2015-10-05

Tuhan Peluk Mimpi Ini

Tuhan Peluk Mimpi Ini

Dulu, ini adalah suatu hal yang untuk bermimpi pun kami nggak berani. Hingga, pada hari Minggu di bulan Juli yang sangat panas dan gerah, aku dan seorang temanku, Asti, berkesempatan masuk dan menengok ‘dapur’ sebuah media berbahasa Inggris di Hong Kong: South China Morning Post (SCMP).

Hal itu bermula dari perkenalanku dengan Lensational, sebuah lembaga non profit yang berkonsentrasi memberdayakan perempuan melalui fotografi di bulan Oktober 2013. Tepatnya, saat Lensational mengadakan lokakarya fotografi selama 4x hari Minggu berturut-turut. Tidak ada yang istimewa pada awalnya. Tetapi berubah menyenangkan manakala para peserta diajak berkreasi di studi foto milik Joe di Kwai Hing dan acara tersebut diliput Asia Calling dan disiarkan di stasiun TV di Indonesia.

Hingga pada lokakarya kedua di bulan Maret-Mei 2014. Kami berdua adalah murid-murid yang all-out dalam belajar mencintai fotografi, yang tidak mau lewatkan satu kelas pun setiap Minggunya, yang bertempat di studio foto milik Simon Wan Chi Chung di Sheung Wan. The Photocrafters namanya. Memang, ada suatu Minggu yang libur kegiatan karena satu dan dua hal.

Kenapa? Karena di sinilah aku menyelami karakter pribadiku sendiri dari kecenderungan foto yang akan kuhasilkan. Di sini aku mengenal istilah fotogram (bukan instagram loh ya), mengenal kamera polariod bernama Holga, mengenal ruang gelap dan mencoba bereksperimen di dalamnya dengan cairan-cairan cuka, serta mengenal berbagai macam karakter teman, baik yang berasal dari Indonesia, Filipina hingga penduduk lokal, Hong Kong.

Bahasa bukanlah sebuah kendala meski komunikasi kami menggunakan bahasa Inggris atau Kantonis. Kami benar-benar menikmati rutinitas 2 jam belajar fotografi di studio Simon. Gimana nggak menikmati, suasananya aja sendu-sendu gimana gitu. Cozy. Orangnya asik-asik. Friendly. Sehingga aku sendiri merasa tidak ada gap antara senior dan junior, antara pekerja migran dan penduduk lokal, ataupun antar gender. Dan … bagi pecinta fotografi, hiking, kayaking, aku berani menjamin, Anda akan merasa 2 jam belajar itu terlalu singkat lantaran Simon ini adalah salah satu ‘monster’ yang menciptakan interior desain yang bisa membawa kita ke tempat-tempat dalam foto atau tentang hobi kita dan membawa muridnya berkreasi sebebas-bebasnya.

Workshop selanjutnya dilaksanakan satu atau dua kali Minggu saja, bukan rally workshop seperti di kelasnya Simon. Kami juga diajak join menjadi tukang foto relawan dalam even Lomba lari untuk mensupport galang dana untuk pengadaan air bersih, untuk daerah China daratan. Yang unik, para pelari harus menggendong air galon selama pertandingan berlangsung. Pelari ini diibaratkan penduduk China pedalaman yang harus mencari air yang jauh dari rumahnya.

Selain itu, juga ada kelas-kelas foto travel bareng Voltra selama dua pertemuan berikut event di Sheung Shui. Kami juga merasakan bagaimana kelas editing foto bareng fotografer Indonesia yang berdomisili di Hong Kong, bu Tasha, meski hanya satu pertemuan. Hingga aku dan Asti mendapat info tentang tawaran ketersediaan kami wawancara dengan SCMP. SCMP? SCMP yang mana? Yang sering aku baca saat anak asuh membawa pulang segepok koran dari sekolahnya? Serius yang itu?

Benar. SCMP yang itu. Mula-mula kami bertemu di tempat janjian kami di 7-11 Sugar street, Causeway Bay. Di sana telah menunggu Sunnie dari Lensational yang mendampingi kami dan Christine, wartawati SCMP asal Filipina yang pernah menetap di Jakarta untuk beberap waktu.

Kami masih harus menunggu Robin, fotografer SCMP, yang sedang menuju ke sini, ke Victoria Park. Kami berempat menunggu di markas FLP-HK sambil ngobrol dengan penjaga perpustakaan lesehan ala BMI, Putri dan Wanti Onet. Begitu Robin datang, ia langsung mengambil fotoku dan Asti, bengantian. Christin malah didapuk menjadi asisten fotografer. Rindangnya pepohonan di Victoria Park tak mampu menahan gerah yang membuat tubuh kami basah oleh keringat.

Sesudah itu, kami berlima berjalan menuju SCMP di Wan Chai. Kami naik lantai 3. Robin pun menyiapkan ruangan kedap suara untuk sesi rekaman. Sunnie dan Christin meminta kami menunggu di ruang terbuka, bersekat-sekat, banyak meja kerja berikut komputernya, di salah satu sudut tembok tertempel tulisan ‘editors’. Oh, seperti ini, ya, ruang kerja editor, batin saya.

Sepi. Spooky. Remang-remang, hanya beberapa orang saja yang berada di depan meja kerja mereka. Seram juga. Apalagi mereka adalah pekerja yang berada dalam tekanan deadline… beughhh. Saat itu Robin bilang bahwa para wartawan sedang keluar mencari berita, nanti sore mereka baru kembali ke kantor. Ini loh yang di Wanchai, padahal tadi Robin menyambungnya bahwa masih ada SCMP yang di Tai Po. Salut.

Lalu, aku dan Asti  dijemput untuk ke ruang rekaman. Dalam perjalanan menuju ruang itu, aku melihat tatapan aneh seorang editor bermata sipit. Di pikirnya, mungkin aku dan Asti seperti makhluk asing yang baru mendarat di bumi. Iya, pak, kami adalah alien yang siap menghancurkan dunia dan isinya, hahaha.

Ternyata, di lantai 3 itu ruangannya kurang jernih dalam menangkap suara. Kami pindah ke lantai atas. Robin pun menjelaskan bahwa lantai 2 adalah dapurnya majalah Cosmo.

Masuk dapur rekaman ternyata lumayan menegangkan. Soalnya bahasa Inggrisku hancur banget dengan logat Jawa yang kaku. Robin mengoreksi grammar atau pun kosakata biar nggak terlalu parah. Aku juga dibantu Sunnie dan Asti saat menranslate kata Indonesia atau Kantonis ke dalam bahasa Inggris ketika otak saya lola mengingat kosakata tertentu. At least, all is well.

Kami pun diwawancarai dengan Christin dengan masih didampingi Sunnie. Sedangkan Robin telah kembali ke mejanya sendiri. Begitu semua beres, kami beberes dan pamitan sama Robin. Di ruangan Robin, kata ‘photo’ tertempel di dinding. Rupanya ini ruangan para fotografer SCMP. Alat-alat perang jurnalistik teronggok, bertumpuk, di sebuah lemari. Ada kamera, video recorder, mic dan pelengkapnya.

“Kamu pasti mau yang ini,” ucap Robin sambil menunjuk video recorder. Aku mengiyakan.

Tapi kalo pun dikasih, saya tidak mau. Toh saya sudah punya alat perang sendiri di dalam ransel saya. Ini adalah alat perang yang untuk membelinya, saya harus mengumpulkan uang selama 3 tahun dan dengan keterpaksaan, menduakan kiriman buat sekolah adik-adik saya.

Keterkejutanku tidak berhenti di situ. Aku dan Asti pernah bermimpi bisa menggelar pameran foto sendiri sebelum kembali ke Indonesia seterusnya. Namun, jika hanya berdua, ‘warna’ yang kita tampilkan pasti kurang bahan. Kami pun melobi sahabat dekat kami, Anik. Kami bertiga menentukan tema pameran jauh-jauh hari sehingga saat kami ada waktu, kami bisa hunting foto-foto yang sesuai dengan tema tersebut.

Menentukan tema adalah hal pokok sebelum pameran, demikian yang aku pelajari saat berada di kelas Simon dulu. Lagi-lagi kami speecless dengan pernyataan Simon saat kami menyerahkan foto-foto kami. Faktanya, foto-fotoku yang sesuai tema tak ada satu pun yang lolos. Kami pun curcol bahwa sebenarnya kami tidak ‘PD’ dengan hasil foto-foto kami yang biasa-biasa saja.

Simon membesarkan hati kami, bahwa seniman itu berkarya dari hati. Banyak di luar sana fotografer profesional yang datang ke suatu destinasi hanya mengejar momen atau foto-foto bagus dan sempurna. Berapa banyak diantara mereka yang menikmati proses itu sebagaimana yang kalian lakukan selama ini?Ujarnya.

Awal Agustus, Lensational mempertemukanku, Anik, Asti dengan Esmael dari sebuah media cetak El Moundo, Spanyol. Ia bahkan hadir di pameran kami dua minggu kemudian setelah wawancara itu berlangsung.

Ya, ini memang bukan pameran tunggal dan ini juga tercatat sebagai pameran kedua setelah pertama kali pameran di bulan Januari 2015 lalu. Tetapi, aku merasa terharu dengan semua yang telah membantu tercapainya salah satu mimpiku. Kami bertiga sukses menggelar pameran bertajuk ‘Soul Exhibition’ di Hong Kong Cultural Art, Tsim Sha Tsui, pada tanggal 15-17 Agustus 2015.

Pameran ini sengaja dipaskan pada hari kemerdekaan Republik Indonesia karena inilah salah satu cara kami memberi kado ultah pada HUTRI yang ke-70. Aku sangat senang ketika banyak teman yang datang termasuk para keluarga co-founder Lensational dan volunteer Lensational lainnya.

Ada yang kurang ketika pameran ini berlangsung. Asti telah kembali ke Indonesia untuk selamanya. Sehingga ada ruang kosong yang kami rasakan.

Seminggu kemudian, organisasi perkumpulan  fotografer WNI di Hong Kong mengumumkan lomba fotografi bertema “Kegiatan BMI di Hari Libur”. Dua foto yang aku ikutkan lomba ternyata masuk dalam 10 besar. Salah satunya menyabet juara pertama. Setidaknya ini adalah grafik peningkatan prestasi setelah lombas serupa tahun lalu aku hanya mendapat posisi juara harapan 2.

Tidak sampai di situ. Awal September adalah pengumuman lomba fotografi yang diadakan Universitas Terbuka (UT) di Indonesia dengan tema “Kegiatan Mahasiswa”, dimana hanya berlaku untuk intern mahasiswa UT baik mahasiswa lokal maupun luar negeri. Betapa mengejutkan, ternyata aku juga mendapat juara pertama.


Aku ingin berlari ke pangkuan ibuku, memeluknya dan menangis di dadanya. Tiada doa yang sia-sia, yang setiap saat keluar dari bibirnya. Ketika ibuku memelukku dalam doa-doa sejatinya Tuhanlah yang memelukku. Karena ridhoNya ada pada restu ibu.

***

0 comments:

Post a Comment