2015-11-06

[Fiks-isme] Ongkey, Onyet dan Alo [Fabel]

Nomor: 77

Di Tsuen Wan bagian utara, hiduplah sekawanan monyet liar. Mereka hidup tenang tanpa gangguan limbah asap dari kebakaran hutan, kekurangan air dan makanan karena kemarau berkepanjangan ataupun penangkapan ilegal untuk pertunjukan topeng monyet. Mereka biasa bermain di bendungan Shing Mun atau bergelanyut di pepohonan Hong Yip yang daunnya berubah warna menjadi kemerahan pada bulan Desember dan Januari. Sesekali mereka berkejaran dari pokok pohon-pohon Chong Guo hingga pohon Pak Shu lalu duduk-duduk istirahat ataupun mencari kutu. Meski ada hiking track di sana, monyet-monyet itu tidak diganggu manusia yang melewati tempat itu.

Di antara mereka, ada sepasang saudara bernama Ongkey dan Onyet yang nampak bersedih lantaran ditinggal mati induknya. Mereka menyusuri bendungan dengan lunglai.

“Kak Ongkey, Onyet lapar.”

“Tunggu sebentar ya, Dik Onyet. Di seberang bendungan sana ada pohon Lam Ji. Mama Unyuk pernah mengajak kita ke sana.”

“Aku capek, Kak.”

“Ya sudah, kita istirahat. Minum dulu di pinggir bendungan itu. Tapi jangan pipis dan eek di sana ya. Ini airnya buat minum seluruh monyet di daerah sini.”

Onyet segera minum dan kembali menuju kakaknya yang duduk di sisi bendungan. Dilihatnya kakaknya sedang berbincang dengan seekor monyet.

“Oh, ini adikmu?” kata monyet itu. Ongkey mengangguk. “Kenalkan, aku monyet pendatang di daerah ini. Namaku Alo. Bosen muter-muter di kampungku terus, di ALosan sana. Lagi ada asap.”

“Loh, di tempatmu ada kebakaran hutan juga?”

“Enggak sih, kadang-kadang kena asap manusia yang lagi BBQ, kadang kena asap manusia yang sedang sembahyang, kadang asap dikremasi juga.”

“Asap kretek juga dong, Al?”

“Hahaha.”

Mereka bertiga beristirahat bersama dan ngobrol macam-macam. Alo menggelosor saja di tanah sedangkan Onyet mencari kutu-kutu yang ada di tubuh Ongkey. Setelah agak lama, mereka memutuskan untuk ke seberang bendungan memetik buah Lam Ji. Musim gugur seperti sekaramg, banyak sekali buah Lam Ji yang ranum di pohon. Warna kuning pekat atau oranye dengan rasa yang manis membuat buah Lam Ji menjadi rebutan monyet-monyet di sini.

“Enak ya bangsa monyet di sini. Aku tadi lihat manusia yang hiking, memotret, bahkan piknik. Tapi nggak satu pun yang ganggu bangsa kita.”

“Yang ada malah kita yang merebut makanan mereka, hahaha” sahut Ongkey. “Buah-buahan yang mereka bawa segar-segar. Kadang kita dikasih kacang, pisang, apel, jeruk bahkan cupcake.”

“Bukannya di ujung sana ada gambar manusia yang ngasih makanan ke kita tapi dilingkari dan disilang dengan warna merah? Itu kan artinya manusia nggak boleh ngasih makanan ke kita.”

“Manusia mah gitu. Aturan itu dibuat untuk dilanggar. Biarin aja, daripada kelaparan kayak si Onyet.”

“Ih, kak Ongkey gitu.”

Tak terasa Ongkey, Onyet dan Alo sampai di seberang bendungan, tepat di bawah pohon Lam Ji yang mereka maksud. Namun, mereka harus kecewa karena buahnya telah habis. Hanya tinggal sisa-sisa yang membusuk di tanah.

“Gimana ini?”

“Terpaksa, kita harus jalan lagi ke ujung sana. Di sana ada tempat sampah, aku tadi melewati daerah itu. Barangkali ada buahan-buahan atau sisa makanan.”

“Kita makan sampah, Al?”

“Apalah itu namanya. Yang penting nggak kelaparan.”

Dari dahan satu ke dahan lain, dari pohon satu ke pohon lain, tiga monyet ini menuju tempat sampah yang dimaksud Alo. Sesekali Onyet hampir tergelincir, pegangannya kurang kuat karena kelaparan. Ongkey menjaga adiknya itu dengan tetap berada pada posisi yang agak dekat. Sesekali ia berteriak ‘huhu hakhak’ agar Alo tidak bergerak terlalu cepat. Pepohonan bergerak hebat saat dahannya berayun-ayun. Telisik daun berisik beradu dengan gemericik yang samar-samar tercipta dari permukaan air bendungan Shing Mun yang ditiup angin.

“Nah, ini dia tempat sampahnya. Ayo serbu, huhu hakhakhak” teriak Alo kegirangan.

Mereka bertiga segera mengais sisa-sisa makanan di sana. Mulut Ongkey penuh dengan makanan. Alo masih saja berteriak-teriak sambil berjaga kalau-kalau ada kawanan monyet lain yang juga menuju tempat ini. Sedangkan Ongkey, monyet terkecil dari ketiganya, duduk tenang di atas sampah sambil ngemil buah.

“Sudah kenyang semuanya?”

“Kok perutku sakit banget, ya.”

“Kak Ongkey sih makan kebanyakan kayak kesurupan manusia tamak.”

“Perutku juga mulas, padahal aku makan dikit,” sahut Alo.

“Aku juga, perutku tiba-tiba sakit.”

Mereka bertiga saling pandang lalu menoleh ke tempat sampah, sumber makanan mereka.

“Jadi ini penyebabnya?”

“Aduh, maaf ya. Gara-gara aku, kalian jadi sakit perut.” Alo menunduk, merasa bersalah.

“Nggak papa, Alo. Toh kami juga setuju. Lalu, gimana ini biar sakitnya nggak tambah parah?”

“Kita ke tempatku di Alosan, yuk. Di sana banyak pohon Shek Lau. Pucuk daunnya bisa sebagai obat sakit perut. Tapi ya, gitu. Harus tahan asap. Toh nggak separah kayak di tempatnya sepupuku, si Otan, di pulau Borneo sana. Gimana?”

“Gimana, Onyet? Kamu masih kuat jalan jauh, nggak?”

“Ayolah, Kak.”

Ongkey, Onyet dan Alo bergegas menuju Alosan bersama berpacu dengan matahari yang tenggelam di sebelah barat. Semburat oranye di langit Tsuen Wan yang biru bermagenta, mengingatkan buah Lam Ji yang gagal mereka dapatkan. Ah, semoga mereka mendapatkan gantinya dengan buah-buah Shek Lau di Alosan. Semoga.

***

Untuk membaca karya peserta lain, silakan menuju ke sini atau gabung di FB Fiksiana Community. Juga diposting di sini. 

Ongkey



Onyet


Alo

Onyet dan Ongkey


0 comments:

Post a Comment