Tuhan Peluk Mimpi Ini
Dulu,
ini adalah suatu hal yang untuk bermimpi pun kami nggak berani. Hingga, pada hari Minggu di bulan Juli yang sangat
panas dan gerah, aku dan seorang temanku, Asti, berkesempatan masuk dan
menengok ‘dapur’ sebuah media berbahasa Inggris di Hong Kong: South China
Morning Post (SCMP).
Hal
itu bermula dari perkenalanku dengan Lensational, sebuah lembaga non profit
yang berkonsentrasi memberdayakan perempuan melalui fotografi di bulan Oktober
2013. Tepatnya, saat Lensational mengadakan lokakarya fotografi selama 4x hari
Minggu berturut-turut. Tidak ada yang istimewa pada awalnya. Tetapi berubah
menyenangkan manakala para peserta diajak berkreasi di studi foto milik Joe di
Kwai Hing dan acara tersebut diliput Asia Calling dan disiarkan di stasiun TV
di Indonesia.
Hingga
pada lokakarya kedua di bulan Maret-Mei 2014. Kami berdua adalah murid-murid
yang all-out dalam belajar mencintai fotografi, yang tidak mau lewatkan satu
kelas pun setiap Minggunya, yang bertempat di studio foto milik Simon Wan Chi
Chung di Sheung Wan. The Photocrafters namanya. Memang, ada suatu Minggu yang
libur kegiatan karena satu dan dua hal.
Kenapa?
Karena di sinilah aku menyelami karakter pribadiku sendiri dari kecenderungan
foto yang akan kuhasilkan. Di sini aku mengenal istilah fotogram (bukan
instagram loh ya), mengenal kamera polariod bernama Holga, mengenal ruang gelap
dan mencoba bereksperimen di dalamnya dengan cairan-cairan cuka, serta mengenal
berbagai macam karakter teman, baik yang berasal dari Indonesia, Filipina
hingga penduduk lokal, Hong Kong.
Bahasa
bukanlah sebuah kendala meski komunikasi kami menggunakan bahasa Inggris atau
Kantonis. Kami benar-benar menikmati rutinitas 2 jam belajar fotografi di
studio Simon. Gimana nggak menikmati,
suasananya aja sendu-sendu gimana gitu. Cozy.
Orangnya asik-asik. Friendly.
Sehingga aku sendiri merasa tidak ada gap
antara senior dan junior, antara pekerja migran dan penduduk lokal, ataupun
antar gender. Dan … bagi pecinta fotografi, hiking, kayaking, aku berani menjamin,
Anda akan merasa 2 jam belajar itu terlalu singkat lantaran Simon ini adalah
salah satu ‘monster’ yang menciptakan interior desain yang bisa membawa kita ke
tempat-tempat dalam foto atau tentang hobi kita dan membawa muridnya berkreasi
sebebas-bebasnya.
Workshop
selanjutnya dilaksanakan satu atau dua kali Minggu saja, bukan rally workshop
seperti di kelasnya Simon. Kami juga diajak join menjadi tukang foto relawan
dalam even Lomba lari untuk mensupport galang dana untuk pengadaan air bersih,
untuk daerah China daratan. Yang unik, para pelari harus menggendong air galon
selama pertandingan berlangsung. Pelari ini diibaratkan penduduk China
pedalaman yang harus mencari air yang jauh dari rumahnya.
Selain
itu, juga ada kelas-kelas foto travel bareng Voltra selama dua pertemuan
berikut event di Sheung Shui. Kami juga merasakan bagaimana kelas editing foto bareng
fotografer Indonesia yang berdomisili di Hong Kong, bu Tasha, meski hanya satu
pertemuan. Hingga aku dan Asti mendapat info tentang tawaran ketersediaan kami
wawancara dengan SCMP. SCMP? SCMP yang mana? Yang sering aku baca saat anak
asuh membawa pulang segepok koran dari sekolahnya? Serius yang itu?
Benar.
SCMP yang itu. Mula-mula kami bertemu di tempat janjian kami di 7-11 Sugar
street, Causeway Bay. Di sana telah menunggu Sunnie dari Lensational yang
mendampingi kami dan Christine, wartawati SCMP asal Filipina yang pernah
menetap di Jakarta untuk beberap waktu.
Kami
masih harus menunggu Robin, fotografer SCMP, yang sedang menuju ke sini, ke
Victoria Park. Kami berempat menunggu di markas FLP-HK sambil ngobrol dengan
penjaga perpustakaan lesehan ala BMI, Putri dan Wanti Onet. Begitu Robin
datang, ia langsung mengambil fotoku dan Asti, bengantian. Christin malah
didapuk menjadi asisten fotografer. Rindangnya pepohonan di Victoria Park tak
mampu menahan gerah yang membuat tubuh kami basah oleh keringat.
Sesudah
itu, kami berlima berjalan menuju SCMP di Wan Chai. Kami naik lantai 3. Robin
pun menyiapkan ruangan kedap suara untuk sesi rekaman. Sunnie dan Christin
meminta kami menunggu di ruang terbuka, bersekat-sekat, banyak meja kerja
berikut komputernya, di salah satu sudut tembok tertempel tulisan ‘editors’. Oh, seperti ini, ya, ruang kerja editor,
batin saya.
Sepi.
Spooky. Remang-remang, hanya beberapa
orang saja yang berada di depan meja kerja mereka. Seram juga. Apalagi mereka
adalah pekerja yang berada dalam tekanan deadline… beughhh. Saat itu Robin
bilang bahwa para wartawan sedang keluar mencari berita, nanti sore mereka baru
kembali ke kantor. Ini loh yang di
Wanchai, padahal tadi Robin menyambungnya bahwa masih ada SCMP yang di Tai Po.
Salut.
Lalu,
aku dan Asti dijemput untuk ke ruang
rekaman. Dalam perjalanan menuju ruang itu, aku melihat tatapan aneh seorang
editor bermata sipit. Di pikirnya, mungkin aku dan Asti seperti makhluk asing
yang baru mendarat di bumi. Iya, pak,
kami adalah alien yang siap menghancurkan dunia dan isinya, hahaha.
Ternyata,
di lantai 3 itu ruangannya kurang jernih dalam menangkap suara. Kami pindah ke
lantai atas. Robin pun menjelaskan bahwa lantai 2 adalah dapurnya majalah
Cosmo.
Masuk
dapur rekaman ternyata lumayan menegangkan. Soalnya bahasa Inggrisku hancur
banget dengan logat Jawa yang kaku. Robin mengoreksi grammar atau pun kosakata
biar nggak terlalu parah. Aku juga
dibantu Sunnie dan Asti saat menranslate kata Indonesia atau Kantonis ke dalam
bahasa Inggris ketika otak saya lola mengingat kosakata tertentu. At least, all is well.
Kami
pun diwawancarai dengan Christin dengan masih didampingi Sunnie. Sedangkan
Robin telah kembali ke mejanya sendiri. Begitu semua beres, kami beberes dan
pamitan sama Robin. Di ruangan Robin, kata ‘photo’ tertempel di dinding. Rupanya ini ruangan para fotografer SCMP.
Alat-alat perang jurnalistik teronggok, bertumpuk, di sebuah lemari. Ada
kamera, video recorder, mic dan pelengkapnya.
“Kamu
pasti mau yang ini,” ucap Robin sambil menunjuk video recorder. Aku mengiyakan.
Tapi kalo pun dikasih,
saya tidak mau. Toh saya sudah punya alat perang sendiri di dalam ransel saya.
Ini adalah alat perang yang untuk membelinya, saya harus mengumpulkan uang
selama 3 tahun dan dengan keterpaksaan, menduakan kiriman buat sekolah
adik-adik saya.
Keterkejutanku
tidak berhenti di situ. Aku dan Asti pernah bermimpi bisa menggelar pameran
foto sendiri sebelum kembali ke Indonesia seterusnya. Namun, jika hanya berdua,
‘warna’ yang kita tampilkan pasti kurang bahan. Kami pun melobi sahabat dekat
kami, Anik. Kami bertiga menentukan tema pameran jauh-jauh hari sehingga saat
kami ada waktu, kami bisa hunting foto-foto yang sesuai dengan tema tersebut.
Menentukan
tema adalah hal pokok sebelum pameran, demikian yang aku pelajari saat berada
di kelas Simon dulu. Lagi-lagi kami speecless
dengan pernyataan Simon saat kami menyerahkan foto-foto kami. Faktanya,
foto-fotoku yang sesuai tema tak ada satu pun yang lolos. Kami pun curcol bahwa
sebenarnya kami tidak ‘PD’ dengan hasil foto-foto kami yang biasa-biasa saja.
Simon
membesarkan hati kami, bahwa seniman itu berkarya dari hati. Banyak di luar
sana fotografer profesional yang datang ke suatu destinasi hanya mengejar momen
atau foto-foto bagus dan sempurna. Berapa
banyak diantara mereka yang menikmati proses itu sebagaimana yang kalian
lakukan selama ini?Ujarnya.
Awal
Agustus, Lensational mempertemukanku, Anik, Asti dengan Esmael dari sebuah
media cetak El Moundo, Spanyol. Ia bahkan hadir di pameran kami dua minggu
kemudian setelah wawancara itu berlangsung.
Ya,
ini memang bukan pameran tunggal dan ini juga tercatat sebagai pameran kedua
setelah pertama kali pameran di bulan Januari 2015 lalu. Tetapi, aku merasa
terharu dengan semua yang telah membantu tercapainya salah satu mimpiku. Kami
bertiga sukses menggelar pameran bertajuk ‘Soul Exhibition’ di Hong Kong
Cultural Art, Tsim Sha Tsui, pada tanggal 15-17 Agustus 2015.
Pameran
ini sengaja dipaskan pada hari kemerdekaan Republik Indonesia karena inilah
salah satu cara kami memberi kado ultah pada HUTRI yang ke-70. Aku sangat
senang ketika banyak teman yang datang termasuk para keluarga co-founder
Lensational dan volunteer Lensational lainnya.
Ada
yang kurang ketika pameran ini berlangsung. Asti telah kembali ke Indonesia
untuk selamanya. Sehingga ada ruang kosong yang kami rasakan.
Seminggu
kemudian, organisasi perkumpulan
fotografer WNI di Hong Kong mengumumkan lomba fotografi bertema
“Kegiatan BMI di Hari Libur”. Dua foto yang aku ikutkan lomba ternyata masuk
dalam 10 besar. Salah satunya menyabet juara pertama. Setidaknya ini adalah
grafik peningkatan prestasi setelah lombas serupa tahun lalu aku hanya mendapat
posisi juara harapan 2.
Tidak
sampai di situ. Awal September adalah pengumuman lomba fotografi yang diadakan
Universitas Terbuka (UT) di Indonesia dengan tema “Kegiatan Mahasiswa”, dimana
hanya berlaku untuk intern mahasiswa UT baik mahasiswa lokal maupun luar
negeri. Betapa mengejutkan, ternyata aku juga mendapat juara pertama.
Aku
ingin berlari ke pangkuan ibuku, memeluknya dan menangis di dadanya. Tiada doa
yang sia-sia, yang setiap saat keluar dari bibirnya. Ketika ibuku memelukku
dalam doa-doa sejatinya Tuhanlah yang memelukku. Karena ridhoNya ada pada restu
ibu.
***