[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2014-10-27

[Curcol] Mukjizat Sendawa

Mukjizat Sendawa

Apa yang Anda pikirkan jika dalam keadaan takut?

Misalnya saat kita lewat kuburan kuno nan serem, yang dikonon-kononkan ada lelembut atau penunggu tak kasat mata, kita biasa baca-baca doa. Entah itu doa mohon keselamatan, doa sapu jagat atau jika kepepet, doa sebelum dan sesudah makan pun dilafalkan. Namanya juga lagi kalut dan blank akut.

Tapi, jika bertemu lelembut abal-abal bin palsu, bukan lafal ayat kursi yang bisa membuatnya menjauh pergi. Diperlukan sebuah kursi beneran yang melayang tepat di kepalanya adalah jawaban paling jitu untuk mengusirnya. Tapi jika lelembut itu adalah tuan dan nyonya juragan, njuk pigimana? Tidak mungkin kan melempari kursi ke arah juragan?

Itulah yang terjadi pada Yuli. Hari itu kedua juragannya terkena tau tong dan to tong bebarengan, ndilalah bayi momongannya kok ikut-ikutan gumoh alias muntah-muntah. Dengan tampang geram dan sok-sokan ala preman, sang jurangan mendatangi Yuli. Biyuh, ngalamat kena semprot nih, batin Yuli. Biasanya memang begitu. Bila ada hal-hal tak beres, Yuli langsung kena tau so (protes). Entah masalah kebersihan, masalah momongan atau masalah pekerjaan lainnya.

Menurut Yuli, juragannya ini tergolong orang-orang yang sangat memperhitungkan pengeluaran (mau bilang pelit bin medhit susah nulisnya). Mereka biasa belanja gila-gilaan satu kali dalam satu minggu. Menu sarapan dan makan malam sudah dijadwalkan sedemikian rupa sehingga bila ada jadwal makan di luar, maka menu hari itu di-skip dan dikosongkan. Stok sayuran pun ditiadakan.

Keadaan seperti ini tentu membuat hati Yuli dongkol setengah mati. Bukankah jatah makan pekerja migran itu tanggung jawab juragan? Padahal, menurut hasil konsultasi dengan organisasi advokasi di Hong Kong, jika juragan tidak memberi makan pekerjanya maka juragan harus mengganti uang sebesar HKD 950/ bulan. Dan semisal pada hari-hari tertentu tidak dijatah makan, maka pekerja boleh minta jatah HKD 100 / hari. Dalam prakteknya, hanya kadal-kadalan.

Nyatanya Yuli tidak mendapat fasilitas ganti uang itu. Dalam keadaan kalap dan khilaf, stok 5 butir telur yang seyogyanya menjadi menu sarapan juragan esok hari menjadi sasaran kegeraman Yuli. Sekali ceplok, 5 butir terlampaui. Taraaa... jadilah menu dinner spesial pakai telur plus cabe-cabean penggugah selera ala chef Yuli yang Indonesia banget.

Benar saja, keesokan harinya, ketika juragan menanyakan sandwich spesial pakai telur tidak tersedia di meja, dengan wajah polos tanpa dosa, Yuli mengatakan kalau stok telur sudah habis. Nyonya ngeyel bahwa semalam masih ada 5 butir telur dalam kulkas. Ia melihat sendiri dengan 5 biji matanya (dua mata kaki, dua mata di kepala dan satu mata hati). Ia meyakinkan ingatannya dengan mencari dukungan dari suaminya. Tentu si suami mendukung si istri.

Cuek, Yuli meneruskan aktivitas bebersihnya. Dalam hati ia tertawa ngablak sampai telinga diiringi eyel-eyelan pasutri yang berada tak jauh darinya. Nyonya menduga bahwa Yuli menghabiskan stok telur tetapi tuan meragukan alibi itu lantaran selama ini Yuli hanya berani menyikat satu butir saja tiap kali makan.

Dan ketika seluruh keluarga sakit berjamaah kemudian sang juragan sudah pasang aksi untuk menginterogasi, peristiwa 5 butir telur itu memenuhi ingatan Yuli. Peristiwa 5 butir itu saja bisa diatasi, masa kali ini tidak? pikirnya. Entah kekuatan dari mana, tiba-tiba Yuli mengeluarkan sendawa. Sendawa ini ternyata bukan sendawa biasa. Sendawa ini adalah sendawa mukjizat untuk hambaNya yang teraniaya. Ajaib, amarah juragan pun reda. Juragan malah menanyakan keadaan (kesehatan) Yuli dengan nada sedikit khawatir.

"Ngo yau to tong, yau wan, yau siong au (aku ada sakit perut, sakit kepala, ingin muntah)." Padahal, penyakit yang disebutkan itu adalah ketiga penyakit yang diderita ketiga juragannya.

"Hou lah, cou di yau sik a (Baiklah, cepat istirahat ya)". Juragan pun melangkah pergi. Dalam hati Yuli jingkrak-jingkrak kegirangan seperti cacing masuk penggorengan. Sungguh, ini sendawa spesial yang telah berlumur mukjizat.

2014-10-20

[Curcol] Nastar Ekstrem

Nastar Ekstrem

Kue lebaran yang sering kita temui ketika silaturrahmi keliling salah satunya adalah kue nastar. Kue isi selai nanas dengan aroma cengkeh dan kayu manis ini juga menjadi sajian khas di rumah nyonyah majikan ketika imlek tiba, yang diletakkan berdampingan dengan tong guo hap. Hal ini dikarenakan mertua nyonyah majikan (yeye) adalah yan nei wah kui alias orang China yang lahir dan tumbuh berkembang di Indonesia.

Nah, yeye ini baru kembali ke Hainan-China sekitar tahun '64 setelah pemerintahan era Soekarno berakhir. Meski telah meninggalkan Hainan dan menetap di Hong Kong, yeye masih memegang rasa 'keindonesiannya'. Hal ini tercermin dari pola makannya yang tidak aci kalau tidak makan nasi. Juga selera pedasnya ketika ia makan. Bisa dikatakan, ia tidak bisa makan kalo tidak ada cabe.

Selain itu, masakan ba tung ngau yuk, ka le kai, ku lu puk, ka le tok, ka to ka to maupun sambal ta la si bukanlah makanan aneh dari planet antah berantah ketika makan bersama di rumah yeye. Yeye memang pintar masak. Dan kecintaan dengan menu Indonesia ditularkan kepada anak-anaknya beserta para menatunya. Maka tak heran apabila nyonya kepincut dengan nastar yang rasanya sebelas dua belas dengan bo lo so, oleh-oleh khas Taiwan. Yang membedakan hanyalah tampilan nastar yang nampak lebih imut.

Idul fitri kemarin saya juga bereksperimen membuat nastar. Tak ada niat lain di hati saya selain memanfaatkan fasilitas/peralatan membuat kue yang lumayan lengkap di rumah nyonyah. Toh nyonyah siap menjadi kelinci percobaan untuk mencicipi hasil karya saya yang sering kali trial dan error.

Kebetulan, nastar pertama saya sukses (tepuk tangan dong, penggemar. Plok plok plok ... Tengkyu). Rencananya, kue itu akan saya bawa ketika libur Minggu tiba. Naas, satu toples hampir ludes ketika saya tinggal antar les sehari sebelum libur tiba. Yasud, saya hanya nyengir kuda dan berkata 'aku ora papa' meski sejatinya 'aku radak papa'.

Beberapa waktu kemudian, nyonyah rikues untuk membuat nastar lagi. Kata nyonyah, nastar ini akan dijadikan hantaran untuk Mbokdhe di blok sebelah. Padahal, beberapa hari sebelumnya Mbokdhe sudah saya gorengin krupuk udang satu pak. Sebagai kungyan yang tunduk pada mandat nyonyah majikan, semangat 86 pun membalut seluruh badan. Nggak apa-apa deh kerja rodi asal free listrik dan free Wi-Fi, batin saya.

Saya pun berangkat ke supermarket di lantai 3 bawah apartemen, membeli nanas glondongan, utuh. Menurut resep yang disajikan oleh mbah gukgel, nanas itu diparut dan dimasak untuk selai. Sambil ngelamun (iya ... ngelamunin kamu), tangan kiri saya mengaduk wajan anti lengket dan tangan kanan saya menakar butiran-butiran pasir putih nan lembut yang nantinya akan dimasukkan ke dalam wajan. Tidak tanggung-tanggung, timbangan digital itu menunjukkan angka 150 gram.

Blebeb, blebeb, isi wajan itu bergolak. Aroma kayu manis merebak. Saya ambil sendok untuk mencicipi sambil membayangkan betapa harum dan legitnya selai itu jika sudah matang nanti. Hanya dalam hitungan sepersekian detik setelah mencicipinya, lidah saya langsung terjulur paksa. Rasanya ... wow, bener-bener cetarrr menggelegar.

Rasa nanas yang manis, asem, wangi dan gurihn yang menjadi isi nastar itu sih mainstrem. Tapi bila rasa nanasnya asin selayaknya air lautan, barulah itu nastar ekstrem!

Begitulah, pembaca Nekad Naked tercinta, butir-butir pasir tadi ternyata bukan gula tetapi garam iodium yang membuat acara masak-memasak saya gagal total. Dengan berurai air mata dan mengurut dada, saya hanya melambai dadadada ketika akhirnya nanas itu berakhir di tempat sampah. Saya pun bergegas turun ke supermarket untuk menggantinya. Sibbb, munasib.

***

2014-10-16

[Curcol] Gembreng Seng

Gembreng Seng

Minggu pertama bulan Juni ini, pengguna jejaring sosial di kalangan teman-teman di Hong Kong dihebohkan dengan tulisan sebuah akun yang merendahkan status pekerjaan sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita). Tak ayal, teman-teman di Hong Kong langsung meradang. Kemarahan mereka segera tersulut. Screen shoot tulisan beberapa baris itu segera tersebar dari beranda satu ke beranda lainnya. Adu komentar pun terjadi. Grup-grup obrolan online yang biasa diunduh dari HP Android juga menjadi lahan penyebaran.

Beberapa pekerja migran asal Indonesia di negara penempatan lainnya pun turut geram. Seandainya mau sedikit membuka mata, tentu penilaian miring itu tidak digeneralisir untuk seluruh TKW. Toh semua itu tergantung dari pribadi masing-masing, bukan?

Marilah kita tengok lebih dekat bagaimana kondisi sebenarnya dari TKW Hong Kong itu sendiri. Mereka adalah wanita-wanita hebat, tangguh dan kreativ. Banyak diantara mereka yang memanfaatkan satu hari liburnya tiap minggu untuk sekolah, kuliah, kursus, berkreasi di dunia fesyen dan modelling, menyanyi, olahgara, advokasi dan banyak lainnya termasuk di dunia fotografi. Kemudahan menyalurkan bakat dan hobi khususnya di dunia fotografi ini kemunginan besar disebabkan oleh banjirnya gadget, yang didukung dengan gaji bulanan yang lumayan besar. Maka jangan heran jika di seputaran lapangan victoria, kita akan menemukan mbak-mbak cantik berkalung kamera.

Saya sempat berfikir, jika mbak-mbak fotografer berkalung kamera, apakah mbak-mbak penulis juga berkalung lappy? Secara lappy adalah salah satu pendukung dunia literasi. Hohoho, stop, stop! Fikiran itu segera saya tepis, toh itu hanya sekedar imajinasi kebablasan seorang TKW Hong Kong yang mencoba peruntungan mendapat gaji tambahan dari sebuah tulisan untuk menambah biaya hidup dan dana pendidikan (pengakuan jujur sambil nunjuk hidung sendiri, eh!).

Demikian juga dengan teman saya, Nanik. Ia adalah salah satu pecinta dunia foto, bukan sebagai sosok di belakang kameranya tetapi sebagai objek jepretnya. Setiap ada kesempatan, ia akan bergaya paling ehem-ehem, jos gandos, top markotop dan sip markusip. Memang, ia memiliki latar belakang sebagai seorang "pewarta foto" selfie, yakni sosok yang selalu mewartakan segala aktivitas pribadinya dengan potret lalu mengunggahnya di jejaring sosial. Entah itu makan, minum, masak, belanja, berangkat mandi, maupun tidur. Cita-citanya sungguh mulia. Yaitu: menjadi model yang cukup disegani. Dalam bahasa Jawa, disegani berarti diwenehi sega (dikasih nasi)!

Maka ketika mimpi ke arah sana mulai kelihatan jalannya, aktivitas sebagai "pewarta foto" selfie pun dikurangi. Kini ia lebih sering beraksi di depan kamera fotografer. Dalam menjalani aktivitas barunya ini, selain make-up, ia pun harus ganti-ganti kostum. Penampilannya disulap lebih jling. Wajahnya yang eksotis khas Melanesia didempul dengan bedak yang lumayan tebal. Pipinya dimerah-merah, kelopak matanya dibiru-biru, tapi saya memohon kepada Anda untuk tidak membayangkan wajahnya seperti habis kena jotos, ya. Meskipun saya mendeskripsikannya 11 12 dengan luka memar.

Menurut Nanik, ia sangat menikmati kegiatan itu. Adiktif yang positif, katanya. Ia makin familiar dengan asesoris fotografi seiring dengan seringnya bersinggungan dengan benda-benda itu. Hari Minggu itu, ketika ia sedang on duty, seorang teman memegang benda pipih nan lebar, masing-masing dua sisinya berwarna emas dan perak dengan pinggiran hitam. Benda itu senantiasa diarahkan ke muka Nanik. Sampai-sampai mata Nanik ikut tersiksa karena silau.

Oleh karenanya, kegiatan pun dipause, break, istirahat atau apapun kata sepadan yang memiliki makna serupa. Selain untuk melemaskan otot-otot yang kaku, ngobrol dengan sesama tim ternyata bisa mendekatkan dan mengeratkan hubungan pertemenan. Sesekali bercanda, minum atau ngemil makanan ringan. Bahkan obrolan tidak penting pun menjadi bumbu pemanis suasana hari itu.

"Itu apa sih kok kayak gembreng seng?" tanya Nanik tiba-tiba.

Haaahhh? Gembreng? Sekelompok wanita pekerja migran yang sedang belajar fotografi itu tertawa serempak tanpa aba-aba. Mata mereka langsung tertuju pada reflector yang disandarkan pada tembok. E... lhae.

2014-10-11

[Curcol] Bahasa Inggis Jongkok

Bahasa Inggis Jongkok

Pentingnya penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, di era serba canggih seperti sekarang ini adalah hal mutlak. Bahasa komunikasi internasional satu ini memang menjadi momok bagi saya yang kemampuan berbahasa Inggris sangat rendah. Oleh karenanya, saya terpaksa ikut les gratisan pada suatu lembaga non-profit milik pemerintah Hong Kong untuk mengup-grade diri.

Tak hanya itu, saat menyebut kosakata bahasa Inggris yang grathul-grathul, seringkali saya menjadi perhatian teman-teman. Termasuk salah menyebut eyebrow untuk alis. Untunglah teman-teman saya pada jago Inggris. Sehingga mereka mengoreksi pembenaran saat itu juga. Kekurangan saya ini tidak hanya membuat keprihatinan tapi juga guyonan ketika menikmati waktu liburan. Sudahlah, paling tidak saya menginspirasi teman-teman saya agar tetap ceria meski dengan segala kekurangan yang ada.

Kesadaran akan minimnya berbahasa Inggris ini sebenarnya terdeteksi saat berada di bandara Adi Sutjipto, ketika hendak kembali ke Hong Kong beberapa waktu lalu. Saat itu, saya membaca flight time 01:15 sebagai waktu penerbangan, bukan lamanya penerbangan. Alhasil, saya sudah standby di bandara sejak pukul 12 siang meski pada penerbangan domestik menuju Jakarta tertera pukul 19:40.

Ketika kertas tersebut saya tunjukkan kepada petugas yang gagah perkasa memesona seluruh wanita di bandara Yogyakarta itu beliau meluruskan pemahaman saya yang ternyata bengkok sebengkok-bengkoknya. Ya ampun! Artis Hong Kong kok bahasa Inggrisnya jongkok, sepertinya begitu makna dari tawa renyah yang dilemparkan kepada saya dan rombongan.

Tak perlu mungkir, sobat Nekad Naked. Saya ini memang artis yang berperan menjadi pembantu. Akting saya bisa dilihat sebuah TV yang bernama CCTV dan disiarkan secara live di lift apartemen.
Akhirnya, dengan lagak sok cuek, saya mengucapkan terimakasih kepada bapak tadi dan segera menitipkan koper di loker bandara. Maksud saya sih untuk menutupi rasa malu dan berharap bapak tadi tidak mengenali saya ketika masuk gate malam nanti.

Untuk menghabiskan waktu hampir setengah hari itu, saya dan saudara yang mengantar saya muter-muter Yogyakarta dengan Trans Jogjanya. Kami hunting oleh-oleh di Taman Pintar dengan jejeran toko dan koleksi bukunya yang bikin ngiler, menikmati pempek di Ambarukmo barulah kembali ke bandara.

Ah, ada untungnya juga kejadian waktu itu. Dengan begitu, saya jadi lebih greget untuk belajar bahasanya si David Beckamp meski harus mengalami kejadian memalukan.

***

2014-10-03

[Curcol] Terkunci di Kuburan

Terkunci di Kuburan

Hari yang paling dinanti para pekerja migran sentero tlathah Bauhinia selain hari gajian adalah hari libur. Memang, hukum perburuhan di Hong Kong memberi waktu istirahat 1 hari dalam seminggu bagi pekerjanya. Bila beruntung, libur ini akan didapatkan tiap hari Minggu dan hari libur nasional lainnya yang berjumlah 12 hari setahun. Dalam kenyataannya, banyak pekerja migran yang hanya mendapatkan libur 2x sebulan atau malah 1x sebulan.

Banyak faktor yang menyebabkan adanya kasus semacam ini. Entah karena perjanjian di awal kontrak kerja, ketidaktahuan hukum perburuhan, atau memang sebentuk pembodohan berjamaah antara segitiga maut antara lopan, agen dan PeTe. Bahkan pekerja itu sendiri yang hooh-hooh saja menerima keputusan tersebut demi pengiritan karena berfikir libur itu habis-habisin uang transport dan uang makan. Belum lagi sepulang libur capeknya angudubillah dan kondisi tempat kerja yang mirip kapal pecah ketika ditinggal kungyan menikmati istirahat seharian. Ketika jelas-jelas hak liburnya disunat habis-habisan, sebagian mereka banyak yang mengeluh dengan sesamanya ketika berpapasan di pasar, di MTR, di jalan, atau paling keren ... curhat di fesbuk. Kalo penulis curhatnya di blog, eh ...

Bagi pekerja yang beruntung, mereka bisa memanfaatkan hari liburnya dengan mengikuti pengajian, seminar/ workshop, kursus-kursus hingga sekolah atau kuliah. Segelintir pekerja yang beruntung itu adalah Asti yang saat ini menginjak tahun pertama di rumah majikan barunya di Sheung Wan.

Asti ini termasuk pekerja nekad - bukan naked (seperti nama blog ini ya). Hehehe, kalo naked kan syerem banget! Sosok anggun (anak Nggunung) yang hobi mendaki puncak-puncak tertingggi di Hong Kong dan kalungan kamera segede ember ini memang suka dengan foto-foto. Berbagai aliran fotografi ia coba. Namun yang paing sering dilakukannya adalah s-e-l-f-i-e, selfie, memotret diri sendiri (termasuk penulis hihihi).

Dalam perjalanan dari lapangan Piktori menuju salah satu makam/ kuburan di Hong Kong, bersama teman-temannya, ia membahas tema "generasi menunduk" yang menjangkiti manusia-manusia modern hari ini. Mereka menunduk bukan karena menaruh hormat atau takzim dan tunduk, tetapi ini adalah gambaran generasi yang terhipnotis dunia maya yang disediakan gratis oleh gadget canggih yang saat ini menjamur di mana-mana. Dalam kondisi apapun, mereka akan fokus menunduk guna memelototi barang elektronik pipih nan slim itu. Meski ada teman di dekat, generasi ini lebih peduli dengan gadget canggihnya itu.

Kembali ke Asti, begitu sampai di kuburan, Asti segera melancarkan aksinya. Ia dan teman-temannya belajar memotret model bertema "beauty of spooky". Hehehe, keren kan temanya? Padahal beberapa waktu sebelumnya, Asti sudah ditakut-takuti bakal kena usir juru kunci alias penjaga makam. Bukan Asti namanya kalo gampang menyerah. Dengan aksi berpura-pura cuek berikut ransel segede gaban yang nangkring di punggungnya, ia dan temannya memasuki makam. Mereka terus ke bagian dalam hingga mentok ke tempat yang agak tersembunyi guna menghindari petugas yang sewaktu-waktu bisa mengusir penyelundup asing ini dengan paksa.

Saking asyiknya jepret-jepret, jarum jam pada arloji Asri telah menunjukkan angka 6 dan 2. Wah, gawat, itu tandanya sudah jam 6 lebih sepuluh menit! Dari pojok kiri makam menuju pintu gerbang, mereka pun berjalan dengan tergesa. Ada rasa was-was. Susah payah teman Asti menyembunyikan kamera di balik baju kebesarannya (baju yang ukurannya terlalu besar dari postur tubuh). Bahkan, sempat keluar ide melompat pagar kuburan jika pintu gerbang dikunci.

Dan benar! Pintu gerbang telah digembok. Waduh, nggak lucu kan kalau para tukang foto dan modelnya bermalam di kuburan? Cilaka dua belas nih!

Untunglah kantor/ ruang penjaga yang berhadapan langsung dengan pintu gerbang yang berjarak sekitar 3 meter di bagian dalam makam itu belum kosong. Seorang penjaga keluar. Hati Asti yang semula ketar ketir terkiwir-kiwir menjadi sedikit lega. Sebelum disemprot penjaga, Asti pasang wajah innocent dan tersenyum paling manis sejagad raya. Ia pun mengucap maaf berkali-kali.

Pak penjaga akhirnya membuka gembok dan memersilakan asti dan teman-temannya keluar. Tak lupa Asti diperingatkan bahwa makam itu tutup pukul 6. Sambil mengucapkan maaf dan tersenyum sekali lagi, Asti dan teman-teman pun pergi. Suasana seram tetap membuntuti ketika gelap mulai menggerayangi terlebih masih harus melewati makam katolik dan makam muslim yang terletak berjajar. Membayangkan terkunci semalaman di dalam makam benar-benar membuat ngeri. Hiii.

***