[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2016-05-31

[Fiksisme] Dee #6: Inisial D


Dee: Inisial D
_______________________________


Sebuah insial D, Dew Setyan, Sang Dew_pemilik mata jernih serupa embun_yang setia. Aku cemburu, Dee.

Enyahlah. Pergilah, membawa rasa yang kamu tinggalkan di sini, di hati ini. Bila perlu, belah saja dadaku, ambil hatinya sekalian biar ia tak baper melulu. Suer, Dee. Aku tuh nggak ngerti sama hati. Kenapa sih, dikit-dikit sok ngerasa, dikit-dikit kesinggung, dikit-dikit …asyudahlah.

Ingin sekali aku berbisik di telinga kananmu. "Ini semua karenamu, Dee."

Hati ini sudah nyaman dengan segala bekas goresan, sayatan, hunjaman dan pecahan-pecahan puzzle yang berserak. Kamu nggak perlu (pura-pura) peduli, mengumpulkan pecahannya, mencoba merangkai dan merekatkannya kembali bila akhirnya kamu hanya beralasan: BERCANDA.

Caramu bercandamu nggak lucu.

Sekarang kutanya padamu. Bekas luka di paha kananmu itu apakah masih ada meski sayatan itu terjadi bertahun-tahun lalu? Seperti itulah hatiku. Iya, luka fisik bisa saja meninggalkan bekas yang kasat mata, meninggalkan cerita kenakalan remaja. Tapi hati? Mengertikah bahwa luka di hati ini tak akan mampu kamu lihat. Mengertikah bahwa semuanya susah payah aku sembunyikan, susah payah aku sembuhkan?

What? You said you would help me? But you ruined everythings. Oh please! Donot say a word. Lemmie heal my self.

Tak perlu banyak bicara. Toh aku tak peduli lagi dengan alasanmu. Aku tak percaya lagi dengan kata-katamu. Kadang, aku tersiksa dengan … orang bilang sih … INSTING. Aku tak ingin memercayainya. Tidak, meskipun hanya sedikit. Aku hanya waspada, sepertimu wahai goldar A, yang senantiasa memerhitungkan segalanya. Aku belajar darimu, kok. Hanya saja … Dew … embun itu telah sukses menjawab keraguanku.

Yang mana … pada suatu hari… embun itu hinggap di ujung matamu, menawarkan penyejuk, yang tak mampu aku suguhkan di hadapanmu lantaran milikku telah menguap dalam belai angin yang berembus di antara jarak kita yang berhasta-hasta. Ini beneran, Dee, bukan berstand-up comedy.

Aku mikir, kenapa aku selalu berfikir bila fikiran itu dikit-dikit mikirin kamu. Klop banget sih sama hati yang … tetiba … nyemburuin kamu. Tapi aku akan tetap tertawa, minimal tersenyum agar ia menjadi obat penghambar.

Hampir saja cemburu ini membawaku mengikuti jalanmu. Pada senja itu … di tanggal yang cantik itu 16.5.16 … tabir di buka, menutup kisah sepasang malaikat yang menyaru jadi manusia, turun ke dunia fana, meninggalkan tingginya petala raya. Andai … iya, aku berandai-andai … embun itu muncul di hadapanku sekian waktu sebelumnya, aku kini tak lebih hanya sebuah … DATA.

Aku cemburu, cemburu yang terlambat.

***


End of may, 2016

Doc. Pri

2016-05-29

[Fiksisme] Goodbye, Gi.

Doc. D

Goodbye, Gi.


Langkahku ragu. Lorong ini terasa sempit, menghimpit. Tanganku tergenggam erat. Gi, kamu tenang, ya, batinku. Aku hanya bermaksud menenangkan diri sendiri.

Segala rasa bercampur jadi satu. Buku-buku jariku berair. Tapi aku lupa, di halaman mana kenangan denganmu kutuliskan, Gi.

Ruangan ber-AC ini mirip kutub utara. Aku sedikit menggigil. Kamu semakin berdenyut di dalam sana. Tenang, Gi, kita lewati hari ini bersama-sama sebagimana satu dasawarsa terakhir.

"Apa keluhannya, Nona." Lelaki berkacamata itu menyapaku. Kamu juga mendengarnya 'kan, Gi? Bantu aku menjawabnya, ya. E tapi, semisal tak dijawab, tidak perlu ada remedial 'kan? Ya … ujian ulang, mungkin?

Lalu aku telentang di atas benda berwarna biru muda.

"Kepalanya naikin dikit."

Gi, kepala kami berdua segaris. Seandainya ini gerhana matahari, mataku dan matanya hanya terhalang kacamatanya. Itu pun transparan. Aku memanfaatkannya untuk melihat kamu dari pantulan di kacamatanya itu. Tapi, kamu bersembunyi di pojok. Ih, kurang jelas, tauk! Aku ingin melihatmu juga.

Bangun dari posisi tidur, lelaki itu menanyaiku ini itu. Kepo banget 'kan, Gi? Dan akhirnya, ia memintaku mengikuti seorang perempuan yang sedari tadi menemaninya ke ruang sebelah. Aku senyum-senyum sendiri. Gi, kamu mau difoto. Cie yang mau difoto, cie. Widiw, mana butuh 30 detik pula buat satu kali jepret. Gapapa ya, Gi. Itung-itung foto keluarga besar.

Lalu, kita bersama-sama kembali ke ruangan tadi. Kamu mau aku kasih tau wujudmu? Hehehe, kamu lucu. Kakimu kenapa kayak mata kail gitu, ya? Sodara-sodaramu yang lain biasa aja, tuh.

"So, what's now, Miss?"

"Just do it, Doc."

*

Dengan kedua mata telanjangku, akhirnya aku melihat wujudmu, Gi. Tubuh putihmu berlumur cairan merah. Lelaki itu mengelap sisi luarmu. Kamu adalah Gi, Si Kacang Mede. Pernah lihat kacang mede 'kan? Iya, yang sering kamu lumat sama saudara-saudaramu. Seperti itulah kamu.

Ada gumpalan air di kedua sudut mataku. Kuseka dengan punggung tangan. Kamu tergeletak pasrah di sana.

Gi, terimakasih atas kebersamaannya. Aku sudah mati-matian mempertahankanmu. Aku tak mau berpisah, sebenarnya. Maafkan aku yang tidak mampu menjagamu dengan lebih baik lagi. Tapi, tolong, jaga diri setelah kamu punya rumah baru. Hari ini telah kita lewati dengan berdarah-darah. Perpisahan ini tidak sakit, Gi. Sungguh.

"Gigit ini tiga puluh menitan." Ia terus saja merepet kata-kata. Pikiranku tertuju padamu, Gi, meski pandanganku ke arahnya. "Minggu depan balik ke sini lepas jahitan, ya. Jangan lupa minum obat," lanjutnya.

Goodbye, Gi. Selalu ada good pada goodbye, 'kan?

***

2016-05-23

Senjata Mister Acha-Acha Makan Tuan

Ilustrasi: docpri

#GuruTerapalah

Senjata Mister Acha-Acha Makan Tuan

Bagi saya, setiap sosok yang memberi saya pengetahuan, baik formal maupun non formal, dunia nyata atau maya, ia bisa saya sebut guru. Sekitar satu windu yang lalu, saya tertarik dengan olahraga beladiri Tae Kwon Do. Maka, saya pun mencari info dan segera bergabung dengan sebuah kelas Tae Kwon Do di Tsim Sha Tsui.

Sebagai 'artis' yang sudah go international, yang sering memerankan tokoh pembantu, yang jadwal syutingnya 7 hari seminggu 24 jam sehari non stop dan disiarkan langsung dari CCTV, di mana moncong kamera senantiasa membelalak di sudut dapur, kamar tamu dan lorong apartemen, saya merasa hidup penuh dengan tekanan. Awal-awal keberadaan saya di Hong Kong, saya merasa kehilangan kebebasan manakala untuk makan siang pun harus saya laporkan di depan kamera yang dipajang di ruang tamu.

Untuk melampiaskan ketertekanan itu, saya seperti mendapat tenaga ekstra saat mengikuti Tae Kwon Do. Kepercayaan diri dan keberanian makin tumbuh dalam jiwa saya. Saya mulai cuek dengan kamera-kamera sialan itu. Saya pun merasa beruntung memanfaatkan hari libur tiap Minggu dengan kegiatan ini.

Di kelas itu, selain ada kenaikan tingkat, juga ada kompetisi-kompetisi antar klub Tae Kwon Do se-Hong Kong. Perkembangan saya termasuk cepat. Bahkan, saya mendapat juara tiga untuk kategori berat kurang dari 47 kg. Padahal, saya termasuk murid baru.

Saya semakin giat. Omelan majikan saya anggap 'sego jangan'. Bagi saya, yang penting dapur emak di kampung tetap ngebul, SPP adik lancar, kerjaan beres, gajian tepat waktu dan punya kamar sendiri meski berbagi dengan momongan. Dengan prestasi itu, majikan menjadi sedikit respek. Apalagi medalinya saya pamerkan kepada mereka.

"Ah Zhai, tirulah Mbaknya, dia pintar," begitu komentar si Bapak. Si Ibu dan si anak hanya diam.

Di kelas pun, guru saya makin perhatian. Meski tidak hanya pada saya saja, sih. Tetapi beliau sering mengajak saya dan teman satu angkatan untuk makan bareng usai latihan yang kadang kala hanya menikmati makanan di Mekdi, Kowloon Park, tempat makan paling murah di dekat tempat latihan Tae Kwon Do. 

Sepengetahuan saya, beliau adalah orang Asia Barat yang apabila berbincang-bincang, logat Acha-Achanya kental sekali meski tanpa ada adegan geleng-geleng kepala. Sama seperti saya, di mana … saya berbicara bahasa Inggris dengan kosakata belepotan di campur bahasa isyarat tangan plus medok Jawa. Teman saya kadang bercanda bahwa medok itu adalah bagian dari melestarikan budaya Indonesia dengan tetap "anguri-nguri basa Jawa" yang Inggris dan "menjadi ikan tawar meski hidup di lautan". Selanjutnya, di kalangan kelasku sendiri, guru kami mendapat julukan Mister Acha-Acha. 

Suatu waktu, usai latihan, beliau berdiri di dekat ruang ganti wanita, sepertinya menunggu saya. Pasalnya, usai melihat saya keluar sendirian, beliau menghampiri saya.

"Teman-teman masih di dalam," ucap saya cepat.

"Aku tidak mencari teman-temanmu. Nanti makan malam di mana?" saat itu jadwal latihan saya jam 3 sore.

"Belum tau."

Lalu beliau mengajak saya makan bersama di tempat biasa, di Mekdi. Saya mengiyakan karena berfikir bahwa ajakan ini berlaku untuk teman-teman sekelas. Ternyata tidak. Saat itu suasana ruangan agak sepi. Hanya satu dua orang petugas kebersihan yang lewat manakala beliau meneruskan kalimatnya.

"Habis makan kita ke tempat kos temanku, yuk. Kita bersenang-senang." Kali ini telinga saya menangkap penekanan kata 'happy' dengan aneh. Gerakan matanya tidak sama seperti saat berada di kelas. Bahasa tubuhnya beda. Saya merasakan sinyal dari tubuh saya berbunyi. Ingatan saya melayang pada bisik-bisik gosip yang beredar bahwa ada sosok guru 'ham sap' di klub ini.

"Ayolah, kamu 'kan orang Indonesia. Biasanya pada mau, kok." Tangannya mulai merambah pundak saya.

Dada saya panas. Dengkul saya maju dan menendang tepat di selangkangan guru hamsap di depan saya ini. Saya langsung lari ke Austin road lalu belok ke kiri di Nathan road sampai bertemu stasiun MTR Jordan. Padahal, stasiun MTR Tsim Sha Tsui exit A letaknya lebih dekat bila dari Austin road belok kanan di Nathan Road, sebelah masjid Jami' Kowloon.

Sejak saat itu, saya berhenti total ikut klub Tae Kwon Do. Saya memutar kembali beberapa adegan serupa yang beliau lakukan pada saya. Biasanya saya hanya menghindar dan menjauh dari beliau. Lalu saya mengingat-ingat perbincangan via telefon dan SMS (tahun itu belum ada aplikasi semacam whatsapp). Akhirnya saya paham bahwa beberapa kalimatnya memang rada-rada seksis dan parahnya, pemahaman saya akan kosakata seksis itu sungguh sangat terlambat.

Makanya, saya tidak kaget manakala ada berita bahwa seorang seniman yang dosen dan dosen yang seniman dari kampus terkenal di Indonesia, yang menggagahi mahasiswinya sampai hamil. Bahkan, 'kado' Hardiknas 2016 adalah berita seorang dosen dibunuh mahasiswanya. Tidak, saya tidak serta merta membenarkan perbuatan itu. Tetapi, kalau dasar otaknya mesum bin cabul alias hamsap, tetap saja hamsap. Meski konon katanya, tenaga dan pikiran olahragawan telah terforsir pada kegiatan fisik sehingga cenderung aman dari omes. Ya … katanya.

***

Sebagaimana yang diceritakan SUi, mantan pekerja migran Hong Kong.


2016-05-05

[Fiksisme] Dee #5: Bila Bosan, Segera Katakan.

D

_______________________________________

Seharusnya, video itu menjadi kenangan terakhir kita, Dee. Seharusnya kita tak perlu lagi saling sapa. Seharusnya aku sudah tenang dengan segalanya yang kembali seperti sedia kala, di titik nol. Tanpa kamu, tanpa chit-chat kita, tanpa hangat yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba melekat erat.

Bullshit sekali basa-basimu. Aku sudah kenyang dengan pujian macam itu. Aku cantik dengan perpaduan kostum kebaya Kutubaru dan sarung itu. Bagus. Dih. Peres, nggak tulus! Kalimat macam itu hanya cocok untuk perempuan(-perempuan) yang bisa kamu ajak praktik pelajaran biologi. Pun bermain filem 3gp ala salam OSIS dan salam Pramuka. Apa perlu aku pajang salah satu pelakunya?

Apa? Kamu bilang khilaf? Khilaf seperti itu mereknya apaaa? Tanya … tanya kenapa bertukar ludah di pojok bioskop menjadi sensasi akhir pekan yang berulang padahal filem cinta-cintaan gak jelas sedang diputar?

Aku tidak percaya 100% padamu, pada kisahmu, pada ucapanmu, Deean. Kronologi yang aku ikuti dan aku perhatikan hampir 36 minggu itu tidak sejalan dengan versi kamu. Masihkah kamu mau menipu?

Dan lalu, kamu membalikkan semuanya. Seolah-olah kamulah korbannya. Aku tokoh antagonisnya. Marah, kesal, dan musabab emosimu … akulah biang keladinya. Sehingga aku harus memohon-mohon maaf di hadapanmu. Karena, akulah si pesakitan itu, begitu?

Iya, akulah yang salah ketika kamu diam, aku pun diam tak menyapa duluan. Ketika kamu menyakiti perasaanku dengan kalimat-kalimat dinginmu, akulah yang keliru. Ketika kamu melanglang buana bersama teman dan keluarga, aku pulalah yang semestinya menanyakan warta sebagai bentuk perhatian. Kenapa sih, kamu selalu uring-uringan?

Aku paham saat kamu susah terkoneksi dengan internet karena kehabisan kuota. Aku paham saat kamu sibuk dengan keluarga dan teman. Aku paham saat kamu 'pw' untuk me-time-mu. Aku masih paham saat aku ngetext kamu ternyata kamu hanya read doang. Aku pun paham saat 'Tol Cipularang km 97' ternyata lebih berharga dari percakapan kita. Aku paham … dan akan terus paham, Dee.

Tapi, aku tidak paham ketika aku sudah begitu perhatian, aku belajar untuk lebih peka, bersikap lebih manis dan romantis … kamu diam-diam menghilang. Bahkan untuk menyapa 'hey, halo, semuanya baik-baik saja?' pun tak lagi kamu lakukan. Lalu kamu menuduh aku yang dingin? Sebenarnya … siapa yang dingin duluan? Aku atau kamu, Dee?

Dear, Deean. Bila sudah bosan, segera katakan. Aku akan sangat-sangat paham.

***
Doc.pri. SPEAK-UP

2016-05-04

[Octivity] Indohikers Sharing & Caring

Selamat ulang tahun, Indohikers.

Indohikers Sharing & Caring


Dalam perjalanan hidup manusia, mengutip pernyataan 'tetangga', usia 0-5 tahun adalah fase di mana manusia itu sedang belajar hidup. Demikian juga dengan Indohikers Hong Kong (yanh selanjutnya kita sebut Indohikers), sebuah komunitas para pecinta alam dan pendaki, yang sebagian besar anggotanya WNI yang tinggal di Hong Kong.

Tepat tanggal 1 Mei 2016, Indohikers telah berusia empat tahun. Jika ia adalah manusia, ia masih belia, masih lucu-lucunya, masih belajar tumbuh dan berkembang menuju remaja. Sebagaimana namanya, Indohikers (Indonesian Hikers), kegiatan Indohikers lebih banyak berfokus pada pendakian (hiking). Tidak hanya itu, Indohikers juga bergerak di bidang sosial. Misalnya: bakti sosial, galang dana untuk membantu korban bencana alam, bebersih sampah (go green) hingga reboisasi yang bersinergi dengan komunitas pecinta alam di Indonesia dan anggota Indohikers yang telah kembali ke tanah air.

Acara ulang tahun kali ini Indohikers mengambil tema "Sharing & Caring", berbagi dan peduli. Kepedulian ini ditunjukkan dengan berbagi sebagian rizki untuk teman-teman yang berkasus di shelter Islamic Union, Wan Chai dan shelter Bethune House, Jordan. Tidak hanya itu, kepedulian terhadap alam ditunjukkan dengan acara go green, membersihkan sampah di Victoria Park, Causeway Bay. Victoria Park menjadi pilihan untuk acara go green ini karena di sinilah kampung Jawanya Hong Kong, tempat berkumpul sebagian besar pekerja migran asal Indonesia. Khusus go green, Indohikers bekerja sama dengan para mahasiswa non-sipas, Universitas Terbuka di Hong Kong.

Acara syukuran tetap diadakan untuk kalangan sendiri dengan potong tumpeng. Oleh karenanya, Causeway Bay adalah tempat yang strategis untuk memudahkan koordinasi dari tiga agenda dalam waktu satu hari.

Salah satu tim pengurus Indohikers, Riani, berharap agar kegiatan sosial Indohikers dapat bermanfaat untuk sesama dan alam sekitar. Dengan begitu, kekompakan dan kerukuan antar anggota maupun organisasi lain terus terjalin. Ia berpesan kepada teman-teman Pekerja Migran Indonesia di Hong Kong agar mampu menahan diri untuk tidak boros atau membeli barang-barang tidak berguna supaya modal cepat terkumpul dan cepat pulang ke Indonesia.

Selamat Ulang Tahun, Indohikers. 

Kece.

Berdoa.

Bersama teman-teman shelter Islamic Union.

Bersama teman-teman shelter Bethune House.

Go green.
Go green (doc. Ndari)