2015-11-28

[Fiksisme] Fikber 2: kumparan Waktu


Zzzzpppp.

Aku seperti dihisap kumparan angin. Tulang-tulangku melunak. Tubuhku melayang. Di sini hangat. Aroma melati semerbak. Berganti bunga kantil. Samar-samar terdengar tawa tergelak. Itu tawa bapak.

Bola mataku mencari sumber suara itu. Tubuhku tak bisa kukendalikan, ia melayang sesukanya. Aku berteriak. Namun, aku tercekat. Mulutku ternganga tanpa suara. Terus kupanggil suara bapak. Hening terasa.

Kali ini kumparan waktu makin cepat. Aku tak mampu merasakan apa-apa hingga seberkas cahaya menyedotku semakin kuat. Aku terlempar di rerumputan, terjatuh di bawah gubug. Aku mengaduh.

"Sukma, kamu ndak apa-apa tho, Nduk?" tangan kekar itu memapah gadis kecil berkepang dua, bajunya merah muda meski agak pudar warnanya. Gadis itu bangun. Lelaki itu mengangkat dan mendudukkannya di bibir gubuk. "Sudah Bapak bilang, habis hujan begini jalanan licin. Mbokya hati-hati. Lihat, bajumu kena lumpur."

Mataku jelas-jelas melihat anak-bapak itu sama-sama terkena lumpur. Aku ingin mendekat ke arah mereka. Namun segera kuurungkan tatkala kakiku seperti terpatri di bumi. Aku seperti arca yang tiada bisa berpindah raga, mampuku hanya menghela udara.

"Bapak, lihat tangan Sukma," suaranya parau, hendak menangis. Wajah dan bibirnya pucat, sebagian rambutnya basah. Matanya meminta belas kasihan.

Kulihat seekor lintah menempel di jempol kiri gadis kecil itu. Bentuknya menggembung, gendut, kemerahan. Darah.

"Sukma jangan takut ya, Nduk. Sini Bapak obati."

Aku terus mengamati mereka. Nampak lelaki itu merogoh saku celana hitamnya, mengambil sebungkus rokok. Ia mengambil sebatang dan memenggal sekitar satu senti. Selanjutnya, ia meremas potongan rokok itu hingga tembakau kering berjatuhan ke dalam cawan. Air kendi dituangkannya kemudian.

"Ini air sakti,"senyumnya pun mengembang. "Perhatikan, Sukma."
Iya, Bapak, aku juga memperhatikannya. Tiba-tiba sesak memenuhi rongga dada, naik hingga ke tenggorokan. Mataku panas, pedih menahan sesuatu di sana agar tak menuruni pipi-pipiku.

Lelaki itu mengaduk-ngaduk sebentar air tembakau itu dengan telunjuk kanannya. Kemudian, disiramkannya air itu tepat di jempol Sukma yang dihisap lintah. Tak menunggu lama, lintah gendut itu jatuh di rerumputan berlumpur.

Lintah gendut tadi pecah. Derah bersimbah, melahirkan bayi-bayi lintah, merah. Satu, dua, empat, delapan, enam belas, beratus-ratus, mungkin. Mereka lebih gesit, merayap sandal jepit bapak lalu naik ke betis dengan cepat seperti ulat. Permukaan tubuh bapak dipenuhi lintah. Aku sempat mendengar tangis dan jeritan Sukma. Telingaku masih merekam teriakan bapak. Dan mataku menemukan mbok Minah berdiri di ujung pematang sawah dengan tatapan dingin. Tangannya menggendong lintah sebesar labu di dadanya, mengelus-ngelus tubuhnya yang licin dan gendut berwana hitam kemerahan.

"Bapakkk, Bapakkk," teriakanku beradu dengan suara-suara dua sosok di gubuk itu. Tanganku menggapai-gapai.

Lagi, kumparan waktu menyedotku. Semua di depan mataku mengabur.

Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]

*
Zzzpppp.

Aku merasakan udara hangat. Lorong ini terang. Tak ada aroma. Kelopak mawar merah bertaburan. Satu dua menempel di bibirku. Aku menjilatnya. Rasanya seperti gula-gula kapas. Manis.

Gelegak tawa bersahutan. Suara muda mudi. Aku terlempar di jajaran pohon cemara. Aku mengatur napas, mencari-cari di mana aku berada. Seorang perempuan muda seusiaku mendekat. Aku kerjap-kerjapkan mata. Aku didatangi diriku sendiri. Kebaya kutu baru warna putih polos begitu pas di badannya. Tubuhnya padat. Ia tersenyum. Bibirnya merekah, terlihat gigi-giginya serupa biji mentimun, rapi. Aku membalas senyuman itu dan bersiap-siap untuk bertanya. Agak tergesa, tubuhnya menabrak tubuhku. Dan hey, ia menembusku.

Tiba-tiba langkah terhenti tepat tiga langkah di depanku. Ia membelakangiku. Sanggulnya berhias tusuk konde, sepertinya terbuat dari kuningan. Ada ukiran bunga di sana.

Kuikuti arah pandangnya. Dua muda mudi berdiri di ujung jajaran cemara. Itu bapak. Satunya lagi mbok Minah. Mereka seusiaku.

"Weton kita ndak cocok, Minah. Arah rumah kita juga, kalo ditarik garis lurus, arahnya ke barat laut. Kedua orang tua kita bilang ndak elok. Nanti bisa menarik bala." Kalimat itu terdengar dengan jelas
dari tempatku berdiri.

Bapak meninggalkan perempuan itu. Mendung jatuh di kedua wajah muda-mudi itu. Seketika dedaun cemara berubah kecoklatan, berjatuhan. Cemara meranggas.

Diujung sana terdengar isak. Di kedua matanya tumpah airmata berwarna merah, darah, deras, makin mengucur serupa air bah, mengejar bapak yang menjauh darinya. Aku ingin menjauh dari air itu. Namun, kakiku kembali terpaku.

Perempuan yang wajahnya mirip aku segera menyongsong bapak, menggandeng tangannya erat. Air mata merah darah menerjang, menggulung keduanya hingga aku ikut terseret ke dalamnya.

Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]


*

Zzzppp.

Hitam. Gelap. Hangat. Aku memeluk tubuhku sendiri, menghalau kelam yang mencekam.

Aku meraba-raba udara. Null. Mataku mencari-cari cahaya. Ah, di sana, kecil sekali. Aku bergegas. Cahaya itu membesar seperti obor,melayang sepertiku dan lalu menggerakkanku mengikutinya.

Nampak kepala-kepala tanpa raga. Rupa-rupa seringainya. Kami bertabrakan, saling terpental. Lalu bertabrakan lagi dengan tubuh-tubuh lainnya yang tanpa kepala. Aroma anyir menguar bercampur bau busuk. Bulu kuduku meremang.

Cahaya serupa obor itu bertambah satu, bertambah satu lagi, bertambah lagi hingga gelap malam menjadi benderang. Teriakan penduduk bersahutan. Tangan mereka mengepal, tangan lainnya mengangkat obor tinggi-tinggi.

Suara kentongan dipukul dua ketuk, bersahutan. Penanda sedang ada pencurian di desa itu. Mereka berhenti di depan pagar bambu bercat putih. Rumah Kades Sadikin. Awasku memerhatikan mereka.

Lelaki tambun itu keluar. Ia bersarung kotak-kotak dan kaos oblong hijau. Keramaian hilang keriuhannya. Hanya suara jangkrik yang lantang menantang cahaya obor itu.

Benar, seseorang melaporkan bahwa Temon, kucing kampung berambut hitam, telah hilang. Bulan lalu si Heli, anjing Labrador hitam, juga tiba-iba menghilang. Beberapa waktu sebelumnya, 3 ekor ayam kampong hilang, semua berwarna hitam, berturut-turut tiga purnama.

"Mungkin hewan peliharaan kalian itu kabur. Nanti juga kembali lagi."

"Yang jadi masalah adalah kenapa semua yang berwarna hitam, Pak Kades?"

"Iya, Pak Kades. Semua itu terjadi sejak kebakaran di rumah Pak Danang."

"Baiklah, besok pagi kita kumpul di halaman kantor desa."

Suara keributan itu pelan-pelan menghilang. Satu persatu obor pun padam.

Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]


*

Zzzzpppp.

Kembali aku diselimuti gelap. Lebih pekat. Dingin menusuk. Aku terduduk, meringkuk. Sungguh, aku tak kuat menahan hawa seperti ini. Aku biarkan udara menerbangkanku ke mana ia mau. Aku lelah.

Sebuah tangan menarik lenganku. Tangan itu terasa kekar. Kasar. Aku tak mampu melihat wajahnya dalam gulita. Dalam hitungan detik, lorong ini benderang. Entah ini cahaya apa.

Wajah itu nampak asing. Ada aroma akar dan rempah menyeruak, berganti dengan wewangian bunga, beraneka. Ia menatap ke depan, terus menarikku tanpa satu pun kata terucap.

"Jangan menoleh,"ucapnya ketika di hatiku terbersit keinginan menengok lorong di belakangku. Bersamaan dengan itu, wajahku telanjut menoleh. Tangan sosok itu tiba-tiba berubah transparan dan hilang dalam kabut hitam.

Zzzzppp

*

“Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku
Semilir angin yang bisu, tataplah mataku biar noda tak bercela, ikatlah sukmaku[*]”

Tubuhku seperti digoyang-goyangkan seseorang. Pelan, mataku mulai terbuka.

“Bangun, Nak. Kamu sering mengigau. Bangun.”

Mataku menemukan wajah sepertiku, tepat di depan hidungku.


***
[*]

0 comments:

Post a Comment