2015-08-21

[Curcol] Bistik Sapi dan Korban PHP

Bistik Sapi dan Korban PHP

Oke, yang namanya pemberi harapan palsu (PHP), pasti bikin hati gondok nggak ketulungan. Eit, PHP bukan hanya untuk hubungan cinta, spesial cewek-cowok, tetapi bisa ditempatkan pada masalah kompleks dan universal. Termasuk ulah ndoro juragan saya yang ternyata salah satu penganut PHP garis keras.

Bulan Juni ini sudah masuk bulannya liburan anak sekolah. Tapi, kakak yang sudah esempe itu mencuri start libur lebih dulu ketimbang adek yang masih esde. Alasan tidak masuk sekolah sama seperti alasan saya ketika masih berseragam abu-abu putih dulu: tidak ada pelajaran. Ya iyalah nggak ada pelajaran, hawong masih nunggu tahun ajaran baru di bulan September nanti kok. Guru-guru juga masih nyusun nilai rapot.

Untuk mengisi hari-hari sepi itu, ndoro juragan sekeluarga mudik ke kampung halaman mendiang kakek di Tailok sana. Emangnya cuman kita aja yang kenal mudik? Mereka juga punya tradisi ini loh. Lebih-lebih menjelang konin atau tahun baru imlek.

Entah mendadak atau bijimana, saya baru tahu acara mudik ini sehari sebelum keberangkatan setelah diberi mandat untuk beberes isi koper kakak dan adik. Beragam acara menari-nari dalam pikiran saya untuk menaksir kira-kira tugas apa yang bakal dibebankan kepada saya agar tidak leha-leha selama 2 malam 1 hari saat mereka meninggalkan Hongkong. Ah, kawan, saya ini kan kungyan teladan. Mana berani saya macem-macem di rumah ndoro juragan. Camkan itu.

Pada waktu yang telah ditentukan, tepatnya seusai makan malam, ndoro juragan sekeluarga pergi. Tentu dengan titah maha dahsyat mengiringi kepergian mereka. Padahal, bekas mereka makan saja belum saya bereskan. Ah, jangankan bekas mereka makan, hawong saya sendiri belum makan kok. Saya segera mengantar kepergian mereka hingga depan pintu. Lalu menutup rapat, menguncinya dari dalam, sehingga tak ada kecoak seekor pun yang saya ijinkan masuk.

Begitu gembrengeng suara mereka di depan pintu hilang bersamaan dengan bunyi tiiing sebagai penanda lift telah datang, saya segera balik badan. Maklum, pintu rumah hanya berjarak dua langkah dari pintu lift sehingga kuping ndeblengi saya bisa mengakap sinyal berfrekuensi rendah sekalipun apalagi disekat beton cor-coran.

Setelah itu, saya bergegas ke dapur untuk memanjakan lidah dengan menggoreng bistik sapi. Khidmat sekali prosesi memasak malam itu. Seolah-olah saya ini chef andalan yang sangat cucok disandingkan dengan Farah Quinn. Saya tak peduli dengan korah-korahan yang menggunung. Prioritas saya malam itu telah mengalami pergeseran.

Meski suasana makan bistik sapi itu tidak seromantis candle light dinner seperti di teve-teve, tapi saya memperlakukan menu makan malam saya selayaknya ningrat Eropa. Table manner puts ahead (apasih ini?). Oleh karenanya, saya tidak lagi makan secara nyeker tetapi menggunakan garpu dan silet eh maksud saya, garpu dan pisau cukur (gimana sih salah ketik terus. Ahsudahlah). Untuk menyerasikannya, minuman pendampingnya bukan air putih, es teh manis, kopi sachetan 3in1 atau lo fo tong tetapi air tajin yang saya sajikan di dalam gelas wine. Sudah, jangan ferotez!

Saya memilih menikmati dinner yang skaral itu sambil nonton channel wild life ala natgeo. Aihhh, damai nian. Gaes, nikmat mbabu manalagi yang didustakan?

Namun, manusia memang hanya mampu berencana. 100% Tuhan yang menentukan. Di tengah asyiknya gigi taring saya menyobek-nyobek bistik yang ulet seperti mengunyah ban truk gandeng itu, tiba-tiba bel rumah ber-tingtong ria. Pikiran saya berkecamuk, hati saya tidak nyaman. Jangan-jangan pak sekuriti mau ada urusan? Ah tidak mungkin, ini kan sudah kelewat jam 9 malam. Setan? Plis deh, ini bulan Ramadhan, setan-setan dibelenggu, iblis- iblis dirantai, warteg-warteg ditirai, hotel-hotel kelas melati digerebeg efpeiy. Hellowww?

Saya bergegas menuju pintu lalu mengintip dari cermin yang ditempel menyatu pada daun pintu. Namun, usaha ini gagal karena saya kurang tinggi. Kan sudah jadi rahasia umum bahwa pertumbuhan saya ini dihambat gara-gara kekurangan pulsa.

Akhirnya saya buka pintu. Dan astaganaga! Yang tingtong tadi ternyata ndoro juragan sekeluarga. Matilah saya dengan segala hal yang masih berantakan di rumah ini. Apalagi bistik saya masih tersaji indah di atas meja plus gelas wine berisi tajin tadi.

Sebelum borok saya mendapat omelan, buru-buru saya membuat pengakuan dosa dan meminta maaf karena masih makan malam. Dengan wajah ditekuk-tekuk, ndoro juragan hanya ber-ohh dan masuk rumah sambil menarik koper dengan kasar. Wajah-wajah mereka kusut masai. Saya bergegas membereskan makan malam saya yang baru saja dimulai agar terhindar dari gencatan senjata. Bukankah mulut manusia itu lebih tajam dari pedang? Sama pedang saja saya koid, apalagi sama kalimat-kalimat yang menusuk ulu hati?

Lalu kakak masuk dapur untuk mengambil air minum, yang entah karena ia haus atau sekedar menghindar ceracau ndoro juragan yang sayup-sayup terdengar dari dapur.

Co me si, aa?” tanya saya.

Wui heung ching milikku kan belum jadi. Pasporku juga hampir kedaluarsa. Makanya aku nggak bisa masuk Shenzhen. Kata mami sih bisa aja aku pakai visa turis. Tapi jalur yang pakai visa dan wui heung ching kan lain. Mereka tak mungkin membiarkankanku ko kwan sendirian. Sebenernya aku mau balik ke Hongkong sendirian dan mereka semua pergi Tailok. Tapi mereka nggak tega. Aku kan cewe, jelas kakak panjang lebar.

0 comments:

Post a Comment