2016-01-30

[Curcol] Ada-Ada Saja: Sensasi Makan Permen Berikut Bungkusnya

Apakabarplus, Januari 2016


Makan Permen Berikut Bungkusnya

Adalah hal apes itu akan tiba pada masanya. Kena omel majikan itu pun akan tiba pada masanya. Begitu juga ketika kisah mantan yang gagal jadi manten menari-nari dalam kenangan, eh. Semua-mua akan tiba pada masanya, termasuk makan permen berikut bungkusnya.
Ya, makan permen berikut bungkusnya terjadi saat keluarga besar majikan sedang berduka cita. Salah satu kerabat nyonya meninggal dunia. Berhubung nyonya memiliki hubungan dan kedekatan dengan si kerabat, mood nyonya jadi angot-angotan. Begini salah, begitu salah. Rewel tak terkita. Bahkan, urusan sepatu yang terlupa masuk hai gwai pun menjadi salah satu dosa besar yang harus disampaikan ke mahkamah international (baca: agency). Ah, sepatu sih masih termasuk barang kasat mata. Lah rambut yang ndlewer di lantai, yang seukuran mikro dan tidak katut saat disapu itu, menjadi masalah makro gegara moodnya kumat.
Sebagai kungyan teladan (abaikan kalimat ini), saya hanya bisa diam. Hawong ancen ada barang bukti. Mau mengelak kok kurang amunisi. Ya ya, adakalanya berdebat malah memperkeruh masalah. Takutnya, efeknya malah lebih besar lagi.
Selang 15 hari setelah geblag e si mayit, acara ‘pelepasan’ diadakan di sebuah gedung di Hung Hom untuk dikremasi esok harinya. Merinding bulu roma pun terjadi. Terutama saat mobil nyonya yang membawa seluruh keluarga diparkir di lantai basement, di bawah gedung itu. Wewangian kembang menyeruak, terutama yang berasal dari bunga segar yang ditata pada tanda belasungkawa. Aroma dupa menyesaki udara. Wajah-wajah sedih dan airmata di mana-mana. Para pelayat nampak menua dari usia aslinya.
Sebagaimana adat kepercayaan mereka, pelayat datang membawa laisi warna putih (pak kem) yang berisi uang dengan nominal ganjil sebagai bentuk bantuan materiil secara riil. Sedangkan pihak keluarga yang berduka cita, membalas pak kem dengan pak kem juga yang berisi koin nominal ganjil (1 dolar), permen dan tisu. Semua serba warna putih. Dan inilah alasan mengapa lansia di Hong Kong sedikit paranoid saat melihat mukena ciecienya yang berwarna putih. Hal itu mengingatkan mereka pada lambang kematian. Padahal bagi kita, putih berarti kesucian. Ya, gitchu dweh, lain ladang lain belalang. Lain tempat, lain pula belalangnya, eh!
Berbicara pak kem yang isinya permen tadi, ternyata permennya juga harus putih. Bisa permen susu, permen nougat, dll. Dalam kamus permadhangan era 90-an ke bawah, Hong Kong mengenal permen nougat yang dilapisi mai jhi (kertas yang dibuat dari beras) sebelum dibungkus kemasan plastik. Sehingga, nougat yang lenget seperti pemen susu itu tidak njlebret pada bungkusnya. FYI, mai jhi ini bisa dimakan.
Masalah timbul ketika yang saya makan saat itu adalah permen nougat KW 2. Asli tapi palsu. Kenapa? Mai jhi-nya adalah kertas beneran, bukan dari beras. Hal ini dikarenakan propaganda dedek-dedek gemesh yang kompak in crime buat ngerjain saya.
Mereka bilang bahwa pak kem yang dikasih oleh pihak yang berduka, yang isinya tiga macam tadi, tidak boleh dibawa pulang karena dipercaya membawa bad luck. Makanya, tisu dipakai buat ngelap air mata, uang ganjilnya dibelanjakan hari itu juga dan permennya dimakan (sebagai kiasan bahwa meski peristiwa kematian ini sedih tapi nantinya akan berakhir manis).
Nah, si nougat KW 2 ini, kata dedek-dedek gemesh tadi, harganya mahal. Dibeli di Aji Ichiban yang harganya 50 dolar lebih untuk satu pound. Mai jhi-nya bisa dimakan. Sayang kalo dibuang, lanjutnya. Dan dudulnya saya, lah kok nurut-nurut saja kata mereka selayaknya kerbau yang dicucuk tepat pada hidung. Makanya, saya buka bungkus plastiknya dan saya makan nougat itu berikut mai jhi-nya.
Pada gigitan pertama, lidah saya tidak nyaman dengan keadaan ini. Seharusnya, permen itu dimakan rasanya lengket-kenyal gitu. Tapi ini kok rada-rada aneh, seperti ada ‘ampas’. Saya teruskan saja makannya, kali aja memang mai jhi begitu rasanya. Hingga manis terakhir, gumpalan mai jhi tidak menyusut, tapi di mulut seperti ada yang menggumpal lembut serupa bubur kertas. Daripada susah-susah, saya telan mentah-mentah.
Hal itu saya konfirmasikan pada dedek-dedek gemesh yang baru naik SMA ini. Tau nggak apa jawaban salah satu dari mereka.
Muisi aa, Ciecie. Yun noy, ko ti hai can sat ke jhi, em hai mai jhi. Em sik tak aa!”
Busyettt, udah masuk perut, Siuce! Masa harus dimuntahkan saat itu juga. Saya hanya melongo dan menjadi trending topic ketika menuju pulang.
Nasib, nasib.

Sinna Hermanto

Artikel terkait.

0 comments:

Post a Comment