2015-03-12

[Curcol] Langgar Aturan, Kena Semprit deh!

Aturan Itu Dibuat Untuk Dilanggar. Demikianlah! Entah pepatah keluaran mana, saya pernah mendengar 'mak semriwing' bahwasanya aturan itu dibuat untuk dilanggar. Namun, hal ini pernah saya baca dalam salah satu 'pelajaran komposisi fotografi' yakni break the rule(s). Ketika berbicara seni, kadang kala aturan itu adalah tidak ada aturan itu sendiri. Di luar seni, hati-hati saja jika berani melanggarnya.

Seperti Minggu keempat bulan Januari lalu, trio A (Anik, Asti, Asinn_sebut saja begitu) pergi ke Shatin untuk melihat pameran foto. Ketiga perempuan yang kadung kepincut dengan fotografi ini rela jauh-jauh dari kampung Jawanya Hong Kong hanya untuk membuktikan dengan mata mereka sendiri bahwa karya foto mereka dipajang di lobby salah satu kampus besar di Hong Kong.

Gimana ceritanya kok foto mereka bisa sampai di sana?

Begini, beberapa tahun lalu, sebuah organisasi non pemerintah (NGO) yang berkonsentrasi memberdayakan perempuan melalui fotografi, menggandeng organisasi pekerja migran, fotografer profesional dan beberapa sponsor untuk mengadakan workshop fotografi. Tidak tanggung-tanggung, workshop pertama bulan Oktober 2013 dan yang kedua Februari-Mei 2014 itu berbayar nol dolar alias gratis. 

Peserta tidak hanya berasal dari penduduk lokal Hong Kong tetapi juga pekerja migran Indonesia dan Filipina. Peserta workshop tidak hanya diajari jatuh cintrong pada foto dan fotografi tetapi dituntun untuk 'bermain-main' dengan negativ film (klise foto) di ruang gelap. Ya, mereka diajari mencuci cetak foto. Tidak hanya itu, mereka juga diberi pembekalan bagaimana menyiapkan pameran foto.

Kesempatan untuk memamerkan karya pun datang. Hasil foto-foto 'asal jepret' (karena tidak ada tema khusus yang dibebankan kepada peserta) itu dicetak. Kemudian semua pihak yang terlibat dalam workshop itu berdiskusi menentukan judul dan tema pameran. NGO sengaja mengajak peserta untuk lebur bersama saat pra dan pasca pameran.

Ketika hari H tiba, trio A makin penasaran, kira-kira karya mereka yang mana saja yang sesuai dengan tema pameran. Tak lupa, mereka bertanya kepada NGO, apakah memungkinkan bila datang ke pameran pada hari Minggu yang menjadi satu-satunya hari kebebasan trio A dari kungkungan pekerjaan. Nyatanya, kabar itu datang setelah melewati tengah malam pada hari Minggu dengan kalimat pemberitahuan yang isinya bahwa pameran esok hari akan dibuka pukul 8 pagi hingga  sore.

Entah karena terlalu exited atau apa, trio A mengasumsi bahwa esok yang dimaksud adalah hari Minggu (padahal, jika mau menelaah lebih teliti, saat pemberitahuan dikirim hari Minggu maka esok yang dimaksud adalah Senin, kan?). Maka, naked-lah ... eh nekadlah trio A ke tempat pameran.

Sesampainya di Shatin, trio A muter-muter kampus untuk mencari pintu masuk_yang semuanya terbuat dari kaca transparan, yang ternyata ditempeli tulisan closed. FYI, kampus itu berdampingan dengan hotel HYATT. Oleh karenanya, trio A keukeuh mencari jalur belakang kalau-kalau ada celah yang bisa disisipi. Pencarian 'jalur tikus' itu menuntun trio A hingga ke pelataran hotel. Dan nyatanya, celah itu sama sekali tidak ada bin nihil.

Menghibur diri dari kekecewaan itu, trio A segera selfie berbackground hotel itu. Sekali jepret dua jepret kurang puas, trio A mencari background dengan tulisan iconic hotel HY. Nahas, mereka kesulitan selfie karena tidak memiliki tongsis. Mereka hanya menggunakan tangsis (tangan untuk narsis). Tidak kurang akal, ketika menarsiskan wajah mengalami kesulitas, trio A rela glosoran di lantai demi motret kaki mereka di depan hotel itu. Tentu saja pemandangan nggilani ini mengusik ketentraman pihak hotel. Trio A didatangi sekuriti dan meminta mereka agar meninggalkan tempat sesegera mungkin. Yau jhe aa, hou ngai him. Ya iyalah, mereka dlosoran di jalur kendaraan!

Dalam perjalanan kembali pulang, trio A melewati kampus lagi. Salah satu dari mereka melihat beberapa orang bisa masuk-keluar dengan sebuah kartu. Aha ... ide nebeng orang agar bisa masuk bareng pun muncul. Perlu kesabaran ekstra menunggu momen itu. Dengan bahasa kanton yang lumayan memelas dan tangan menunjuk-nunjuk lokasi pameran, salah satu dari trio A memohon-mohon agar diijinkan masuk. Pasalnya, dari pintu kaca transparan itu foto-foto yang dipamerkan sudah nampak dari luar seolah-olah melambai-lambai minta disambangi.

Dan ... yihaaa, trio A diijinkan masuk. Dasar yannei kungyan yang kadang lepas kontrol kalau bicara, trio A pun kelewat berisik mengenali mana saja karya-karya mereka_tentu sambil narsis di dekat foto-foto itu. Tiba-tiba seorang ah sam (mbokdhe) tukang bersih-bersih menghampiri trio A.

"Kalian tau nggak kalo berisik. Suara kalian terdengar sampai atas. Siong bin yau yan siong kan tong aa. Lei tei em in koi yap lei, ming ci closed maa! (Di atas ada orang lagi belajar. Kalian tidak seharusnya masuk, kan sudah tau tutup!)"

Nah loh! Trio A hanya ingah-ingih prengas-prenges kayak monyet ketulup lalu keluar dari area kampus. Bukannya menyesal ataupun jera, ketiganya malah ngakak berjamaah. Tidak hanya sampai di situ, ketika hendak naik KCR pun, salah satu dari mereka berdiri terlalu dekat dengan pembatas 'selokan' rel kereta. Padahal ada garis kuning penanda maksimal 'parkir' kaki. Maka, terdengarlah 'halo-halo' dalam tiga bahasa (Kantonis-Inggris-Mandarin) dari pengeras suara yang memeringatkan penumpang KCR agar berdiri di belakang garis kuning. Nah loh, kena semprit deh.

Fiuhhh, bener-bener partner in crime.

Sinna Hermanto. 

***
Artikel terkait.

0 comments:

Post a Comment