2016-04-24

When I Was Young …

Doc.pri : my toy, she was fliying.


#WhenIwasYoung #PermainanTerapalah

Rumah Bambu
________________

Mungkin, saya adalah salah satu anak yang beruntung bisa terbujuk rayuan orangtua agar sekolah pagi dan sore. Sekolah paginya di Madrasah Ibtidaiyah dan sekolah sorenya di Taman Pendidikan Alquran dua tahun dilanjut empat tahun di Sekolah Diniyah.

Jaman itu, sepulang sekolah pagi, jam 14.30-17.00 adalah jadwal sekolah sore. Gurunya hanya empat orang, semuanya bukan guru 'beneran' tetapi sukarelawan dan tempat belajar mengajarnya memakai ruangan sekolah pagi di MI. Sekolah ini khusus mengajarkan ilmu agama seperti aqidah akhlaq, fiqih, quran hadist, tafsir, hafalan surat pendek, tarikh, dll. Pelajarannya memang baru sebatas ilmu agama dasar yang bisa menjadi bekal bila ingin sekolah di Pondok Pesantren.

Sekolah pagi dan sore tetap libur di hari Minggu, bukan Jumat seperti beberapa Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah. Kalau di Pondok Pesantren mah jelas liburnya hari Jumat. Bila libur, sesekali saya diganjar untuk 'kerja rodi' di sawah atau kebun milik tetangga, bantu-bantu orangtua. Saya tidak protes. Saya menganggap hal itu adalah bagian kewajiban saya. Saya pun cukup bersenang-senang dengan semuanya. Mungkin kalau anak sekarang, 'eksploiasi anak' ini sudah dilaporkan ke Kak Seto. Hahaha.

Ohya, sekolah sore yang juga menyokong pelajaran agama di sekolah pagi ini ada waktu istirahat setengah jam untuk sholat ashar di masjid sebelah MI. Sisa waktu lainnya dipakai untuk bermain. Yaaa, namanya juga usia SD, saya dan teman-teman sedang masuk fase waktu untuk ber'petualang' dengan aneka mainan. Tidak banyak permainan lapangan yang saya ikuti.

Saya termasuk anak perempuan yang kalem (semoga ada yang percaya). Saya hanya sesekali ikut main dengan sepupu cowok dengan permainan gundu, lempar karet gelang (ini biasanya dianggap 'judi kecil-kecilan'), ampar (melempari batu dengan batu menggunakan kaki), dan main layangan (ini karena ayah saya suka bikin layangan sendiri dari plastik belanja warna hitam dengan buntut puuuanjang dan dikasih 'anting'_khusus buat saya karena saya cewek). Main gobag sodor, kasti, petak umpet, lompat tali, bongkar pasang, masak-masakan, rumah-rumahan … gitu-gitu …  lebih sering saya ikuti. Itu pun khusus main sama teman cewek. Soalnya kalo kepegang sama teman cowok wudhunya batal. Syar'i banget, 'kan? Eh.

Khusus main rumah-rumahan ini, kami, empat anak cewek, beneran membangun rumah di jajaran pohon bambu yang membatasi antara area sekolah dan kuburan. Kalau dipikir-pikir, lingkungan saya kok ndak jauh-jauh dengan kuburan, ya. Ingat 'kan, beberapa waktu lalu saya pernah menuliskan bila kebun singkong di belakang rumah orangtua saya mepet dengan kuburan? Hanya saat SMP saja lokasinya jauh dari kuburan tetapi berdampingan dengan PMI, depan PMI adalah rumah sakit, belakang sekolah adalah pasar loak. Makanya kalau ada peralatan bengkel yang hilang, cari saja di pasar loak. SMP saya itu dulunya adalah ST (Sekolah Teknik), sebuah sekolah kejuruan sebelum masuk STM (Sekolah Teknik Menengah). Sedangkan saat SMA, sekolah saya dekat dengan kuburan cina. Kalau toh melanjutkan ke STM, sekolahnya juga dekat kuburan, tepatnya makam Bathoro Katong.

Kembali ke jaman SD, kami sama sekali tidak merasa takut berada di dekat kuburan walau kadang-kadang ada orang meninggal yang baru dimakamkan. Bahkan, gundukan tanah itu bisa kami lihat dari sela-sela pohon bambu.

Kami sengaja membawa pisau dapur untuk membersihkan ruas bambu biar halus, memotong pohon-pohon yang berduri dan membersihkan rerontokan daunya dengan sapu yang diambil dari sekolah. Saat ini saya mikir, kok waktu itu kami niaaaat banget bikin rumah, ya. Hahaha. Jangan dibayangkan rumah bambunya seperti rumah beneran. Karena rumahnya lebih mirip gua mungil untuk sembunyi petak umpet. Ya, di antara jajaran pohon bambu nan rimbun itu, ada area tengah yang agak luas dan tidak ditumbuhi bambu. Sehingga kami memanfaatkannya menjadi 'sarang' kami.

Selain membawa buku dan alat tulis, bawaan wajib dari kami adalah bekal nasi. Lauknya adalah apa yang menjadi lauk makan siang tadi. Lalu, bekal ini dimakan usai sholat ashar. Kami memakannya bersama-sama meskipun ada diantara kami yang tidak membawa bekal. Jangan dibayangkan bekal itu ditaruh di kotak nasi plastik atau rantang. Tapi kami biasa membungkus dengan daun pisang atau daun jati. Sampai 'brindil' tuh pohon pisang belakang rumah.

Hingga suatu hari, ada kelompok lain yang telanjur mendiami sarang kami. Sekali dua kali kami berantem untuk merebutnya. Tapi, bila jumlah mereka lebih banyak, kami terpaksa mundur teratur karena bakalan kalah. Karena itulah, lambat laut rumah bambu itu bukan lagi rumah privat kami tetapi menjadi rumah bergilir, digilir kepada tiap anak yang lebih dulu mendiaminya. Selain itu, kami sudah kelas IV yang menandakan kami sudah kelas VI di sekolah pagi, tahun terakhir di sekolah ini. Fokus kami beralih ke Ebtanas untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Hehehe. Ya wes, lah.
*

0 comments:

Post a Comment