lebih suka convert ke hitam-putih di software daripada langsung dari kamera. Maka, kloplah saran-saran Simon Wan dengan apa yang ada dalam fikiran saya.

Belum bisa foto langit dengan milky way? Ini solusinya hahaha. Memanfaatkan susu KADALuarsa.
Teman saya, Asti, dia lebih banyak menyerahkan koleksi wajah dan foto jalanan. Meski sebenarnya dia adalah pendaki ‘gila’ (maaf, ya, As). Lain lagi dengan Anik, anak gunung yang sudah melang melintang di Sempu, Semeru, Bromo, Rinjani dan puncak-puncak Hong Kong ini. Ia mengeluarkan koleksi panoramanya. Dan gara-gara mendaki gunung ini pulalah, kami bertiga lebih tertarik alias keracunan dengan The Photocrafters. Hal ini dikarenakan Simon Wan sendiri juga hiker sejati. Ia pernah mengelilingi 43 puncak-puncak Hong Kong dalam 19 hari non stop. Keren gila! Entah bercanda entah serius, ia juga minta diajak jika kami naik gunung lagi. Ia bilang ingin menikmati makanan gunung, bekal kami yang super heboh saat mendaki.

Sedangkan peserta satunya, Puji, ia menyerahkan foto-foto kegiatan BMI di lapangan Victoria. Bagi kami, mungkin hal ini adalah foto-foto biasa. Tapi tidak dengan pandangan orang Hong Kong yang diwakili Simon ini. Ia mengatakan bahwa orang di luar sana ingin tahu, seperti apa sih kehidupan migran di Hong Kong yang sebenarnya? Wajar, meski orang Hong Kong memang dekat dengan BMI, tinggal bersama malah, tetapi tidak semua dari mereka berbaur dengan BMI. Dan kalau pun berbaur, seberapa dalam sih pengetahuan tentang BMI. Apakah hanya paham BMI dengan berita penganiayaannya atau berita miringnya? Memang bukan rahasia lagi, BMI yang hanya kelas proletar yang didominasi perempuan ini selalunya dipandang sebelah mata. Hal ini mengingatkan saya dengan istilah sastra babu untuk ‘mengenali’ karya literasi para BMI.

Di akhir acara, para peserta boleh membawa pulang Holga. Bukan diberikan tetapi dipinjamkan. Diharapkan, para peserta memanfaatkan fasilitas khusus ini yakni kamera yang masih menggunakan film (lomograf). Sedikit tentang Holga, Holga adalah salah satu merk kamera low fidelity (low-fi) jenis medium format yang sedang ‘in’ di kalangan kaum muda dan pencinta pop-art di Indonesia. Holga dengan konstruksi kamera dan lensa non-state-of-the-art hadir membawa angin perubahan dalam penilaian fotografi yang identik dengan kesempurnaan baik itu secara teknis maupun nilai estetis, maka efek low-fi seperti vignetting, light leak, blur, dan distorsi menjadi karakteristik (estetis) yang dicari dan diminati oleh para pengguna Holga dan jenis kamera low-fidelity lainnya. Kerap kali ketidak-akuratan warna & eksposure mewarnai hasil proses pengambilan gambar, namun itulah juga yang membuat kita ketagihan untuk mencoba lagi dan lagi.


Penampakan Holga. Yang ungu itu dibawa Anik.
Mejeng bareng Holga.
Ingin bergabung dengan kami? Datang saja ke The Photocrafters atau tunggu di stasiun MTR Sheung Wan exit B pukul 14:30. Workshop dimulai pukul 15-17 WHK. Salam, jepret.


* Foto-foto adalah milik pribadi.

2014-03-04

Halal Pork, Please?

Halal Pork, Please?
1393957104815285007
ching can (halal)
Minggu kemarin (2/3), saya, Anik dan Asti pergi ke Wanchai untuk melihat tempat memesen kaos sablon. Kebetulan tempatnya berdekatan dengan masjid Ammar dan kebetulan lagi kami memang sengaja untuk makan siang di daerah ini. Meski ada warung cepat saji (Mc. D), kami sepakat tidak ke sana.

Kemudian saya mengusulkan untuk yam cha. Yam cha (yang berarti minum teh) ini merupakan budaya khas masyarakat Kanton yang tumbuh subur di Hong Kong. Pelaku yam cha ngobrol sambil minum teh dan aneka menikmati tim sum.

Lalu kami menuju kantin halal di lantai 5 masjid Ammar-Wanchai yang hanya berjarak 5 menit jalan kaki dari posisi kami tadi. Meski kami sudah lama di Hong Kong, tetapi ini adalah kali pertama kami pergi yam cha. Yam cha di kantin ini memang sangat diminati, baik pelancong muslim maupun masyarakat muslim di Hong Kong lantaran menyediakan menu halal. Hari itu kami menemukan wajah-wajah China, Timur Tengah, Indonesia dan Filipina yang mengelilingi meja bundar berisi dua cerek berisi teh dan air panas beserta menu yang dipesan. Mereka berbicara dan ngobrol dengan bahasa ibu masing-masing. Benar-benar ramai.

Dasar perut kami perut Indonesia yang tidak aci kalo tidak makan nasi, tetap saja diantara tim sum, kami pesan tiga mangkuk nasi dan sayur selera pedas. Ada kelegaan dan kenyamanan tersendiri hanya gara-gara melihat label halal itu.

“Kata temenku yang biasa yam cha sama bobo(nenek)nya, dim sum di luar lebih enak daripada di sini,” kata Anik. Benarkan? Kenapa bisa begitu? Apa karena yam cha sama bobo merknya merk ratu (ratuku alias gratis?). Entahlah.

Terlepas cerita Minggu itu, ada beberapa kisah menggelitik yang dialami beberapa teman saya. Sebut saja namanya Sri. Nah, Sri ini bekerja pada majikan asli Hong Kong dan mengasuh seorang anak usia SD. Hubungan antara Sri dan momongannya ini sudah sangat dekat. Sehingga, momongannya bebas bertanya apa saja. Termasuk kenapa Sri tidak makan babi.

Sri mencoba menjelaskan dengan bahasa yang dia bisa bahwa dalam agama Sri (Islam) dilarang makan babi. Si anak tak rela. Dia bilang, selama ini keluarganya mengkonsumsi bahan makanan organik termasuk daging babi organik.

“And see, we are so health because organic pork.” Gubrak!

13939569041874027396
Penjual babi pasar lama Taipo.
Lain lagi dengan Siti (panggil saja begitu). Ia bekerja pada majikan India yang juga muslim. Suatu hari momongan Siti merengek pada orang tuanya kenapa selama ini tidak ada menu daging babi dalam daftar makannya. Padahal, teman-temannya pada makan.

“Mama, aku ingin makan halal pork, please.” Anak usia SD itu memohon pada ibunya. Kontan, Siti yang mendengar dari dapur ikut tertawa.

Memang, menjadi BMI dan bekerja stay in dengan majikan non muslim harus pintar-pintar mencari celah. Selain halal, makanan juga harus toyyibah, demikian yang diucapkan seorang narasumber dalam meminar thibbun nabawi Oktober lalu.

Untuk menyiasati dan mencari aman, saya pribadi memilih memperbanyak makan sayur dan buah. Sedangkan ‘musuh’ di atas meja makan yang harus saya habisi adalah ikan dan telur. Sebisa mungkin saya mengurangi konsumsi daging. Bila ada label halal pada kemasan, baru deh disikat! Bukan sok-sokan sih. Setidaknya menjaga diri sendiri. Juga harus jeli melihat label kemasan pada makanan.

Saya akui, dulu saya makan apa saja asal bukan daging babi. Tetapi seiring banjirnya informasi yang dengan mudah didapatkan di era digital ini, termasuk informasi kode E yang ternyata mengandung unsur babi, saya lebih hari-hati. Untunglah majikan saya memberi kelonggaran menu yang saya makan. Dan mereka sendiri juga sadar bahwa mengonsumsi daging terlalu banyak juga khawatir dengan ancaman kolesterol, obesitas dan lainnya.

Meski demikian, beberapa kali bertandang ke rumah teman majikan atau saudara majikan, saya tetap saja ditanyai, kenapa tidak makan babi?

“Islam tidak makan babi.”

“Kenapa?”

“Aduh, gimana ya ngomong Kantonisnya?”

Akhirnya majikan saya membantu menjawab. Bahwa: babi itu tidak halal, kotor dan jorok. Saya hanya nyengir pada jawaban majikan saya.

Memang, halal ‘hanya’ sebuah label. Tetapi hal ini sangat membantu saya yang berada di daerah yang mayoritas non label... eh non muslim.

13939570461323382692