2016-09-09

Dies Natalis 32 UT: Double Strike dan Sebuah Kelindan


Hai, UTers.

Sebelum membaca lebih jauh, samakan dulu frekuensi kita, ya. Biar gelombang yang kita terima juga sama. Jadi, seumpama ada kata yang kurang ndhakik-ndhakik dan tidak seformal ciri khas civitas akademika, kita bisa menerima dan menelaah dengan terbuka tulisan dari mahasiswi yang embuh ini.

Meski sudah kelewat seminggu, di Dies Natalis yang ke-32, pada empat windu membangun negeriku, saya mengucapkan terimakasih kepada UT yang telah mewadahi mimpi-mimpi anak negeri untuk melanjutkan sekolah tinggi, khususnya bagi yang mimpinya pernah tercerabut paksa karena masalah ekonomi keluarga. Tapi, kami, saya khususnya, adalah anak-anak negeri yang bermental batu, bukan bermental tahu, yang tidak mudah luruh meski jatuh. Meski domisili saya saat nulis ini masih membentang berhasta-hasta dari tanah pertiwi, mimpi itu akan tetap ada. Bila semesta merestui, mimpi itu akan menjadi nyata, pun menggurita.

Jatuh bangun meraih mimpi tidak perlu saya jabarkan. Pahit, taukkk! Tapi cukup hasilnya saja yang saya kabarkan, yang membuat senyum di bibir kedua orangtua saya. Itu sudah sangat-sangat cukup. Bahwa, meski jauh dari mereka, anaknya yang badung dan rada-rada gila ini tetap baik-baik saja berkat rapalan doa-doa yang mereka bumbungkan ke petala raya.

Dua kali berada di posisi pertama pada lomba fotografi yang diadakan Universitas Terbuka (DiesNatalis31UT dan DiesNatalis32UT) membuat saya tertegun. Double Strike. Karya orang kecil nan lumutan (lucu, imut dan menggemaskan) seperti saya ternyata sesuai dengan apa yang dimaui dewan panitia. Saya bahagia sekaligus mengkeret dibuatnya. Karena sebenarnya ... di luar sana masih banyak foto-foto bagus dan menakjubkan. Dan saya akan tetap mengucapkan terimakasih atas kesempatan dua kali berturut-turut ini. Sehingga saya tidak buru-buru gantung kamera dan terus semangat berkompetisi, di Eyeem salah satunya.

Tapi ya ... gitu. Sebagian besar sekolah di Indonesia masih menjunjung tinggi prestasi akademik dan aneka penelitian/ Karya Ilmiah di atas segala-galanya. Mahasiswa/i kelas crustacea (golongan udang-udangan ... IYKWIM hahaha) macam saya ini serupa pelengkap data. Ada tapi tiada. Null.

Bila saya sedang berada di titik nadir seperti itu, saya tidak mencari bahu untuk bersandar karena si bahu itu pergi menghindar. Saya cukup berdamai dengan segalanya. Saya percaya itu cara semesta menyeleksi. Kalah pada hakikatnya adalah cara semesta menempa. Menyerah adalah pilihan terakhir bila tenaga, jiwa, raga bahkan kemajuan teknologi tak lagi bisa sinkron. Menang adalah bonus dan pengobat atas luka jatuh bangun usaha kita. Ada sebuah kisah, pengalaman dan atau peristiwa yang saling berkelindan, yang hal itu akan kita sebut dengan puzzle kehidupan. *Jaka Sembung makan hungkue, nggak nyambung ... suka-suka guwe.

Saya juga mohon maaf belum bisa 'move on' dari status mahasiswi 'rantai karbon'. Memang sih, saya merasa iri pada teman-teman yang lulus prematur di semester VII, yang nantinya mendapat undangan menghadiri UPI (Upacara Penyerahan Ijazah) di Pondok Cabe. Pun pada teman-teman dengan IPK (Indeks Prestasi Komulatif) warbyasyah. Saya masih tercatat sebagai mahasiswa aktif di di UPBJJ 71 saja sudah syukur dan tidak terkena sapuan gelombang pending massal yang santer di sekitar saya (berdomisili saat nulis ini). Lagipula, saya mah apa, hanya remahan rengginang di dasar blek Khong Guan, yang tidak punya wewenang ilmiah untuk cawe-cawe atau menyelami masalah itu.

Ha piye maneh, saya ini tulang rusuk yang merangkap tulang punggung. Usaha, airmata, putus asa, hingga muntah darah pun cukup saya, Tuhan, dan malaikat yang tahu. Semisal hasilnya jauh dari harapan, mungkin piknik saya kurang jauh atau cairan kafein dalam tubuh saya masih mengelana dalam vena. Saya menunggu neuron berstimulasi dengan O2 yang saya hela, kemudian menyaringnya menjadi semacam dopping. Semoga saja masa tunggunya tidak sampai pada masa terdengarnya terompet sangkakala agar semangat belajar terus membara.

Untuk teman-teman yang menanyakan kapan saya lulus atau menyatakan saya sekolahnya lama dan nggak lulus-lulus, saya menjawab: semua akan eaaa-eaaa pada waktunya.

Tenang, gaes, saat ini jumlah semester saya belum sebanyak Asmaul Husna. Eh!

***

Here ... I exhibit my works. Hope you guys enjoy it. Welcome for any advice.



Mood Booster. Tseung Kwan O-HK 2016.

Menciptakan suasana belajar yang nyaman adalah salah satu cara agar materi bisa diserap sempurna. Ada milk-tea sebagai dopping kala kantuk tak mau diajak kompromi, as you know … belajar itu bawaannya ngantukkk. Kalo nggak mood kan bawaaanya ngamukkk. Hahaha.



Keep the eyes on and focus! Kennedy Town-HK, 2015.

Saat test (UAS) gini kita harus tetep fokus dan mata nggak pakek lirik-lirik _ tar juling hahaha. Percaya diri dengan kemampuan sendiri. Bila belajar telah maksimal, tuton dan tugas juga lengkap, percayalah … usaha tidak akan menghianati hasil. Bila masih gagal … bangkit lagi dan coba lagi. Kita 'kan mahasiswa/i kelas rumput teki yang tak mudah mati.



Numero Uno. Causeway Bay-HK, 2016.

Kepala UPBJJ LLN, Maximus Gorky Sembiring bersama mahasiswa UT di Hong Kong melakukan diskusi tertutup yang difasilitasi oleh PENSOSBUD KJRI HK.


Mahasiswi-mahasiswi UT di HK mengikuti karnaval. Tsim Sha Tsui-HK, 2015.

Semangat belajar agar ketika kami pulang nanti membawa nilai plus menjadi sarjana, terus kami gaungkan di seantero HK. Jumlah mahasiswa UT sekitar 250 dan di kampus lain/ program pendidikan lain sekitar 1500 adalah sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah total pekerja migran asal Indonesia di HK (sekitar 150.000). Kesadaran mencari ilmu adalah kebutuhan masing-masing. Tidak perlu propaganda dan atau dipaksa-paksa. Cukup kami tunjukkan dengan contoh nyata. 


Just say hi. Kennedy Town-HK, 2015.

Kamuh dapet calam dari kamih. Celamat belajar, eaaa. *mendadak 4L4Y* Emaaf.

Sampai jumpa.

0 comments:

Post a Comment