Saya Mah Bisa
Apa?
Hai,
kamu. Apa kabarmu?
Saat
ini kita memang tidak sedang bersama. Namun, saya tetap akan menyampaikan
banyak hal ke kamu. Banyak pertanyaan yang ketika mulai saya pilihkan
diksi agar kamu nggak ngegas ternyata malah tercekat di
tenggorokan. Saya hanya mampu menerka-nerka semua potongan kejadian selama ini
dalam … diam. Lagipula, jika saya mengatakan yang sejujurnya, kamu bakal sakit
hati ataupun kecewa. Kecewamu bukanlah yang saya mau.
Saya
sempat berfikir tentang sandiwarakitamu di depan semua orang, pertanyaan
seputar calon adik iparmu selama menjadi teman sejawat saya (dulu), ketika kamu
pisah rumah sama bapak mamak, kamu yang tidak kerasan di sini, kamu yang
akhirnya pergi dan terlalu cepat kembali lalu pergi lagi, tentang
rencanamu yang sangat rapi kamu tutupi, semuanya, semuanya. Sebenarnya ada apa?
Saya
merenung, berbicara pada diri sendiri, pada cermin, pada tembok, pun pada tiang
listrik! Akhirnya saya sadar, ya, saya sadar, saya hanyalah sepotong puzzle
dalam bingkai hidupmu, tak lebih. Bahkan untuk berbagi resahmu pun tidak.
“Nek
gak ngerti, meneng o. Kalo nggak ngerti, diam!”
Saya
kaget. You're so rude. Kamu sengajakah melempar kalimat itu? Ok,
saya akan diam, bila perlu … selamanya. Ya, saya memang tidak mengerti,
dan saya tidak perlu mengerti. Siapalah saya. Saya hanya
pemberhentian sementara.
“Coba
hitung, aku merangkap jadi sopir dan tukang fotomu?”
Speechless.
Baiklah, baik. Jika semua yang telah kamu lakukan adalah transaksi, berapa yang harus saya bayar? How
much should I pay then.... Itulah yang selalu saya takutkan ketika
meminta pertolongan jika berakhir dengan pengungkitan. Mungkin saya terlalu
naïf dan menganggap di dunia ini memiliki standar yang sepadan dengan saya.
Yang saya tahu, saya melakukan sesuatu karena saya mau. Saya melakukannya
secara sukarela.
Kamu
ingat nggak ketika saya sempat mengeluh bahwa yang saya lakukan tidak pernah
berbalas apa-apa, tidak ada yang menolong saya ketika saya bermasalah, termasuk
kamu. Saat itu (mungkin) saya lelah, saya (hampir) menyerah. Saya
jatuh dan dengan susah payah saya bangkit lagi. Maklum, saya masih
manusia. Semakin ke sini, saya semakin paham bahwa pasrah setelah melakukan
dengan sebaik-baiknya adalah sebuah keharusan, dan saya masih terus belajar
untuk itu.
“Aku
disuruh nyiram bunga, sudah aku siram. Kalo bunganya mati kan itu takdir.”
Ya,
mungkin bagimu ini sebentuk kepasrahan. Hanya saja, sudahkah kamu melakukannya
dari hati. Bila pada bunga ada hama, sudahkah kamu membasminya? Bila pada bunga
kurang nutrisi, sudahkah kamu teliti? Seperti itulah dalam pikiranku saat itu.
Karena bercocok tanam tidak semena-mena begitu.
Kamu
tahu? Saya (mungkin) adalah manusia bodoh. Naluri saya mengatakan akan terjadi
kisah berulang, akan ada rasa sakit di depan. Saya meyakinkan diri sendiri,
saya menanyakan pada kamu untuk memastikan bahwa semua akan baik-baik saja.
Nyatanya, begitu kita melakoninya, semua berakhir dengan tidak baik-baik saja.
Apakah
saya murahan ketika saya memberikan nomor kontak secara blak-blakan? Apakah
saya murahan ketika dengan gampang diajak jalan-jalan? Apakah saya murahan
ketika saya mengatakan iya pada hal-hal yang abu-abu? Salah satu orang yang
mengatakan bahwa memberi nomor kontak pada orang asing secara gampang itu
perempuan murahan adalah mamakmu (meski saat itu bukan saya yang dimaksud, tapi
dia yang membuat dejavu). Sempat sedih, sih, karena orang yang berkata seperti
itu adalah orang yang saya anggap mampu melihat masalah dari dua
sisi dan berada pada situasi netral. Saya berfikir (lagi) bahwa kebahagiaan
saya bukan dari omongan orang tapi bahagia berasal dari diri saya dan usaha
saya sendiri. Kini saya tidak lagi peduli. Mereka kan tidak punya andil apa-apa
dalam hidup saya. Toh yang saya lakukan masih dalam tahap wajar, tidak ada hukum ataupun norma
yang saya langgar. Jika asumsimu
iya, biarkan saja saya murahan!!!
Saya
sempat meminta agar kamu tetap di sini, bukan demi saya tapi demi anak-anak adek-adek.
Bukan, bukan saya memanfaatkan kamu apalagi mereka. Hal itu saya lakukan karena
ingat saat kamu bilang bahwa kamu menyukai anak-anak. Seberapa pun ketidak
kerasananmu di sini, ketika kamu berinteraksi dengan mereka, semua lelahmu
hilang. Sama seperti yang saya rasa, mereka mampu menyuntikkan energi dan
hormon kebahagiaan dari pelukan, ketulusan dan kepolosan yang mereka berikan.
Apakah permintaan saya agar kamu tinggal lebih lama itu berlebihan? Atau malah
terlihat seperti mengemis? Tidak, saya sedang tidak mengemis.
Saya berpura-pura meminta kamu tinggal lebih lama. Saya hanya
memastikan bahwa kamu sedang tidak bersandiwara sebagaimana
yang dilakukan calon adik iparmu.
Begitu
juga dengan futsal. Bagaimana dengan latihan tiap malam Sabtu yang kamu lakukan
usai mengajar? Bagaimana kabar clubmu di kecamatan sana ketika kamu tinggalkan?
Bukankah akan ada pertandingan? Bagaimana dengan rencanamu bekerja di pagi
hari lalu mencari partime di sore hari? Bagaimana pula
dengan berbagai lamaran pekerjaan yang kamu lemparkan?
Lalu,
dari semua rangkaian ini, manakah yang sebenar-benarnya kenyataan?
Ketidakjujuran apalagi yang kamu sembunyikan? Jika menurutmu kegagalan adalah
kesuksesan yang tertunda dan berharap kebohongan adalah kejujuran yang tertunda
pula tetapi tidak berlaku dengan saya. Kebohongan tetaplah kebohongan. Dan
untuk mengembalikan kepercayaan, hmmm ... tunggu saja sampai lebaran
kuda.
Kamu
ingat saat kita ngobrol bersama Dedey dan Aay? Saya membenarkan bahwa apa yang
bapak lakukan dan perlakuannya pada calon adik iparmu itu agak berlebihan.
Terlebih latar pendidikan calon adik iparmu yang seperti itu. ‘Dia’ itu belum menjadi siapa-siapa tapi
bapak menganggap dan memperlakukannya sudah seperti siapa-siapa. Pada semua orang, bapak pun
mengumumkan dia itu sudah seperti siapa-siapanya. Saya yang saat itu hanya
menyimak, sempat berfikir, bukankah ada kamu? Kenapa malah mengungul-unggulkan
dia? Kalian kan sama-sama keluar dari jalur akademis yang sama. Saya mencium
aroma ketidak adilan di sini. Padahal kamu kan anaknya? Harusnya kamu yang
diagung-agungkan, kamu yang didahulukan, kamu yang diprioritaskan. Tapi
nyatanya kamu malah kalah sama dia yang datang belakangan dan bermodal ‘cinta’
untuk adikmu. Enak ya jadi dia. Jodoh disodor-sodorkan, kerjaan dicarikan,
tempat tinggal disediakan. Kamu yang pada semua orang dipamerkan sebagai
anaknya apa kabar? Apakah harus digaris bawahi bahwa
kamu hanya 'anak'nya. Sempat kamu meminta saya agar tidak
menyamarakatakan dengannya. Tenang saja, saya tidak akan membanding-bandingkan
kamu dengan dia. Toh kalian adalah dua orang berbeda. Sepertinya memang
tidak perlu ada matahari kembar di sini. Bila kamu tahu diri, kamu memang seharusnya pergi dan tidak untuk menetap
kembali. Jangan sampai lulusan nganu bahkan mengenyam
pendidikan tinggi dari sebuah institute di timur Jawa hanya membusuk bersama
aroma bensin, minyak rem dan oli.
Saya
mengerti kekhawatiranmu sebagai kakak. Saya paham ketakutanmu apabila dia hanya
main-main (pada adikmu). Kenapa kamu berfikir kalau dia hanya main-main?
Berarti selama ini kamu juga suka main-main? Coba kamu melihat dari sisi
adikmu, bagaimana adikmu mabuk oleh cintanya? Sebagaimana pasangan dimabuk
cinta, kamu pasti paham betul bagaimana adikmu itu. Atau... kamu tidak
mengerti bagaimana rasanya? What a pity. Coba kamu lihat bukti
berbentuk bulat yang menggantung di dekat foto wisudamu, di kamar adikmu.
Tataplah gantungan kunci bergambar pasangan muda-mudi selayaknya pengantin baru
itu? Apakah kamu tidak kasihan sama adikmu? Maaf, bukan saya lancang, tapi mata
saya tidak sengaja menemukannya saat itu.
Kamu
mengerti kan sosok yang saya maksud?
***
Eniwe, buswe,
subwe... terimakasih sudah meluangkan waktu bersama. Percayalah, sekarang saya baik-baik saja, sangat sangat sangat baik-baik saja.
Kulari ke hutan, kemudian menyanyiku
Masih ingat momen pertama makan bersama? Saya bilang bahwa kita harus habisin makanan, nggak boleh buang-buang karena belinya pakek duit dan untuk mendapatkannya perlu perjuangan, keringat dan airmata.
“Pakek engkol juga,” tambahmu.
Momen kedua adalah porsi kuli di rumah Dedey. Dan selanjutnya, dan selanjutnya. Porsi gila. Saya tipe orang yang thokngok, blakkotang, terbuka dan apa adanya. Jadi mohon dimengerti, beginilah hasil didikan luar negeri.
Untuk ke gunung, saya tunggu undangannya suatu hari nanti, di tempat
kelahiranmu.
Sekali lagi, terimakasih atas serangkaian kebersamaannya. Terimakasih atas segala teka-tekinya. Terimakasih atas tertutup rapatnya segala rahasia. Meski sebenarnya, saya masih memendam tanya, Paijo, sebenarnya maksud ini semua ini apa?
Baeglah. Apabila niatmu sudah bulat, pergilah dan jangan menengok ke belakang. Apapun tidak bisa menahanmu di sini. Asudahlah. Asal kau bahagia.Dan jahatnya, kamu tidak pernah berkabar.
Saya benci. Suatu saat, jika kamu datang untuk singgah, tolong
katakan, agar saya hanya menyuguhkan kopi atau roti, bukan hati.
G-Dragon,
2013
Tentang Seseorang
Kulari ke hutan, kemudian menyanyiku
Kulari ke pantai, kemudian teriakku
Sepi, sepi, dan sendiri
Aku benci
Aku ingin bingar
Aku ingin di pasar
Bosan aku dengan penat
Dan enyah saja engkau pekat
Seperti berjelaga ketika kusendiri
Pecahkan saja gelasnya
Biar mengaduh semakin gaduh
Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang di tembok keraton
putih
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya, biar terdera
Atau aku harus lari ke hutan lalu belok ke pantai?
Ada Apa Dengan Cinta, 2002
GOOD-bye
trip kemarin telah menuntaskan diksi-diksi puisi film AADC 2002 di atas.
Iya, kamu sudah membawa saya ke hutan lalu belok ke pantai. Saya menikmati
momen itu meski sempat merasa aneh karena bukan kamu banget ketika perjalanan
itu harus aku yang mengatur itinerarynya. Pakai logika saja, kamu yang
ngajakin, kamu yang janjiin, bukannya kamu yang menentukan itinnya. Toh saya
akan selalu and always sami'na wa atho'na. Saya akan selalu suka
itin yang kamu pilih. Terlebih kita selalu menyempatkan mampir ke rumahNya.
Jelong-jelong sama kamu tuh nggak hanya ngejar senengnya tapi juga ibadahnya.
Apalagi masalah makannya. Jangan tanya. Bisa-bisa kita menggendut bersama. Dan
saya manut-manut saja ketika porsi kita setara.
Masih ingat momen pertama makan bersama? Saya bilang bahwa kita harus habisin makanan, nggak boleh buang-buang karena belinya pakek duit dan untuk mendapatkannya perlu perjuangan, keringat dan airmata.
“Pakek engkol juga,” tambahmu.
Momen kedua adalah porsi kuli di rumah Dedey. Dan selanjutnya, dan selanjutnya. Porsi gila. Saya tipe orang yang thokngok, blakkotang, terbuka dan apa adanya. Jadi mohon dimengerti, beginilah hasil didikan luar negeri.
Sekali lagi, terimakasih atas serangkaian kebersamaannya. Terimakasih atas segala teka-tekinya. Terimakasih atas tertutup rapatnya segala rahasia. Meski sebenarnya, saya masih memendam tanya, Paijo, sebenarnya maksud ini semua ini apa?
Baeglah. Apabila niatmu sudah bulat, pergilah dan jangan menengok ke belakang. Apapun tidak bisa menahanmu di sini. Asudahlah. Asal kau bahagia.
Dalam
serangkaian perjalanan kehidupan, ada yang datang, ada yang pergi. Ada
pertemuan, pasti ada perpisahan. Karenanya, ada GOOD dalam goodbye dan ada HELL dalam hello. Which one are you?
***
Crooks
Yeongwonhan geon jeoldae eobseo
(tak ada yang abadi)
Gyeolguge neon byeonhaetji
(akhirnya kau juga
berubah)
Eochapi nan honjayeotji
(aku sudah terbiasa
sendiri)
Neo hana mitgo manyang haengbokhaesseotdeon
naega
(sempat aku percaya
padamu dan aku bahagia)
Useupge namgyeojyeosseo
(namun ternyata aku
ditinggal sendirian)
***
0 comments:
Post a Comment