2014-10-20

[Curcol] Nastar Ekstrem

Nastar Ekstrem

Kue lebaran yang sering kita temui ketika silaturrahmi keliling salah satunya adalah kue nastar. Kue isi selai nanas dengan aroma cengkeh dan kayu manis ini juga menjadi sajian khas di rumah nyonyah majikan ketika imlek tiba, yang diletakkan berdampingan dengan tong guo hap. Hal ini dikarenakan mertua nyonyah majikan (yeye) adalah yan nei wah kui alias orang China yang lahir dan tumbuh berkembang di Indonesia.

Nah, yeye ini baru kembali ke Hainan-China sekitar tahun '64 setelah pemerintahan era Soekarno berakhir. Meski telah meninggalkan Hainan dan menetap di Hong Kong, yeye masih memegang rasa 'keindonesiannya'. Hal ini tercermin dari pola makannya yang tidak aci kalau tidak makan nasi. Juga selera pedasnya ketika ia makan. Bisa dikatakan, ia tidak bisa makan kalo tidak ada cabe.

Selain itu, masakan ba tung ngau yuk, ka le kai, ku lu puk, ka le tok, ka to ka to maupun sambal ta la si bukanlah makanan aneh dari planet antah berantah ketika makan bersama di rumah yeye. Yeye memang pintar masak. Dan kecintaan dengan menu Indonesia ditularkan kepada anak-anaknya beserta para menatunya. Maka tak heran apabila nyonya kepincut dengan nastar yang rasanya sebelas dua belas dengan bo lo so, oleh-oleh khas Taiwan. Yang membedakan hanyalah tampilan nastar yang nampak lebih imut.

Idul fitri kemarin saya juga bereksperimen membuat nastar. Tak ada niat lain di hati saya selain memanfaatkan fasilitas/peralatan membuat kue yang lumayan lengkap di rumah nyonyah. Toh nyonyah siap menjadi kelinci percobaan untuk mencicipi hasil karya saya yang sering kali trial dan error.

Kebetulan, nastar pertama saya sukses (tepuk tangan dong, penggemar. Plok plok plok ... Tengkyu). Rencananya, kue itu akan saya bawa ketika libur Minggu tiba. Naas, satu toples hampir ludes ketika saya tinggal antar les sehari sebelum libur tiba. Yasud, saya hanya nyengir kuda dan berkata 'aku ora papa' meski sejatinya 'aku radak papa'.

Beberapa waktu kemudian, nyonyah rikues untuk membuat nastar lagi. Kata nyonyah, nastar ini akan dijadikan hantaran untuk Mbokdhe di blok sebelah. Padahal, beberapa hari sebelumnya Mbokdhe sudah saya gorengin krupuk udang satu pak. Sebagai kungyan yang tunduk pada mandat nyonyah majikan, semangat 86 pun membalut seluruh badan. Nggak apa-apa deh kerja rodi asal free listrik dan free Wi-Fi, batin saya.

Saya pun berangkat ke supermarket di lantai 3 bawah apartemen, membeli nanas glondongan, utuh. Menurut resep yang disajikan oleh mbah gukgel, nanas itu diparut dan dimasak untuk selai. Sambil ngelamun (iya ... ngelamunin kamu), tangan kiri saya mengaduk wajan anti lengket dan tangan kanan saya menakar butiran-butiran pasir putih nan lembut yang nantinya akan dimasukkan ke dalam wajan. Tidak tanggung-tanggung, timbangan digital itu menunjukkan angka 150 gram.

Blebeb, blebeb, isi wajan itu bergolak. Aroma kayu manis merebak. Saya ambil sendok untuk mencicipi sambil membayangkan betapa harum dan legitnya selai itu jika sudah matang nanti. Hanya dalam hitungan sepersekian detik setelah mencicipinya, lidah saya langsung terjulur paksa. Rasanya ... wow, bener-bener cetarrr menggelegar.

Rasa nanas yang manis, asem, wangi dan gurihn yang menjadi isi nastar itu sih mainstrem. Tapi bila rasa nanasnya asin selayaknya air lautan, barulah itu nastar ekstrem!

Begitulah, pembaca Nekad Naked tercinta, butir-butir pasir tadi ternyata bukan gula tetapi garam iodium yang membuat acara masak-memasak saya gagal total. Dengan berurai air mata dan mengurut dada, saya hanya melambai dadadada ketika akhirnya nanas itu berakhir di tempat sampah. Saya pun bergegas turun ke supermarket untuk menggantinya. Sibbb, munasib.

***

0 comments:

Post a Comment