2016-05-29

[Fiksisme] Goodbye, Gi.

Doc. D

Goodbye, Gi.


Langkahku ragu. Lorong ini terasa sempit, menghimpit. Tanganku tergenggam erat. Gi, kamu tenang, ya, batinku. Aku hanya bermaksud menenangkan diri sendiri.

Segala rasa bercampur jadi satu. Buku-buku jariku berair. Tapi aku lupa, di halaman mana kenangan denganmu kutuliskan, Gi.

Ruangan ber-AC ini mirip kutub utara. Aku sedikit menggigil. Kamu semakin berdenyut di dalam sana. Tenang, Gi, kita lewati hari ini bersama-sama sebagimana satu dasawarsa terakhir.

"Apa keluhannya, Nona." Lelaki berkacamata itu menyapaku. Kamu juga mendengarnya 'kan, Gi? Bantu aku menjawabnya, ya. E tapi, semisal tak dijawab, tidak perlu ada remedial 'kan? Ya … ujian ulang, mungkin?

Lalu aku telentang di atas benda berwarna biru muda.

"Kepalanya naikin dikit."

Gi, kepala kami berdua segaris. Seandainya ini gerhana matahari, mataku dan matanya hanya terhalang kacamatanya. Itu pun transparan. Aku memanfaatkannya untuk melihat kamu dari pantulan di kacamatanya itu. Tapi, kamu bersembunyi di pojok. Ih, kurang jelas, tauk! Aku ingin melihatmu juga.

Bangun dari posisi tidur, lelaki itu menanyaiku ini itu. Kepo banget 'kan, Gi? Dan akhirnya, ia memintaku mengikuti seorang perempuan yang sedari tadi menemaninya ke ruang sebelah. Aku senyum-senyum sendiri. Gi, kamu mau difoto. Cie yang mau difoto, cie. Widiw, mana butuh 30 detik pula buat satu kali jepret. Gapapa ya, Gi. Itung-itung foto keluarga besar.

Lalu, kita bersama-sama kembali ke ruangan tadi. Kamu mau aku kasih tau wujudmu? Hehehe, kamu lucu. Kakimu kenapa kayak mata kail gitu, ya? Sodara-sodaramu yang lain biasa aja, tuh.

"So, what's now, Miss?"

"Just do it, Doc."

*

Dengan kedua mata telanjangku, akhirnya aku melihat wujudmu, Gi. Tubuh putihmu berlumur cairan merah. Lelaki itu mengelap sisi luarmu. Kamu adalah Gi, Si Kacang Mede. Pernah lihat kacang mede 'kan? Iya, yang sering kamu lumat sama saudara-saudaramu. Seperti itulah kamu.

Ada gumpalan air di kedua sudut mataku. Kuseka dengan punggung tangan. Kamu tergeletak pasrah di sana.

Gi, terimakasih atas kebersamaannya. Aku sudah mati-matian mempertahankanmu. Aku tak mau berpisah, sebenarnya. Maafkan aku yang tidak mampu menjagamu dengan lebih baik lagi. Tapi, tolong, jaga diri setelah kamu punya rumah baru. Hari ini telah kita lewati dengan berdarah-darah. Perpisahan ini tidak sakit, Gi. Sungguh.

"Gigit ini tiga puluh menitan." Ia terus saja merepet kata-kata. Pikiranku tertuju padamu, Gi, meski pandanganku ke arahnya. "Minggu depan balik ke sini lepas jahitan, ya. Jangan lupa minum obat," lanjutnya.

Goodbye, Gi. Selalu ada good pada goodbye, 'kan?

***

0 comments:

Post a Comment