[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2019-11-13

Bengkel Mobil Yang Berubah Menjadi TPQ

Team hadroh

“Emang ada ya TPQ di Tanah Lot?”

Kalimat di atas sering kali terdengar ketika saya mengatakan di dekat tempat kerja saya ada TPQ. Secara Tanah Lot dengan ikon Pura Luhur Tanah Lotnya sudah terkenal hingga penjuru dunia. Banyak yang tidak percaya bahwa kaum muslim minoritas memiliki komunitas dan ‘tempat’ untuk menimba ilmu agama atau acara peringatan hari besar Islam lainnya.

Sebuah bengkel di desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali, ini tidak ada bedanya dengan bengkel mobil pada umumnya. Namun, ketika matahari semakin condong ke barat dan aktivitas bengkel mulai berhenti, anak-anak usia SD dan SMP berdatangan. Sebagian besar dari mereka diantar orangtua, beberapa diantaranya datang sendiri mengendarai motor. Ya, bengkel bernama DOEL Auto ini berubah menjadi tempat mengaji bagi anak-anak Muslim yang berdomisili di sekitar area wisata Tanah Lot dengan nama Taman Pendidikan Quran (TPQ) Al Hidayah.

Memang, idealnya/ umumnya, sebuah tempat belajar mengaji menyatu dengan area mushola atau Masjid. Namun, terbatasnya jumlah masjid atau mushola di sekitar Tanah Lot tak membuat pengasuh sekaligus penanggung jawab TPQ, Mbah Doel, kehilangan akal untuk memanfaatkan bengkel miliknya untuk digunakan sebagai TPQ. Karena belajar bukan hanya tergantung tempatnya tetapi juga niat, semangat dan ragat para pelakunya.

Hingga saat ini, santri TPQ Al Hidayah berjumlah sekitar 150-an anak. Dengan jumlah sebanyak itu, Mbah Doel,  dibantu oleh dua ustadz dan seorang ustadzah. Jangan dibayangkan bagaimana kondisinya, yang mana sangat berbeda dengan ruang kelas TPQ modern pada umumnya. Saat proses belajar mengajar, setengah dari lantai bengkel akan ditutup dengan terpal atau banner bekas, kemudian atasnya dilapisi dengan karpet. Ada bangku-bangku memanjang yang berubah fungsi menjadi meja. Proses belajarnya dilakukan dengan lesehan. Sedangkan ustadznya mengajar dengan menggunakan blackboard yang digantung di tembok.

Kondisi seperti ini mengingatkan saya pada masa-masa awal saya belajar Iqra. Pun suasana mengaji dengan cara lesehan seperti ini melempar memori saya saat melihat langsung bagaimana anak-anak Muslim keturunan Pakistan mengisi Ramadan di masjid Jami’ Kowloon. Di mana, ketika Ramadan tiba, suasana ruang sholat wanita menjadi lebih ramai. Para WNI menggunakannya untuk kegiatan keagamaan, baik membaca al quran, hafalan, sholat, maupun pengajian. Sedangkan anak-anak, yang sebagian besar adalah keturunan Pakistan tadi, akan duduk menghadap bangku-bangku panjang di pinggir area sholat wanita sambil menghafal alquran yang dipandu oleh seorang ustadzah berwajah Asia Barat.


Suasana Sholat Tarawih di bengkel /TPQ

Sedangkan di sini, para santri TPQ Al Hidayah nampak begitu bersemangat, bahkan sejak satu jam sebelum belajar dimulai, beberapa di antaranya sudah datang. Mereka tidak hanya belajar membaca al quran tetapi juga mendapat pengetahuan keagamaan, akhlaq, kisah-kisah nabi, hingga hadrah .

Ketika bulan puasa tiba, kegiatan belajar tidak seintens ketika di luar Ramadan. Namun, beberapa santri tetap datang di TPQ. Adakalanya mereka membawa sendiri bekal berbuka puasanya atau berbuka dengan menu yang disediakan oleh TPQ. Dan … tidak menutup kemungkinan para wali santri ikut menyumbangkan makanan untuk berbuka bersama.

TPQ Al Hidayah pindah ke bengkel ‘Doel Auto’ yang sekarang sejak tahun 2013. Tahun-tahun sebelum itu, mengaji dilakukan di bengkel lama yang jaraknya tak jauh dari bengkel yang sekarang. Dari yang hanya mengajar mengaji untuk karyawan bengkel hingga gaungnya didengar oleh muslim minoritas di sekitarnya, kini banyak orangtua yang mempercayakan pelajaran mengaji bagi anak-anak mereka di TPQ ini.

“Kamu bantu dokumentasi, ya”. Begitu permintaan Mbah Doel, penggagas sekaligus pengajar di TPQ ini. Saat itu menjelang acara perayaan Isra Mi’raj, awal April 2018. Saya langsung mengiyakan karena saya memang sedang libur kerja. Itu momen pertama saya bersinggungan dengan TPQ ini. Selainnya hanya sekedar ikut sholat berjamaah bersama adik-adik TPQ.

Ada perkembangan luar biasa untuk grup hadrah TQP Al Hidayah. Hanya dalam waktu sekitar empat bulan, terhitung mulai bulan November 2018 lalu saat perayaan Maulud Nabi Muhammad saw, yang mana saat itu tim hadrah masih didominasi oleh orang-orang dewasa, kini grup hadrah sudah 90% beranggotakan anak-anak. Tentu masih dengan bimbingan ustadz atau pengajar TPQ, yakni: Mbah Doel, Pak Fauzi, Pak Zubair dan Bu Ani.


Buka bersama 

Mbah Doel menceritakan bagaimana dulu ketika awal-awal datang sebagai minoritas. Ketika mengadakan pengajian dengan kelompok minoritas muslim, ia sempat mendapat perlakuan kurang enak. Tidak heran memang karena masyarakat lokal masih trauma dengan kelompok teroris yang mengatasnamakan muslim terlebih setelah peristiwa bom Bali. Beberapa orang lokal yang sempat berbincang dengan saya mengaku saking traumanya, ketika mendengar ban motor meletus pun dikira suara bom.

Mbah Doel berharap, ada pihak-pihak berwenang yang peduli dengan keadaan TPQ ini. Sehingga TPQ Al Hidayah bisa berkembang semakin besar, baik berupa bantuan operasional maupun perluasan area belajar supaya TPQ ini tidak hanya mengajarkan ilmu agama saja tetapi juga TPQ yang berbasis entrepreneur dengan memberikan pelatihan-pelatihan kerja sehingga pada waktunya, TPQ bisa menghidupi kegiatan intern secara mandiri. Dengan demikian, para santri bisa mandiri ketika dilepas/ kembali mengabdi ke masyarakat.


***

Eat, Pray, Love (sekuel sepenggal cerita dari Singaraja)



Gaes-gaesque yang baper baca perjalanan cerita dari Singaraja kemarin, mohon siapkan napas, segebog tisu, secangkir kopi serta setoples hati cemilan agar gaes-gaes sekalian tetep tatag/ tegghes dan bakoh seusai baca postingan ini. Tidak ada jaminan apa-apa sih dari isi trip perpisahan ini kecuali ... (tar deh, biar gaes-gaes sendiri yang menyimpulkan).

Sebenarnya waktu itu aque pengen jujur pada partner tripque bahwa trip kali ini bisa jadi adalah trip perpisahan kami sebelum aque balik ke tempat kelahiranque. Aque sendiri tidak tahu kapan aque akan balik ke Bali, entah sebagai pekerja, sebagai juragan atau sebagai turis. Hanya saja aque nggak tega bilang padanya. Dia itu kolokan, kekanak-kanakan. Seringnya sih terlalu jujur, terlalu polos, terlalu percaya pada sembarang orang dan terlalu nurut. Atau... sejatinya dia itu bego? Ya kan polos ama bego beti (beda tipis). Iya sih, dari segi usia memang udah tua lebih banyak darique. Yang yahhh... semua juga tahu bahwasanya usia hanyalah angka dan tidak menjamin kedewasaan seseorang. Bisa dibilang, dewasa adalah pilihan, tua adalah keniscayaan. Ya nggak sih. Udahhh, iyain aja napa. 

Masih dengan jawaban yang sama ketika aque mengajaknya ngetrip pertama dulu.

"Pokok e metu," ucapnya.

"Pokok e metu apa pokok e karo aku?" sahutque menggodanya.

"Trus aku kudu jawab apa?"

Aque sih love you 3000 yakin 3000% kalo dia itu mau, cuman... kalo langsung mengiyakan pasti takut dicap cewek gampangan. Tapi emang gampang kok, gampang banget ngebodohin dia. Ya... karena kebegoannya itu tadi.

Biar dia tidak ngegantungin semuanya ke aque, aque minta dia browsing destinasi yang ingin dia kunjungi. Dia sih ngode-ngode ingin santuy di pantuy. Makanya quetawarkan pantai di Kuta yang free tiket masuk. Tapi dia menolak mentah-mentah. Bahkan khusus hari itu, Kuta menjadi redzone yang haram kami kunjungi.

"Cieceku di sana, nge-BBQ sama kawan-kawannya. Nginep sejak dua hari lalu."

OK. Fix. Kuta kucoret dari list. Sebagaimana aque yang enggan menunjukkan kebersamaan di depan rekan-rekan, quehargai juga ketika dia khawatir kalau-kalau kepergok kakaknya yang di kabupaten sebelah itu.

Dia menawarkan sunset di pantai. Aque menawarkan Uluwatu. Tiba-tiba dia labil dan bilang mau nunggu sunrise di danau, di Bangli. Gila! Bangli, cuy. Berangkat dari sini jam berapa? Dua jam belum tentu nyampai sana. Aque sih mengiyakan karena aque nggak mau berdebat dengannya. Aque akan menuruti semua maunya karena ini adalah harinya.

Namun, praktik tak selalu sama seperti rencana. Pagi itu aque menelefonnya untuk memastikan bahwa ia telah terjaga sepenuhnya. Aque tak menjawab salamnya karena saudaraque dari Buleleng sedang berkunjung dan tidur di tempatque sehingga aque tak mau mengganggu waktu istirahatnya. Lagipula citra jomblo garis lurus fii sabilillah yang quebangun selama lebih dari dua dasawarsa ini bakal ambyarrrr kalau-kalau sampai ada yang mendengar aque sedang telefon dengan kaum hawa. Mana tante-tante pula.

Aque menjemputnya di depan pura, tempat kami janjian. Kemudian motor melaju di atas legamnya aspal. Tiba-tiba dia ngeluh lapar. Heran juga sih sama sosok satu ini, kok nggak ada malu-malunya bilang lapar, bilang capek, bilang ngantuk, bahkan bilang suka atau tidak suka pada sesuatu. Dia itu ekspresif sih kalo menurutque. Mungkin ini efek psikologis atau didikan kebiasaan yang dia dapatkan setelah sekian waktu tinggal في الصِّينِ. Aque mengiyakan sekalian mencari tempat makan ekonomis. Ya kalik dia doang yang lapar, aque juga.

Setelah perjalanan memakan waktu sekitar satu jam, aque menghentikan kendaraan di lapak nasi jinggo. Bagi gaes-gaes yang nggak paham apa itu nasi jinggo, sini aque jelaskan. Jadi, tuh nasi berbungkus kertas minyak tapi dalemnya dilapisi daun pisang dan porsinya mini selayaknya nasi kucing di angkringan-angkringan, di Jogjes. Ya, yang murmerlah, goceng ga masalah, yang penting 'kan kebersamaannya makannya. Aque memintanya mengambil dua porsi. Melihat tubuhnya yang mungil aque nggak tega, persis kayak penderita gizi buruk, padahal aque aja udah one pack gini. Lah dia? Kayak iwak peyek balur, depan belakang rata. Bukan maksudque mengajaknya menggendut bersama tetapi aque mengajarinya makan dengan baik dan benar sesuai porsi manusia dewasa, bukan porsi kucing.

Filosofi Kopi Sachetan

Saat aque membayar makanan, dia melesat ke toko 24 jam. Sebentar, katanya. Nyatanya dia lumayan lama. Heran, kenapa sih perempuan selalu lama kalau belanja? Ya udah, akhirnya aque membuka dua bungkus makanan, mengoplosnya mencampurnya menjadi satu porsi kemudian mulai memasukkan satu dua suap ke mulut. Ketika nasique sudah 60% habis, dia baru muncul dengan segelas moccachino dan air mineral. Kalo boleh milih, saya lebih suka cappucinta cappuchino, secara moccachino itu lebih pekat rasa coklatnya sehingga rasa kopinya kurang nendang (siniiii tak tendang biar kerasa, Kang). Kata dia sih nggak ada cappucinta cappuchino dan nggak banyak pilihan kopi sachetan.

"Kamu tahu filosofi kopi..."

"Oh... film yang dibintangi oleh Chicco Jerikho, Rio Dewantara dan Julie Estele ya?" Buru-buru kupotong kalimatnya. "Itu kan diangkat dari Kumcernya Dee. Dia dapet penghargaan sebagai karya sastra terbaik tahun 2005 dari majalah Tempo loh." Jawabque jumawa.

"Etdah, komplit bener infonya. Bukan tentang film itu. Tapi tentang filosofi kopi sachetan, Dedekkk." Apalagi sih maksudnya, mana didedek-dedekin pula. "Jadi, filosofi kopi sachetan itu mirip kayak aku. Kadang menghangatkan, kadang memuakkan." #plakkk

Dia tertawa penuh kemenangan atas gembelannya gombalannya barusan. Epret. Sok PD lagi. Kalo di Pondok, bener dah nih orok tua bakal aque selepet pakai sarung yang ujungnya aque isi tromol motor Ninja. Paling kalo kena, dia bakal naik mobil wiuwiu atau naik kereta roda empat rupa manungsa. Gratis.

Aque sih diam aja sambil ngunyah nasi. Kemudian mataque memerhatikan kelakuannya. Kalo bisa digambarkan dalam satu kata, dia itu FREAK. Jadi pantas saja kalau kelakuannya aneh-aneh. Lah gimana nggak aneh, segelas cappu
cinta moccachino yang tadi dia sodorkan ke aque tiba-tiba diambil, diciumin aromanya. Dikiranya kalo makanan atau minuman yang udah disesap gitu bisa bikin perut jadi kenyang kalik. Udah mirip kelakuan arwah dalam film-film Hong Kong kalau dikasih sesajen atau dibakarin dupa.

"Mau?" tanganque menyodorkan moccachnino tadi. Dia menggeleng. Ekspresi antara kekenyangan dan sayang membuang makanan tergambar jelas di wajahnya. Ciyaaaan deh. Aque hanya memerhatikan dia yang susah payah menghabiskan makanannya.

Eat, Pray, Love

Sekian menit kemudian, kami meluncur ke Uluwatu hingga melewati jalan Labuansait, Aque auto melambatkan laju kendaraan ketika dia memekik kata pantai. Aque putar haluan, putar arah ke Padang-Padang Beach.

Karena kepagian, penjaga tiket belum ada sehingga kami masuk tanpa biaya. Lagipula, di pantainya juga belum banyak orang. Kami puasss banget menikmati alamnya, udaranya, ombaknya, pantainya, suasananya, viewnya, semuanya. Jadi gini, gaes-gaes sekalian. Padang-padang beach yang juga dikenal sebagai Labuansait ini pernah jadi tempat syuting film Hollywood dengan judul Eat, Pray, Love yang dibintangi oleh Julia Robert, yang diangkat dari novel best seller karya Elisabeth Gilbert. Novel ini menceritakan tentang perjalanan pencarian jati diri seorang perempuan, Liz (Julia Robert), ke Italia, ke India lalu ke Bali, sehingga ia menemukan cinta sejatinya, Felipe, seorang pria Brazil. Gitu. Fiuhhh, cepek juga mendongeng buat gaes-gaesque semua.

Mentari yang meninggi dan gerah yang mulai melanda, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke pura Uluwatu. Karena tidak ada kepentingan di pura dan kami juga bukan penganut agama Hindu, kami hanya berkeliling-keliling saja. Nah, ketika di rest area yang menyediakan tempat untuk duduk-duduk, dia mulai mengeluarkan snack dari dalam ranselnya, seekor saudara kembarnya monyet mendekat, sepertinya ingin berebut makanan. Ya iyalah, monyet di sini aktif banget dengan pengunjung yang membawa atau memberi makanan. Makanya tertulis larangan memberi makan monyet. Kami pun kabur ke taman bougenfil.

Aque sempat mendengar turis berbicara bahasa China. Dia memperjelas bahwa turis tadi berbicara bahasa Kantonis, bahasa keduanya setelah bahasa Indonesia. Hanya saja dia enggan show off kemampuannya.

"Akan ada waktunya kamu mendengar aku ngomong pakai Kantonis. Di tempat mbakku, di kampung Kantonis, mungkin."

Ah, epret.

Ya udah, kalo kamu nggak mau, biar aque aja. Mumpung ketemu orang Arab dan aque sendiri juga orang 'arap' (arap maklum, arappati nggenah), ya udah, ngobrol ngalor ngidul nggak jelas. Yaaa, sekalian tes mental dan tes 'grammar'. Hawong kadang aque selingi obrolan pakai bahasa Arab sama dia, dianya nggak paham. Makanya, memanfaatkan momen ketemu native Arabic. Yaaa, azaz kebermanfaatan gitulah. Memanfaatkan ilmu untuk disampaikan walau satu kata atau satu kalimat. Nyatanya, dia nggak kuat mendengar obrolan dalam 'bahasa planet'. Akhirnya dia mlipir dan menjauh dari rumpun bougenfil tempat kami berteduh dari teriknya matahari, kemudian membuat dokumentasi/ stok foto tebing Uluwatu. Saking asyiknya, dia sampai tidak sadar ketika aque kageti. Haha, skor 1:0.



CappucintaCynophobia dan Trypophobia

Selanjutnya, kami menuju masjid Palapa, setor muka sebelum ngasih makan cacing-cacing kremi di dalam lipatan-lipatan jonjot di dalam perut. Biasalah... tempat makan manalagi yang ekonomis di area wisata begini selain warung-warung pinggir jalan atau gerai Circle K, Indomaret, Alfamart, dan sejenisnya.

Dan gara-gara tadi pagi cuman nyeruput cappucinta chococino, siang ini aque bayar dengan segelas cappucinta cappucino, kritik kripik, roti sisir dan banana cake. Kenyang? Iya, tapi sementara. Secara perut Indonesiaque nggak aci kalo nggak makan nasi, berasa belum makan kalo nggak pakai nasi.

Dari sana kami meluncur ke pantai Balangan. OMEGOTTT, banyak kali anjing di sini. Mana tebing dan karangnya bolong-bolong. Aque auto merinding disko secara aku  kan CynophobiaI* dan juga Trypophobia*Demi apa cobak kuterabas semua fobiaque itu? Demi nyai (auto nyanyi). 

Untunglah semua itu terbayar dengan view yang memikat dan hasil foto yang lumayan. Terutama stok foto sama bule agar aque bisa pamer sama Risk atau Wild, dua cecunguk sahabat baik saya yang ‘lurus’ di dalam tapi mbliyut di alam. 

Destinasi terakhir adalah Dreamland beach. Sebelum ke sana, kami balik lagi ke masjid Palapa. Sengaja sih nyari destinasi yang searah atau seputaran Uluwatu supaya efisien waktu, tenaga, dan bensinnya haha. Ya kan pejalan retjeh macam kami ini sudah seharusnya memertimbangkan 'cost dan biaya operasional' lainnya. Hawong cashback yang hanya seribu duaribu aja dikejar. Dan memang kami bisa halan-halan begini dari seribu duaribu itu tadi. Etdah, tjurhatttt. Hei... sebagai manusia dewasa, kita kudu tau kapan harus irit kapan harus loyal. Nawang

Nah, di dreamland ini, aque menikmati banget debur ombak dan sensasi senjanya sembari melihat mentari berwarna oranye seperti kuning telur asin, meski hanya dalam ketinggian seujung tombak di atas penderitaan orang lain garis horizon. Dan ketika kuning telur asin itu mencumbu bumi, aque bergegas pergi. Dia? Dia yang tergila-gila dengan senja sepertinya enggan beranjak. Entah alasan bikin photo stock, night shot, slow speed, atau apalah itu. Bodo amat.

"Nanti aja di jalan kan juga bisa." Aque berjalan pergi. 

Mau nggak mau dia ikut. Apa iya mau aque tinggal sendiri di sini? Padahal aque mbujuki. Gampang aja kok ngebodohi cewek. Dikasih 'harapan' dikit aja, pasti deh hidupmu aman sentosa. Ya gimana, secara waktu sholat maghrib itu pendek. Belum lagi perjalanan balik ke rumah bisa satu hingga dua jam plus macetnya.

Sialnya, makan malam yang rencananya di warung seblak, ternyata gagal total. Muter-muter daerah Tengku Umar, hampir sebanyak jumlah jari tangan ternyata alamat yang kami cari tidak ada. Dia sih ngakunya udah pernah ke sini. Kalo memang iya, mana mungkin tiba-tiba nggak ada. BIANGKEL, aque!!!

Sensasi Asyique berduaan di atas Motor

Aque ngegas-ngopling dengan rasa lapar dan kesal yang mendera. Ya kan dari tadi aque belum makan nasi dan perut Indonesiaque masih meronta-ronta minta diisi. Ditambah dia baca petanya 'yaaa, gitu deh' alias terlalu lambat instruksinya. Malah cepetan aque liat rambu lalulintas! BIANGKEL kuadrat.

Tapi, ya udahlah. Suasana mencair lagi dengan seketika saat aque bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Aque memintanya mendoakanku bisa beli mobil-mobilan

"Ngapain beli mobil? MOBILang apaaaa akunyaaa?" Nah kan, nah kan, kumat lagi alaynya.

"Wisto, Mbok. Dongakne aku."

"Tau nggak, sensasi naik motor itu asyique. Sini saya kasih contoh.

  • Coba deh elus-elus dengkul cewekmu pas macet atau saat nunggu lampu merah. Kelihatan modus sih tapi bikin cewek berdebar-debar loh. Belum lagi gas-kopling-gas-kopling, ngegas-selaaawww-ngegas-selaaawww, yang bikin tangan kejang itu membuat helm jedot-jedotan. Nggak marah, kan? Malah romantis. Belum lagi kalo kamu beruntung punya cewek yang 'massa depan'nya besar berat. Beuggghhh, menang banyak kamu. Pasti kamu menikmati banget sensasi ngganjel ituAwas aja tanya: "Ganti ukuran bra, ya? Kok beda?" #plak
  • Nih misalnya lagi berantem dan ngambeg-ngambegan di atas motor, cewekmu duduknya munduuur sampai ujung jok, di atas plat motor, trus kamunya duduk majuuu sampai depan stang, pasti kalian ketawa bareng. Ngambeg selesai dengan indah. #ngakakkejang
  • Ini yang sering kamu keluhkan ketika aku hanya menjawab ha-he-ha-he saat kita ngobrol. Padahal kamu udah kenceng ngomongnya. Itu loh aku udah ngedeketin kupingku di wajahmu biar aku jelas dengernya. Udah, yang ini jangan tanya sensasinya. #eakk
  • Apalagi cewekmu berukuran mini yang apabila mau naik, kudu pegangan pundak atau pinggang. Kalo dia udah naik, kamu bisa tanya: "Udah? Kalo udah, kayuk turun". Becanda retjeh gini udah bikin kembut-kembut, taukkk. #ngakakkejang
  • Belum lagi semesta mendukungmu dengan memberi cuaca yang lumayan dingin. Kamu bisa nge-treat cewekmu dengan menarik tangannya lalu kamu masukkan ke kantong jaket atau hoodie yang kantongnya nyambung itu. Udah, nggak usah tanya lagi endingnya. Anget. Angetnya sampai ke hati. #eh

Gitu, Dedek. Iya, aku doain asal aku bisa ikut menikmati mobilnya. Eh. Tapi etapi, kalo mau sesuatu itu harus dipikir masak-masak, beli sesuatu itu harus ada keberwkwkwkannya kebermanfaatannya."

Bisa ae nih tutup dandang cilok ngebucin. Tapi, emang bener sih yang dia omongin.  Beli sesuatu apalagi barang beginian kalo cuma ngejar gengsi biar diliat strata / status sosial naik mah buat apa? Cuman... karena kita udah sampai warung langganan, aque nggak menanggapi cerita-cerita asyique boncengan sama cewek di atas motor. 

Begitu turun, dia minta menu yang sama denganku. Dia sendiri nyebrang ke toko depan untuk membeli jepitan baju. 

Dari sini aque mulai paham kalau dia itu sebenarnya makannya gampang cumin kadang agak picky alias milih-milih. Begitu juga minumnya. Saat dia menghadap piringnya, dia menaruh telur goreng di piringque. 

"Kamu aja yang makan. Udah ada ikan (teri). Telur dan ikan sama-sama sumber protein. Aku nggak mau berlebihan." Gila, gini aja dihitung. Ribet amat hidupmu, mbok.

"Minum apa?" tanyaque.

"Jerman."

"Nggak pakai es?" Dia menggeleng.

OK, akhirnya aque memesan jus alpukat dan segelas jerman (jeruk manis) hangat. Dia bilang, jarang-jarang minum es karena khawatir bakal kena batuk atau pilek bahkan demam. Dia hanya minum es kalau es batunya buatan sendiri. 

Begitu waktu makan selesai, terlihat piringnya bersih dari nasi serta sayur dan hanya menyisakan sambel teri. Aque cemilin dah tuh sambel. Aque ketawa aja liat ekspresi kagetnya. Di sana seolah-olah tertulis kalimat : 
Hey, ini 'hanya' sambel teri sisa. Kamu nggak harus memakannya. Masa kamu mau sih makan sisaku. Aku loh bukan apa-apamu. Kalo dari awal sebelum makan aku memintamu mengambilnya, itu masih wajar. Lah ini... sisaaaa. Apa aku harus menikah samamu agar kamu bebas makan bekasku dan aku bebas makan bekasmu? #Eh. Mana kamu santai gitu nyemilnya. 

Akhirnya, aque tatap aja balik. Biar mataku ini menjawab voice overnya :
Halah, ribet amat, Mbok. Menghabiskan makanan itu bagi aque sih kewajiban. Karena kita tidak tau pada suapan keberapa berkah makanan itu berada. Lagian, kalo dibuang kan mubadzir. Sayang duitnya (tuh kan, belum apa-apa udah sayang). 

Aque mengantarnya kembali di tempat kita ketemu tadi pagi. Sepertinya dia enggan pulang secara dia pengen makan roti bakar. Gimana mau nuruti kemauan dia, lah saudaraque sudah menunggu di rumah dengan perut dangdutan keroncongan secara sodaraque tadi minta dibawakan oleh-oleh/ nasi. 

Dia turun dengan terpaksa. Kami berpisah. Dan entah kapan lagi momen seperti ini akan ada lagi. Doakan saja ya, gaesss. 


Note: 
Cynophobia = fobia anjing
Trypophobia = fobia lubang-lubang kecil

***



2019-10-15

A Good Goodbye Or Hell Hello, Paijo?



Saya Mah Bisa Apa?


Hai, kamu. Apa kabarmu?

Saat ini kita memang tidak sedang bersama. Namun, saya tetap akan menyampaikan banyak hal ke kamu. Banyak pertanyaan yang ketika mulai saya pilihkan diksi agar kamu nggak ngegas ternyata malah tercekat di tenggorokan. Saya hanya mampu menerka-nerka semua potongan kejadian selama ini dalam … diam. Lagipula, jika saya mengatakan yang sejujurnya, kamu bakal sakit hati ataupun kecewa. Kecewamu bukanlah yang saya mau.


Saya sempat berfikir tentang sandiwarakitamu di depan semua orang, pertanyaan seputar calon adik iparmu selama menjadi teman sejawat saya (dulu), ketika kamu pisah rumah sama bapak mamak, kamu yang tidak kerasan di sini, kamu yang akhirnya pergi dan terlalu cepat kembali lalu pergi lagi, tentang rencanamu yang sangat rapi kamu tutupi, semuanya, semuanya. Sebenarnya ada apa?


Saya merenung, berbicara pada diri sendiri, pada cermin, pada tembok, pun pada tiang listrik! Akhirnya saya sadar, ya, saya sadar, saya hanyalah sepotong puzzle dalam bingkai hidupmu, tak lebih. Bahkan untuk berbagi resahmu pun tidak.


Nek gak ngerti, meneng o. Kalo nggak ngerti, diam!”


Saya kaget. You're so rude. Kamu sengajakah melempar kalimat itu? Ok, saya akan diam, bila perlu … selamanya. Ya, saya memang tidak mengerti, dan saya tidak perlu mengerti. Siapalah saya. Saya hanya pemberhentian sementara.

“Coba hitung, aku merangkap jadi sopir dan tukang fotomu?”


Speechless. Baiklah, baik. Jika semua yang telah kamu lakukan adalah transaksi, berapa yang harus saya bayar? How much should I pay then.... Itulah yang selalu saya takutkan ketika meminta pertolongan jika berakhir dengan pengungkitan. Mungkin saya terlalu naïf dan menganggap di dunia ini memiliki standar yang sepadan dengan saya. Yang saya tahu, saya melakukan sesuatu karena saya mau. Saya melakukannya secara sukarela.


Kamu ingat nggak ketika saya sempat mengeluh bahwa yang saya lakukan tidak pernah berbalas apa-apa, tidak ada yang menolong saya ketika saya bermasalah, termasuk kamu. Saat itu (mungkin) saya lelah, saya (hampir) menyerah. Saya jatuh dan dengan susah payah saya bangkit lagi. Maklum, saya masih manusia. Semakin ke sini, saya semakin paham bahwa pasrah setelah melakukan dengan sebaik-baiknya adalah sebuah keharusan, dan saya masih terus belajar untuk itu.


“Aku disuruh nyiram bunga, sudah aku siram. Kalo bunganya mati kan itu takdir.”


Ya, mungkin bagimu ini sebentuk kepasrahan. Hanya saja, sudahkah kamu melakukannya dari hati. Bila pada bunga ada hama, sudahkah kamu membasminya? Bila pada bunga kurang nutrisi, sudahkah kamu teliti? Seperti itulah dalam pikiranku saat itu. Karena bercocok tanam tidak semena-mena begitu.


Kamu tahu? Saya (mungkin) adalah manusia bodoh. Naluri saya mengatakan akan terjadi kisah berulang, akan ada rasa sakit di depan. Saya meyakinkan diri sendiri, saya menanyakan pada kamu untuk memastikan bahwa semua akan baik-baik saja. Nyatanya, begitu kita melakoninya, semua berakhir dengan tidak baik-baik saja.


Apakah saya murahan ketika saya memberikan nomor kontak secara blak-blakan? Apakah saya murahan ketika dengan gampang diajak jalan-jalan? Apakah saya murahan ketika saya mengatakan iya pada hal-hal yang abu-abu? Salah satu orang yang mengatakan bahwa memberi nomor kontak pada orang asing secara gampang itu perempuan murahan adalah mamakmu (meski saat itu bukan saya yang dimaksud, tapi dia yang membuat dejavu). Sempat sedih, sih, karena orang yang berkata seperti itu adalah orang yang saya anggap  mampu melihat masalah dari dua sisi dan berada pada situasi netral. Saya berfikir (lagi) bahwa kebahagiaan saya bukan dari omongan orang tapi bahagia berasal dari diri saya dan usaha saya sendiri. Kini saya tidak lagi peduli. Mereka kan tidak punya andil apa-apa dalam hidup saya. Toh yang saya lakukan masih dalam tahap wajar, tidak ada hukum ataupun norma yang saya langgar. Jika asumsimu iya, biarkan saja saya murahan!!! 

Saya sempat meminta agar kamu tetap di sini, bukan demi saya tapi demi anak-anak adek-adek. Bukan, bukan saya memanfaatkan kamu apalagi mereka. Hal itu saya lakukan karena ingat saat kamu bilang bahwa kamu menyukai anak-anak. Seberapa pun ketidak kerasananmu di sini, ketika kamu berinteraksi dengan mereka, semua lelahmu hilang. Sama seperti yang saya rasa, mereka mampu menyuntikkan energi dan hormon kebahagiaan dari pelukan, ketulusan dan kepolosan yang mereka berikan. Apakah permintaan saya agar kamu tinggal lebih lama itu berlebihan? Atau malah terlihat seperti mengemis? Tidak, saya sedang tidak mengemis. Saya berpura-pura meminta kamu tinggal lebih lama. Saya hanya memastikan bahwa kamu sedang tidak bersandiwara sebagaimana yang dilakukan calon adik iparmu.

Begitu juga dengan futsal. Bagaimana dengan latihan tiap malam Sabtu yang kamu lakukan usai mengajar? Bagaimana kabar clubmu di kecamatan sana ketika kamu tinggalkan? Bukankah akan ada pertandingan? Bagaimana dengan rencanamu bekerja di pagi hari lalu mencari partime di sore hari? Bagaimana pula dengan berbagai lamaran pekerjaan yang kamu lemparkan?

Lalu, dari semua rangkaian ini, manakah yang sebenar-benarnya kenyataan? Ketidakjujuran apalagi yang kamu sembunyikan? Jika menurutmu kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda dan berharap kebohongan adalah kejujuran yang tertunda pula tetapi tidak berlaku dengan saya. Kebohongan tetaplah kebohongan. Dan untuk mengembalikan kepercayaan, hmmm ... tunggu saja sampai lebaran kuda. 

Kamu ingat saat kita ngobrol bersama Dedey dan Aay? Saya membenarkan bahwa apa yang bapak lakukan dan perlakuannya pada calon adik iparmu itu agak berlebihan. Terlebih latar pendidikan calon adik iparmu yang seperti itu. ‘Dia’ itu belum menjadi siapa-siapa tapi bapak menganggap dan memperlakukannya sudah seperti siapa-siapa. Pada semua orang, bapak pun mengumumkan dia itu sudah seperti siapa-siapanya. Saya yang saat itu hanya menyimak, sempat berfikir, bukankah ada kamu? Kenapa malah mengungul-unggulkan dia? Kalian kan sama-sama keluar dari jalur akademis yang sama. Saya mencium aroma ketidak adilan di sini. Padahal kamu kan anaknya? Harusnya kamu yang diagung-agungkan, kamu yang didahulukan, kamu yang diprioritaskan. Tapi nyatanya kamu malah kalah sama dia yang datang belakangan dan bermodal ‘cinta’ untuk adikmu. Enak ya jadi dia. Jodoh disodor-sodorkan, kerjaan dicarikan, tempat tinggal disediakan. Kamu yang pada semua orang dipamerkan sebagai anaknya apa kabar? Apakah harus digaris bawahi bahwa kamu hanya 'anak'nya. Sempat kamu meminta saya agar tidak menyamarakatakan dengannya. Tenang saja, saya tidak akan membanding-bandingkan kamu dengan dia. Toh kalian adalah dua orang berbeda. Sepertinya memang tidak perlu ada matahari kembar di sini. Bila kamu tahu diri, kamu memang seharusnya pergi dan tidak untuk menetap kembali. Jangan sampai lulusan nganu bahkan mengenyam pendidikan tinggi dari sebuah institute di timur Jawa hanya membusuk bersama aroma bensin, minyak rem dan oli.

Saya mengerti kekhawatiranmu sebagai kakak. Saya paham ketakutanmu apabila dia hanya main-main (pada adikmu). Kenapa kamu berfikir kalau dia hanya main-main? Berarti selama ini kamu juga suka main-main? Coba kamu melihat dari sisi adikmu, bagaimana adikmu mabuk oleh cintanya? Sebagaimana pasangan dimabuk cinta, kamu pasti paham betul bagaimana adikmu itu. Atau... kamu tidak mengerti bagaimana rasanya? What a pity. Coba kamu lihat bukti berbentuk bulat yang menggantung di dekat foto wisudamu, di kamar adikmu. Tataplah gantungan kunci bergambar pasangan muda-mudi selayaknya pengantin baru itu? Apakah kamu tidak kasihan sama adikmu? Maaf, bukan saya lancang, tapi mata saya tidak sengaja menemukannya saat itu. 

Kamu mengerti kan sosok yang saya maksud?


***

Eniwe, buswe, subwe... terimakasih sudah meluangkan waktu bersama. Percayalah, sekarang saya baik-baik saja, sangat sangat sangat baik-baik saja.


Tentang Seseorang

Kulari ke hutan, kemudian menyanyiku
Kulari ke pantai, kemudian teriakku
Sepi, sepi, dan sendiri
Aku benci

Aku ingin bingar
Aku ingin di pasar
Bosan aku dengan penat
Dan enyah saja engkau pekat
Seperti berjelaga ketika kusendiri

Pecahkan saja gelasnya
Biar mengaduh semakin gaduh
Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton putih
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya, biar terdera
Atau aku harus lari ke hutan lalu belok ke pantai?

Ada Apa Dengan Cinta, 2002

GOOD-bye trip kemarin telah menuntaskan diksi-diksi puisi film AADC 2002 di atas. Iya, kamu sudah membawa saya ke hutan lalu belok ke pantai. Saya menikmati momen itu meski sempat merasa aneh karena bukan kamu banget ketika perjalanan itu harus aku yang mengatur itinerarynya. Pakai logika saja, kamu yang ngajakin, kamu yang janjiin, bukannya kamu yang menentukan itinnya. Toh saya akan selalu and always sami'na wa atho'na. Saya akan selalu suka itin yang kamu pilih. Terlebih kita selalu menyempatkan mampir ke rumahNya. Jelong-jelong sama kamu tuh nggak hanya ngejar senengnya tapi juga ibadahnya. Apalagi masalah makannya. Jangan tanya. Bisa-bisa kita menggendut bersama. Dan saya manut-manut saja ketika porsi kita setara.

Masih ingat momen pertama makan bersama? Saya bilang bahwa kita harus habisin makanan, nggak boleh buang-buang karena belinya pakek duit dan untuk mendapatkannya perlu perjuangan, keringat dan airmata.

“Pakek engkol juga,” tambahmu.

Momen kedua adalah porsi kuli di rumah Dedey. Dan selanjutnya, dan selanjutnya. Porsi gila. Saya tipe orang yang thokngok, blakkotang, terbuka dan apa adanya. Jadi mohon dimengerti, beginilah hasil didikan luar negeri.

Untuk ke gunung, saya tunggu undangannya suatu hari nanti, di tempat kelahiranmu.

Sekali lagi, terimakasih atas serangkaian kebersamaannya. Terimakasih atas segala teka-tekinya. Terimakasih atas  tertutup rapatnya segala rahasia. Meski sebenarnya, saya masih 
 memendam tanya, Paijo, sebenarnya maksud ini semua ini apa? 

Baeglah. Apabila niatmu sudah bulat, pergilah dan jangan menengok ke belakang. Apapun tidak bisa menahanmu di sini. Asudahlah. Asal kau bahagia. Dan jahatnya, kamu tidak pernah berkabar. Saya benci. Suatu saat, jika kamu datang untuk singgah, tolong katakan, agar saya hanya menyuguhkan kopi atau roti, bukan hati.

Dalam serangkaian perjalanan kehidupan, ada yang datang, ada yang pergi. Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Karenanya, ada GOOD dalam goodbye dan ada HELL dalam hello. Which one are you?

***

Crooks

Yeongwonhan geon jeoldae eobseo
(tak ada yang abadi)
Gyeolguge neon byeonhaetji
(akhirnya kau juga berubah)
Eochapi nan honjayeotji
(aku sudah terbiasa sendiri)
Neo hana mitgo manyang haengbokhaesseotdeon naega
(sempat aku percaya padamu dan aku bahagia)
Useupge namgyeojyeosseo
(namun ternyata aku ditinggal sendirian)

G-Dragon, 2013

***

2019-09-28

Sepenggal Cerita dari Singaraja



Saat menulis ini, list di Sportify sedang mengalun lagu Hanya rindunya Andmesh, yang ternyata pengaturannya diulang satu lagu itu saja. Yaaa, gimana ya, lagu ini menusuk banget buat backsong nulis. Secara saya sedang rindu mengingat kembali kisah perjalanan saya ke Singaraja bulan lalu, hahaha. Eit, jangan negatif dulu. Kalo tidak nge-flashback, gimana saya bercerita, gimana saya mengisi lembar-lembar cerita nekad yang sudah lama tidak saya tengok?

Jadi, gini. Minggu sore itu ada pesan di Whatsapp, yang ketika saya buka ternyata dari Paijo, demikian saya memanggilnya. Ia berbasa-basi sedikit, menanyakan waktu longgar saya dan mengajak saya ke Singaraja. Saya tidak mengiyakan atau pun menolak. Galau, cuy. Siapa sih saya kok tiba-tiba diajak ke Singaraja, berdua saja. Lagipula, Paijo itu orangnya kek mana kan saya juga nggak tau. Gimana kalo dia suka nggigit? Bisa-bisa saya kena rabies!!! Padakno asyiu wae, Cuk.

Sebenarnya ke Singaraja itu dalam ‘rangka tugas negara’, cuman ... perjalanan ke sana yang kira-kira perlu waktu 5-6 jam pulang pergi harus molor hingga 16 jam. What the fff... Iya, kami mlipir dulu, jelong-jelong, menikmati sudut Bali yang belum pernah saya injak. Itulah kenapa dia ngajak saya seorang. Jangan-jangan dia cuma mau bayar janji tiga hari sebelumnya yang tidak dia tepati? Eh, nggak juga sih. Dia udah ‘bayar’ kok janjinya di daerah Pererenan. Ketika saya interogasi pun jawabnya hanya sebatas formalitas saja. Perempuan itu Maha Tahu pada hal-hal yang tidak beres macam ini, Ferguso.

Setelah nego sana-sini, tukar jadwal shift, sebuah teka-teki kenapa perjalanan kami berdua harus disembunyikan, identitas saya juga harus disamarkan serta serangkaian ketegangan urat syaraf, akhirnya jadwal kami ke Singaraja diundur dua hari ke depan dari awal chat di WA, tepatnya hari Rabu mendatang.


Semesta Tidak Merestui (?)

Dari hari Minggu hingga Selasa, cuaca sangat bersahabat. Matahari bersinar dengan mocernya. Tapi Semesta berkehendak lain. Rabu pagi yang masih sangat dini, pada jam yang disepakati, tanpa kabar-kabar dulu, hujan tiba-tiba turun. Deras pula. Saya harus berdiri di tempat penjemputan yang telah kami sepakati dalam keadaan langit yang masih gelap gulita, basah, sendirian pula. Paket lengkap. Saya auto menghubunginya. Ya iyalah, enak aja anak orang dicengar sendirian di pinggir jalan tanpa kepastian? Perempuan itu butuh kepastian, Mas.

Akhirnya kami hujan-hujanan menuju gerai 24 jam. Sambil menikmati roti dan kopi yang tidak terlalu panas, kami berdiskusi sedikit dan menyinggung destinasi yang akan kami datangi. Hujan bukan mereda tetapi makin deras. Mau balik kucing pun tidak bisa karena alat yang akan kami ambil akan dipakai Kamis malam. Seandainya perjalanan diundur sehari kemudian, rasanya saya tidak bisa tukar shift lagi pun dia bakal dicecar habis-habisan sama big bosnya.

Jam terus berjalan. Mau nggak mau kami menerobos hujan yang sebentar deras sebentar mereda.

Tapi itulah ajaibnya, belum juga kami melewati area kecamatan Kediri, hujan sudah tidak tampak lagi. Sisa-sisa hujan hanya serupa sisa embun semata. Lalu, bagaimana dengan kondisi sekian menit lalu ketika kami basah kuyup? Kami? Dia aja yang basah, saya sih enggak. Ya kan saya berlindung di balik punggungnya hahaha.

Saya sempat berfikir, semesta sepertinya tidak merestui. Tuhan pun sedang mengajak bercanda. Ya, ya, ya, lucu, lucu.

Langit yang masih menyisakan warna kelabu, udara pagi yang menusuk, dan sisa-sisa hujan barusan benar-benar perpaduan yang pas ketika kami ... emmm, nganu. Nggak jadi ah, biar saya, dia, Tuhan dan malaikat yang tahu.

Nggak deh, saya nggak nge-prank. Jadi, dia itu lagi flu. Ada sebuah tragedi yang lucu sekaligus menjijikkan menggelikan. Nah, dia bilang pada saya agar minggir ke kanan dikit dari jok motor tempat saya duduk. Ketika itu saya kurang ngeh sih yang dia bilang karena laju angin menyamarkan instruksinya.

Dia melambatkan motornya untuk mengeluarkan ingus. Apa lacur, si ingus malah menempel di lengan jaketnya. Bayangkan, gaez, bayangkan. Wadefakkk. Saya memintanya menepi dan menghentikan motor di sembarang tempat, toh saat itu lalu lintas tidak terlalu padat. Kemudian saya ambil tisu dan menyerahkan padanya untuk membersihkan diri dari tragedi barusan. Dan sebelum tragedi ini hilang dari labirin-labirin memori otak, saya menuliskannya di sini, kalau toh dia menemukan tulisan ini, biarlah dia misuh-misuh istighfar berkali-kali.


Kebun Raya Bali

Cuaca mulai normal. Suhu udara masih saja dingin. View perjalanan menampakkan wajah alam Bali yang asri, sawah dan pohon-pohon kelapa melambai, kebun-kebun sayur dan setroberi sejauh mata memandang, pun nampak orang-orang berselendang yang memanggul canang serta keriuhan di beberapa spot pasar yang kami lewati. Dia bilang, Singaraja ada di balik bukit itu. Saya hanya mengiayakan toh selama ini saya hanya mendengar nama Ibu Kota Kabupaten Buleleng itu tanpa pernah numpang pipis menginjakkan kaki di sana. Ya maklum, selama ini jalan-jalan saya kurang jauh, hanya antara kamar mes dan kamar mandi doang. Itu pun sambil sa’i (berlari-lari kecil) karena kebelet ‘panggilan alam’. Bila saya ingin membandingkan, perjalanan menuju destinasi pertama ke Kebun Raya Bali ini serupa (meski tak sama) dengan perjalanan menuju telaga Ngebel, Ponorogo atau Telaga Sarangan, Magetan.

Motor berjalan dengan kecepatan di atas rata-rata. Saya mengepalkan kedua tangan di depan dada sambil bersembunyi di balik punggungya untuk menghindarkan diri dari dinginnya tiupan angin. Jaket yang saya pakai ternyata tidak banyak membantu. Ya maklum, boleh dibilang, ini bukan jaket yang pas buat perjalanan pakai motor dengan medan seperti itu. Kalo sudah begini saya jadi kangen jaket parasut kesayangan yang sekarang ada di Bengkulu, heuheuheu.

Usaha saya untuk menghangatkan badan masih gagal. Saya bilang padanya bahwa saya kedinginan. Dia meminta saya memasukkan tangan ke kantong depan jaketnya. SEKALI LAGI, SAYA HANYA MEMASUKKAN TANGAN KE KANTONG JAKETNYA. Suer, malu tauk posisi meluk kek gitu. Tapi, dipikir-pikir, anggap aja ini keadaan darurat. Boleh kan ya hukumnya, hahaha. Daripada tar pulang dari Singaraja malah kerokan?

Jaket tebelnya yang udah kayak jaket musim dingin itu berangsur-angsur mengusir dingin yang menggigit. Secara posisi sopir yang rawan berhadapan langsung dengan angin dan benda-benda terbang lainnya, tentu sudah siap-siap perlindungan ekstra. Tuh kan, tubuh sendiri aja dijagain baik-baik, apalagi penumpang di belakangnya. Jadi makin sayang deh sama sopir satu ini. Eh. Plakkk self.

Sampai di sana, kami segera berkeliling, mencari spot foto yang uploade-able. Keinginan saya untuk ngevlog terpaksa saya pendam dalam-dalam karena asing dengan medan.

“Bukannya sudah aku kasih tau destinasinya,” protesnya. Ehhh, iya ya. Mungkin saat dia ngomong, saya lagi nggak konsen. Raga di mana, jiwa di mana. Duh, pengen jedotin kepala ke tembok bantal.

Akhirnya saya memintanya sekrol-sekrol HP, searching. OK, dalam hati kecil saya, saya berjanji akan membuat tulisan perjalanan ini dengan dua versi, untuk blog dan untuk media. Semoga.

Kembali ke Kebun Raya, pohon-pohon menjulang, bunga-bunga, patung-patung, hamparan rumput, flying fox ala-ala, kolam dan beberapa tempat lainnya begitu menarik untuk disambangi apalagi bagi bajingan syariah macam kami penikmat alam yang masih perawan. Hanya saja, otak saya yang gedenya tak sebesar batok kelapa ini hanya mampu merekam sekian persen saja. Lainnya serahkan saja pada kamera. Itu pun banyak fotoselfie/ wefie. Pun waktu yang terbatas dan tugas negara masih menanti, membuat kami hanya bisa menghabiskan waktu sekitar tiga jam di sana. Tiga jam itu kurang? Ya kuranglah secara kebun raya, Cuy, bukan kebun singkong belakang rumah. Suer, ini perjalanan yang benar-benar dilakukan dengan berjalan kaki. Untunglah selama ini saya nge-treat tubuh dengan lari di lapangan Beraban seminggu satu atau dua kali. Sehingga ketahanan fisik masih terjaga. Kalo enggak? Pasti deh: ora los njuk rewel!

Singaraja dan Sepiring Tipat Daging

Sebagaimana tipe-tipe di area pegunungan lainnya, ketika siang, matahari malah bersembunyi di balik awan. Padahal, saya menunggu cahayanya untuk mendapatkan efek bayangan dalam beberapa foto yang ingin saya buat karena spot foto yang saya cari baru ketemu pada perjalanan kembali ke area parkiran. Belum jodoh, belum rejeki, dan mungkin lain waktu harus diulangi!!!

Keluar dari Kebun Raya, kami segera ke Singaraja karena dari tadi HP dia berdering berkali-kali, baik telefon dari Tabanan maupun dari Buleleng, menanyakan posisinya secara dari sebelum jam 6 pagi dia sudah keluar rumah. Suer, pengen ketawa tapi takut dosa. Ya kan emang perjalanan kami berdua ini hanya orang-orang tertentu saja yang tau, khususnya rekan kerja saya (untuk masalah perijinan). Baginya, keluar dengan ‘teman’ macam saya ini adalah dosa besar yang tidak perlu diumbar apalagi sampai ketahuan teman atau keluarganya. Malulah sama almamater.

Mungkin karena efek usia kelelahan, lapar, ditambah udara dingin plus posisi pundak sopir yang lebar dan masih kosong, kepala ini dengan mudahnya bersandar di sana. Tidur pula. Kurang ajar betul kepala ini. Apa kepala ini tidak tahu bahwa pundak sopir di depan saya ini pundaknya mantan anak P*nd*k P*s*ntr*n yang (casingnya) lurus-lurus saja (tapi nggak tau dalemannya)? Kepala siapa sih ini? Pasti deh kepala mantan anak pondok Ramadan. Bedebah betul, kamu!

Saya memaki-maki dalam hati. Tapi ya gimana, dia yang ngasih kesempatan hahaha, hawong dia yang nyuruh thoat alias nurut. Saya sih iyes-iyes saja, daripada diturunin di tengah jalan. Takuuut.

Saya terbangun dengan sedikit kaget saat helmnya dibenturkan dengan helm saya. Dia mengeluh. Ngantuk, katanya. Kami pun menepi di warung kecil di pinggir jalan, di daerah Singaraja. Dia memesan segelas kopi hitam sedangkan saya segelas jeruk hangat. Niat hati ingin berhenti dan tiduran sejenak, namun kandang babi yang terletak di dekat warung mengeluarkan aroma tidak sedap.

Tak perlu berlama-lama, kami segera meneruskan perjalanan guna mengambil alat di rumah ... A. Sampai di sana sudah masuk waktu dzuhur. Sebelumnya, seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, saya diwanti-wanti agar begini-begini dan begitu-begitu. OK, saya mendengar dan saya taat hahaha, demi keamanan kan ya.

Saya baru merasakan cuaca panas dan gerah ketika masuk daerah Singaraja tadi. Ternyata panas ini dikarenakan tempat yang kami sambangi itu berdempetan langsung dengan laut. Pantas saja rasanya kek neraka bocor alus. Tapi jangan salah, ketika di dalam rumah, adem banget kok. Saya aja (kalo nggak malu) udah tidur di kasur yang digelar di ruang tamu. Duh, mata ini memang sialan, nggak bisa buat ngeliat punggung kasur nganggur. Maunya tidur mulu.

Selesai dia sholat, giliran saya setor muka sama yang ngasih hidup. Seporsi tipat (ketupat) yang dimakan sama kuah daging sudah menunggu. Duh, godaan apa lagi ini! Mau makan kok sungkan, mau dibiarkan kok mubadzir. Dilema!!! Mana dia makan duluan. Kan kampret. Pengen banget ngomelin dia saat itu juga. Dipikirnya saya ini siapa? Saya ini cuman tamu yang masih punya rasa sungkan. Masa udah ditinggal sholat, ditinggal makan pula. Hey, you, lain kali kalo kamu bawa tamu (terutama cewek), kamu harus antar dia sholat dulu, abis itu kalo emang dikasih makan, makannya pun barengan. Kalo cewek lain udah pasti rewel! You beruntung banget karena yang you ajak ini manusia setengah cewek setengah embuh.

Diantara dilema itu, saya mengikuti teriakan-teriakan cacing kremi di dalam perut saya yang minta disuapi. Seporsi tipat daging kuah pun tandas, tinggal tulangnya saja. Mau ngabisin snack dan sejimbeng teh hangat kok malu. Ya udah, saya bantu clear up sekalian nyupir (nyuci piring) tapi untuk masalah nyupir dilarang sama tuan rumah yang baik itu. Jurus apalagi yang dikeluarkan selain jurus SMP (Setelah Makan Pulang). Mau pamit sama nenek kok beliaunya nggak keliahatan. Padahal kalo ngeliat beliau, saya keingat peristiwa sekian menit sebelumnya dimana, saking pengennya menjamu tamu ‘dari Badung’, beliau grogi. Sehingga saat membuka toples, snacknya sampai tumpe-tumpe.

Untuk perjalanan kembali ke Tabanan kali ini tidak ada adegan TANGAN MASUK KE KANTONG JAKET. Gerah, cuy. Dia menggendong ransel saya di dada sedangkan saya menggendong alat di punggung. Ketika mengingat ini, saya sempat berfikir, kenapa waktu itu dia nggak gendong ransel di punggung aja ya?

Kan saya bisa meluk pegangan ranselnya aja. Daripada saya narik bagian ransel yang membuatnya berasa seperti tercekik.

Sesampainya di area Bedugul, kami mampir di sana, menikmati view sejuta umat tepatnya mencari spot foto yang ada di uang percahan 50.000 ribu rupiah lama. Bagi dia sih dua destinasi yang kami kunjungi hari ini adalah perulangan dua tiga tahun yang lalu. Lain halnya bagi saya. Ini adalah remake kenangan yang saking lamanya sulit sekali saya korek-korek. Oya, sebelumnya dia menyinggung bahwa "Bro Mantab"nya sedang mengantar krucil-krucil berwisata ke destinasi yang kami kunjungi juga. 

Kalau memang sudah jodoh, tanpa janjian pun bisa bertemu. Mereka jumpa di dekat Pura Ulun Danu yang penuh dengan kekhusukan ibadah (kalo saya ketemunya di P*r* D*l*m, biar ada creepy-creepynya). 

"Te, tunggu sini, aku mau nyapa Broku. Nanti aku bilang kalo kamu kakakku." 

Saya sih ao-ao saja secara saya tidak diajak menemui Bronya itu. Saya minggir dari kerumunan di area danau sambil menyaksikan betapa crowdednya kesibukan di situ secara sedang ada ibadah juga. Mood untuk foto sudah tidak 100%, feelnya nggak nemu, sehingga gambar yang dimaui 'nggak dapet'. Tapi life must gogon go on. Jadi, shutter tetep aja dihajar_sampai ngeheng. 

Menyingkir dari tempat itu, saya berdiri di sembarang tempat. Saat saya ditinggal olehnya, saya sempat berfikir yang enggak-enggak. Namun, hal itu segera saya urungkan mengingat aura negatif malah sering jadi kenyataan. Untuk satu ini, saya sering pula mengutuk diri sendiri. 

Tak berapa lama, dia muncul di hadapan saya yang sedang bengong memerhatikan tingkah orang-orang yang berwisata. Dia mengajak saya bertemu temannya tadi. Sialnya si teman tidak percaya kalo saya adalah kakaknya. Ya iyeslah, Cuk, secara si Bro tadi udah 'satu atap' dengannya sekian tahun bahkan explore timur Jawa bersama. Kakak dari mana, hawong dia anak sulung, kakak dari Hongkong? Tapi bener dari Hongkong sih, eh. Beberapa istilah 'araf' dipakai dalam ngobrol kali ini. Saya auto loading secara saya hanyalah remah-remah rengginang di dalam blek Khong Guan sisa lebaran bukan CAH PONDOK yang mana saya lemah ilmu agama sehingga saat ini belum juga rampung belajarnya.


"Tulang punggung" yang nempel di punggung

Sebelum kembali pulang, kami setor muka di Alhidayah, Bedugul. Rencana menikmati view sekian meter di atas permukaan laut pun gagal karena kabut sudah turun. Saya diprotes karena kelamaan. Hello young man, sini saya jelaskan, yes. Untuk nyari tempat saja, saya kudu muter dulu secara kamar mandi wanita di sebelah kanan. Lain halnya untuk pria yang sejak dari parkiran saja sudah nampak tempatnya. Trus, kalo mau ngencehkami saya kudu buka kancing, tarik resleting dan melorotin celana dulu sebelum jongkok. Kalo kamu mungkin tinggal buka resleting aja sudah beres. Ketika sholat pun, aurat kami saya berbeda dengan Anda. Ibarat tinggal niat, takbir, cuzzz deh salam. Lah saya? Kan kudu nyari mukena dulu. Seusai wudlu saya masih bisa menyampirkan kerudung. Dan selesai sholat saya tinggal pasang lagi sambil berjalan menuju tempat sepatu. Coba cek mamak-mamak rempong sebelah saya. Mereka kudu ngelap dulu air wudlunya. Seusai sholat, kudu touch-up lagi make-upnya, kudu ditebelin lagi lipennya. Risiko ngajak cewek ya gitu. As you know, saya sudah mencoba meminimalkan hal-hal berlebihan kecuali ransel. Untuk satu itu saya mohon maaf. Itu ranselnya aja yang melendung gede. Padahal isinya mah ga ada. Saya list ya: kamera dan tasnya, baterai kamera, hp, dompet dan isinya (ini pun beberapa kartu, nota pembelian/ pembayaran dan sampah bungkus ciki sudah saya tinggal di mes), tissue, permen, biskuit, air, mantel plastik (ngambilnya last minute sebelum berangkat karena pagi harinya hujan). Isinya ini sudah tidak termasuk mukena yang saya keluarkan lagi saat packing. Kalo saya nyoliter a.k.a nyolo a.k.a jalan sendirian ke kecamatan pun kadang pakai ransel ini. Bisa dibilang, saya ini tipe-tipe well-prepared yang yahhh... masih sering ada hit & missednya juga. Jadi, kalo suruh pakai tas kecil apalagi yang diselempang di samping kayak dedek-dedek gemes itu, maaf, maaf, saya nggak punya. Solusinya ya kamu beliin saya dulu hahaha. Lagian, ada hikmahnya juga to? Kamu bisa naruh oleh-oleh makanan di ransel! Saya saja yang kepengen beli oleh-oleh saja sampai nggak sempet kan? 

Sudah jelas atau babar blas? Uwis dong apa blong

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, saya hanya bisa menempelkan kepala di punggungnya, lagi. Pegel pegel dah tuh punggung besoknya hahaha. Dia sih... nganggurin punggung gitu. Kalo sudah ada stempel "bukan milik umum", sah secara hukum dan agama, saya nggak bakal senaked senekad itu. Yaaa, namanya juga cerita naked nekad. Kalo nggak naked nekad nggak ada seninya. 

Pada perjalanan motor sebelum-sebelumnya, saya selalu stay awake. Pinggang capek, berasa patah. Tapi beban hidup saya yang saya titipkan sebentar di bahunya bukan di bahu jalan, lumayan melegakan hahaha, makasih, yes. Akhirnya, saya yang menjadi tulang punggung keluarga ini bisa nitipin bentar di punggung anak orang. Itu artinya saya memercayakan perjalanan ini 100% ke dia. Mati urip, seneng sara, slamet cilaka, wareg luwe... sik, sik... Untuk urusan perut, maaf, saya ini masuk dalam pasukan wani perih tapi wedi luwe. Jadi, kudu nyetok makanan secara saya dalam program penggemukan badan yang sempat drop 5 kg usai sakit kemarin. Bukan tanpa alasan sih, emang mau nyampe batas BMI (Body Mass Index)  tertentu agar bisa donor darah. 

Tapi saya paham, betapa berat beban hidupnya untuk menghidupi dirinya sendiri (ini belum termasuk beban hidup anak sendiri dan anak mertua loh). Makanya saya berterimakasih sekali lagi ketika dia membangunkan saya saat punggungnya kelelahan.

Dan sebagaimana yang saya ungkapkan di atas, pasukan wani perih wedi luwe ini meluncur ke Puputan untuk satu hal yang sia-sia karena destinasi yang kami datangi sudah tutup 15 menit sebelumnya. Kasihan juga sih saat melewati daerah macet di sepanjang Canggu. Entahlah, saya merasakan ketidaknyamanan sepanjang perjalanan. Auranya beda banget dengan perjalanan ke barat mencari kitab suci Singaraja pagi tadi. 

Saya memintanya berhenti di sembarang tempat makan tapi dia nggak mau mengingatkan saya bahwa kami ada janji ngopi di Dalung. Saya thoat-thoat saja toh acara ngopi ini sekedar membunuh waktu agar jarum jam segera beranjak menuju angka 9 dan 12 secara jam segitu 'green' area di Beraban sudah sepi dari dedek-dedek lucuk plus makhluk aneh dan unik-unik. 

Jangan dikira dia tidak dimonitor. HPnya masih saja berdering. "Pak Bos" menanyakan posisinya dan perintah untuk segera pulang samar-samar terdengar pasalnya masih ada 'tugas negara' yang harus dia kerjakan sebagai bentuk pengabdian seusai keluar dari kawah candradimuka. Apakah dia nurut? Ya enggak lah, untuk hari itu, dia bukan lagi santri garis keras tapi santri garis mbliyut, yang yaaahhhh walau begitu, ajaran-ajaran yang dilanggar dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan ketika kembali ke habitatnya, semua tampak baik-baik saja, tampak normal-normal saja. Begitu pun saya, seolah-seolah tidak pernah terjadi apa-apa, tidak pernah ada perjalanan kemana-mana dan 'alat' yang kami ambil pun saya perlakukan serupa belum pernah melihat sebelumnya. What the he.... Demi apa coba? Demi_kianlah adanya, hahaha. 

Trus trus, kami sepakat mengumpulkan receh untuk perjalanan selanjutnya. Dia yang ngejanjiin ngajak saya ke Teluk Ijo dan Pandawa. Saya cukup mengiyakan. Kalo toh hutang janji di dunia nggak di bayar, mau nyari di sebelah mana tuh Teluk Ijo dan Pandawa ketika sudah di akhirat. 

Dan insya Allah akan share lagi cerita-cerita nekad saya selama di Bali yang kemungkinan lebih banyak solo daripada gerudukan. Budget, dude, budget. Hahaha.

***