Tentang sebuah Citizen Journalism ala BMI Hong Kong dan
di Sebaliknya
Mungkin ini bukan tulisan
serius. Tapi aku pribadi menuliskannya dengan sangat serius. Memang, ini
hanyalah pengalaman pertama untuk aku yang hanya seorang kungyan. Tapi berbekal pengalaman menulis jurnalistik ala jurnalis warga
dan fotografi serta projek film pendek, aku sedikit punya rasa percaya diri. Semoga
bisa membantu meski grogi setengah mati.
Dan biasanya, hal-hal pertama
itu lebih berkesan ketimbang pengalaman serupa yang terulang. Ada satu hal yang
membuatku berkesan meski telah melakukannya berkali-kali. Mencintaimu, iya, mencintaimu
setiap hari selalu membuatku berkesan ç ceritanya nggombal, hahaha.
Hari itu, minggu-minggu awal
Juli aku mendapat info dari teman via FB. Katanya ada sebuah stasiun teve yang
tengah naik daun membutuhkan tukang foto/tukang video untuk melengkapi
reportase mereka. Ada tiga kandidat yang akhirnya akulah yang mengambil
kesempatan itu.
Akhirnya aku dihubungi oleh Mr.
A (yang ternyata produsernya) untuk menjelaskan apa dan bagaimana gambar yang
dibutuhkan. Selanjutnya, aku ‘dilempar’ ke reporter, Ms. B, di mana dia ini
yang memfollow kegiatanku dengan calon narsum, Ms. C (yang seorang BMI).
Sabtu itu aku ke pasar Quarry
Bay tempat Ms. C belanja sekaligus melakukan wawancara. Aku mencatat dalam buku
‘pusaka’ apa saja yang harus aku tanyakan. Entah karena insting atau apa, aku
melakukan improvisasi, hahaha. Biar hasil videonya enak dilihat secara aku
hanya mengambil gambar Ms. C saat berada di Hong Kong. Soalnya ybs akan mudik
ke Indonesia dua hari lagi.
Tidak ada halangan berrati hari
itu kecuali kesalahan teknis setingan kamera di M yang ternyata beda banget
hasilnya bila digunakan untuk foto dan merekam video. Balik deh ke setingan A,
hahahah.
Lumayan menyenangkan sih tapi
setengah hari kerja lapangan dengan cuaca di atas 32 C ternyata membuatku
lemes. Setengah hari sesudahnya aku habiskan tiduran (dan tidur beneran) di
kamarku mumpung bu bos sekeluarga loihang
ke London. Buka puasa rasanya kurang bergairah yang hanya aku isi dengan makan
mie. Padahal nggak biasanya lemes gini. Ah, mungkin karena semalam ada lemburan
sehingga kurang tidur.
Minggunya kembali aku mengambil
video Ms. C yang lagi liburan bareng teman-temannya di Victoria Park, Causeway Bay. Nggak banyak sih lah sudah
7-7-8-8 hari Sabtunya. Aku sendiri lagi menyiapkan pameran foto Agustus besok.
Jadi memang harus bagi-bagi waktu bila ada janjian di hari Minggu.
Pulang ke rumah, aku seperti
kena suntikan adrenalin. Aku langsung mengedit video dan langsung menyimpannya
dalam HD. Dan… sial!!! Lepiku heng. Padahal sampai jam 2 pagi loh. Akhirnya aku
sahur dulu dan mulai edit video ‘parodi’ untuk menghilangkan kegalauan
gara-gara heng tadi.
Setelahnya, aku mulai lagi
editing citizen journalism video
dengan tempo yang lebih cepat mengingat bagian-bagian yang dijahit sudah aku
pilah. Begitu selesai, aku langsung posting di web teve itu. Iya, sih, nunggu
approve dari admin. Setelahnya, aku lupakan, hahaha, sampai sekarang.
Yang aku ingat, aku menanyakan
pada Ms. C, bagaimana ia bisa terpilih menjadi sosok utama dalam program teve
mereka. Ia mengatakan bahwa ia mendapat tawaran dari organisasi perburuhan yang
konsisten di bidang advokasi, tempatnya bergabung selama ini. Organisasi ini menyerahkan beberapa nama berikut kisahnya dan nama
Ms. C ini terpilih. Hal yang sama aku tanyakan pada Ms. B, kenapa memilih Ms.
C? Jawaban yang luar biasa kudapatkan, mana saya tahu, mbak, itu urusan editor.
Aku langsung membayangkan betapa kerennya pekerjaan editor itu. Gokilll... Nggak salah
bila aku pengen banget menekuni bidang multi media, someday sih, soon be better.
Sebagai orang yang sudah satu dasawarsa
ngungyan di Hong Kong apalagi lumayan
aktiv di berbagai kegiatan BMI (tahun Des 2010- Feb 2014) sebelum akhirnya fokus
sekolah sambil nyambi di dunia fotografi dan traveling, ada yang kurang sreg
dengan pemilihan Ms. C ini. Sebelumnya aku antusias sekali ‘menguliti’ kisah
hidupnya. Tapi kok kayaknya lebih banyak kisah yang lebih miris dari dia. Kerjaan
berat, tidur jam 12, nggak boleh ngomong sama sesama BMI … Hello, ini bukan
jaman penjajahan kalee. Tahun-tahun terakhir BMI banyak mendapat kelonggaran berorganisasi, beribadah dan terutama menggunakan jilbab/niqob. Dia juga aktiv di organisasi advokasi, seharusnya dia berani ‘melawan’.
Bila mengeluhkan pekerjaan berat, rata-rata BMI Hong Kong ritme kerjanya seperti itu - meski nggak semua sih. Tapi, seberat-beratnya
pekerjaan akan terasa ringan jika tidak dikerjakan, hahaha, eh… pekerjaan akan
ringan jika dinikmati tiap prosesnya.
Belum lagi alasan dia tidak
dikasih pulang ke Indonesia karena majikannya tidak ngasih ijin saat sebuah bencana menimpa keluarganya. Baca lagi deh
aturan perburuhan di Hong Kong. Jangankan pulang, libur nasional saja tidak
dikasih kok kalo belum genap tiga bulan di Hong Kong. Kecuali memang majikannya
toleran dan gemati.
Saat ini dia menjalani kontrak
kerja ke-3. Sesuai peraturan perburuhan di Hong Kong, setiap pekerja mendapat
libur tahunan sebanyak 7 hari. Khusus kontrak pertama, libur ini baru bisa
dinikmati setelah kontrak kerja habis. Bila berkaca pada peraturan ini,
bukankah ada kesempatan menengok keluarga setelah kontrak pertama selesai? Kenapa
nggak minta pulang? Itu hak pekerja loh.
Benar saja, setelah video itu
diposting di FP, komen senada denganku banyak bertaburan. Mungkin aku
keterlaluan jika mengatakan program itu ‘menjual kesedihan’. Hahaha, maklum, bad is good news. Kemudian aku ‘bertukar
peran’ dan menempat posisiku di belakang layar. Percayalah, kita akan memahami
kondisi ini.
Pertama, ketidak mudahan mengakses data
tokoh (dalam hal ini BMI) untuk kemudian diseleksi mana-mana yang pantas dijadikan tokoh utama. Kedua, tidak selalu tersedia SDM di
daerah domisili tokoh tersebut (dalam hal ini di luar negeri/ Hong Kong) untuk membantu menginput
bahan sebelum ‘dijahit’ dengan bahan yang diambil di daerah asli (di
Indonesia). Ketiga, kerelaan
tokoh tersebut untuk dijadikan nara sumber. Nggak semua mau masuk teve apalagi sisi
pribadinya dipublikasikan. Yang nggak percaya alasan ketiga ini pasti belum
pernah disemprot narasumber, hahaha. Dan yang keempat, BMI di lugri itu terikat kontrak kerja dan aturan tidak
terlulis sesuai kondisi tempat kerja masing-masing. Standarisasi pekerjaan di tiap
keluarga tidak sama. Yang terpenting bagi BMI adalah adaptasi. Dan yang kelima, kita tidak tahu alasan utama si
Ms. C ini tidak pulang yang mungkin hanya dia, Tuhan dan malaikat saja yang
tahu. Who knows?
Well, setidaknya out put program ini sempurna sekali. Beberapa teman saya sempat
mewek bawang bombai gara-gara nonton videonya. Ada hal positive kok yang bisa
kita ambil.
“Pulanglah.
Jenguklah orangtua selagi mereka masih ada di dunia.”
Mohon maaf atas ketidak nyamanannya. Semoga ada kerjasama lagi di
waktu-waktu mendatang. Terimakasih. [Risna
Okvitasari]
0 comments:
Post a Comment