2016-04-14

[Fiksisme] Wu Co Yeh dari Lap Sap Fong

Doc pri: Devil peak, sampan-sampan pemburu sotong & cumi serta apartemen daerah Sai Wan Ho di malam hari.


#MalamJumatTerapalah

..:: Wu Co Yeh dari Lap Sap Fong ::..


"Dhul, kamu pernah dibencandain Wu Co Yeh, nggak?"

Begitu bunyi pesan di Wosap dari teman saya, Siti. Saya langsung teringat beberapa waktu ini sering parno kalau buang sampah kelewat malam. Makan malam yang kemalaman bisa menjadi salah satu malam yang membuat jadwal buang sampah menjadi molor alias lebih larut daripada malam-malam biasanya. Alasan yang ndak humum adalah: acara makan malam superr (dobel r). Emang sih, tiap hari kita juga makan. Tetapi kalau satu kali makan saja dibagi menjadi dua sampai tiga sesi, pora perlu tenaga dan waktu ekstra untuk menyiapkannya? Sesi satu untuk anak-anak, sesi dua untuk nyonya majikan yang pulang larut.

Apa boleh buat, semua ini saya lakukan demi sesumpit nasi dan biaya mbolang, bayar SPP, cicilan motor, uang DP KPR, modal (usaha setelah) nikah serta membangun rumah (tangga). Dan tentu saja biar dapur emak di kampung tetap ngebul.

FYI, saya tinggal di komplek apartemen baru, di daerah perumahan baru, di jalur MTR ungu. Sekarang ini sedang dalam pembangunan/ pengembangan komplek apartemen keempat dan kelima. Kata si bos, daerah ini dulunya adalah TPA. Lahan di sini adalah bibir perairan yang diurug dan perlu menunggu empat sampai lima dasawarsa untuk mengetahui bahwa tanahnya tidak seperti perasaan saya saat ini: labil (bapering detected_pffftttt).

Model apartemennya, setiap satu gelonjor gedung menjulang, penyebutannya dibagi menjadi sayap kiri dan sayap kanan. Ada tembusan yang menghubungkan kedua sayap gedung. Dan di lorong itulah lap sap fong berada.

Entah kenapa, tiap masuk lap sap fong di atas jam 9 malam, saya merinding disko. Saya seperti diikuti sesuatu. Padahal 'kan ini gedung baru. Di tempat kerja sebelumnya, hal ini tidak pernah saya alami. Dulu saya di Ma On Shan dan Tsuen Wan.

Saking takutnya, buang sampah sampai dianterin pak bos … hahaha. 

"Pin ko wui kan ju lei aa. Kin to le ko yong tu wui hat cau sae Wu Co Yeh (siapa juga yang ngikutin kamu. Ngelihat wajahmu, hantu-hantu pada kabur taukkk)."
"Lei ji siiiin." (Hahaha kapan lagi babu ngatain bosnya edyan).

Lalu, pikiranku balik ke bulan-bulan sebelumnya, tepatnya saat cuaca tak berkabut dan syendu syahdu seperti beberapa hari ini. Saya melihat gagak hitam terbang rendah di ketinggian sekitar 30 lantai. Saya pun menghubungkan mitos gagak hitam dengan kabar kematian. Saya jadi ingat kisah tentang pekerja yang meninggal karena jatuh dari ketinggian saat komplek perumahan ketiga dibangun. Komplek ini berada tepat di depan balkon apartemen (bos) saya. Namun yang membuat saya sebal adalah posisinya yang menghalangi pemandangan senja kembali ke peraduannya, di Devil Peak, dekat komplek makam Yau Tong.

"Sin Na, kamu ke sini." Teriak bu bos dari balkon. "Lihat di bawah sana, pasti ada orang kecelakaan. Paling-paling mati." Saya pribadi sempat mendengar wiu-wiu dan melihat mobil ambulannya dari ketinggian lantai 31. Saya kok merasa celoteh bu bos rada frontal, ya.

Dan benar, keesokan harinya, berita kecelakaan yang merenggut nyawa itu muncul di harian berbahasa China yang bisa diambil gratis di lobi. Saya jadi mikir ngeres mikir ngenes, jikalau ada korban jiwa saat pengembangan komplek pertama yang saya huni sekarang, jangan-jangan .... Bukan apa-apa, sempat ada orang tiu lau (terjun bebas) di blok 2 dan blok 5. Salah satunya meninggal dan satunya luka-luka. Ada juga kasus KDRT hingga tusuk-tusukan pisau. Hahaha … jangan tanya bagaimana saya tahu berita ini. Sttt, the power of emak-emak (baca: bu bos gahol). Saya terpaksa memercayainya karena sering melihat polisi, mobil ambulans dan jalur yang ditutup sementara.

"Wes ngiler arek iki," pesan kedua terkirim di wa saya.
"Lapo?" balas saya.

Siti menceritakan bahwa barusan ia dibikin begidig saat buang sampah. Aroma melati menyergap hidungnya. Wangi. Tengkuknya seperti ada yang meniup-niup. Adem. Njegrig! Rasanya seperti ada yang mengikutinya dari mulai memasukkan sampah di lap sap tong hingga ia berjalan kembali menuju pintu flat_bos_nya. Tepat di depan pintu, ia balik badan sambil menyingkap kaos oblongnya (pada bagian ini saya pengen ngakak tapi kok rada-rada horor gimanaaa gitu). Bayangan saya adalah sebuah kutang busa yang isinya saja tidak penuh membelit dadanya yang kurus kerontang sampai tampak struktur tulang dadanya.

"Nek wani, jal ngetok o," ucapnya. Padahal, seandainya ditampakkan wujud asli si Wu Co Yeh itu, pasti aku girap-girap, lanjutnya. Batin saya menjawab, bukan sampeyan yang girap-girap, Mbak Siti. Tapi Wu Co Yehnya yang kalang kabut lihat penampakan sampeyan lebih serem dari mereka. Tapi saya ndak tega bilang gitu. Malah kalimat lain yang saya ketik di Wosap.

"Sering digodain hantu dari Hong Kong, Mbak?"
"Ya emang kita di Hong Kong, Ndul. Anu, aku loh nggak pernah diginiin sebelumnya, baru sekali ini. Moga-moga yang terakhir."

Saya aminkan deh, Mbak. Iya, saya aminkan biar ditengok lagi. Eh!

***

Doc. Pri: BGnya adalah penampakan komplek apartemen ketiga.


0 comments:

Post a Comment