[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2019-10-15

A Good Goodbye Or Hell Hello, Paijo?



Saya Mah Bisa Apa?


Hai, kamu. Apa kabarmu?

Saat ini kita memang tidak sedang bersama. Namun, saya tetap akan menyampaikan banyak hal ke kamu. Banyak pertanyaan yang ketika mulai saya pilihkan diksi agar kamu nggak ngegas ternyata malah tercekat di tenggorokan. Saya hanya mampu menerka-nerka semua potongan kejadian selama ini dalam … diam. Lagipula, jika saya mengatakan yang sejujurnya, kamu bakal sakit hati ataupun kecewa. Kecewamu bukanlah yang saya mau.


Saya sempat berfikir tentang sandiwarakitamu di depan semua orang, pertanyaan seputar calon adik iparmu selama menjadi teman sejawat saya (dulu), ketika kamu pisah rumah sama bapak mamak, kamu yang tidak kerasan di sini, kamu yang akhirnya pergi dan terlalu cepat kembali lalu pergi lagi, tentang rencanamu yang sangat rapi kamu tutupi, semuanya, semuanya. Sebenarnya ada apa?


Saya merenung, berbicara pada diri sendiri, pada cermin, pada tembok, pun pada tiang listrik! Akhirnya saya sadar, ya, saya sadar, saya hanyalah sepotong puzzle dalam bingkai hidupmu, tak lebih. Bahkan untuk berbagi resahmu pun tidak.


Nek gak ngerti, meneng o. Kalo nggak ngerti, diam!”


Saya kaget. You're so rude. Kamu sengajakah melempar kalimat itu? Ok, saya akan diam, bila perlu … selamanya. Ya, saya memang tidak mengerti, dan saya tidak perlu mengerti. Siapalah saya. Saya hanya pemberhentian sementara.

“Coba hitung, aku merangkap jadi sopir dan tukang fotomu?”


Speechless. Baiklah, baik. Jika semua yang telah kamu lakukan adalah transaksi, berapa yang harus saya bayar? How much should I pay then.... Itulah yang selalu saya takutkan ketika meminta pertolongan jika berakhir dengan pengungkitan. Mungkin saya terlalu naïf dan menganggap di dunia ini memiliki standar yang sepadan dengan saya. Yang saya tahu, saya melakukan sesuatu karena saya mau. Saya melakukannya secara sukarela.


Kamu ingat nggak ketika saya sempat mengeluh bahwa yang saya lakukan tidak pernah berbalas apa-apa, tidak ada yang menolong saya ketika saya bermasalah, termasuk kamu. Saat itu (mungkin) saya lelah, saya (hampir) menyerah. Saya jatuh dan dengan susah payah saya bangkit lagi. Maklum, saya masih manusia. Semakin ke sini, saya semakin paham bahwa pasrah setelah melakukan dengan sebaik-baiknya adalah sebuah keharusan, dan saya masih terus belajar untuk itu.


“Aku disuruh nyiram bunga, sudah aku siram. Kalo bunganya mati kan itu takdir.”


Ya, mungkin bagimu ini sebentuk kepasrahan. Hanya saja, sudahkah kamu melakukannya dari hati. Bila pada bunga ada hama, sudahkah kamu membasminya? Bila pada bunga kurang nutrisi, sudahkah kamu teliti? Seperti itulah dalam pikiranku saat itu. Karena bercocok tanam tidak semena-mena begitu.


Kamu tahu? Saya (mungkin) adalah manusia bodoh. Naluri saya mengatakan akan terjadi kisah berulang, akan ada rasa sakit di depan. Saya meyakinkan diri sendiri, saya menanyakan pada kamu untuk memastikan bahwa semua akan baik-baik saja. Nyatanya, begitu kita melakoninya, semua berakhir dengan tidak baik-baik saja.


Apakah saya murahan ketika saya memberikan nomor kontak secara blak-blakan? Apakah saya murahan ketika dengan gampang diajak jalan-jalan? Apakah saya murahan ketika saya mengatakan iya pada hal-hal yang abu-abu? Salah satu orang yang mengatakan bahwa memberi nomor kontak pada orang asing secara gampang itu perempuan murahan adalah mamakmu (meski saat itu bukan saya yang dimaksud, tapi dia yang membuat dejavu). Sempat sedih, sih, karena orang yang berkata seperti itu adalah orang yang saya anggap  mampu melihat masalah dari dua sisi dan berada pada situasi netral. Saya berfikir (lagi) bahwa kebahagiaan saya bukan dari omongan orang tapi bahagia berasal dari diri saya dan usaha saya sendiri. Kini saya tidak lagi peduli. Mereka kan tidak punya andil apa-apa dalam hidup saya. Toh yang saya lakukan masih dalam tahap wajar, tidak ada hukum ataupun norma yang saya langgar. Jika asumsimu iya, biarkan saja saya murahan!!! 

Saya sempat meminta agar kamu tetap di sini, bukan demi saya tapi demi anak-anak adek-adek. Bukan, bukan saya memanfaatkan kamu apalagi mereka. Hal itu saya lakukan karena ingat saat kamu bilang bahwa kamu menyukai anak-anak. Seberapa pun ketidak kerasananmu di sini, ketika kamu berinteraksi dengan mereka, semua lelahmu hilang. Sama seperti yang saya rasa, mereka mampu menyuntikkan energi dan hormon kebahagiaan dari pelukan, ketulusan dan kepolosan yang mereka berikan. Apakah permintaan saya agar kamu tinggal lebih lama itu berlebihan? Atau malah terlihat seperti mengemis? Tidak, saya sedang tidak mengemis. Saya berpura-pura meminta kamu tinggal lebih lama. Saya hanya memastikan bahwa kamu sedang tidak bersandiwara sebagaimana yang dilakukan calon adik iparmu.

Begitu juga dengan futsal. Bagaimana dengan latihan tiap malam Sabtu yang kamu lakukan usai mengajar? Bagaimana kabar clubmu di kecamatan sana ketika kamu tinggalkan? Bukankah akan ada pertandingan? Bagaimana dengan rencanamu bekerja di pagi hari lalu mencari partime di sore hari? Bagaimana pula dengan berbagai lamaran pekerjaan yang kamu lemparkan?

Lalu, dari semua rangkaian ini, manakah yang sebenar-benarnya kenyataan? Ketidakjujuran apalagi yang kamu sembunyikan? Jika menurutmu kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda dan berharap kebohongan adalah kejujuran yang tertunda pula tetapi tidak berlaku dengan saya. Kebohongan tetaplah kebohongan. Dan untuk mengembalikan kepercayaan, hmmm ... tunggu saja sampai lebaran kuda. 

Kamu ingat saat kita ngobrol bersama Dedey dan Aay? Saya membenarkan bahwa apa yang bapak lakukan dan perlakuannya pada calon adik iparmu itu agak berlebihan. Terlebih latar pendidikan calon adik iparmu yang seperti itu. ‘Dia’ itu belum menjadi siapa-siapa tapi bapak menganggap dan memperlakukannya sudah seperti siapa-siapa. Pada semua orang, bapak pun mengumumkan dia itu sudah seperti siapa-siapanya. Saya yang saat itu hanya menyimak, sempat berfikir, bukankah ada kamu? Kenapa malah mengungul-unggulkan dia? Kalian kan sama-sama keluar dari jalur akademis yang sama. Saya mencium aroma ketidak adilan di sini. Padahal kamu kan anaknya? Harusnya kamu yang diagung-agungkan, kamu yang didahulukan, kamu yang diprioritaskan. Tapi nyatanya kamu malah kalah sama dia yang datang belakangan dan bermodal ‘cinta’ untuk adikmu. Enak ya jadi dia. Jodoh disodor-sodorkan, kerjaan dicarikan, tempat tinggal disediakan. Kamu yang pada semua orang dipamerkan sebagai anaknya apa kabar? Apakah harus digaris bawahi bahwa kamu hanya 'anak'nya. Sempat kamu meminta saya agar tidak menyamarakatakan dengannya. Tenang saja, saya tidak akan membanding-bandingkan kamu dengan dia. Toh kalian adalah dua orang berbeda. Sepertinya memang tidak perlu ada matahari kembar di sini. Bila kamu tahu diri, kamu memang seharusnya pergi dan tidak untuk menetap kembali. Jangan sampai lulusan nganu bahkan mengenyam pendidikan tinggi dari sebuah institute di timur Jawa hanya membusuk bersama aroma bensin, minyak rem dan oli.

Saya mengerti kekhawatiranmu sebagai kakak. Saya paham ketakutanmu apabila dia hanya main-main (pada adikmu). Kenapa kamu berfikir kalau dia hanya main-main? Berarti selama ini kamu juga suka main-main? Coba kamu melihat dari sisi adikmu, bagaimana adikmu mabuk oleh cintanya? Sebagaimana pasangan dimabuk cinta, kamu pasti paham betul bagaimana adikmu itu. Atau... kamu tidak mengerti bagaimana rasanya? What a pity. Coba kamu lihat bukti berbentuk bulat yang menggantung di dekat foto wisudamu, di kamar adikmu. Tataplah gantungan kunci bergambar pasangan muda-mudi selayaknya pengantin baru itu? Apakah kamu tidak kasihan sama adikmu? Maaf, bukan saya lancang, tapi mata saya tidak sengaja menemukannya saat itu. 

Kamu mengerti kan sosok yang saya maksud?


***

Eniwe, buswe, subwe... terimakasih sudah meluangkan waktu bersama. Percayalah, sekarang saya baik-baik saja, sangat sangat sangat baik-baik saja.


Tentang Seseorang

Kulari ke hutan, kemudian menyanyiku
Kulari ke pantai, kemudian teriakku
Sepi, sepi, dan sendiri
Aku benci

Aku ingin bingar
Aku ingin di pasar
Bosan aku dengan penat
Dan enyah saja engkau pekat
Seperti berjelaga ketika kusendiri

Pecahkan saja gelasnya
Biar mengaduh semakin gaduh
Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya, biar terdera
Atau aku harus lari ke hutan lalu belok ke pantai?

Ada Apa Dengan Cinta, 2002

GOOD-bye trip kemarin telah menuntaskan diksi-diksi puisi film AADC 2002 di atas. Iya, kamu sudah membawa saya ke hutan lalu belok ke pantai. Saya menikmati momen itu meski sempat merasa aneh karena bukan kamu banget ketika perjalanan itu harus aku yang mengatur itinerarynya. Pakai logika saja, kamu yang ngajakin, kamu yang janjiin, bukannya kamu yang menentukan itinnya. Toh saya akan selalu and always sami'na wa atho'na. Saya akan selalu suka itin yang kamu pilih. Terlebih kita selalu menyempatkan mampir ke rumahNya. Jelong-jelong sama kamu tuh nggak hanya ngejar senengnya tapi juga ibadahnya. Apalagi masalah makannya. Jangan tanya. Bisa-bisa kita menggendut bersama. Dan saya manut-manut saja ketika porsi kita setara.

Masih ingat momen pertama makan bersama? Saya bilang bahwa kita harus habisin makanan, nggak boleh buang-buang karena belinya pakek duit dan untuk mendapatkannya perlu perjuangan, keringat dan airmata.

“Pakek engkol juga,” tambahmu.

Momen kedua adalah porsi kuli di rumah Dedey. Dan selanjutnya, dan selanjutnya. Porsi gila. Saya tipe orang yang thokngok, blakkotang, terbuka dan apa adanya. Jadi mohon dimengerti, beginilah hasil didikan luar negeri.

Untuk ke gunung, saya tunggu undangannya suatu hari nanti, di tempat kelahiranmu.

Sekali lagi, terimakasih atas serangkaian kebersamaannya. Terimakasih atas segala teka-tekinya. Terimakasih atas  tertutup rapatnya segala rahasia. Meski sebenarnya, saya masih 
 memendam tanya, Paijo, sebenarnya maksud ini semua ini apa? 

Baeglah. Apabila niatmu sudah bulat, pergilah dan jangan menengok ke belakang. Apapun tidak bisa menahanmu di sini. Asudahlah. Asal kau bahagia. Dan jahatnya, kamu tidak pernah berkabar. Saya benci. Suatu saat, jika kamu datang untuk singgah, tolong katakan, agar saya hanya menyuguhkan kopi atau roti, bukan hati.

Dalam serangkaian perjalanan kehidupan, ada yang datang, ada yang pergi. Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Karenanya, ada GOOD dalam goodbye dan ada HELL dalam hello. Which one are you?

***

Crooks

Yeongwonhan geon jeoldae eobseo
(tak ada yang abadi)
Gyeolguge neon byeonhaetji
(akhirnya kau juga berubah)
Eochapi nan honjayeotji
(aku sudah terbiasa sendiri)
Neo hana mitgo manyang haengbokhaesseotdeon naega
(sempat aku percaya padamu dan aku bahagia)
Useupge namgyeojyeosseo
(namun ternyata aku ditinggal sendirian)

G-Dragon, 2013

***