2015-04-25

[Curcol] Tersesat Tak Selamanya Kiamat

Tersesat Tak Selamanya Kiamat

Malu bertanya sesat di jalan, kebanyakan tanya memalukan. Jika tersesat betulan, rasanya sungguh menegangkan.

Nah, seperti itulah yang saya alami beberapa waktu lalu. Sore itu, saya harus mengantar kedua krucil-krucil yang sudah saya asuh sejak satu windu terakhir ke tempat lesnya di daerah Tseung Kwan O. Mereka berdua memang agak lemot untuk urusan matematika. Untuk memacu daya kerja otak mereka terhadap mata pelajaran satu itu, ndoro majikan sengaja mengganjar mereka dengan soal-soal yang dijejalkan di hadapan mereka dari tempat les. Keadaan ini mengingatkan saya pada masa-masa sekolah dulu yang selalu keok jika diadu dengan angka-angka matematika_kecuali angka yang tertera dalam mata uang.

Biasanya, saya segera pulang setelah saya masukkan mereka dalam 'neraka' dunia itu, begitu mereka menyebut tempat lesnya lantaran muak dengan menu-menu soal matematika yang bejibun jumlahnya. Namun tidak dengan hari itu. Karena ada waktu satu jam menunggu les selesai, saya berniat untuk jalan-jalan di supermarket yang menyatu dengan tempat les di lantai 3. Tapi, fikiran saya malah tertuju ke warnet di toko Indonesia di lantai dasar guna mengecek UPS eh ... maksudnya USB saya yang error. Namun, rencana itu tidak saya ambil lantaran warnet sudah penuh. Teringat dengan ucapan teman bahwa ketika matahari terbenam adalah waktu yang tepat mengejar senja, maka saya segera keluar dari warnet itu.

Rencananya, saya akan ke Tseung Kwan O Sportground (TKO-S) untuk memanjakan kamera saku merk 'unyil' (ulehe nyilih) dengan jeprat-jepret di situ. Bila malam tiba, pijar lampu stadion yang menyala ribuan watt itu mampu menarik pesona pecinta photo. Biasanya sih pemandangan di stadion itu bisa saya nikmati dari balkon apartemen ndoro juragan bersama kelap kelip lampu gedung apartemen di seberang sana. Tetapi, sejak apartemen baru sebanyak 5 blok yang telah berdiri megah di sebelah tempat kerja saya, pemandangan itu hilanglah sudah. Dan ketika kesempatan memanfaatkan waktu itu tiba (bahasa halus dari mencuri waktu) maka saya ngeloyor ke TKO-S.

Bermodal nekad, saya telusuri apartemen dan pasar tradisional di TKO hingga akhirnya saya menemukan tempat yang saya tuju. Sial, undak-undakan utama yang menjadi pintu masuk stadion ternyata tutup. Saya segera putar otak dan putar langkah untuk mencari pintu masuk lainnya dengan bergerak ke jalan pintas di samping stadion. Benar, di sana saya menemukan sliding doors. Sayangnya, saya melihat ada tempelan kertas yang berisi tulisan gedheg alias aksara China dan tanda panah di pintu kedua dari kiri.

Sebenarnya saya ingin mendobrak saja pintu itu. Tapi melihat ruangan yang tembus pandang itu sunyi senyap membuat nyali saya menjadi ciut. Tak kurang akal, saya berusaha mencari jalan masuk lain. Maka, saya memilih jalur memutar hingga 180 derajad di belakang stadion. Di sana ada jalur sepeda dan jalur lari sehingga saya tak merasa takut meski di kiri kanan jalan terlihat seram dengan pohon-pohon yang agak menjulang ditunjang kondisi senja makin gelap dan lampu jalanan belum menyala. Toh saya masih berpapasan dengan beberapa orang yang sedang jogging dan cycling.

Anehnya, ketika saya telah menyelesaikan putaran sebanyak 3/4 stadion, saya malah terpesona dengan sebuah terowongan pendek yang merupakan jalan tol/jalur layang TKO-LOHAS park. Saya pun masuk hingga ke seberang sana. Keinginan untuk mencari pintu masuk alternatif stadion, saya abaikan. Padahal, petang benar-benar di depan mata. Suara binatang malam yang suka mengerik terdengar dari semak-semak di kiri kanan jalanan di seberang terowongan.

Saya terus maju. Saya fikir, setelah melewati jalur itu, saya akan menemukan area memancing sekaligus tempat parkir sampan-sampan kecil di TKO sebagaimana yang saya lihat dari balkon apartemen ndoro juragan (bentuknya semacam teluk tetapi tidak  luas). Nyatanya saya malah tersesat dari  tujuan awal, tersesat jauuuh sekali dari stadion.

Sudah kepalang tanggung, saya merunut saja trotoar di sepanjang jalur yang dilalui suttle bus untuk menuju apartemen. Padahal, jika memakai bus itu, perjalanan ke tempat les anak perlu ditempuh selama 10 menit. Dan sekarang, saya harus menempuhnya dengan jalan kaki!

Anehnya, saya malah menikmati jalan yang saya ambil. Saya bisa mengobati rindu kampung halaman yang riuh dengan suara jangkriknya. Pun di dekat sebuah studio production, saya menikmati jajaran ilalang yang tinggi menjulang seperti kebun tebu dengan bunganya. Saya membelokkan langkah untuk menikmati pemandangan di jalur sepeda TKO-LOHAS park. Meski terlihat dekat tapi bila ditempuh dengan jalan kaki ternyata bisa keringetan juga. Kaos oblong yang saya pakai jadi basah. Aroma 'wangi' tiba-tiba menyeruak. Kurang puas, saya ciumi ketiak saya sendiri. Kepala saya berkunang-kunang, rasanya mau pingsan.

Begitu sampai di lantai dasar apartemen, waktu hanya menyisakan sepuluh menit sebelum krucil-krucil yang saya asuh selesai waktu lesnya. Saya bukannya naik ke apartemen, tapi malah antri diantara calon penumpang suttle bus. Saya tak peduli bagaimana reaksi orang yang duduk di dekat saya ketika aroma tubuh saya tak beda jauh dengan kambing yang tak pernah mandi. Prengus sekali.

Untunglah saya tiba di tempat les tepat waktu. Sehingga si krucil tidak komplain dengan kebiasaan jam karet yang kadang masih saya pelihara di Hong Kong ini. 

Slamet, slamet. Ternyata, tersesat tak selamanya kiamat. Hati hati, jangan sampai Anda menjadi korban selanjutnya

Sinna Hermanto.

***
Artikel terkait.


0 comments:

Post a Comment