2015-07-17

[Fiks-isme] Maluku Pulang Padamu [FR]



*

Gedibal. Jongos!
Dua kata itu mengiang di telingaku. Ada sesak yang tetiba berdesak. Ada getir dan air mata yang mulai mengalir.
Sekolah tinggi-tinggi, SSSS. Percuma kalo akhirnya cuma jadi tukang cuci.
Mulutku terkunci. Bekuku terpaku dalam kumparan waktu. Sendiri, di sudut bumi pertiwi.
Seharusnya, kamu pulang ke sini dengan ilmumu, dengan pengalamanmu untuk kamu amalkan, untuk kamu praktekkan dalam kehidupan. Aku saja yang hanya lulusan Sekolah Teknik bermental insinyur kok. Bagaimana mungkin kamu yang sarjana malah bermental babu.
Dan aku memang babu. Tapi, Pak, dengan aku menjadi babu, aku bisa menyekolahkan adik.
Ya itulah kamu! Dinasehati malah berdalih. Bapak tidak pernah mempermasalahkan rengking kelas. Tapi Bapak hanya tak mau anak-anak Bapak jadi jongosnya Cina, gedibalnya Arab. Lagipula, adikmu itu dapat sponsor di Cambridge, sekolah tinggi di negerinya Lady Di, di luar negeri.
Maafkan aku, Bapak, Ibu.

*

Aku berusaha tersenyum menyudahi percakapan di ruang tamu itu. Di luar sana, senja dari jendela kaca semakin tua. Pekat pun meraja. Awan sisik tersedot cakrawala, keabu-abuan.
Langkah kaki membawaku ke dalam kamar. Duduk aku di bibir ranjang. Koper metalik beroda empat menyambutku dengan pongah. Ada tenaga yang menggerakkanku mendekatinya, menariknya ke dekat lemari.
Aku berkemas.

*

“Nyonya, aku ingin secepatnya balik ke situ. Boleh nggak?”
“Ada masalah?”
“Nggak ada, aku hanya kangen Kacie dan Didi.”
Aku tahu, ini jawaban yang tidak masuk akal. Kangen anak orang? Aku tak tahu harus dengan alasan apa biar terlihat logis. Tapi otakku buntu. Sangat tidak mungkin aku bilang perihal percakapanku tadi sore. Aku nggak mau dicap sensi macam pelaku sosmed yang kelewat berisik rebutan Wahyudi, Remason, mata dajjal dan macem-macemnya itu. Kuakui, aku kurang berbesar hati.
Baru aku menginjakkan kaki di bumi pertiwi dua hari lalu. Tapi maluku bermanja-manja di pangkuannya hanya karena statusku babu.

Ibu pertiwi
Maluku pulang padamu

Tanganku penuh minyak babi
Bajuku terkena ludah asu
Aku hanya seorang babu

Bagaimanaku mensucikannya?
Dibasuh dengan apa?
Dibersihkan dengan cara apa?

*

Pagi masih terlalu dini. Tapi mataku terang benderang serupa purnama bulan ke-8 tahun Lunar meski semalaman tiada terpejam. Aku berjalan pelan menuju dapur. Bapak dan ibu sedang menikmati kopi.
“Bapak, Ibu, saya pamit, mau kembali ke kerja hari ini.” Mereka berpandangan. Ibu berdiri, mendekat padaku. Suaraku tercekat, napasku terhenti sesaat. “Semalam majikan meminta saya segera kembali. Nenek masuk rumah sakit.” Aku berbohong, dobel bohong.

*

Suara takbir menyeruak di antara toa-toa, bersahutan, di kota-kota yang aku lewati. Terang semakin garang.
Maaf, ibu pertiwi. Maluku pulang padaku karena aku babu.

 - oOo -
 Gambar: Fiksiana Community.

1 comment: