[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2016-04-24

When I Was Young …

Doc.pri : my toy, she was fliying.


#WhenIwasYoung #PermainanTerapalah

Rumah Bambu
________________

Mungkin, saya adalah salah satu anak yang beruntung bisa terbujuk rayuan orangtua agar sekolah pagi dan sore. Sekolah paginya di Madrasah Ibtidaiyah dan sekolah sorenya di Taman Pendidikan Alquran dua tahun dilanjut empat tahun di Sekolah Diniyah.

Jaman itu, sepulang sekolah pagi, jam 14.30-17.00 adalah jadwal sekolah sore. Gurunya hanya empat orang, semuanya bukan guru 'beneran' tetapi sukarelawan dan tempat belajar mengajarnya memakai ruangan sekolah pagi di MI. Sekolah ini khusus mengajarkan ilmu agama seperti aqidah akhlaq, fiqih, quran hadist, tafsir, hafalan surat pendek, tarikh, dll. Pelajarannya memang baru sebatas ilmu agama dasar yang bisa menjadi bekal bila ingin sekolah di Pondok Pesantren.

Sekolah pagi dan sore tetap libur di hari Minggu, bukan Jumat seperti beberapa Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah. Kalau di Pondok Pesantren mah jelas liburnya hari Jumat. Bila libur, sesekali saya diganjar untuk 'kerja rodi' di sawah atau kebun milik tetangga, bantu-bantu orangtua. Saya tidak protes. Saya menganggap hal itu adalah bagian kewajiban saya. Saya pun cukup bersenang-senang dengan semuanya. Mungkin kalau anak sekarang, 'eksploiasi anak' ini sudah dilaporkan ke Kak Seto. Hahaha.

Ohya, sekolah sore yang juga menyokong pelajaran agama di sekolah pagi ini ada waktu istirahat setengah jam untuk sholat ashar di masjid sebelah MI. Sisa waktu lainnya dipakai untuk bermain. Yaaa, namanya juga usia SD, saya dan teman-teman sedang masuk fase waktu untuk ber'petualang' dengan aneka mainan. Tidak banyak permainan lapangan yang saya ikuti.

Saya termasuk anak perempuan yang kalem (semoga ada yang percaya). Saya hanya sesekali ikut main dengan sepupu cowok dengan permainan gundu, lempar karet gelang (ini biasanya dianggap 'judi kecil-kecilan'), ampar (melempari batu dengan batu menggunakan kaki), dan main layangan (ini karena ayah saya suka bikin layangan sendiri dari plastik belanja warna hitam dengan buntut puuuanjang dan dikasih 'anting'_khusus buat saya karena saya cewek). Main gobag sodor, kasti, petak umpet, lompat tali, bongkar pasang, masak-masakan, rumah-rumahan … gitu-gitu …  lebih sering saya ikuti. Itu pun khusus main sama teman cewek. Soalnya kalo kepegang sama teman cowok wudhunya batal. Syar'i banget, 'kan? Eh.

Khusus main rumah-rumahan ini, kami, empat anak cewek, beneran membangun rumah di jajaran pohon bambu yang membatasi antara area sekolah dan kuburan. Kalau dipikir-pikir, lingkungan saya kok ndak jauh-jauh dengan kuburan, ya. Ingat 'kan, beberapa waktu lalu saya pernah menuliskan bila kebun singkong di belakang rumah orangtua saya mepet dengan kuburan? Hanya saat SMP saja lokasinya jauh dari kuburan tetapi berdampingan dengan PMI, depan PMI adalah rumah sakit, belakang sekolah adalah pasar loak. Makanya kalau ada peralatan bengkel yang hilang, cari saja di pasar loak. SMP saya itu dulunya adalah ST (Sekolah Teknik), sebuah sekolah kejuruan sebelum masuk STM (Sekolah Teknik Menengah). Sedangkan saat SMA, sekolah saya dekat dengan kuburan cina. Kalau toh melanjutkan ke STM, sekolahnya juga dekat kuburan, tepatnya makam Bathoro Katong.

Kembali ke jaman SD, kami sama sekali tidak merasa takut berada di dekat kuburan walau kadang-kadang ada orang meninggal yang baru dimakamkan. Bahkan, gundukan tanah itu bisa kami lihat dari sela-sela pohon bambu.

Kami sengaja membawa pisau dapur untuk membersihkan ruas bambu biar halus, memotong pohon-pohon yang berduri dan membersihkan rerontokan daunya dengan sapu yang diambil dari sekolah. Saat ini saya mikir, kok waktu itu kami niaaaat banget bikin rumah, ya. Hahaha. Jangan dibayangkan rumah bambunya seperti rumah beneran. Karena rumahnya lebih mirip gua mungil untuk sembunyi petak umpet. Ya, di antara jajaran pohon bambu nan rimbun itu, ada area tengah yang agak luas dan tidak ditumbuhi bambu. Sehingga kami memanfaatkannya menjadi 'sarang' kami.

Selain membawa buku dan alat tulis, bawaan wajib dari kami adalah bekal nasi. Lauknya adalah apa yang menjadi lauk makan siang tadi. Lalu, bekal ini dimakan usai sholat ashar. Kami memakannya bersama-sama meskipun ada diantara kami yang tidak membawa bekal. Jangan dibayangkan bekal itu ditaruh di kotak nasi plastik atau rantang. Tapi kami biasa membungkus dengan daun pisang atau daun jati. Sampai 'brindil' tuh pohon pisang belakang rumah.

Hingga suatu hari, ada kelompok lain yang telanjur mendiami sarang kami. Sekali dua kali kami berantem untuk merebutnya. Tapi, bila jumlah mereka lebih banyak, kami terpaksa mundur teratur karena bakalan kalah. Karena itulah, lambat laut rumah bambu itu bukan lagi rumah privat kami tetapi menjadi rumah bergilir, digilir kepada tiap anak yang lebih dulu mendiaminya. Selain itu, kami sudah kelas IV yang menandakan kami sudah kelas VI di sekolah pagi, tahun terakhir di sekolah ini. Fokus kami beralih ke Ebtanas untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Hehehe. Ya wes, lah.
*

2016-04-14

[Fiksisme] Wu Co Yeh dari Lap Sap Fong

Doc pri: Devil peak, sampan-sampan pemburu sotong & cumi serta apartemen daerah Sai Wan Ho di malam hari.


#MalamJumatTerapalah

..:: Wu Co Yeh dari Lap Sap Fong ::..


"Dhul, kamu pernah dibencandain Wu Co Yeh, nggak?"

Begitu bunyi pesan di Wosap dari teman saya, Siti. Saya langsung teringat beberapa waktu ini sering parno kalau buang sampah kelewat malam. Makan malam yang kemalaman bisa menjadi salah satu malam yang membuat jadwal buang sampah menjadi molor alias lebih larut daripada malam-malam biasanya. Alasan yang ndak humum adalah: acara makan malam superr (dobel r). Emang sih, tiap hari kita juga makan. Tetapi kalau satu kali makan saja dibagi menjadi dua sampai tiga sesi, pora perlu tenaga dan waktu ekstra untuk menyiapkannya? Sesi satu untuk anak-anak, sesi dua untuk nyonya majikan yang pulang larut.

Apa boleh buat, semua ini saya lakukan demi sesumpit nasi dan biaya mbolang, bayar SPP, cicilan motor, uang DP KPR, modal (usaha setelah) nikah serta membangun rumah (tangga). Dan tentu saja biar dapur emak di kampung tetap ngebul.

FYI, saya tinggal di komplek apartemen baru, di daerah perumahan baru, di jalur MTR ungu. Sekarang ini sedang dalam pembangunan/ pengembangan komplek apartemen keempat dan kelima. Kata si bos, daerah ini dulunya adalah TPA. Lahan di sini adalah bibir perairan yang diurug dan perlu menunggu empat sampai lima dasawarsa untuk mengetahui bahwa tanahnya tidak seperti perasaan saya saat ini: labil (bapering detected_pffftttt).

Model apartemennya, setiap satu gelonjor gedung menjulang, penyebutannya dibagi menjadi sayap kiri dan sayap kanan. Ada tembusan yang menghubungkan kedua sayap gedung. Dan di lorong itulah lap sap fong berada.

Entah kenapa, tiap masuk lap sap fong di atas jam 9 malam, saya merinding disko. Saya seperti diikuti sesuatu. Padahal 'kan ini gedung baru. Di tempat kerja sebelumnya, hal ini tidak pernah saya alami. Dulu saya di Ma On Shan dan Tsuen Wan.

Saking takutnya, buang sampah sampai dianterin pak bos … hahaha. 

"Pin ko wui kan ju lei aa. Kin to le ko yong tu wui hat cau sae Wu Co Yeh (siapa juga yang ngikutin kamu. Ngelihat wajahmu, hantu-hantu pada kabur taukkk)."
"Lei ji siiiin." (Hahaha kapan lagi babu ngatain bosnya edyan).

Lalu, pikiranku balik ke bulan-bulan sebelumnya, tepatnya saat cuaca tak berkabut dan syendu syahdu seperti beberapa hari ini. Saya melihat gagak hitam terbang rendah di ketinggian sekitar 30 lantai. Saya pun menghubungkan mitos gagak hitam dengan kabar kematian. Saya jadi ingat kisah tentang pekerja yang meninggal karena jatuh dari ketinggian saat komplek perumahan ketiga dibangun. Komplek ini berada tepat di depan balkon apartemen (bos) saya. Namun yang membuat saya sebal adalah posisinya yang menghalangi pemandangan senja kembali ke peraduannya, di Devil Peak, dekat komplek makam Yau Tong.

"Sin Na, kamu ke sini." Teriak bu bos dari balkon. "Lihat di bawah sana, pasti ada orang kecelakaan. Paling-paling mati." Saya pribadi sempat mendengar wiu-wiu dan melihat mobil ambulannya dari ketinggian lantai 31. Saya kok merasa celoteh bu bos rada frontal, ya.

Dan benar, keesokan harinya, berita kecelakaan yang merenggut nyawa itu muncul di harian berbahasa China yang bisa diambil gratis di lobi. Saya jadi mikir ngeres mikir ngenes, jikalau ada korban jiwa saat pengembangan komplek pertama yang saya huni sekarang, jangan-jangan .... Bukan apa-apa, sempat ada orang tiu lau (terjun bebas) di blok 2 dan blok 5. Salah satunya meninggal dan satunya luka-luka. Ada juga kasus KDRT hingga tusuk-tusukan pisau. Hahaha … jangan tanya bagaimana saya tahu berita ini. Sttt, the power of emak-emak (baca: bu bos gahol). Saya terpaksa memercayainya karena sering melihat polisi, mobil ambulans dan jalur yang ditutup sementara.

"Wes ngiler arek iki," pesan kedua terkirim di wa saya.
"Lapo?" balas saya.

Siti menceritakan bahwa barusan ia dibikin begidig saat buang sampah. Aroma melati menyergap hidungnya. Wangi. Tengkuknya seperti ada yang meniup-niup. Adem. Njegrig! Rasanya seperti ada yang mengikutinya dari mulai memasukkan sampah di lap sap tong hingga ia berjalan kembali menuju pintu flat_bos_nya. Tepat di depan pintu, ia balik badan sambil menyingkap kaos oblongnya (pada bagian ini saya pengen ngakak tapi kok rada-rada horor gimanaaa gitu). Bayangan saya adalah sebuah kutang busa yang isinya saja tidak penuh membelit dadanya yang kurus kerontang sampai tampak struktur tulang dadanya.

"Nek wani, jal ngetok o," ucapnya. Padahal, seandainya ditampakkan wujud asli si Wu Co Yeh itu, pasti aku girap-girap, lanjutnya. Batin saya menjawab, bukan sampeyan yang girap-girap, Mbak Siti. Tapi Wu Co Yehnya yang kalang kabut lihat penampakan sampeyan lebih serem dari mereka. Tapi saya ndak tega bilang gitu. Malah kalimat lain yang saya ketik di Wosap.

"Sering digodain hantu dari Hong Kong, Mbak?"
"Ya emang kita di Hong Kong, Ndul. Anu, aku loh nggak pernah diginiin sebelumnya, baru sekali ini. Moga-moga yang terakhir."

Saya aminkan deh, Mbak. Iya, saya aminkan biar ditengok lagi. Eh!

***

Doc. Pri: BGnya adalah penampakan komplek apartemen ketiga.


2016-04-13

[My Diary] Port Folio A5: Antara Ana, Ani And Ane

Doc. Fiksiana Community

[My Diary] Port Folio A5: Antara Ana, Ani And Ane
_________________________________________

Dear Diary.

Minggu ini di Fiksiana Community ada iven nulis di diary. Mana Ane jarang nulis. Gitu kok berani-beraninya ndaptar! Apa cobak yang bakal ane curcolin?

Pengen sih ane jualan isu seksi yang gak jauh-jauh dari dunia anak TK. Iyes, dunia TK-W, dunia TK-I! Apalagi kalok bukan mbahas masalah human traffickinglah, ulah TKW yang kena scamlah, kelakuan bejat sama bule atau si hidung mancunglah, meninggal karena sakitlah, atau … mereka yang kena siksa majikan. Duh, Ane udah ngeri duluan, Di.

Ente tau gak, Di, TKW gak selama menderita. Banyak kok TKW yang hidupnya lempeng-lempeng aja. Alhamdulillah hidup ane gak gitu bergelombang. Bila iya, pora wes basyah lembaranmu, Di.

Sebenernya, banyak loh dari TKW ini yang berprestasi, misal: jadi penulis, penyanyi, mahasiswi, relawan, dll. Tapi ya … itu tadi. Isu positif gini kurang seksi. Gak layak jual. Gak ndongkrak klik media onlen. Bahkan, horang-horang itu kayake emang tebang pilih. Kasus narkoba yang menimpa Mary Jane, iku loh arek Pe-eL, ate Philipinas, bikin geger dunia nyata dan dunia maya. Semua-mua mbahas ate Mary, semua-mua merasa Mary Jane adalah kita. Lah ngopo kasus serupa yang terjadi pada Mbak Rita Krisdianti, mantan TKW Hong Kong dan Macau yang kedapatan bawa narkoba di Penang, Malaysia, beritanya koyok kelakuan mas mantan yang gagal jadi manten: anyep njejep! Ane kagak bisa diginiin. Ane lelah. Pukpuk me, Di.

1 Januari 2016 katanya kita mulai masuk Masyarakat Ekonomi Asia. Lalu lintas jual beli barang dan jasa wes campur bawur, termasuk komoditi bernama pekerja migran. Halah, kejeron, kejeron. Trus, hal itu juga dikocok sama penyetopan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri tahun 2017. Eh amit, salah ding. Bukan distop tapi ditata ulang penempatannya dengan fokus pada tenaga kerja formal. Mbabu 'kan sudah diganti dengan istilah tenaga kerja nonformal, penata laksana rumah tangga. Trus nanti, jobdesknya dipertegas. Khusus kerja sebagai koki, hospitality, nanny atau merawat lansia.

Kalok di Hong Kong, seperti yang ente tau, Di, pokok kerjaan domestik ya semua kerjaan di rumah ndoro juragan. Ya masak, ya bebersih, ya ngurus anak, ya ngurus lansia. Bahkan ketambahan ngurus kirik. Ya … walaupun ada majikan yang tepa slira. Misal: majikan yang belanja, majikan yang khusus ngurus bayinya kalau mereka di rumah dan tak jarang pula mereka bantu-bantu kerjaan babunya. Langka juga, sih.

Dan jika pembagian kerja tharik-tharik tadi diterapkan di Hong Kong, berapa babu yang diperlukan tiap keluarga? Okelah jika kondisi tempat tinggal dan keuangan majikan gak ada masalah. Tapi bakal ribet kalo terjadi pada majikan yang ekonominya pas-pasan. Orang Hong Kong ndak semuanya tajir, gak semua tinggal di apartemen besar. Banyak pula yang tinggal di rumah-rumah pemerintah yang sempit pit. Property di Hong Kong itu mahalnya angudubilah, begitu keluhan (mantan) bu dosen yang sedang ambil doktoral di salah satu universitas di Hong Kong. Beliau bilang, nyewa satu kamar di pelosok Tai Po, Hong Kong bagian utara, jauh dari mana-mana, seharga 2000/ orang/ bulan.  Kurs Minggu kemarin 1690/HKD. Berapa cobak kalok dirupiahkan? Buanyak buanget, toh. Padahal, beliau sekamar untuk dua orang, bersama orang Myanmar. Sekali lagi, satu kamar ya, bukan satu apartemen.

Bayangkan aja bila tiga TKW kruntelan jadi satu di apartemen sempit bareng majikan. Mau jadi pindang?

Ah, paling-paling pas hari buruh 1 Mei gitu menuntut TKW stay-out. Nanti rame lagi karena TKW tidak live-in alias tidak tinggal di alamat yang tertera di kontrak kerja. Padahal stay-out melanggar aturan/ hukum perburuhan. Bila sampai deal, pemerintah Hong Kong harus menyediakan pemukiman khusus bagi TKW ini. Ribet maning, Di.

Siapa yang dirugikan? Ya, devisa negaralah. Bisa turun drastis remmitancenya.

Pengen banget ane nulis surat terbuka untuk ibu negara, Bu Ana Jokowi. Tapi ane gak punya nyali ngecurcol begini. Mas Kaesang Pangarep aja ditelpon beliau setidaknya sama seperti jadwal sholat, lima kali sehari. Berarti beliau ini perhatian banget sama jomblo, eh, sama anaknya yang jauh di mato dekat di hati. Siapa tau beliau punya perhatian yang sama kepada para TKW ini. Ya … seenggaknya, beliau paham bahwa TKW ini tak semudah beliau bila mau menelefon anaknya di kampung. Alasan utama tentu masalah finansial, emoh duitnya habis buat telpon terus. Alasan lainnya bisa karena HP disandera majikan dan hanya diberikan kalok jam kerja sudah selesai di malam hari. Bisa jadi tidak bebas menelefon karena seteru sama signal.

Tapi setidaknya tahun 2019 nanti bakal ada sosok yang mewakili kaum wanita buat nyapres. Iyes, Bu Ani Yudhoyono. Angin segar nih, Di, harus didukung. Alasan gender? Ya iyalah, kapan lagi Indonesia punya presiden wanita setelah Bu Megawati.

Sttt, kami  satu almamater, loh. Hati ane tergerak untuk menyerahkan suara bulat-bulat buat beliau. Ane dukung 1000%. Mau kumpulin KTP, HK-ID atau paspor? Sok atuh. Apalagi beliau ini terbukti mendampingi presiden keenem, SBY, selama 10 tahun dengan selamat dan sejahtera. Tidak ada suara-suara sumbang. Atau … ane aja yang kagak denger karena selama pak Beye memimpin, ane cuman merasakan kepemimpinan beliau selama 14 hari pas mudik dua tahun lalu?

FYI, Di, bu Ani ini jago motret. Ehem, bisa jadi ini adalah hawa segar bagi seniman cahaya. Sebagai fotografer dengan lensa segede tremos yang berwarna hitam putih kayak zebra, beliau pasti lihai melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda. Beliau mampu menyajikan keindahan dari fakta mengenaskan pun. Hebat loh ini, Di. Ane belon bisa kek beliau.

Secara di Hong Kong banyak TWK. Emak-emak ini gampang banget dikomporin. Cepet banget meleduknya. Maklum, Di, hormon perempuan itu labil. Alasannya adalah 5M, Money-Man-Marry-Menstruasi-Menopouse.

Kayak pilpres kemarin tuh. Rame (atau emang dibikin rame) 'kan ? Lagian, TKW Hong Kong itu setidaknya melek teknologi. Hawong onlen pesbuk aja bisa 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Daebak!!!

Aduh, Di. Ane nulis apaan ini.

***

Untuk membaca karya lain, silakan gabung di grup FB : Fiksiana Community.

2016-04-12

[Fiksisme] Mantan Calon Pacar _ Horor

(Rangga...) Yang Anda lakukan ke saya itu ... JAHAT!

#PutusCintaTerapalah

..:: Mantan Calon Pacar ::..
_______________________



Dalam sebuah artikel media online, saya pernah membaca bahwa punya pasangan (baca: pacar) seorang fotografer itu asyik. Yang katanya bisa selalu mengabadikan momen kebersamaanlah, orangnya nyenilah, kreatif to the max-lah, dan yang pasti … lihai bergerak di tempat gelap (you know what i mean, kan? Hahaha). Meski bibir tersenyum, saya mikir keras uuntuk alasan terakhir itu. Apa iya?

"Kuamprettt!" 

Secara saya sedikit suka foto-foto_meski sebatas penikmat karya saja, sih. Pada Desember 2014, saya sempat menuliskan sebuah resolusi untuk memotret pre-wedding secara profesional (baca: dibayar). Dan 11 bulan kemudian, resolusi itu menjadi nyata walaupun tanpa terduga. Kecelakaan, istilahnya. Waktu itu saya ngasisten tukang rias dan kemudian didapuk menjadi tukang fotonya karena fotografer asli tidak bisa bekerja secara fulltime. Maka, sisa waktunya dialihkan ke saya. Kelabakan? Iyesss, lah. Hawong senjata saya seadanya.  Tapi setidaknya, ini menjadikan saya belajar satu langkah ke depan (di dunia fotografi) dan membuat saya benar-benar mikir keras agar bisa kreativ dengan modal yang saya punya.

Jujur, pengetahuan saya masih cetek. Kemampuan saya juga belum seberapa. Tetapi, yang namanya telanjur suka, ya … suka aja sama fotografi. Nggak pake alasan ini itu. Sama seperti ketika saya mulai suka pada Anda. Semua mengalir begitu saja. Tidak ada alasan khusus, yang meskipun chit-chat kita diawali dengan pembahasan di dunia fotografi. Bisa dibilang, fotografilah yang menyatukan kita.

Karena nama akun sosmed yang begini, banyak yang mengira saya lelaki. Termasuk Anda. Kalimat-kalimat frontal lepas tanpa tedeng aling-aling. Bully-membully tentang kejombloan masing-masing adalah menu wajib dibumbui celoteh ringan.

"Coba cek, aku selalu mengepasin momen ngechat kita pas malam Minggu, loh." Begitu bunyi pesan Anda di Line. Yang yah … chat kita tidak hanya di Line tapi juga di aplikasi yang lain-lain. Namanya juga masih sebatas temen, maaf ya … bila saya cuek saja dengan semuanya. Mana sempat sih, mikir hari apa mau ngechatnya. Kalo saya butuh konsultasi 'kan tinggal ngomong. Kalo nggak bisa ngomong, ya … nge-text. Begitu pikir saya yang kata Anda, saya tidak peka. What the ….

Perasaan saya pada Anda? Ehem … mula-mula emang temen sih, tapi kok lama-lama jadi demen?

Dan gara-gara pesan Anda, tiap malam Minggu saya mantengin Line, taukkk. #Pfffttt. Aksi penembakan pun terjadi dua bulan kemudian. Maunya sih ditembak pakai kamera analog. Meskipun untuk melihat hasilnya, kita harus meraba-raba dulu di ruang gelap dan butuh waktu yang lebih lama ketimbang kamera digital. Tapi, sensasi berbaur bersama negatif film dengan cairan asam dan lalu mencuci kemudian menjemur lembar-lembar kerja itu ternyata membuat ketagihan. 

Well, jaman sudah maju. Analog sudah digantikan oleh digital. DSLR pelan-pelan digeser oleh mirrorless. Masa iya balik lagi ke jaman kegelapan? Masa iya tidak ingin beralih dari online ke offline? Ya …biar keberadaan Anda dan saya ini tidak sekedar mitos.

Tapi pada kenyataannya, penembakan itu memakai aplikasi online. Dan hubungan kita berada di dunia virtual. Hati saya mengatakan mau tapi entah kenapa, otak saya meminta logika saya bekerja. Fine, jika MK Logika harus ada perbaikan di semester akhir. Tapi Anda musti tahu kalau saya bukan Agnes Monica dengan cinta tak ada logikanya itu! Dan Anda tidak perlu mengulang kata: "monicadengankugak?"_yang tanpa spasi. Hello … plis deh, gabung ke Fiksiana Community biar EYD kita lebih baik lagi.

"Saya pengen lulus sekolah dulu. Samsung aja udah S7, masa saya mandeg di S3?" Alasan saya klise sebenarnya.

Maaf, saya terpaksa menolak Anda. Dan rasanya … nyesek, beud!

Sebenarnya banyak alasan yang cukup saya, Tuhan, malaikat, sopir angkot dan emak-emak pengendara motor matic yang tahu. Namun, alasan utamanya sih, karena Anda bilang kalau kalimat penembakan itu adalah guyonan. Bercanda! Nge-test punch line! Satu hal perlu Anda block dilanjut ctrl+b, ketika Anda menyakiti penulis, nama Anda akan abadi dalam karyanya. Camkan itu.

Tau nggak, Anda itu satu-satunya 'mantan calon pacar'_yang putus duluan sebelum jadian. Lainnya sih, PHP doang. #Eh.

Sekian ribu tahun tak ada kabar, Anda kembali menyapa. Ini adalah teror lebih horor ketimbang kisah-kisah malam Jumat a la #katkun Fiksiana Community. Saya memang kesulitan menulis kisah horor. Hal ini dikarenakan rumah orangtua di kampung, pagar belakang rumahnya mepet dengan kuburan. Bahkan, jaman belum ada listrik masuk desa dan belakang rumah masih berupa ladang singkong, tiap ada lampu petromak di kuburan, bisa dipastikan itu adalah aktivitas menggali kuburan, bukan orang yang 'nyuluh' kodok atau bekicot. Pengen banget saya mengajak Anda bertamasya menggunakan kapsul waktu dan mengubur Anda hidup-hidup di kuburan belakang rumah. E tapi, bila kembali ke era itu, jangan-jangan Anda masih berupa zigot. Hm, kita kan beda generasi. Untung saya menolak Anda. Bisa-bisa saya dikira pedofil, yang demen sama adek-adek.

Kembali ke kisah Anda yang datang lagi di hidup saya, sebenarnya saya pengen nabok bibir Anda pakai bibir sumur. Tapi, saya memilih menempelkan bibir saya dengan bibir cangkir kopi. Saya berusaha tenang dan bersikap elegan dengan tetap memperlakukan Anda seperti sebelum peristiwa penembakan itu.

Anehnya, rasa suka yang dulu pernah saya hianati, tiba-tiba berkembang lagi. Bolehkah saya bilang kalau Anda itu seperti secangkir kopi sachetan? Iya sih, Anda bisa menghangatkan malam-malam lembur saya. Tetapi Anda membuat saya muak di menit berikutnya. Hati dan otak saya membisikkan kalimat berikut berulang-ulang.

"He's not your cup of tea."
"But he's your cup of coffee."

Ah, skip … skip.

"Risna, kamu pulang akhir November 'kan?" itu kalimat yang sempat saya ingat ketika Anda memulai percakapan saat setor muka via Line. "Habis UAS aku mau tunangan. Kamu 'kan suka motret. Fotoin prewedku, ya. Harga bisnis, deh. Akomodasi aku yang tanggung."

"Kuamprettt!" (callback a la komik)

***