2016-05-23

Senjata Mister Acha-Acha Makan Tuan

Ilustrasi: docpri

#GuruTerapalah

Senjata Mister Acha-Acha Makan Tuan

Bagi saya, setiap sosok yang memberi saya pengetahuan, baik formal maupun non formal, dunia nyata atau maya, ia bisa saya sebut guru. Sekitar satu windu yang lalu, saya tertarik dengan olahraga beladiri Tae Kwon Do. Maka, saya pun mencari info dan segera bergabung dengan sebuah kelas Tae Kwon Do di Tsim Sha Tsui.

Sebagai 'artis' yang sudah go international, yang sering memerankan tokoh pembantu, yang jadwal syutingnya 7 hari seminggu 24 jam sehari non stop dan disiarkan langsung dari CCTV, di mana moncong kamera senantiasa membelalak di sudut dapur, kamar tamu dan lorong apartemen, saya merasa hidup penuh dengan tekanan. Awal-awal keberadaan saya di Hong Kong, saya merasa kehilangan kebebasan manakala untuk makan siang pun harus saya laporkan di depan kamera yang dipajang di ruang tamu.

Untuk melampiaskan ketertekanan itu, saya seperti mendapat tenaga ekstra saat mengikuti Tae Kwon Do. Kepercayaan diri dan keberanian makin tumbuh dalam jiwa saya. Saya mulai cuek dengan kamera-kamera sialan itu. Saya pun merasa beruntung memanfaatkan hari libur tiap Minggu dengan kegiatan ini.

Di kelas itu, selain ada kenaikan tingkat, juga ada kompetisi-kompetisi antar klub Tae Kwon Do se-Hong Kong. Perkembangan saya termasuk cepat. Bahkan, saya mendapat juara tiga untuk kategori berat kurang dari 47 kg. Padahal, saya termasuk murid baru.

Saya semakin giat. Omelan majikan saya anggap 'sego jangan'. Bagi saya, yang penting dapur emak di kampung tetap ngebul, SPP adik lancar, kerjaan beres, gajian tepat waktu dan punya kamar sendiri meski berbagi dengan momongan. Dengan prestasi itu, majikan menjadi sedikit respek. Apalagi medalinya saya pamerkan kepada mereka.

"Ah Zhai, tirulah Mbaknya, dia pintar," begitu komentar si Bapak. Si Ibu dan si anak hanya diam.

Di kelas pun, guru saya makin perhatian. Meski tidak hanya pada saya saja, sih. Tetapi beliau sering mengajak saya dan teman satu angkatan untuk makan bareng usai latihan yang kadang kala hanya menikmati makanan di Mekdi, Kowloon Park, tempat makan paling murah di dekat tempat latihan Tae Kwon Do. 

Sepengetahuan saya, beliau adalah orang Asia Barat yang apabila berbincang-bincang, logat Acha-Achanya kental sekali meski tanpa ada adegan geleng-geleng kepala. Sama seperti saya, di mana … saya berbicara bahasa Inggris dengan kosakata belepotan di campur bahasa isyarat tangan plus medok Jawa. Teman saya kadang bercanda bahwa medok itu adalah bagian dari melestarikan budaya Indonesia dengan tetap "anguri-nguri basa Jawa" yang Inggris dan "menjadi ikan tawar meski hidup di lautan". Selanjutnya, di kalangan kelasku sendiri, guru kami mendapat julukan Mister Acha-Acha. 

Suatu waktu, usai latihan, beliau berdiri di dekat ruang ganti wanita, sepertinya menunggu saya. Pasalnya, usai melihat saya keluar sendirian, beliau menghampiri saya.

"Teman-teman masih di dalam," ucap saya cepat.

"Aku tidak mencari teman-temanmu. Nanti makan malam di mana?" saat itu jadwal latihan saya jam 3 sore.

"Belum tau."

Lalu beliau mengajak saya makan bersama di tempat biasa, di Mekdi. Saya mengiyakan karena berfikir bahwa ajakan ini berlaku untuk teman-teman sekelas. Ternyata tidak. Saat itu suasana ruangan agak sepi. Hanya satu dua orang petugas kebersihan yang lewat manakala beliau meneruskan kalimatnya.

"Habis makan kita ke tempat kos temanku, yuk. Kita bersenang-senang." Kali ini telinga saya menangkap penekanan kata 'happy' dengan aneh. Gerakan matanya tidak sama seperti saat berada di kelas. Bahasa tubuhnya beda. Saya merasakan sinyal dari tubuh saya berbunyi. Ingatan saya melayang pada bisik-bisik gosip yang beredar bahwa ada sosok guru 'ham sap' di klub ini.

"Ayolah, kamu 'kan orang Indonesia. Biasanya pada mau, kok." Tangannya mulai merambah pundak saya.

Dada saya panas. Dengkul saya maju dan menendang tepat di selangkangan guru hamsap di depan saya ini. Saya langsung lari ke Austin road lalu belok ke kiri di Nathan road sampai bertemu stasiun MTR Jordan. Padahal, stasiun MTR Tsim Sha Tsui exit A letaknya lebih dekat bila dari Austin road belok kanan di Nathan Road, sebelah masjid Jami' Kowloon.

Sejak saat itu, saya berhenti total ikut klub Tae Kwon Do. Saya memutar kembali beberapa adegan serupa yang beliau lakukan pada saya. Biasanya saya hanya menghindar dan menjauh dari beliau. Lalu saya mengingat-ingat perbincangan via telefon dan SMS (tahun itu belum ada aplikasi semacam whatsapp). Akhirnya saya paham bahwa beberapa kalimatnya memang rada-rada seksis dan parahnya, pemahaman saya akan kosakata seksis itu sungguh sangat terlambat.

Makanya, saya tidak kaget manakala ada berita bahwa seorang seniman yang dosen dan dosen yang seniman dari kampus terkenal di Indonesia, yang menggagahi mahasiswinya sampai hamil. Bahkan, 'kado' Hardiknas 2016 adalah berita seorang dosen dibunuh mahasiswanya. Tidak, saya tidak serta merta membenarkan perbuatan itu. Tetapi, kalau dasar otaknya mesum bin cabul alias hamsap, tetap saja hamsap. Meski konon katanya, tenaga dan pikiran olahragawan telah terforsir pada kegiatan fisik sehingga cenderung aman dari omes. Ya … katanya.

***

Sebagaimana yang diceritakan SUi, mantan pekerja migran Hong Kong.


0 comments:

Post a Comment