2015-08-14

[Octivity] 'Soul' Exhibition, kado HUTRI dari BMI



Hongkong, 15/8/2015


Bagi kita-kita yang tidak berada di Indonesia, hari ini adalah awal dari liburan akhir pekan yang panjang. Tapi tidak dengan saya, Anik dan Asti. Tiga Buruh Migran Indonesia di Hong Kong ini malah sedang memulai babak baru. Ya, tanggal 15-17 Agustus 2015 ini, kami menyelenggarakan pameran foto yang diprakarsai oleh Lensational dan Simon Wan (founder of The Photocrafers). Pameran ini diadakan di Hong Kong Cultural Center, Tsim Sha Tsui (berada di sekitar Star Ferry dan Avenue of star) dan dibuka mulai pukul 10:00 sampai 19:00 WHK. Maka, bagi teman-teman yang sedang liburan ke Hong Kong, jangan lupa mampir, ya. Tiket masuknya gratis tapi tiket pesawat booking sendiri-sendiri.


Kami sengaja mengepaskan tanggal 17 Agustus adalah untuk memberi hadiah kepada Indonesia yang berulang tahun ke-70. Ketika banyak kalimat yang menanyakan, apa yang telah kamu lakukan untuk negerimu? Kami lebih memilih untuk tidak menjawab tapi menunjukkan.

Sedangkan Lensational sendiri merupakan organisasi non profit yang berkonsentrasi memberdayakan perempuan melalui fotografi.

Pada saat persiapan dan pengumpulan foto, Simon Wan mengasah kembali kemampuan menulis kami yang selama ini hanya tersalurkan via (status) facebook. Ia meminta kami mulai menuliskan keseharian kami pada diary. Menurutnya, menulis dan memotret adalah dua hal yang berhubungan. Ketika kami menanyakan lebih jauh, ia menjawab bahwa dahulu, saat ia masih berstatus sebagai pelajar, dipikirnya bahwa dengan cukup mengeklik kamera maka semua selesai. Tapi ternyata tidak.

Ia kemudian menunjuk sebuah poster anak lelaki berpakaian khas Nepal dengan latar belakang reruntuhan bangunan, yang tersandar di salah satu dinding studionya.

“Kalian lihat ini. Maka akan muncul komentar, oh iya, fotonya bagus, pencahayaannya tepat. Trus apa? Ini kan poster penggalangan dana untuk Nepal. Dengan mengetahui kisah di balik foto ini, maka foto ini kan semakin kuat. Anak ini adalah satu-satunya yang masih hidup saat gempa di Nepal beberapa bulan lalu. Seluruh keluarganya meninggal. Dengan kita mengetahui kisah di sebaliknya, hati kita terketuk, menilai sesuatu tidak hanya yang nampak di mata kita.”

Dalam suatu postingan di grup fotografi online, saya pernah membaca bahwa fotografer professional atau penulis andal sudah banyak di luar sana. Tetapi fotografer sekaligus penulis atau penulis yang fotografer masih belum sebanyak dua kategori sebelumnya. Demikian juga dengan jalan-jalan online. Mereka juga menginsiprasi saya untuk menuliskan destinasi-destinasi cantik dan ganteng di Hong Kong, lalu mengabarkannya kepada dunia, “kesinilah … tanah asing ini menunggu jejak kaki kalian”, kira-kira begitu. Jadi, kloplah ketika saya gothak gathik gathuk runtutan potongan perjalanan memotret saya selama ini. Saya bisa cuek ketika ada orang yang mengatakan saya confuse memilih antara menulis atau memotret. Kalo memang menyukai dua-duanya, nggak apa-apa kan? Atau … saya yang kemaruk? Ya, ada kalanya saya condong ke motret. Tetapi, akan tiba masanya saya akan lebih fokus ke nulis.

Mengenai persahabatan kami, memang, saya, Anik dan Asti saling mengenal satu sama lain lantaran fotografi. Tetapi persahabatan kami lebih dari itu. Kami biasa hiking bersama dalam komunitas Indohikers (Indonesian Hikers), pun dalam satu wadah Indograferhk (Indonesian Photographer in HK). Maka, ketika Asti pulang seterusnya ke Malang sana pada tanggal 3 Agustus lalu, saya dan Anik merasa sangat kehilangan. Seperti ada yang kosong di sini. Persahabatan kami lumayan aman dari riak-riak karena kami tau diri untuk tidak menginjak daerah privasi masing-masing terutama dengan pasangan. Terlebih, kami tidak pernah berurusan dengan utang piutang. Prinsipnya, ada makanan kita makan bersama, tidak ada pun kita menggila bersama. Sesimpel itu saja.

Dan bulan depan, Anik pun akan menyusul Asti kembali ke kotanya di Malang juga. Ah tidak apa, semoga sebelum akhir tahun bisa mudik dan menggila bersama (colek kakak Fera juga ah).

Kembali ke masalah pameran, kami sadar, kami memang belum menjadi fotografer profesional. Karya kami bukanlah karya yang menggemparkan dunia. Tapi kami berkarya dengan sepenuh hati, bahkan kami membuatnya di tengah-tengah ketatnya kondisi kerja ataupun saat kami libur seminggu sekali. Cukup dinikmati saja foto-foto dalam pamerannya, ya.

Mengutip prolog Simon Wan, ada tiga tipe manusia dalam fotografi;
  1. Orang yang terlalu berambisi dalam misi penyelamatan dunia
  2. Orang yang terlalu sibuk membuat foto sempurna atau berselfie ria
  3. Orang yang menganggap dirinya seniman dan fotografi adalah seni
Kira-kira, kita ada pada kriteria yang mana?

Well, saya ucapkan terimakasih kepada seluruh kru Lensational (Bonnie, Peggy, Sunnie, Amy, Yuen Sin, Chloe, Michael, Tony, etc), The Photocrafters (Simon Wan), Indograferhk (pak Ari, Pak Iman, Pak Andi, Bu Tasha, dll), Indohikers (babe Bardiat, pak Yolvis, dan kambing-kambing lainnya_maya, bee, onie, juminten, riani, ega, jean, dll) dan grup-grup online yang menyediakan ilmu bagi silent reader seperti saya. Saya juga ucapkan terimakasih kepada NetTV (Mas Adrian dan mbak Luky) yang telah menggandeng saya sehingga bisa belajar tentang video citizen journalism.

Di tahun kambing ini (yeong nin), semoga kambing-kambing indohikers “yiu yeong yau ko yeoung, yiu mey yau mey, hei hei yeoung yeoung”.





Foto dan video milik Lensational.

*Salam Mbolang
*Salam jepret

6 comments:

  1. Hai mb sinna.. selamat ya mb semoga pamerannya sukses dan lancar. Salute buat mb dan kawan kawan yg masi bs menyempatkan diri berkarya di tengah himpitan waktu dan aktvitas yg ketat. Jgn berhenti berkarya y mb dan dtggu karya karya citizen journalism nya lg di layar net ^^

    ReplyDelete