2016-02-28

[Fiksisme] Surat Terbuka Untuk Mama

Doc. Pri

Dear, Ma.


Ma, tulisan ini aku buat untuk aku baca lima tahun yang akan datang. Aku mungkin akan tertawa, minimal tersenyum sambil bergumam dalam hati, kok bisa ya aku nulis gini?

Ini juga yang aku batin ketika buka-buka file di blog tahun 2012 lalu. Aku menulis tentang hal-hal tragis. Sebuah fiksi yang menjadi nyata dua bulan kemudian, Ma. Iya, Ma. Aku nulisnya Juli. Kejadiannya Agustus. Nggak sakit parah sih, Ma. Tapi dia langsung pergi hari itu juga. Itu salah satu sebab aku berhenti menulis fiksi. Oleh karenanya, hari ini aku akan menulis hal-hal manis. Biar nanti, fiksi ini menjadi kenyataan yang manis pula.

Ma, aku ini menulis dari hati (dan ampela). Saat ini aku tidak begitu lihai dalam memasak. Aku juga tidak begitu pandai macak. Tapi aku berusaha keras untuk menguasai dasar-dasarnya. Dan untuk urusan mendidik anak, aku belajar banyak dari ibu. Aku memang kewalahan, Ma. Tapi aku suka. Anak-anak itu membuatku jengkel dan kegum secara bersamaan. Mereka itu ajaib.

Sekian lama hidup di planet Namex, lidahku berubah. Indra perasaku berubah. Seleraku berubah. Orientasiku berubah. Termasuk penting tidaknya sebuah pernikahan. Tapi, berkat Mama, aku mengerti pentingnya anak-anak yang lahir dari rahimku jika aku tua nanti. Aku tak bisa mengandalkan kakak atau adik. Mereka akan berumah tanggga dan hidup dengan keluarga barunya. Dan untuk punya anak itu perlu menikah dulu kan, Ma?

Bila nanti ketemu aku, Mama jangan kaget. Aku tidak seperti perempuan-perempuan lainnya yang lihai memakai highheels, maskara, lipstik,eye shadow, blush on ataupun catok rambut. Aku cukup memakai flatshoes yang fleksibel di segala suasana. Dan seperti emak-emak di kampung lainnya, aku akan bangga memakai daster dan sandal jepit. Nggak apa-apa kan, Ma? Toh hanya buat ke sawah atau di rumah. Tenang, Ma, aku tetap dandan untuk anak Mama, menemaninya pergi kondangan barangkali.

Ma, aku minta Mama ikhlasin anak Mama buat aku. Nanti aku ganti cucu yang lucu-lucu. Aku akan bilang sama dia agar tetap memprioritaskan Mama. Mama nggak usah cemburu. Mama tetap menjadi ratu di hatinya. Tapi, Ma, aku nggak mau jadi pembantunya. Aku mau jadi partnernya. Karena aku dan dia setara, adil sesuai porsinya. Rumah tangga adalah milik bersama. Makanya harus ada toleransi, tolong menolong, saling dukung dan bukan arogansi semata. Tolong bilangin dia ya, Ma.

Ma, resep nastarnya kemarin sudah aku coba. Bentuknya hati. Bukan karena aku jatuh cinta, Ma, tapi aku membuatnya dari hati sebagaimana pesan Mama bahwa melakukan sesuatu harus ikhlas dari hati tanpa imbalan apa-apa. Iya sih, Ma, begitu itu nggak bikin kaya. Tapi kebahagiaan dan kepuasan itu yang bikin hati merasa kaya.

Ma, bila berkesempatan, aku akan membacakan ini untukmu. Semoga usiaku usiamu panjang sehingga kita bisa bertemu. Jodoh itu bukan hanya bersatunya sepasang muda-mudi. Tapi perjumpaan kita adalah salah satu bentuk jodoh itu. Aku menunggu waktu untuk sungkem di hadapanmu dengan mengisinya dengan segudang kegiatan di sini. Nggak akan lama kok, Ma.

Aku minta ijin untuk menyelesaikan studi dulu dan melanjutkannya sampai ke benua biru. Baik-baik di sana ya, Ma. Jewer saja bila anakmu itu bandel. Dia emang suka kolokan gitu. Sampai jumpa, Ma.

Best regard.


0 comments:

Post a Comment