Mbak-mbak
dan Mas-mas yang hendak mengikuti ujian semester bulan depan, bijimana persiapannya?
Gini, sudah sekian minggu terakhir samang-samang
pada pamer foto moDULL, tugas-tugas KILLiah, dan serentetan woro-woro yang
berbau caritas akademika. Demikian juga rentetan 'kasus' yang diposting secara 'public' itu
akan dengan mudah kita telusuri jejaknya (kecuali kalo telah samang-samang hapus permanen). Ada
seuprit (atau seupil, ya?) kata yang rada-rada nendang hati saya.
"Mahasiswa ilegal".
Omaigot! Saya pora mencak-mencak ketika samang-samang
mengecap saya (dan mungkin beberapa teman saya) adalah mahasiswa
ilegal. Hambok disumpah Pemuda to, saya ini sama kayak samang-samang itu. Meski saya mahasiswa nganu tapi
status kemahasiswaan
saya bisa dicek di absensi, Kartu Tanda Peserta Ujian maupun Kartu Tanda
Mahasiswa. Hamosok punya KTM kok masih disebut mahasiswa ilegal. Pora tersinggung saya.
Yaaa, saya akui, saya ini memang mahasiswa yang begitu
bersemangat, iya, bersemangat rendah untuk belajar, berdiskusi ataupun setor
tugas di minggu ke-3, 5 dan 7. Yang apabila berdiskusi, kadang pakai bahasa
prokem atau bahasa tidak baku yang tentunya tidak mencerminkan keintelejensiaan mahasiswa.
Hancen bukan mahasiswa
beritelejensia, og. Padahal, mata
kuliah ‘aturan pakai dan tata kelola menyusun opini’ ada dalam daftar jadwal ujian besok.
Bisa-bisa dosen pengampu mencontreng saya nilai A alias "Astaghfirullah,
itu nilai apa cacing antri sembako, kok penguasaan materi kurang dari
30%".
Bukan tanpa alasan. Bayangkan, dalam
setiap matkul, bapak/ibu
dosen pengampu ini mengurus beberapa kelas. Dalam satu kelas saja ratusan
mahasiswa. Jika saya tidak setor tugas, bukankah saya sudah membantu
meringankan tugas beliau? Niat baik saya ini kadangkala memang
disalah artikan. Yaaa, semacam 'pihak ketiga' yang merusak hubungan dan pihak
ketiga inilah yang selalu
disalahkan. Lagipula, jangankan feedback tugas, feedback diskusi saja tidak
pernah saya dapatkan. Entah karena saya kurang PUPUler, kurang gahol, kurang
'vokal', atau jurusan yang saya ambil
tidak istimewa alias 'biasa-biasa saja'? Entahlah, hanya Tuhan dan sopir angkot
yang tahu kapan fluktuasi belajar saya naik, turun, nikung atau belok. Yang
jelas, saya kurang 'ajar' (mohon bimbingannya ya, kakak), kurang tinggi, kurang gizi dan kurang
diskusi. Beda halnya
dengan jurusan ‘Jkt-Sub-Jkt direct flight’ milik sebelah yang baru tugas 1 saja langsung
dikomentari oleh bapak dosen pengampu, diunggah sebagain esainya berikut feedback
akan kebanggaannya punya calon advocado dari kelas grass root, tekawe Hong Kong, ke jejaring
sosial faceBERUK. Secara tekawe itu kan taunya cuma seputar ngusek-ngusek jumbleng, nyacah babi,
atau nyeboki fantatnya baby. Kan keren kalo di court gitu ada alumni Life
University of Hong Kong. Saya bangga dong, hawong
saya bagian dari mahasiswa Life University itu.
Tapi ya, gitu. Skema
pengambilan nilai Ujian Semester
itu diambil dari nilai semesteran yang harus memenuhi 30% dari penguasaan materi
MOODul. Bila nilai kurang dari itu, ndak
usah ngarep deh. Pasti D, kalo sial
sih E. Jadi, kegiatan tutorial online atau tutorial tatap muka selama dua bulan
penuh diperjuangkan, semua sia-sia hanya karena nilai yang kurang dari 30%· Apa artinya? Tuton
atau TTM ga gitu penting. Yang penting adalah MENGHAFAL isi moDULL. Ndak usah
mengerti isinya yang penting hafal materinya. Gitu.
E tapi, perlu saya tambahkan, Tuton dan
TTM akan ditambahkan untuk mendongkrak nilai jika semsteran mendapat nilai minimal 30%. Jadi, piye maksudmu, jez? Yaaa, Tuton sama TTM
itu fungsinya mirip ban serep, "dipakai kalau memenuhi syarat". Begono.
Hatrus kepriwe? (Jangan bikin saya punya kepala
putar-putar di tempat). Begini, kakak. Kuliah itu ndak seindah di sinetron, ndak semudah dalam artikel-artikel yang
bertebaran di internet. Apalagi bagi kita-kita yang vakum dari buku-buku
pelajaran sejak beberapa abad yang lalu. Bisa ndak
samang jatuh cinta sama prodi/jurusan yang samang pilih meski itu bukan jurusan terkaporit? Ya kan tiap horang
hituh milih 'pacar' (bukan istri/suami, loh, ya) sesuai kriteria masing-masing. Ada
yang suka sama yang punya perut sixpack, ada yang suka kutilang darat (kurus-tinggi-langsing-dada-rata), ada yang suka mahmud anas (mamah-muda-anak-satu, eh), atau suka yang oddie/ freakie /sweetie piggy? Perlakuan kepada pacar
tentu lebih fake dan selalu
ditunjukkanlah hal-hal yang
baik-baik ketimbang sama pasangan sah sah sah di KUA atau catatan sipil. Dan
perlu digaris bawahi, pacar hari ini bisa saja mantan esok hari, loh. Entah karena adanya internal
flame, ditelikung saingan atau telah menyadari bahwa memiliki mantan 10 itu
keren ketimbang punya 1 mantan. Ehem.
Jangan salah, ente! Nilai/ indek prestasi itu penting. Hamosok IP satu koma alhamdulillah
pengen nyari beasiswa ke Amrik. Hellow…… kampusnya embahmu? Saya kasih tau ya, syarat kejaring foreign
scholar-ship itu IPK minimal 3,00 dan TEOFL 600. Matih pora, we? Enggak
susah, sih, walau ndak gampang jugak.
Tapi ya gitu, sewaktu
mengajukan (misal) projek studi S2 nanti, samang
ndak bakal menemukan tulisan macam begini di deretan jurnal
penelitian kampus. Hawong yang nulis
ini otaknya rada geser. Terakhir kali MRI, kira-kira 10.000 tahun lalu tepatnya
sebelum negara api menyerang, volume otak saya kurang sesendok. Jadi, samang-samang yang terdaftar didaftar sebagai bagian dari caritas akademika
yang berintejensia tinggi, ndak
usah memeras otak (apalagi memeras jemuran) hanya untuk memahami tulisan saklek macam begini. Kan samang-samang adalah horang-horang
fintar. Seharusnya sih bisa menelaah dan atau menelan maksud
dari tulisan ini. Etapi, saya kasih tahu sama tempe, ya. Horang cerdas itu lebih kweren 99 derajat ketimbang horang-horang pintar. Dan,
secerdas-cerdasnya manusia semacam pak tua peneliti apel yang berkorelasi
dengan gaya grafitasi bumi itu, ternyata lebih kweren horang-horang yang beruntung. Beliyo berpesan:
"Imagination is more important than knowledge, for knowledge is
limited to all we know and understand, while imagination embraces the entire
world, and all there ever will be to know and understand.” Albert Einstein.
Oh iya saya lupa, pak tua itu tidak
sekolah di kampus kita. Jadi, beliyo ndak bakal dipusingkan dengan
mengafal isi MOODul ketika ujian tapi beliyo
fokus pada penelitiannya, yang bila saya tambahkan, rata-rata jam tidurnya
hanya 4 jam (kalok saya seperti itu,
berapa ember kopi yang saya minum tiap hari, ya?). You know, lah. Prestasi di luar dunia akademik itu ‘useless’. Kecuali kalok kamu juara olympiade matematika, menang di LIPPI, dan atau kandidat summa-cumlaude sepanjang
masa. Haiki mahasiswa sejati. Bukan kayak saya ini, orang-orang
memperjuangkan cumlaude hakok saya masih berkutat di sisi kemelud.
Padahal, yin dan yang itu harus
seimbang. Orang-orang cerdas itu perlu orang-orang bodoh untuk pembanding_dan
penyeimbang. Gini contohnya. Semisal dalam satu mata rantai makanan, salah satu
predator 'terputus' alias hilang, maka keseimbangan ekosistem ini bakal kalang
kabut. Samang ndak usah pergi
jauh-jauh. Kalo di sawah kita matiin
semua hama tikus, trus ular makan apa? Kan dia makan ati dia jadinya. Apa akibatnya? Ya, si ular tadi galau terus, badan jadi
kurus, lama-lama mati ditikam kesedihannya sendiri. Itu sama kasusnya dengan
fungsi mahasiwa kelas krece itu tadi.
Sebagaimana pepatah Zimbabwe,
"banyak jalan menuju hatimu", maka banyak pula jalan kita menuntut ilmu. Entah
menjadi "pengangguran terselubung (baca: mahasiswa)" di sekolah formal ataupun menjadi pembelajar seumur hidup di
sekolah kehidupan. Kita musti ingat, belajar itu dari lahir
hingga masuk liang lahat. Bolehlah memakai aji-aji mumpung, mumpung kita menetap di wilayah China bagian
selatan, kita tuntut
ilmu sampai negara China berikut hunting
pekerjaannya_yang walaupun
sebagai pemeran pembantu, konco wingking atau gedibal
sekalipun. Namanya juga usaha, yang penting kan halalan toyyib, berkah dan memberkahi, tut wuri handayani, jer basuki mawa bea.
Khusus yang terakhir itu, menuntut ilmu
itu butuh bea/ biaya/ fee. Emang nggak ada yang free? Hawong sudah dijelaskan di paragaraf di
atasnya pas ini, banyak jalan menuju hatimu kok malah mesle ke Pyong Yang. Ya wes,
sana, mainan nuklir.
Lalu, bagaimana dengan panduan
mengerjakan ujian
sebagaimana yang dipakai dalam judul? Hehehe dipersila menuju Panduan Menghadapi Ujian Semester#2.
[Risna Okvitasari]
0 comments:
Post a Comment