[Nekad Blusukan] Sam Tung Uk: Hong Kong Tempo Doeloe

"Sam Tung Uk Museum, komplek perumahan tempo doeloe ala Hong Kong ini merupakan salah satu situs sejarah peninggalan masa lampau yang menggambarkan kehidupan masyarakat Hong Kong, khususnya masyarakat klan Hakka (marga Chan) yang berasal dari propinsi Guang Dong, China. ," lanjutnya.

[Nekad Blusukan] Lei Yue Mun, Eksotisme Wisata Kampung Nelayan

Orang bilang: foto-foto cantik itu biasa, foto-foto ekstrem itu barulah luar biasa.

[Nekad Blusukan] Sheung Wan: Pusat Graffiti di Hong Kong

Tai Ping Shan merupakan daerah Sheung Wan bagian atas. Area ini terkenal sebagai tujuan pecinta seni dengan aneka galeri serta barang-barang antiknya. Sehingga tak salah jika Sheung Wan menjadi salah satu pusat grafiti di Hong Kong.

[Nekad Blusukan] Plesir ke Pacitan

Pantai Teleng Ria berada di teluk Pacitan. Ini adalah salah satu pantai yang menjadi jargon tanah kelahiran presiden SBY. Tanah berumput hijau terhampar luas sebelum mencapai bibir pantai. Bunga bakung ungu menyembul di antara rerumputan itu. Ada juga segerombol pohon cemara jarum dan tunas kelapa yang mesih rendah. Wow, indah bukan buatan.

[Nekad Blusukan] Hong Kong Rasa Kanada

Sweet gum bukanlah mapel. Bentuk daunnya ada yang menjari 3, 4 dan 5. Ukurannya pun berbeda sesuai dengan musim di mana pada musim semi, daunnya lebih lebar.

2016-01-30

[Curcol] Ada-Ada Saja: Sensasi Makan Permen Berikut Bungkusnya

Apakabarplus, Januari 2016


Makan Permen Berikut Bungkusnya

Adalah hal apes itu akan tiba pada masanya. Kena omel majikan itu pun akan tiba pada masanya. Begitu juga ketika kisah mantan yang gagal jadi manten menari-nari dalam kenangan, eh. Semua-mua akan tiba pada masanya, termasuk makan permen berikut bungkusnya.
Ya, makan permen berikut bungkusnya terjadi saat keluarga besar majikan sedang berduka cita. Salah satu kerabat nyonya meninggal dunia. Berhubung nyonya memiliki hubungan dan kedekatan dengan si kerabat, mood nyonya jadi angot-angotan. Begini salah, begitu salah. Rewel tak terkita. Bahkan, urusan sepatu yang terlupa masuk hai gwai pun menjadi salah satu dosa besar yang harus disampaikan ke mahkamah international (baca: agency). Ah, sepatu sih masih termasuk barang kasat mata. Lah rambut yang ndlewer di lantai, yang seukuran mikro dan tidak katut saat disapu itu, menjadi masalah makro gegara moodnya kumat.
Sebagai kungyan teladan (abaikan kalimat ini), saya hanya bisa diam. Hawong ancen ada barang bukti. Mau mengelak kok kurang amunisi. Ya ya, adakalanya berdebat malah memperkeruh masalah. Takutnya, efeknya malah lebih besar lagi.
Selang 15 hari setelah geblag e si mayit, acara ‘pelepasan’ diadakan di sebuah gedung di Hung Hom untuk dikremasi esok harinya. Merinding bulu roma pun terjadi. Terutama saat mobil nyonya yang membawa seluruh keluarga diparkir di lantai basement, di bawah gedung itu. Wewangian kembang menyeruak, terutama yang berasal dari bunga segar yang ditata pada tanda belasungkawa. Aroma dupa menyesaki udara. Wajah-wajah sedih dan airmata di mana-mana. Para pelayat nampak menua dari usia aslinya.
Sebagaimana adat kepercayaan mereka, pelayat datang membawa laisi warna putih (pak kem) yang berisi uang dengan nominal ganjil sebagai bentuk bantuan materiil secara riil. Sedangkan pihak keluarga yang berduka cita, membalas pak kem dengan pak kem juga yang berisi koin nominal ganjil (1 dolar), permen dan tisu. Semua serba warna putih. Dan inilah alasan mengapa lansia di Hong Kong sedikit paranoid saat melihat mukena ciecienya yang berwarna putih. Hal itu mengingatkan mereka pada lambang kematian. Padahal bagi kita, putih berarti kesucian. Ya, gitchu dweh, lain ladang lain belalang. Lain tempat, lain pula belalangnya, eh!
Berbicara pak kem yang isinya permen tadi, ternyata permennya juga harus putih. Bisa permen susu, permen nougat, dll. Dalam kamus permadhangan era 90-an ke bawah, Hong Kong mengenal permen nougat yang dilapisi mai jhi (kertas yang dibuat dari beras) sebelum dibungkus kemasan plastik. Sehingga, nougat yang lenget seperti pemen susu itu tidak njlebret pada bungkusnya. FYI, mai jhi ini bisa dimakan.
Masalah timbul ketika yang saya makan saat itu adalah permen nougat KW 2. Asli tapi palsu. Kenapa? Mai jhi-nya adalah kertas beneran, bukan dari beras. Hal ini dikarenakan propaganda dedek-dedek gemesh yang kompak in crime buat ngerjain saya.
Mereka bilang bahwa pak kem yang dikasih oleh pihak yang berduka, yang isinya tiga macam tadi, tidak boleh dibawa pulang karena dipercaya membawa bad luck. Makanya, tisu dipakai buat ngelap air mata, uang ganjilnya dibelanjakan hari itu juga dan permennya dimakan (sebagai kiasan bahwa meski peristiwa kematian ini sedih tapi nantinya akan berakhir manis).
Nah, si nougat KW 2 ini, kata dedek-dedek gemesh tadi, harganya mahal. Dibeli di Aji Ichiban yang harganya 50 dolar lebih untuk satu pound. Mai jhi-nya bisa dimakan. Sayang kalo dibuang, lanjutnya. Dan dudulnya saya, lah kok nurut-nurut saja kata mereka selayaknya kerbau yang dicucuk tepat pada hidung. Makanya, saya buka bungkus plastiknya dan saya makan nougat itu berikut mai jhi-nya.
Pada gigitan pertama, lidah saya tidak nyaman dengan keadaan ini. Seharusnya, permen itu dimakan rasanya lengket-kenyal gitu. Tapi ini kok rada-rada aneh, seperti ada ‘ampas’. Saya teruskan saja makannya, kali aja memang mai jhi begitu rasanya. Hingga manis terakhir, gumpalan mai jhi tidak menyusut, tapi di mulut seperti ada yang menggumpal lembut serupa bubur kertas. Daripada susah-susah, saya telan mentah-mentah.
Hal itu saya konfirmasikan pada dedek-dedek gemesh yang baru naik SMA ini. Tau nggak apa jawaban salah satu dari mereka.
Muisi aa, Ciecie. Yun noy, ko ti hai can sat ke jhi, em hai mai jhi. Em sik tak aa!”
Busyettt, udah masuk perut, Siuce! Masa harus dimuntahkan saat itu juga. Saya hanya melongo dan menjadi trending topic ketika menuju pulang.
Nasib, nasib.

Sinna Hermanto

Artikel terkait.

2016-01-27

[Curcol] Ada-Ada Saja: Gegara Monyet, Piknik Jadi Panik

Apakabarplus, Januari 2016

Gegara Monyet, Piknik Jadi Panik

Minggu yang cerah di bulan Mei nan indah itu adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh dua sahabat kita, Anik dan Arumy. Mereka adalah sebagian kecil manusia yang ngiler dan tercengang-cengang apabila mendengar kata mbolang. Mereka akan ternganga bila mendengar ekspedisi puncak Jaya Wijaya atau Himalaya, terlebih tentang rencana sahabat lainnya, yang bermimpi mbolang ke Everest atau Eropa. Ya ya, darah yang mengalir dalam tubuh mereka sepertinya telah terkontaminasi virus menjelajah tanah-tanah asing di negeri asing.
Untuk membayar seluruh dahaga berpetualang, mereka pergi ke salah satu sisi liar Hong Kong di Shing Mun Reservoir. Sejak pukul 9 thet, mereka telah berkumpul di MTR Tsuen Wan kemudian menuju siupa yang bakal membawa ke tempat tujuan. Untuk info lengkap, silakan gugling, ya.
Akhirnya mereka benar-benar menginjakkan kaki di Shing Mun. Begitu turun sekian langkah dari siupa, beberapa ekor kera berpantat dan berwajah merah menyambut kedatangan keduanya. Kera-kera itu mengais makanan di tempat sampah dan sesekali menyeringai buas seolah-olah mengatakan, ente berdua jangan macem-macem, ye. Ini daerah kekuasaan ane.
Sebodo teuing dengan kera-kera itu. Anik dan Arumy teteup melanjutkan petualangan di bawah rerimbunan pohon yang tinggi menjulang. Mata pun disuguhi bedungan nan jernih, biru kehijauan nampak di kejauhan, memanggil-manggil genit kepada kedua gadis manis itu. Aih aih, suasana hati sahabat kita ini seperti terlempar ke hutan perawan di kampung halaman. Satu ke Malang, satunya ke Blitar.
Sebelum melangkah lebih jauh, mereka berhenti di sebuah picnic site untuk sarapan. Konon, sarapan memang efektif menurunkan gejala sarap yang ditengarai dengan sering munculnya salah paham atau ngambeg tak jelas (ini hanya hasil pengamatan amatir si penulis loh). Ketika asyik-asyiknya membuka bekal makanan, seorang pendaki lokal berusia dewasa (menuju lansia) mengingatkan mereka agar tidak membuka bekal makanan di sembarangan tempat. Kenapa? Karena monyet di Shing Mun ini galak-galak dan suka merebut makanan. Anik dan Arumy segera bergegas menyelesaikan sarapannya kemudian melanjutkan perjalanan yang aman tanpa gangguan monyet-monyet liar.
Setelah lelah mendaki hingga ke puncak yang tidak seberapa tinggi, melewati hutan pinus nan keren, berpapasan dengan pasangan yang sedang melakukan pemotretan pra-wedding, dan tentu saja bertemu aneka jenis monyet, anjing peliharaan bersama juragannya, ular air, ulat bulu, hingga kepompong dan kupu-kupu, mereka pun memutuskan mengurangi isi bekal makanan sambil bersantai di tepi bendungan. Terlebih saat itu sudah masuk waktu ashar. Perut pun sudah dangdutan dan keroncongan.
Seperti terlupa pesan bapak tua di picnic site tadi pagi, mereka menggelar barang bawaan selayaknya di pinggir lapangan victoria. Dan tanpa dosa, mereka mulai menikmati sesuap dua suap nasinya. E.. ladalah, segerombolan monyet datang menyerbu. Anik dan Arumy malah tergagap kebingungan, antara menyelamatkan diri, menyelamatkan kamera atau menyelamatkan makanan.
Akhirnya Arumy menyambar roti dan melemparkannya ke arah monyet-monyet itu dengan harapan makhluk yang dalam teori evolusi pernah disinggung sebagai leluhur manusia itu segera pergi. Untunglah si monyet segera menjauh, berebut roti dengan sesamanya.
Anik dan Arumy menggagalkan bersantai di pinggir bendungan. Mereka langsung kukutan kemudian memutuskan untuk pulang dengan perut kelaparan walaupun isi ransel mereka penuh dengan makanan. Ckckck kasihan, penyerbuan monyet nakal bikin piknik hari itu berubah menjadi suasana panik.
Sinna Hermanto
Artikel terkait.

2016-01-23

[Fiksisme] Dee #2: Kamu Lagi Apa?

D


Deeana
_____________________________________



Kamu lagi apa sekarang? Pasti lagi disayang-sayang bapak, ibu sama adik hahaha. Aku tuh bisa kok digituin. Apalagi disayang-sayang kamu (dan seluruh keluargamu). Ehem.


Tapi kayaknya ga mungkin deh, Dee. Dari awal kita sudah berjarak dan menciptakan sekat. Aku kekeuh dengan posisi teman. Dan maaf saja, aku tak bisa melangkah lebih dari itu. Berkali-kali aku berulah agar emosimu naik (dan ternyata sukses). Aku hanya berharap kamu pergi dariku, secepatnya agar kamu paham, aku ini kurang baik selain sebagai_mantan calon_pacarmu. Iya, pacar yang putus duluan sebelum jadian.

Ketika malam itu kamu bilang akan pergi, aku ikutan emosi. Aku sedih, tauk. Berasa bakal ada yang hilang. Ternyata, iya. Aku kehilangan 'teman' yang membuatku limbung sesaat. Susah payah kucoba berdamai dengan semuanya. Aku sadar. Toh kita awalmya adalah dua orang tak saling sapa. Bila pada akhirnya berpisah, tidaklah mengapa. Itu hanya masalah waktu. Kita seperti déjà vu, kembali pada titik (di bawah) nol.

Nyatanya kamu masih kembali_lagi. Kita masih saling melempar kata hingga aku putuskan untuk menyudahi semuanya. Aku lelah, Dee. Aku lelah bila hanya sebagai pelampiasan kesepian. Apa kamu lupa arti sebuah pertemanan_yang tidak hanya sebuah teman? Itu inginku, dulu. Tapi tidak dengan saat ini. Aku memilih diam_dan menjauh pergi.

Sepertinya pertemanan ini akan lebih baik daripada status apalah-apalah. Sehingga kita tidak terlalu mencampuri privasi masing-masing. Kamu selalu kuperlihatkan sisi burukku agar kamu sadar, aku ini manusia tidak sempurna dan banyak kurangnya. Aku pun tak pernah melihatmu beda. Kamu kuperlakukan sama seperti aku memperlakukan diriku. Aku spesial maka kamu juga spesial. Kita ini generasi spesial, Dee.

Ada hal aneh kurasa. Aku lebih enteng ketika aku mengambil langkah ini. Rasa sesak itu tak kurasa lagi sebagaimana waktu itu. Aku lebih siap. Bagaimana denganmu? Apakah kamu baik-baik saja?

Dee. Hari ini aku merindukanmu lagi. Melebihi rindu yang terdahulu. Kamu tahu alasannya? Karena kamu yang membuatku tersenyum.



End of 2015.

***



2016-01-17

[Fiksisme] Dee: Aku Kangen

Dee


Dee, hari ini aku kangen kamu, pakai banget hahaha. Pasti kamu ketawa njengkang bila membaca ini. Serius ini, duh. Jangan bikin aku keki_kayak pertama kita ngobrol dulu, ya. Kamu tuh!


Dee, aku buka lagi kiriman fotomu. Hm, kamu sudah baikan sekarang? Gimana dengan kakimu? Sudah bisa diapain aja_selain bisa bikin sakit, bikin nyeri, bikin repot juga?

Aku serius nanya, bukan peres seperti sangkamu. Kamu kok gitu sih, kan aku jadi ga enak. Jangan keterlaluan dong. Aku ini cewek loh_yang katamu selalu mengagungkan rasa daripada logika. Yaaa, gimana dong? Bawaan orok. Yang namanya manusia, pasti mengalami masa dimana bermain-main dalam imajinasi, kemudian mewujudkannya melalui logika sebelum memindahkannya dalam keabadian memori. Aku masih bertanya, seberapa lama memori itu akan abadi_jika manusia mengalami Alzheimer?


Eh jadi inget lagunya Agnes Mo yang kalo gak salah judulnya cinta tak ada logika. Kita kudu belajar logika cinta, gitu? Yaaah, sekedar tanya sih. Katanya logika itu asyik dipelajari. Cuman ya ga tau kenapa bikin nyesek lihat hasil tesnya_kata temen-temen sih.


Dee, kalo kamu udah mendingan, jaga baik-baik tuh kaki. Walaupun tuh kaki udah dibedah-bedah, dimasukin besi, dijahit lagi. Aku yakin, kamu pasti baik-baik saja. Ahhh, petualanganmu keren sekali. 

Semoga kamu gak ilang percaya diri. Sebodo orang bilang tentangmu toh semua itu tergantung amal ibadahnya. Lagian, kamu udah bobok di aspal berkali-kali sampek mengorbankan gigi, kok masih aja diulangi lagi. Trus yang lecet-lecet itu apa? Tato alami? Ih, kamu.

Dee, jika usia kita panjang, bolehlah kita berjumpa di dunia yang penuh warna. Atau, ke puncak kebekuan sebagaimana ucapmu_yang begitu saja kupercaya? Kamu asbun, kan? Hahaha. Aku mempercayainya begitu saja, Dee. Aku ngerasa kalah telak.

Bila kamu serius ada waktu_dan kakimu bisa menyatu dengan niatmu, kita ketemu di tempat yang menjadi kesepakatan kita. Aku ga maksa, loh. Paling dokter juga ga ngijinin. Kakimu udah nggak orijinal lagi. Yakin, bisa? Nggak usah dipaksakan, ya.


Baik-baik ma keluarga. Nggak usah musuhin aku lagi. Aku ini nggak beracun apalagi rabies. Paling nyakar doang, kok, pake pisau cukur tapi. Hihihi.


Dee, tanyamu kapan aku menjengukmu? Hehehe, aku hanya bisa menjawab jika kamu telah mengurai kegelapan ini. Kita masih bisa bersua lagi kan?


***